JUDUL ASLI: A L – M U N Q IDT M I N A D – DHOLA L
PENGARANG:IMAM ALGHAZALI
PENTERJEMAH:MUHAMMAD HILMAN ANSHARY
Bismillahirrahmanirrahim
Saudaraku seiman dan seagama! Dahulu engkau pernah memintaku untuk menguraikan kepadamu tentang puncak dan rahasia-rahasia disiplin ilmu, belenggu mazhab-mazhab dan lubang gelapnya. Menceritakan pengalaman yang pernah aku alami tentang kebenaran yang haq di tengah malang melintangya sekte agama dan perbedaan pendapat. Juga cara-cara yang aku gunakan untuk bisa keluar dari jurang taklid dan mampu melewati bukit terjal pentafsiran. Pertama bagaimana aku bisa memberdayakan ilmu kalam (teologi), kedua mampu menyiasati doktrin-doktrin Ahl at–Ta‘lim (penganut doktrin mahdisme dari aliran Syi‘ah Bathiniyyah) yang membatasi proses penemuan kebenaran dengan hanya bertumpu kepada seorang Imam (yang Ma‘sum), ketiga, mampu menepiskan cara-cara berfilsafat, dan keempat justru aku memilih jalan tasawwuf. Energi apa yang bisa dihasilkan dari penelitian panjang yang kulakukan yang berkaitan dengan peranan makhluk dalam mencari intisari kebenaran?, strategiku dalam menyebarkan ilmu di Baghdad dengan jumlah murid yang banyak, serta motifasi apa yang mendorongku untuk kembali ke Naysabur setelah lama meninggalkannya?. Maka, pada kesempatan ini, aku berinisiatif untuk menjawab pertanyaan mengingat ketulusan keinginan yang begitu membara.
Aku memohon pertolongan dari Allah dan berserah kepada-Nya, memohon kekuatan dan bersimpuh di hadapan-Nya seraya meminta perlindungan-Nya.
Ketahuilah saudara-saudaraku seiman dan seagama!, semoga Allah berkenan membimbingmu sebaik-baiknya. Keragaman agama dan kepercayaan (millah) di antara makhluk, dan adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama yang melahirkan banyaknya sekte dan cara yang beragama. Hal ini seumpama sebuah samudra lautan dalam yang menenggelamkan banyak orang, dan hanya sedikit saja yang mampu selamat dari gulungan ombaknya. Sehingga setiap kelompok dan sekte mengklaim diri sebagai ‘yang selamat’. Allah berfirman:
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (Q.S. ar-Rum [30]: 32).
Inilah kebenaran perkataan Rasulullah yang telah dijanjikan kepada kita. Dalam hal ini, beliau bersabda:
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, dan yang selamat hanya satu”.
Sejak memasuki usia remaja hingga umurku lebih dari 50 tahun, aku masih tetap bersemangat untuk menjelajahi kedalaman samudera yang sangat dalam ini, menyelami dasarnya dengan penuh keberanian seperti seorang penyelam yang tidak sedikit pun merasa takut. Kumasuki setiap sisi gelapnya, kuterjang setiap kesulitannya, dan kubolak-balik setiap masalahannya. Kukaji semua doktrin dari masing-masing golongan dan kusingkap rahasia-rahasia mazhab mereka demi membedakan antara yang hak dan yang bathil, yang sunnah dan yang bid‘ah Aku tidak meninggalkan seorang penganut batiniyyah sebelum mengungkap terlebih dahulu pemahaman kebatinannya. Tidak pula kutinggalkan seorang Zahiri sebelum mengetahui kedalaman ke-Zahiri-annya. Begitu juga aku tidak akan meninggalkan seorang filsuf sebelum aku menyelami kedalaman filsafatnya, seorang ahli kalam sebelum menyingkap teori kalam dan pola perdebatannya, seorang sufi sebelum aku menelusuri rahasia kesufiannya, seorang ahli ibadah sebelum mengetahui hasil dari ibadahnya, serta tidak akan kutinggalkan seorang Zindiq yang melalaikan agama kecuali aku telah membongkar dan mengetahui latar belakangnya dalam berlaku Zindiq.
Semangat yang menggelora untuk menyelam sampai dasar hakikat segala sesuatu merupakan kebiasaanku sejak kecil. Sebagai sebuah sifat dasar dan sikap naluriah yang telah dianugerahkan Allah ke dalam tabi‘atku. Bukan pilihan atau pun alasan buatku, sehingga terungkap segala belenggu taklid dalam diriku dan pecah pula dogma-dogma warisan anak kecil sebagai manusia yang secara turun temurun menjadikanku seorang muslim. Sebagaimana Nasrani danYahudi yang pasti akan tumbuh pula menjadi pengikut Nasrani dan Yahudi. Tatkala mendengar sabda Rasulullah saw yang menyatakan bahwa:
”Setiap anak terlahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang membentuknya menjadi seorang Yahudi, Nasrani, atau pun Majusi,”
Maka hatiku tergerak untuk berupaya menyingkap hakikat tentang fitrah asli dan hakikat dogma warisan orang tua dan para guru, memilah-milah diantara tradisi-tradisi ini, terutama mengenai aneka macam doktrin, dan memisahkan yang benar dari yang batil pada tradisi-tradisi tersebut. Oleh karena itu, selalu kutegaskan pada diriku bahwa:
“Aku sangat membutuhkan ilmu tentang hakikat segala perkara. Oleh karenanya, aku harus segera mencari tentang hakikat ‘ilmu’ itu sendiri. Kemudian tampak olehku bahwa ilmu yakin-lah yang bisa menguak pengetahuan secara sempurna tanpa menyisakan keraguan sedikit pun. Juga tidak disertai kemungkinan adanya kekeliruan dan kelemahan, dan menampakan kebatilannya. Seperti menyulap batu menjadi emas dan tongkat, maka tidak akan melahirkan keraguan dan pengingkaran.
Dengan demikian, ketika aku tahu persis bahwa 10 lebih banyak dari pada 3, kemudian ada orang yang berkata: “tidak, 3-lah yang lebih banyak. Buktinya aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular”, dan untuk kemudian ia benar-benar mengubahnya menjadi ular didepan mataku. Maka hal itu tetap tidak akan membuatkku ragu pada pengetahuanku bahwa 10 lebih banyak dari pada 3. Hanya saja aku akan terheran-heran bagaimana ia mampu melakukannya. Dan aku sama sekali tidak akan meragukan apa-apa yang telah aku pelajari.
Selanjutnya, kemudian aku menyimpulkan bahwa setiap hal yang tidak aku pelajari dengan cara seperti ini dan tidak aku yakini dengan keyakinan penuh seperti yang telah disebutkan, maka landasan ilmu itu tidak akan kuat dan tidak pula aman bersamanya. Dan segala ilmu yang tidak memiliki unsur pengaman (dari segala keraguan dan kekeliruan ), maka ilmu tersebut bukanlah ilmu yakin.
Keraguan ini pun semakin menguat, sehingga muncul pertanyaan:
“Dari mana asal munculnya keyakinan terhadap mahsusat (yang bisa diindera)? Dan betulkah penglihatan adalah indera yang paling kuat? Dimana ketika kamu melihat suatu bayangan, kamu melihatnya seolah terdiam, dan tidak bergerak sama sekali. Namun dengan pengalaman dan penyaksian pada beberapa waktu kemudian, ternyata indera terkuat itu baru menyadari bahwa bayangan tersebut bergerak, meskipun ia tidak bergerak sekaligus, melainkan secara bertahap, partikel demi partikel. Sehingga ia tidak memiliki posisi berhenti. Pun ketika mata melihat semesta bintang, ia melihatnya kecil-kecil seukuran mata uang, padahal bukti-bukti ilmu pengetahuan menunjukan bahwa bintang-bintang itu lebih besar ukurannya daripada bumi. Pernyataan ini juga berlaku pada penginderaan yang lebih dikendalikan oleh hukum indera dan disangkal oleh hukum akal dengan sangkalan yang tidak menyisakan jalan membela diri lagi.
Dengan kenyataan di atas, aku lantas menggugurkan segala keyakinanku akan mahsusat (hal-hal yang bisa diindera), kecuali pada hal-hal yang rasional yang tidak terbantahkan kebenarannya. Sebagaimana perkataan bahwa 10 lebih banyak dari pada 3; penyangkalan dan penetapan tidak mungkin berkumpul dalam satu obyek. Sesuatu tidak mungkin baru namun sekaligus kuno. Sesuatu tidak mungkin ada dan pada saat bersamaan menjadi tiada. Dan sesuatu tidak mungkin wajib adanya namun juga sekaligus mustahil adanya. Namun demikian, kaum penganut famam material akan bertanya, ”dengan apa kamu berani menjamin bahwa keyakinanmu akan ilmu akal rasional tidak akan senasib dengan keyakinanmu akan ilmu material. Taruhlah umpamanya, kamu mempercayai kebenaranku, tapi vonis akal mengatakan bahwa aku berdusta. Jika tidak ada keputusan dari vonis akal, akankah engkau masih tetap mempercayaiku? Bukankah mungkin saja ada pemutus (hakim) lain selain akal yang justru akan membatalkan vonis akal, sebagaimana pembatalan hukum inderawi pada saat sebelumnya setelah kedatangan akal. Dan tidak adanya pengetahuan tentang itu, bukan berarti menunjukan kemustahilan terjadinya!.
Sejenak diriku terdiam tidak mampu menjawab, dan masalah ini semakin terasa sulit ketika mereka kembali berkata dengan menggunakan argumentasi mimpi, yaitu bahwa:
” Bukankah dalam tidurmu kamu sempat meyakini beberapa hal, mengkhayalkan beberapa hal, bahkan meyakininya sebagai suatu yang telah kokoh dan mantap tanpa kamu ragukan lagi, namun setelah bangun, kamu menyadari bahwa semua khayalan dan keyakinanmu dalam mimpi itu tidak berdasar dan tidak berguna. Maka, bagaimana kamu bisa menjamin bahwa semua yang kamu yakini dalam kesadaranmu dengan indera atau akal adalah kebenaran yang nyata pada saat kondisi kamu seperti sekarang ini. Bahkan bisa jadi muncul suatu kondisi dimana “posisi” kesadaranmu saat terjaga layaknya kesadaranmu di saat mimpi, maka dengan demikian bukankah kesadaranmu menjadi seperti mimpi? Dan ketika kondisi ini terjadi, kamu meyakini bahwa semua hal yang kamu duga dengan akalmu hanyalah khayalan belaka. Mungkin kondisi seperti inilah yang diakui oleh para sufi sebagai kondisi mereka (hal keadaan). Di mana dalam kondisis-kondisi tersebut, mereka merasa tenggelam dalam diri mereka dan menghilag dari indera mereka, mereka merasa menyaksikan kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan akal rasional ini. Dan bisa jadi kondisi tersebut, berupa “kematian”, sebagaimana yang diindikasikan oleh sabda Rasulullah Saw.:
“Seluruh manusia itu sedang tertidur, maka ketika ia mati, mereka akan tersadar kaget”.
Mungkin kehidupan dunia adalah tidur, lebih-lebih kehidupan akhirat dimana ketika mati akan terlihatlah hal-hal yang berbeda dan berkebalikan dengan apa yang mereka saksikan sekarang. Dan pada saat itu, akan dikatakan pada mereka:
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu”. (Q.S. Qaff [50]: 22].
Tatkala pikiran- pikiran ini muncul dalam benakku dan menghujam dalam diriku, maka aku segera mengusahakan pengobatannya, namun tetaplah tidak mudah. Karena tidak mungkin mengobatinya sekaligus, kecuali dengan adanya resep (Alasan). Dan tidak mungkin memberikan resep, kecuali dengan menyusun diagnosanya terlebih dahulu. Dan tidak mungkin dibuatkan resep, kecuali dengan adanya kerelaan untuk sembuh. Oleh karena itu, maka penyakit inipun semakin menguat dan mengganas didalam diriku, kurang lebih selama dua bulan. Selama itu, aku menganut mazhab skeptimisme (kearaguan) akan hukum kondisi, dan bukan dengan hukum wicara dan dialogis. Sampai akhirnya Allah berkenan menyembuhkanku dari penyakit tersebut. Diriku kembali menjadi sehat dan sembuh. Kepastian logika kembali aku terima sebagai sebuah keyakinan yang aman dan mantap. Hal itu terjadi bukan dengan sebuah uraian dalil alasan dan kontruksi ilmu kalam, melainkan berkat rambatan cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt. di dalam dada. Cahaya inilah yang merupakan kunci segala pengetahuan. Maka barang siapa yang berfikir bahwa kasyaf [ketersingkapan] bergantung kepada dalil-dalil pembebasan, maka ia telah menyempitkan kasih Allah yang maha luas.
Tatkala ditanya tentang kata ‘syarh’ dan maknanya dalam firman Allah:
”Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah Swt. untuk diberikan petunjuk, niscaya dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam”. (Q.S. al-An‘am [6]: 125), Nabi Saw. bersabda:
“Itu adalah cahaya Tuhan yang dilemparkan oleh Allah ke dalam hati”. Lalu beliau ditanya lagi, “apa tandanya?” Nabi menjawab, ”Menyingkir dari dunia kepalsuan, dan bertaubat kembali ke rumah keabadian”. Setaraf dengan makna hadits ini, adalah sabda Nabi yang menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk didalam kegelapan, lalu Dia pancarkan cahaya-Nya pada mereka”.
Dengan bekal cahaya ini, seseorang harus mencari Kasyaf. Karena cahaya ini mengalir dari kemurahan Tuhan dalam beberapa kondisi, sehingga harus dilakukan pengamatan sebagaimana yang diisyaratkankan oleh Nabi Saw. dalam dalam sabdanya, “sesungguhnya dalam waktu hari-harimu, Tuhanmu mengalirkan kemurahan pemberian. Maka ingat-ingatlah, carilah kemurahan itu”.
Maksud dari hikayat cerita yang aku uraikan di atas adalah agar supaya kita bekerja dengan penuh keseriusan dalam kebaikan sehingga berakhir dengan memperoleh sesuatu yang tidak bisa dicari. Disiplin-disiplin terbatas bukanlah kebutuhan yang dicari, melainkan ia hadiah [karunia]. Dan sesuatu yang hadir jika dicari, maka ia akan menghilang. Dan barang siapa mencari hal yang tidak dicari, maka ia tidak akan mengenal kata menyerah dalam mencari sesuatu yang diharapkannya.
Dan ketika Allah menyembuhkanku dari penyakit ini dengan karunia dan anugerah-Nya yang luas, maka tergambar dalam benakku bahwa orang-orang yang mencarinya terkelompokan ke dalam empat bagian.
Mereka semua adalah orang-orang yang menelusuri jalan untuk meraih kebenaran. Jika pun tidak ada kebenaran dari keempat golongan ini, maka semangat untuk mencari kebenaran janganlah berhenti. Karena tidak ada gunanya kembali kepada taqlid (ikut-ikutan) setelah ditinggalkan sebelumnya. Karena termasuk syarat dianggap syahnya taqlid adalah ia tidak mengetahui kalau dia adalah seorang yang taqlid. Jika ia mengetahui dan menyadarinya, maka statusnya sebagai orang yang taqlid tidak dibenarkan lagi. Ia bagaikan seorang bangsa yang tidak berpemimpin. Keruwetan yang tidak bisa diatasi dengan talfiq dan ta‘lif, kecuali jika telah dilelehkan oleh api, dan dibentuk kembali dalam wujud bentuk yang baru.
Maka saya segera menyusuri semua jalan ini, dengan mendalami segala pemikiran masing-masing kelompok. Pertama-tama aku mendalami jalan ilmu Kalam, lalu Filsafat, kemudian jalan Batiniyyah, dan terakhir jalan Sufi.
Tujuan ilmu kalam adalah untuk menjaga aqidah Ahl as-Sunnah dan mempertahankannya dari gangguan ahli bid‘ah. Yaitu bahwa Allah telah memberikan kepada para hamba-Nya dengan melalui Rasul-Nya sebuah aqidah yang benar yang merangkum dunia dan agama mereka, sebagaimana yang difirmankan dalam Alquran dan disabdakan oleh Nabi. Namun, syetan juga telah menyebarkan kepada kalangan ahli bid‘ah, hal-hal yang bertentangan dengan sunnah, yang membuat mereka menggemari dan mendalaminya sehingga hampir menjadikan keraguan kepada para pemilik aqidah yang benar. Maka Allah pun menggerakkan kelompok Mutakallimin dan menggerakan motivasi-motivasi mereka untuk memenangkan sunnah dengan bahasa kalam yang sistematis, dan mengupas kerancuan-kerancuan ahli bid‘ah yang bertentangan dengan sunnah Nabawi. Dari sinilah awal mula pertumbuhan ilmu kalam dan para akarnya.
Diantara para pakar ilmu kalam, ada kelompok yang menjalankan tujuan yang telah digariskan oleh Allah. Mereka memelihara sunnah dan memperjuangkan aqidah yang diterima langsung dari kenabian Muhammad Saw. dari usaha rekayasa dan penyimpangan yang dilakukan oleh ahli bid‘ah.
Hanya saja mereka lebih berpegangan pada pendekatan yang diperoleh dari musuh mereka sendiri yang memaksa mereka untuk menerima hal itu, baik dengan cara taklid, kesepakatan ummat atau pun hanya sekedar menerima atas dasar Alquran dan Sunnah. Keterlibatan mereka yang sangat dominan dalam mengkaji kelemahan-kelemahan musuh dan menyalahkan atas konsekuensi-konsekuensi rumusan dan kesimpulan dari mereka, hanya akan memberikan manfaat yang sangat minim dalam mengajak orang yang belum masuk Islam. Kecuali hanya menawarkan sesuatu yang sudah pasti saja.
Dengan demikian pendekatan ilmu kalam menurut saya kurang mencukupi dan juga tidak efektif untuk mengobati penyakit yang saya derita.
Mungkin saja dengan tumbuhnya ilmu kalam, kuatnya intensitas pergumulan mereka, dan banyaknya materi yang didiskusikan, akan menjadikan para ahli kalam menggeser tujuan mereka dari hanya membela sunnah Nabawi kearah kajian hakikat segala sesuatu. Mereka lebih berkonsentrasi pada pergulatan mencari esensi, aksiden dan ketentuan-ketentuannya. Namun, ketika menyadari bahwa itu semua bukanlah merupakan misi dari ilmu mereka, maka kajian ilmu kalam mereka pun tidak mencapai tujuan yang maksimal. Mereka tidak memperoleh jawaban yang bisa mengikis kerancuan yang tengah berkecamuk dalam dinamika pergaulan makhluk. Dan hal itu pun diakui oleh orang-orang lainnya.
Bahkan aku tidak ragu sama sekali bahwa pencapaian kelompok lain pada hal ini hanya sekedar pencapaian dalam beberapa masalah. Bukan yang sangat prioritas utama yang kemudian telah tertulari oleh taqlid. Targetnya sekarang adalah menceritakan kondisiku dan bukan mengingkari orang yang ingin berobat dengannya. Sebab terapi penyembuhan amat beragam sesuai dangan penyakit yang dideritanya. Betapa banyak obat yang bermanfaat bagi sejumlah pasien, namun berakibat buruk bagi pasien lain.
2 . FILSAFAT
Adapun rangkuman ilmu Filsafat, ada yang tercela dan tidak tercela. Yang membuat kafir penganutnya dan yang tidak. Yang termasuk bid‘ah dan yang tidak. Yang diambil kalangan filsuf dari ahli ilmu kalam. Yang diramu Filsuf dari ahli kalam untuk menutupi kebatilan mereka. Strategi manusia agar tidak menerima kebenaran yang bercampur dengan kebatilan. Dan strategi menghasilkan kebenaran murni yang lepas dari kepalsuan dan kesamaran. Setelah mendalami secara tuntas ilmu kalam, aku mulai mengkaji ilmu Filsafat.
Aku mempunyai keyakinan bahwa tidak akan terungkap kebusukkan suatu ilmu, kecuali oleh orang yang sudah mendalaminya hingga sampai ke akar dasarnya. Sehingga ia mampu menyamai para pakar yang paling pintar dalam bidang ilmu tesebut, bahkan melebihi dan melampaui kemampuannya. Lalu ia mampu menelaah apa yang tidak bisa ditelaah oleh kalangan akademisi ilmu tersebut.
Dalam kondisi seperti itulah, kebusukkan yang ia duga pada sebelumnya merupakan suatu kenyataan. Namun sayangnya, tidak kulihat -sementara ini- adanya seorang ulama yang memberikan pengertian yang mendalam dan mengkaji pada hal tersebut.
Dan tidak ada dalam karya ilmiah kalangan ahli kalam, sebuah usaha yang menunjukan bantahan mereka pada pemikiran para Filsuf. Kecuali hanya beberapa ulasan yang rumit, terpisah-pisah, bertentangan, dan salah. Yang tidak akan dikira oleh kalangan orang awam sebagai sesuatu yang berasal dari kelompok orang yang mengaku diri mereka sebagai orang-orang yang mengkaji hakikat segala perkara.
Dari sini aku tersadarkan bahwa membantah sebuah pendapat sebelum mendalami dan menelaah kedalaman isinya terlebih dahulu, hanya akan seperti memanah di tengah kegelapan malam. Oleh karena itu, aku pun mencurahkan segala usaha dan jerih payah untuk mendalami dan menelaah ilmu tersebut dari karya para Filsuf, tanpa bantuan seorang guru. Aku melakukan hal tersebut pada saat-saat luangku di sela-sela kesibukan mengarang dan mengajar, dimana kala itu aku harus mengajar 300 santri di Baghdad.
Akhirnya, Allah menunjukan kepadaku -dengan usaha penelaahan di waktu-waktu senggang- pada puncak ilmu-ilmu mereka dalam waktu kurang dari dua tahun. Baru setelah faham, aku kemudian memikirkannya secara intensif selama kurang lebih satu tahun. Aku mengulang-ulangi dan menyelidiki jeram demi jeram kedalamannya sehingga akhirnya aku menemukan celah-celah tipuan dan kesalahan, serta realitas dan ilusi dalam disiplin ilmu tersebut sebagai sebuah hasil belajar dan penemuan yang tidak kuragukan lagi.
Maka, perhatikanlah sekarang kisah pengungkapan ilmu-ilmu mereka. Aku menyaksikan mereka terbagi dalam beberapa golongan dan ilmu mereka pun terbelah menjadi beberapa klasifikasi. Namun, mereka semua pantas di cap sebagai orang yang telah kafir dan menyimpang, meski ada perbedaan jarak yang besar antara angkatan lama dan baru, serta angkatan terakhir dan pemula, dalam segi jauh dan dekatnya mereka dalam segi kebenaran.
KLASIFIKASI FILSUF DAN TANDA KEKUFURAN MEREKA
Ketahuilah Meskipun terdapat banyak sekte dan mazhab dikalangan para filsuf, mereka dapat dibagi ke dalam tiga kelompok:
Pertama
Kelompok ad-Dahriyyun. Mereka adalah sekelompok filsuf angkatan pertama yang mengingkari Sang Pencipta, Sang Maha mengetahui . Mereka berpendapat bahwa dunia ada dengan sendirinya tanpa keterlibatan Pencipta. Binatang berasal dari sperma. Seperma binatang ada dalam tubuh mereka dengan sendirinya. Dan begitulah seterusnya. Mereka ini merupakan kaum zindiq.
Kedua,
Kelompok Tabi‘iyyun (KOSMOLOGI). Mereka adalah kalangan filsuf yang intensif melakukan pengkajian dan pEenelitian tentang dunia kosmos, serta keajaiban-keajaiban hewan dan tetumbuhan. Mereka juga banyak berkecimpung membedah dan mengamati anggota-anggota tubuh binatang. Dengan begitu mereka menyaksikan keajaiban Allah Swt. dan keindahan hikmah-Nya yang selanjutnya memaksa mereka harus mengakui adanya Sang Maha Kuasa dan Sang Maha Bijaksana, Yang mengetahui segala seluk-beluk segala sesuatu dan tujuan-tujuannya. Memang orang yang meneliti anatomi tubuh dan keajaiban fungsi anggota-anggota tubuh akan mendapatkan ‘ilm ad-daruri pada kesempurnaan rekayasa Sang Penyusun kontruksi hewan, lebih-lebih struktur tubuh manusia.
Hanya saja, karena sering banyaknya meneliti alam, timbul dalam diri mereka –dengan tujuan untuk menyeimbangkan rumusan komposisi organic- pengaruh yang besar dalam dalam memandang factor-faktor kekuatan binatang, maka mereka menduga bahwa daya rasional manusia pun mengikuti komposisi organiknya juga. Tidak akan ada daya rasional manusia, jika komposisi organiknya tidak sempurna. Dengan demikian – menurut sangkaan mereka- ketika komposisi-komposisi organiknya sudah hilang, maka tidak mungkin untuk terkembalikannya sesuatu yang sudah sirna. Sehingga mereka berpendapat bahwa jiwa itu akan mati dan tidak bisa dihidupkan kembali. Oleh karena itu, mereka mengingkari adanya Akhirat, Surga, Neraka, apel akbar di akhirat (mahsyar) dan pemberian catatan amal Hari kiamat, dan penghitungan (hisab). Bagi mereka, ketaatan tidak akan memberi pahala, begitu juga maksiat tidak memiliki konsekuensi siksa. Oleh karena itu, kendali nafsu mereka lepas, sehingga mereka memuaskan segala keinginannya layaknya binatang.
Kelompok ini juga bisa digolongkan ke dalam golongan zindiq, karena mereka mengingkari hari kiamat meskipun mengimani Allah dengan segala sifat-Nya. Padahal titik pusat keimanan adalah percaya pada Allah dan hari kiamat.
Ketiga
Kelompok Ilahiyyun (teis). Mereka adalah kalangan Filsuf generasi terakhir seperti Socrates dimana ia adalah guru dari Plato, dan Plato guru dari Aristotales. Aristotales-lah yang menyusun logika mereka dan mengkodifikasi ilmu-ilmu mereka, serta menuliskan hal-hal yang belum ditulis sebelumnya. Maka menjadi matanglah ilmu-ilmu mereka yang sebelumnya masih mentah.
Secara umum, kelompok ini membantah kedua kelompok di atas yaitu kaum dahriyyah dan tabi’iyyun, serta membeberkan kesalahan-kesalahan mereka sehingga lawan-lawan mereka tidak perlu lagi memerangi mereka. Aristoteles bahkan melakukan counter produktif atas Sokrates dan Plato, serta Filsuf-filsuf teis sebelumnya sebagai bentuk counter yang melepaskan dirinya dari mereka semua. Meski begitu, kalangan filsuf Ilahiyyin tetap menyimpan sisa-sisa kekafiran dan bid‘ah mereka yang tidak bisa dicabut lagi. Sehingga mereka semua wajib dikafirkan, begitu juga dengan para pengikut mereka dari kalangan filsuf Islam seperti Ibn Sina dan al-Farabi.
Tidak ada satu pun filsuf Islam yang telah berusaha secara maksimal dalam mentransformasikan ilmu Aristotales, setaraf yang telah dilakukan oleh keduanya. Bahkan transsformasi ilmu yang telah dilakukan oleh selain keduanya terkesan rancu dan mengaburkan hati para pengkajinya, sehingga malah tidak bisa difahami. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak bisa difahami bisa dibantah atau diterima?.
Secara global, khasanah filsafat Aristoteles yang sahih menurut kami, sebatas nukilan kedua filsuf di atas, terangkum dalam tiga bagian:
1-Bagian yang harus dikafirkan
2-Bagian yang wajib dibid‘ahkan
3-Bagian yang sebenarnya tidak wajib diingkari.
KATAGORI ILMU-ILMU FILSAFAT
Ketahuilah bahwa disiplin ilmu filsafat, ditinjau dari tujuan dan misi yang kita maksudkan, ada 6 bagian: matematika, logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, politik, dan etika.
1. Disiplin Matematika
Disiplin ini terkait dengan ilmu hitung, teknik, dan epistemology ilmu. Ia sama sekali tidak berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, baik menafikanya atau pun meneguhkanya. Ia hanya teori argumentasi yang tidak ada jalan untuk membantahnya setelah memahami dan mengetahuin.Disiplin ilmu ini telah menghasilkan dua bahaya.
Bahaya pertama, barang siapa yang melihatnya, ia akan takjub terhadap ketelitian dan kejelasan teori argumentasi-argumentasinya, sehingga akan semakin mempertajam keyakinan dan kepercayaan kepada disiplin ilmu filsafat. Dan juga membentuk sebuah aggapan bahwa seluruh disiplin ilmu mereka, akan sejelas dan sekuat argumentasi mereka seperti dalam disiplin ini. Dan jika pun ia mendengar kekafiran para praktisinya , pelalaian dan pelecehan mereka atas syari‘at agama dari mulut ke mulut, ia pun akan ikut-ikutan kafir sambil menepis:
“jika memang agama yang benar, niscaya agama tak luput dari ketelitian mereka dengan segenap ketelitian yang mereka tunjukan dalam disiplin ilmu ini!”. Sehingga, jika diketahui kabar kekafiran dan keingkaran mereka, Orang akan berdalih bahwa yang benar adalah penafian dan pengingkaran atas agama.
Betapa banyak kulihat orang yang tersesat dari kebenaran dengan modus seperti ini. Jika dikatakan kepada mereka bahwa orang yang pintar dalam suatu keterampilan tertentu, ia belum tentu menguasai segala bidang. Misalnya orang yang pintar dalam ilmu fiqih dan ilmu kalam belum tentu pintar dalam disiplin kedokteran. Begitu juga orang yang tidak mengetahui disiplin logika belum tentu ia tidak tahu masalah ilmu Nahwhu. Akan tetapi, setiap bidang keterampilan mempunyai ahlinya sendiri-sendiri yang mencapai tingkatan kehebatan dan kapabilitas tertentu, meski ia mungkin saja tidak mengetehui sama sekali bidang ilmu lain. Pernyataan para filsuf terdahulu dalam masalah matematika memang argumentative dan jelas, akan tetapi pernyataan mereka dalam masalah ketuhanan adalah samar dan dan tidak jelas.
Hal ini tidak akan diketahui kecuali oleh orang-orang yang telah mencoba dan menyelaminya lebih dalam. Jika hal tersebut dikemukakan kepada orang yang bersikap taklid seperti yang telah dikatakan, maka tetap saja mereka tidak akan menerima. Mereka akan lebih dikendalikan oleh hawa nafsu dan syahwat kepahlawanan, serta lebih cenderung menganggap lebih baik pada kalangan filsuf kafir dalam semua disiplin ilmunya.
Ini merupakan petaka besar yang harus segera dibendung oleh setiap orang yang menyelami disiplin-disiplin ilmu ini, meskipun disiplin ilmu tersebut tidak ada kaitannya dengan masalah agama. Namun jika prinsi-prinsip dasar ilmu mereka ini mengalirkan kesesatan dan kejelekan, maka sedikit saja kejelekan terkena pada orang yang menggeluti disiplin ilmu ini akan berakibat tercerabut dari ajaran agamanya dan akan terlepas pula ikatan ketaqwaannya.
Bahaya kedua, akan muncul orang bodoh dari golongan konservatif islam . Orang seperti ini menduga bahwa agama sebaiknya mengingkari setiap ilmu yang dinisbatkan pada setiap kalangan ahli disiplin ini. Maka ia pun lalu mengingkari seluruh disiplin ilmu mereka bahkan menuduh merek sebagai bodoh. Sehingga ia juga mengingkari pendapat dan pemikiran mereka dalam bidang gerhana matahari dan gerhana bulan. Dengan keyakinan bahwa setiap statemen yang mereka katakan adalah bertentangan dengan syari‘at.
Maka jika saja hal ini( Pandangan konservatif kalangan islam) dikemukakan dihadapan orang yang sudah mengetahui disiplin ini dengan argumentasi yang kuat dan mapan, mereka malah akan semakin berkeyakinan bahwa Islam dibangun diatas kebodohan dan pengingkaran argumentasi, sehingga dengan demikian filsafat akan semakin dicintainya dan Islam malah akan semakin dibencinya.
Lebih bahaya lagi, agama juga telah dinodai oleh orang yang beranggapan bahwa Islam mengingkari ilmu-ilmu ini, dan bahwa syari‘at juga tidak menyinggung ilmu ini sama sekali, baik menafikan ataupun membenarkan. Begitu juga ilmu-ilmu ini tidak menyinggung dan berhubungan dengan masalah agama. Padahal Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan mengandung dua tanda-tanda pengingat Allah. Keduanya tidak tenggelam oleh kematian ataupun kehidupan seseorang. Maka jika kamu melihat hal itu, bersegeralah mengingat Allah dan melaksanakan shalat”.
Namun hal ini tidak berarti mengingkari ilmu hitung yang dikenal dengan nama rotasi matahari dan bulan, berkumpul dan sejajar-nya. Bahkan sabda Rasulullah saw., “Akan tetapi Allah jika memperlihatkan diri pada sesuatu, maka sesuatu itu akan tunduk padanya”. Maka tidak juga didapat dalih lain yang mengingkari ilmu hisab dalam kitab-kitab yang sahih. Demikianlah hukum disiplin Matematika dan bahaya yang ditimbulkannya.
2. Disiplin Logika
Disiplin ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, baik dalam bentuk negasi maupun justifikasi. Disiplin ini hanya merupakan penalaran atas cara-cara pembuktian dan parameter, syarat-syarat validitas premis dan cara menyusunnya, serta syarat-syarat batasan yang benar dan bagaimana menyusunnya. Sebuah disiplin ilmu memang mempunyai dua kemungkinan jalan pengetahuan dan jalan pembenarannya. batasan eksekutor atau argumentasi. Tidak ada hal dalam disiplin logika ini yang harus diingkari. Ia merupakan jenis yang dimasukan oleh kaum mutakallimin dan para pakar teoritik ke dalam bagian argumentasi-argumentasi. Yang membedakan mereka hanya ungkapan dan istilah saja, serta tambahan rumusan pada definisi-definisi dan pemilahannya.
Contoh pendapat mereka adalah: jika ditetapkan bahwa A bagian dari B, maka semestinya B bagian dari A. Atau dengan kata lain, jika setiap manusia adalah hewan, maka semestinya beberapa hewan adalah manusia. Kesimpulan ini mereka ungkapkan dalam bentuk bahwa konsekuensi Universal mencerminkan konsekuensi parsial.
Jadi, apa hubungannya disiplin ini dengan tugas-tugas keagamaan sehingga ia harus diingkari? Bahkan jika disiplin ini diingkari, maka pengingkaranya hanya akan membentuk persepsi buruk dihadapan diri para akademisi logika terhadap nalar para pengingkarnya. Bahkan bisa pada agama si pengingkar yang menjadi acuannya dalam mendukung pengingkaran ini.
Memang, ada bentuk noda dalam disiplin ilmu ini. Yaitu ketika mereka mengumpulkan syarat-syarat sebuah argumen yang diketahui akan melahirkan keyakinan yang tiada diragukan lagi. Namun begitu mencapai kesimpulan akhir pada maksud-maksud keagamaan mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat tersebut, bahkan mereka malah sangat meremehkannya. Padahal masih terbuka kemungkinan bahwa bagi orang yang mendalami logika, ia akan menganggapnya baik-baik saja dan jelas, sehingga terbentuk sebuah dugaan bahwa apa yang dinukil mereka dari wacana kekafiran memang didukung dengan argumentasi-argumentasi seperti ini. Maka orang inipun akan segera kafir sebelum sampai pada penghujung disiplin ilmu-ilmu ketuhanan.
Demkianlah Bahaya yang menyusup ke dalam disiplin ilmu logika ini.
3. Disiplin Alam (Tab‘iyyat)
Adalah disiplin yang membahas alam langit, planet, dan apa yang di bawahnya berupa materi tunggal, seperti: air, udara, debu, dan tanah, serta materi komplek, seperti: hewan, tumbuhan, dan barang tambang. Disiplin ini juga membahas sebab-sebab perubahannya, pemuaian dan kombinasinya. Hal itu seperti diagnosa seorang dokter pada tubuh manusia, anggota-anggota badan yang utama dan penunjang, serta sebab-sebab perubahan karakternya.
Sebagaimana agama tidak mengingkari disiplin kedokteran, maka ia juga tidak mengingkari dan tidak menolak disiplin ini. Kecuali beberapa masalah tertentu yang kami ulas di dalam kitab ‘Tahafut al-Falasifah’ (kerancuan para filsuf). Disamping beberapa hal lain yang harus dibantah jika dicermati dengan lebih seksama. Kesimpulannya, bahwa alam dibawah kendali dan kuasa Allah. Alam tidak bekerja dengan sendirinya, melainkan menggunakan tangan Pencipta dan Pengendalinya. Matahari, planet, bulan, bintang, dan galaksi-galaksi alam lainnya, semua berjalan di atas titah-Nya. Bukan bekerja dengan kekuatanya sendiri.
4. Disiplin Ketuhanan (Ilahiyyat)
Di sinilah para filsuf banyak yang tersesat dalam kubangan kesalahan dan kekeliruan. Mereka tidak mampu memenuhi argumentasi-argumentasi yang mereka syaratkan sendiri dalam ilmu logika. Karena itulah di kalangan mereka sendiri banyak sekali perdebatan dan perbedaan pendapat dalam disiplin ini. Dalam sekup ketuhaAnan, mazhab Aristoteles dekat dengan mazhab-mazhab kalangan Islam, seperti yang dikutip oleh al-Farabi dan Ibn Sina.
Rangkuman kekeliruan mereka dalam disiplin ini dibagi menjadi 20 prinsip masalah yang kami susun dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Tiga diantarnya menyebabkan mereka harus dikafirkan, 17 harus dibid‘ahkan dan mazhab mereka juga harus digugurkan. Dan untuk membantah pemikiran mereka dalam 20 permasalahan ini, kami telah menyusun kitab Tahafut al-Falasifah.
Adapun tiga masalah yang bertentangan dengan pokok-pokok keimanan umat Islam adalah pendapat mereka sebagai berikut:
a. Jasad (pada hari kiamat) tidak dikumpulkan di Mahsyar. Karena yang menerima pahala dan siksa hanyalah ruh tanpa jasad. Sebab ganjaran pahala dan siksa adalah soal ruhaniah dan bukan jasmaniyah fisik.
Mereka benar ketika menetapkan ruhaniah sebuah sesuatu yang nyata. Mereka salah besar ketika mengingkari jasmaniah fisikal. Mereka telah mengingkari ( Kufur ) syariat dengan pernyataan ini.
b. Allah hanya mengetahui masalah Universal makro, tanpa mengetahui masalah Parsial mikro. Ini jelas-jelas bentuk sebuah kekafiran. Yang benar adalah bahwa,
“Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan di bumi” (Q.S. Saba‘ [34]:3).
c. Juga pendapat mereka tentang terdahulunya alam( bukan baru) dan azalinya alam. Tidak ada satu pun orang Islam yang berpendapat demikian, sehingga mereka bisa dikatakan telah kafir dengan pendapat seperti ini.
Adapun masalah-masalah selain mengenai pendapat ini, seperti pengingkaran mereka akan sifat-sifat zat Allah, juga pendapat mereka bahwa Allah Maha Tahu tentang esensi-esensi tapi bukan dengan pengetahuan surplus (‘ilm zaid); serta pendapat-pendapat serupa, maka dalam hal ini mereka lebih dekat dengan mazhab Mu‘tazilah. Mereka tidak wajib dikafirkan seperti dikafirkannya kelompok Mu‘tazilah. Dalam kitab ‘Faisol at-Tafriqah bayna al-Islam wa az-Zanadiqah’ (Memilah perbedaan antara Islam dan Zindiq), kami telah menjelaskan kesalahan dan kebobrokan pendapat orang yang terlalu buru-buru dan serampangan mengkafirkan setiap mazhab dan pendapat yang berbeda dengan mereka.
5. Disiplin Politik (Siyasiyyat)
Semua pendapat kalangan filsuf dalam tema ini, merujuk pada hukum-hukum kebaikan umum yang berkaitan dengan masalah-masalah keduniaan dan kewenangan kekuasaan. Bahkan mereka mengambilnya juga dari kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi, serta rumusan-rumusan dari kaum salaf penerus para Nabi.
6. Disiplin Etika (Khuluqiyyat)
Maka semua pendapat mereka dalam tema ini merujuk pada pembatasan sifat-sifat diri dan etikanya. Penjelasan jenis-jenis dan macamnya, serta bagaimana mengatasi dan melatihnya. Dalam hal ini, mereka lebih merujuk pada rumusan-rumusan kaum Sufi yang telah beribadah dan giat mengingat Allah, menentang hawa nafsu, dan meniti jalan menuju Allah dengan berpaling dari segala kesenangan dunia.
Dalam bermujahadah melatih diri, kaum sufi telah menyingkap etika diri, celah-celah bahaya nafsu, dan menyadari bahaya menuruti hawa nafsu. Dalam hal ini, kalangan filsuf mengambilnya untuk kemudian mengakomodasikan dengan pendapat mereka sendiri sebagai bentuk penghiasan diri dalam rangka menyebar luaskan kebatilan pemikiran ini.
Pada masa mereka, bahkan disetiap masa, memang akan selalu ada kelompok penyembah Tuhan. Allah tidak akan mengkosongkan dunia dari para penyembahnya. Mereka adalah pasak-pasak bumi. Berkat mereka rahmat-Nya turun pada penduduk bumi, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. yang berbunyi:
“Karena mereka kamu sekalian dikaruniai hujan, dan karena mereka kamu sekalian dianugerahi rizki Diantara kalangan ini adalah Ashab al-Kahf”.
Seiring dengan jalanya waktu, sebagaimana penuturan Alquran, pengakomodasian yang dilakukan oleh kalangan filsuf dari prinsip kenabian dan prinsip kesufian dalam karya-karya mereka telah melahirkan dua bahaya besar. Bahaya bagi yang menerima dan bahaya bagi yang menolak.
1.Bahaya bagi yang menolak, cukup sangat dahsyat.
Kaum lemah akal akan tetap bersikap menganggap buruk. Dengan berkeyakinan bahwa prinsip yang termaktub dalam kita-kitab mereka dan yang tercampuri noda kebatilan mereka, harus ditinggalkan dan tidak disebut. Bahkan kalangan lemah akal ini juga mengingkari setiap orang yang menyebutnya. Ketika mereka mendengarnya pertama kali, yang mula-mula hadir dalam akal lemah mereka adalah bahwa hal itu batil dan yang mengucapkanya pun batil. Misalnya ketika si lemah akal mendengar seorang Nasrani mengatakan:
“Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah utusan Allah”. Maka mereka akan langsung mengingkarinya sambil mengatakan: “ Ini adalah kata-kata orang nasrani”. Mereka tidak pernah sedikit pun merenung dan berfikir bahwa orang Nasrani ini hanya kafir karena ucapan ini, atau dengan mengingkari kenabian Muhammad Saw. yang mereka lihat bahwa statemen itu diucapkan oleh orang Nasrani dan karenanya pasti salah dan harus dimunkarkan tanpa melihat kebenaran ucapan mereka. Inilah kebiasaan orang-ornang lemah akal yang mendefinisikan kebenaran berdasarkan orang, bukan berdasarkan atas kebenaran itu sendiri. Seorang yang berakal akan mengikuti nasehat yang disampaikan oleh Amir al-Mu‘minin ‘Ali bin Abi Thalib ra., ‘Jangan pandang kebenaran berdasarkan orang, tapi ketahuilah kebenaran dangan kebenaran itu sendiri niscaya akan kamu ketahui pemiliknya.
Seorang yang berakal akan menganggap kebenaran sebagai sebuah kebenaran, baik yang mengucapkannya orang yang batil maupun orang yang lurus, bahkan mungkin ia akan bersemangat menjemput kebenaran dari kata-kata orang sesat dengan asumsi bahwa emas yang keluar dari dubur hewan kotor sekalipun tetaplah emas. Seorang tukang emas tidak akan segan-segan memasukan tangannya ke dalam plastik milik tukang sepuh emas dan mengabil emas murni di antara yang palsu dan imitasi, setelah yakin dengan pandangannya. Ia hanya tidak mau berurusan dengan tukang sepuh emas desa tanpa menelitinya terlebih dahulu; ia tidak mau menyeberangi lautan yang dalam, kecuali ia adalah perenang yang hebat; dan menolak menangkap anak ular, kecuali ia mengetahui mantera yang hebat.
Ketika dugaan telah menguasai kebanyakan makhluk bahwa mereka mempunyai kehebatan, kepintaran, kesempurnaan akal dan kelengkapan alat untuk membedakan kebenaran dan kebatilan, yang lurus dan yang sesat, maka dibutuhkan satu bab khusus untuk menghalau mereka semua dari menelaah kitb-kitab kalangan sesat sedapat mungkin. Karena mereka tidak akan selamat dari bahaya kedua yang akan kami sebutkan, meskipun mereka telah selamat dari bahaya pertama.
Muncul penolakan atas beberapa kalimat yang termuat dalam kitab-kitab kami tentang rahasia ilmu-ilmu agama dari sekelompok orang yang belum kuat hati mereka dalam disiplin keilmuan dan belum terbuka juga mata hati mereka akan puncak mazhab-mazhab. Mereka menuduh bahwa beberapa kalimat tersebut adalah pernyataan orang-orang terdahulu , dimana sebagian kalimat itu, menurut mereka, muncul dari ‘daerah bahaya’ yang akan memperosokan seorang penggali ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Padahal beberapa kalimat itu juga terdapat dalam kitab-kitab syari‘at, bahkan banyak pula ditemukan maknanya dalam kitab-kitab sufisme. Atau taruhlah hal itu tidak ada kecuali hanya dalam kitab-kitab orang-orang kuno.
Maka jika memang pernyataan tersebut masuk akal, bahkan didukung pula dengan argumentasi serta tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, maka ia pun tidak perlu dihindari dan ditinggalkan. Jika kita meninggalkan setiap kebenaran yang telah dikeluarkan oleh orang yang bahaya dan batil, niscaya kita akan menelantarkan banyak sekali kebenaran. Kita terpaksa juga harus meninggalkan beberapa ayat Alquran, sabda-sabda Nabi dan nasehat-nasehat kaum salaf, serta kata-kata hikmah dari kaum waskita dan sufi, hanya dikarenakan penulis kitab ‘ikhwan as-safa’ telah mencantumkan dan berargumentasi dengan menggunakan pernyataan-pernyataan para ulama pendahulu tersebut untuk menarik hati orang-orang yang bodoh agar mengikuti kebatilan mereka. Derajat ‘Alim (Orang berilmu) yang paling rendah ialah ia mampu membedakan dirinya dengan orang awam yang berpengalaman sama sekali.
Madu tidak akan busuk meski berada di dalam gelas pembekaman, karena terbukti pembekaman tidak akan merubah esensi madu. Penolakan tabi‘at atas madu tersebut hanya didasarkan pada kebodohan orang awam karena ia berasumsi bahwa gelas pembekaman dipakai untuk wadah darah yang kotor. Ia pikir bahwa darah menjadi kotor karena berada dalam gelas pembekaman, padahal darah itu kotor dengan sendirinya dikarenakan adanya sifat dalam zatnya. Maka jika sifat ini tidak ada dalam madu tersebut, maka adanya madu di dalam alat pembekaman tidak berarti madu memiliki sifat tersebut. Sehingga madu tidak boleh begitu saja dianggap kotor.Cara pikir sembrono yang menganggap kotor madu dalam gelas pembekaman adalah sangkaan yang batil meskipun mendominasi pemikiran kebanyakan orang.
Mereka akan menerima begitu saja setiap perkataan yang disandarkan pada orang yang mereka pandang baik akidah keyakinan mereka, meskipun perkataannya batil. Dan mereka akan menolak mentah-mentah setiap perkataan orang yang mereka anggap sesat keyakinannya, sebenar apa pun perkataan mereka. Mereka selamanya memandang kebenaran pada pribadi pengucapnya, bukan pada inti kebenaran itu sendiri. Ini jelas-jelas sangat batil. Dan demikianlah bahaya atas orang yang menolak.
2.Adapun bahaya bagi yang menerima adalah
Bahwa orang yang menelaah kitab mereka, misalnya kitab-kitab Ikhwan as-Safa dan yang lainnya. Begitu melihat kombinasi bagus pendapat mereka dengan kata-kata nasehat nubuwwah (kenabian) dan sufisme, mereka akan langsung tergerak untuk menganggapnya baik dan mengokohkan keyakinannya pada mereka. Mereka akan cepat-cepat menerima kebatilan kombinasi mereka hanya karena sangkaan baik yang dihasilkan dari apa yang telah ia lihat dan anggap baik. Ini merupakan bentuk penggiringan pada kebatilan.
Dalam rangka mengantisipasi bahaya ini, harus dilakukan pelarangan untuk menelaah kitab-kitab kaum filsuf kombinatif ini karena kandungan bahaya dan kesalahan didalamnya. Sebagaimana keharusan mencegah orang yang tidak bisa berenang untuk meloncat ke sungai, maka wajib pula mencegah orang-orang untuk menelaah kitab-kitab berbahaya tersebut. Juga sebagaimana kewajiban menjaga anak kecil dari gigitan ular, maka menjadi wajib pula menjaga pendengaran dari campur-aduk kata-kata mereka. Dan sebagaimana kewajiban seorang pawang ular untuk tidak membawa ularnya di hadapan anaknya yang masih kecil. Jika ia tahu betul bahwa anaknya yang masih kecil itu akan mendekati ular itu karena menyangka dirinya kebal seperti bapaknya, bahkan ia malah wajib memperingatkannya dengan memperingatkan dirinya terlebih dahulu untuk tidak mempermainkan ular di hadapan anak kecil. Maka wajib pula bagi alim ulama untuk melakukan hal yang sama. Begitu juga sebagaimana seorang pawang ular yang pintar, ketika mengambil ular, ia akan bisa membedakan antara racun ular dan penangkalnya, maka diambilnya penangkal racun dan dibuangnya bisa ular tersebut. Ia pun tidak boleh kikir dengan penangkal racun bagi orang yang sangat membutuhkannya.
Sama juga dengan seorang tukang emas, ketika ia memasukkan tangannya ke dalam kantong sepuhan, lalu ia mengambil yang murni dan membuang yang sepuhan dan imitasi. Maka ia juga tidak boleh kikir untuk membagi emas yang baik bagi orang yang membutuhkannya. Maka begitu pun juga seorang ulama.
Sama halnya, ketika seorang yang membutuhkan penangkal racun merasa jijik, karena ia tahu bahwa penangkal itu dihasilkan dari ular yang merupakan sumber racun, maka si pawang wajib memberi tahu. Begitu juga seorang fakir miskin, mungkin ia akan menolak menerima emas yang dikeluarkan dari kantong sepuhan, karena ia pikir itu hanya emas imitasi, maka si tukang emas harus memperingatkan bahwa penolakannya adalah sebuah kebodohan dan ini adalah sebab tidakdapatnya akan manfaat yang sebenarnya ia butuhkan. Harus diberitahukan juga kedekatan tempat emas dengan yang imitasi tidak berarti lantas menjadikan emas murni tersebut menjadi imitasi dan yang imitasi menjadi murni.
Maka demikian juga kedekatan tempat antara kebenaran dan kebatilan, tidak akan menjadikan kebenaran menjadi batil dan kebatilan menjadi benar.
Demikianlah bahaya filsafat dan belenggunya sebatas yang kami kemukakan.
ALIRAN BATINIYYAH DAN BAHAYA-BAHAYANYA
Setelah menyelesaikan penelaahan ilmu filsafat, mendalami dan membedakan kepalsuan-kepalsuan yang ada. Aku masih saja belum cukup meraih targetku. Akal memang tidak akan mampu menutupi seluruh tuntutan kebutuhan dan tidak akan bisa juga membuka seluruh tabir permasalahan.
Saat itu ramai sekali pembicaraan aliran Ta‘limiyyah. Para penyebarnya menyebar di tengah-tengah umat dan menceramahi mereka tentang pengetahuan makna tema penting dari Imam Ma‘sum sang penegak kebenaran. Aku mendapat tugas untuk meneliti pemikiran-pemikiran mereka dengan mengacu pada kitab-kitab mereka. Kemudian dengan titah khalifah, aku menyanggupi juga untuk menyusun sebuah kitab yang mengupas dan menjelaskan seluk-beluk mazhab Ta‘limiyyah ini. Aku sama sekali tidak kuasa menolaknya, walaupun hal itu ada dorongan luar untuk melakukanya namun juga ada motivasi dalam batin pribadiku. Aku mulai mencari kitab-kitab mereka dan mengumpulkan pemikiran-pemikiran mereka. Dan aku telah mengetahui beberapa pernyataan terbaru mereka yang diberikan oleh para pemikir baru mereka, yang bukan merupakan metode dari para pendahulu dan tokoh-tokoh mereka. Aku kemudian mengurutkannya secara sistematis dengan rapi dan perbandingannya. Aku menjawab semua pertanyaan ini secara mendetail sehingga beberapa orang dari kalangan ahl al-haqq memperingati akan keberanianku dalam menetapkan argumentasi mereka. Mereka bilang, “Ini adalah kemenangan mereka. Mereka sebenarnya tidak mampu mempertahankn mazhab mereka dengan segala kerancuan yang ada, kalau bukan karena penyelidikan dan sekematis Anda atas mazhab tersebut”.
Tantangan ini memang benar adanya. Imam Ahmad Ibn Hambal pernah menegur dan menentang karya al-Haris al-Muhasibi dalam membantah Mu‘tazilah. “membantah bid‘ah adalah kewajiban!” kata al-Haris. “benar, tetapi anda mengurai kerancuan mereka terlebih dahulu, kemudian baru membantah dan menjawabnya. Apa Anda berani menjamin? bahwa orang yang membaca tidak malah akan tertarik dengan kerancuan tersebut dan malah tidak melihat serta memperhatikan sama sekal jawaban dan bantahan Anda, sementara mereka tidak memahami intinya.
Apa yang disebut oleh Imam Ahmad memang benar adanya, tetapi hanya untuk kasus kerancuan yang belum tersebar dan terkenal di kalangan umum. Adapun kerancuan yang sudah terlanjur menyebar, maka menjawab dan membantahnya merupakan kewajiban dan tidak mungkin pula membantahnya tanpa memaparkan terlebih dahulu.
Memang, seharusnya kita tidak perlu repot-repot membeberkanya. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud demikian, hanya saja aku mendengar tentang kerancuan-kerancuan tersebut dari salah seorang kawan yang sering berkunjung ke rumahku. Ia masuk ke dalam organisasi mereka dan menyerap pemikiran mazhab mereka. Ia menceritakan bahwa mereka mengolok-olok dan mentertawakan karangan beberapa penulis yang berisi bantahan atas mazhab mereka karena para penulis memahami betul argumentasi mereka. Si kawan itu pun lebih lanjut menguraikan argumentasi-argumentasi yang mereka kemukakan. Maka aku pun tidak ingin diriku disebut lalai pada objek keaslian argumentasi mereka. Karena itulah, aku kemudian berinisiatif menyertakannya juga. Aku tidak ingin pula dikatakan belum memahami argumentasi tersebut meski telah mendengarnya, sehingga kuputuskan juga untuk menyelidiki argumentasi mereka.
Misi dan target yang ingin kucapai dengan menyelidiki kerancuan mereka kemudian memunculkan ketidak validan argumen mereka dengan argumentasi yang mencukupi.
Hasilnya, pada kenyataan hal itu tidak menunjukan hasil positf bagi mereka atau menjadi perdebatan yang berkepanjanagan bagi mereka. Dan kalau saja tidak ada pembelaan beberapa kawan yang bodoh, niscaya bid‘ah tersebut sudah tamat riwayatnya dengan segala kelemahan mereka pada lefel ini. Sayang, kerasnya fanatisme telah membawa orang-orang menjadi tercerabut dari kebenaran, untuk memperpanjang konflik dengan mereka pada setiap pembicaraan mereka, dan mendebat segala yang mereka ucapkan. Mereka bahkan mendebat pengakuan mereka, “kebutuhan pada pengajaran dan pengajar”, serta “tidak semua pengajar baik. Kerena itu yang dibutuhkan adalah seorang pengajar ma‘sum”.
Maka yang terjadi kemudian, argumentasi mereka pun malah semakin populer dan menguat, karena relitanya memang kita semua membutuhkan pengajaran dan pengajar. Sementara itu, jawaban para pengingkarnya semakin melemah dalam menghadapi mereka. Hal demikian, membuat aliran ini pun semakin bangga diri sambil menyangka bahwa hal itu dikarenakan kekuatan mazhab mereka. Dan kelemahan mazhab kalangan yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa hal itu lebih disebabkan karena kelemahan para pembela kebenaran dan kebodohan mereka akan metodologi yang tepat.
Memang kita harus mengakui bahwa kita semua membutuhkan seorang pengajar agung, dan pengajar ini jelas haruslah seorang ma‘sum yang bebas dari salah dan dosa. Namun sang pengajar ma‘sum kita adalah Muhammad Saw. dan ketika mereka mengatakan, “tapi kan beliau sudah meninggal”, kita bisa membalas mereka, “pengajar anda juga menghilang”. Kemudian jika mereka berargumentasi lagi, “tapi pengajar kami telah mengajar para da‘i dan menyebarkannya di seluruh pelosok negeri. Dia hanya menunggu mereka akan merujuknya saat terjadi perbedaan diantara mereka atau ada masalah penting yang menimpa mereka”, bisa kita katakan juga pada mereka, “Pengajar kami juga telah mendidik para da‘i dan menyebarkan mereka ke seluruh pelosok negeri, bahkan telah menyempurnakan ajarannya sebagaimana firman Allah,
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu”. (Q.S. al-Midah[5]: 3).
setelah sempurnanya ajaran, maka tidak akan menjadi mudarat lagi kematian atau ketiadaan sang Pengajar”.
Jika mereka bertanya, “Bagaimana kalian menghukumi sesuatu yang belum kalian dengar? Apa dengan dalil yang belum pernah kalian dengar juga, ataukah dengan cara ijtihad dan penalaran yang merupakan wadah sangkaan perbedaan pendapat?”, kita akan jawab, “kami akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Mu‘az Ibn Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah Saw. ke Yaman. Dia menghukumi dengan nass [dalil hukum dari Alquran dan Sunnah Nabi] jika memang ada nas, dan dengan berijtihad disaat tidak ada dalil. Bahkan kita juga meniru tindakan para pendakwah mereka ( kaum batiniyyah ), ketika mereka jauh dari sang Imam diujung negri, sehingga mereka tidak mungkin menghukumi dengan nass. Padahal dalil-dalil yang saling berjauhan tidak akan menyerap realitas lain yang saling berjauhan. Tidak mungkin pula melaporkan setiap peristiwa dan kejadian pada negeri si Imam, atau menempuh perjalanan jauh ke sana dan kembali hingga si peminta fatwa telah meninggal. Dan kembalinya mereka pun menjadi tiada arti. Begitu juga orang yang susah menentukan arah kiblat, maka tidak ada cara lain baginya untuk melaksanakan shalat kecuali dengan berijtihad. Jika ia pergi ke negeri sang Imam hanya untuk mengetahui arah kiblat, tentunya waktu shalat sudah akan berlalu.
“Jadi boleh shalat dengan tanpa menghadap kiblat dan lebih hanya berdasarkan sangkaan semata?” Jika dikatakan demikian, maka kita akan menjawab, “sesungguhnya orang yang salah dalam ijtihadnya memperoleh satu pahala dan dua pahala bagi yang benar”. Begitu pula dalam seluruh bidang ijtihad. Masalah penyaluran zakat pada fakir miskin misalnya. Mungkin si pemberi zakat menyangka si fakir dengan ijtihadnya sebagai orang kaya yang berhaluan batini yang suka menyembunyikan hartanya. Maka kalau pun salah, ia tetap tidak berdosa, sebab seperti orang yang berijtihad menentukan kiblat, ia mengikuti sangkaan dirinya meskipun harus berbeda dengan orang lain”.
Jika ia mempertahankan, “Di sini, seorang pengikut mazhab mengikuti siapa? Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‘i –semoga Allah mengasihi keduanya- ataukah Imam yang lainnya.?” Maka akan saya jawab, “Seorang pengikut mazhab dalam menentukan arah kiblat berada dalam posisi yang sama. Artinya, kepada imam yang mana pun ia bisa mengikutinya,” “tapi jika para mujtahid tersebut berbeda pendapat dalam hal itu, apa yang akan ia perbuat?.” Akan aku jawab, “Ia bisa berijtihad untuk mengetahui mana yang lebih utama dan lebih tahu akan dalil-dalil kiblat, maka dia bisa mengikuti ijtihad tersebut. Begitu juga dalam berbagai pendapat mazhab lainnya”.
Pengembalian masalah manusia pada ijtihad merupakan hal darurat bagi para Nabi dan Imam, dan mereka sadar juga bahwa kadang mereka bersalah. Nabi Saw. misalnya pernah bersabda:
“Aku hanya menghukumi dengan dzohirnya dan Allah-lah yang mengurusi rahasia-rahasianya”.
Dengan bahasa lain, Nabi ingin mengatakan bahwa, “aku menghukumi dengan dugaan yang dihasilkan dari ucapan para saksi, sehingga mungkin saja aku keliru”.
Tidak ada jaminan bebas dari kekeliruan pada diri para Nabi dalam masalah-masalah ijtihad seperti ini, lalu bagaimana kita akan berbuat lebih dari itu?.
Dalam hal ini, mereka (kaum batiniyyah) mempunyai dua pertanyaan penting.
Pertama
“diperkenankan ijtihad pada masalah-masalah yang boleh diijtihadkan (obyek ijtihad ), tetapi tidak dalam masalah keyakinan (aqaid). Sebab jika salah, maka ia tidak terampuni. Lalu bagaimana caranya?”.
Jawab saya, “Kaidah-kaidah akidah sudah tercakup dalam Alquran, sunnah serta dan uraian terinci di belakang keduanya. Hal-hal yang dipertentangkan di sini bisa diketahui kebenarannya dengan cara menimbangnya dengan timbangan yang lurus (al-qistas al-mustaqim), yaitu timbangan-timbangan yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam kitab-Nya dan jumlahnya 5 timbangan. Semua sudah kusebutkan dalam kitab saya yang berjudul “al-Qistas al-Mustaqim”.
Jika ia bertanya lagi, “tapi lawan-lawan anda kan menentang timbangan anda ini?”.
Maka akan saya jawab:
“tidak bisa dibayangkan jika orang yang sudah memahami timbangan-timbangan ini kemudian menentangnya. Para pakar at-Ta‘lim tidak bisa menentangnya, karena saya intisarikan dari Alquran dan aku juga mempelajarinya dari Alquran. Kalangan ahli logika pun tidak akan bisa menentangnya, karena hal itu sesuai dengan apa yang mereka syaratkan sendiri dalam disiplin logika yang tidak diperdebatkan lagi. Begitu juga para pakar kalangan mutakallimin, karena hal itu pun sesuai dengan apa yang mereka sebutkan dalam dalil teoritik dan dengan teori dimana suatu kebenaran diketahui dalam disiplin ilmu kalam”.
“Jika memang ditangan anda sudah ada timbangan ini, lalu mengapa tidak anda angkat perbedaan yang terjadi diantara manusia?” Mereka bertanya demikian. Akan saya jawab:
“jika kalian mau mendengarkanku, niscaya akan kulenyapkan perselisihan diantara mereka! Sudah saya sebutkan cara-cara menghilangkan perselisihan ini dalam kitab ‘al- Qistas al-Mustaqim’. Maka renungkanlah agar anda mengetahui bahwa itu adalah kebenaran, dan ini pasti akan menghilangkan segala perselisihan jika mereka mau medengarkan. Tapi nyatanya mereka juga tidak mau mendengarkannya. Buktinya, ada golongan yang mau mendengarkanku, lalu kuselesaikan konflik diantara mereka. Sementara Imam anda juga ingin mengangkat perselisihan diantara mereka dan mereka tidak mau mendengarkannya, ia juga tidak mampu menghilangkannya juga hingga sekarang.
Mengapa juga Ali ra. belum juga mengangkatnya( menghulangkan konflik), padahal beliau adalah pemimpin para imam? Atau ia mampu mengajak mereka semua untuk mendengarkan nasehat mereka dengan paksa, lalu mengapa ia tidak memaksa mereka hingga sekarang? Lalu sampai kapan? Malahan dakwahnya hanya menyebabkan bertambahnya perbedaan dan penentang. Benar! Beliau memang mengkhawatirkan perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang membahayakan, namun tidak akan berakhir dengan pertumpahan darah, memporak porandakan negara, dan membuat panjang daftar anak-anak yatim, maraknya perampokan, serta perampasan harta. Telah terjadi di dunia ini, berkat penghilangan perselisihan yang kalian lakukan suatu akibat yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah “.
Jika mereka bertanya:
“Anda mengaku telah menyelesaikan perselisihan diantara manusia, tapi orang yang merasa paling bingung di antara mazhab yang saling bertentangan dan perselisihan yang saling berhadapan, tidak akan mau mendengarkan anda juga, apalagi lawan anda. Kebanyakan lawan anda juga berselisih dengan anda. Jadi apa bedanya anda dengan mereka?”.
Ini adalah pertanyaan kedua mereka dan akan saya jawab: “pertanyaan ini seharusnya ditujukan kepada anda terlebih dahulu. Jika anda mendakwahi orang bingung ini untuk mengikuti anda, dia mungkin malah akan menjawab:
“atas dasar apa anda menjadikanku sebagai penentang argumen pertama anda, padahal kebanyakan ilmuwan berselisih pendapat dengan anda?’ aku tidak bisa membayangkan jawaban anda. Apakah anda akan menjawab bahwa Imam saya telah ditentukan oleh nass?. Lalu siapa yang akan mempercayai dalil nass, jika ia tidak mendengar nass itu dari Rasul? Apalagi jika mereka mendengarkan pendapat para ulama akan rekayasa dan kebohongan anda? Kemudian anggaplah ia menerima nass yang anda ajukan ini, tetap saja jika ia masih bingung dalam masalah pokok kenabian ( Nubuwwah ).
Maka ia akan bilang: “Anggap saja misalnya, jika Imam anda menunjukan mu‘jizat ‘Isa sambil berkata, “dalil atas kebenaranku adalah bahwa aku telah menghidupkan bapakmu. Aku menghidupkannya, lalu ia berbicara kepadaku bahwa ia benar”, lalu dengan apa ia mengetahui kebenarannya?. Padahal segenap makhluk juga tidak mengetahui kebenaran Isa dengan mukjizat ini. Bahkan orang itu malah akan lebih banyak mengajukan sejumlah pertanyaan lagi yang tidak bisa dijawab kecuali dengan penalaran logika yang terinci, padahal logika yang terinci tidak anda kuasai. Orang ini tidak akan mengetahui perbandingan kebenaran mukjizat selama ia tidak mengetahui sihir dan perbedaannya dengan mukjizat. Dan selama ia tidak mengetahui bahwa Allah tidak akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Biasanya, orang seperti ini mengajukan pertanyaan yang menyesatkan dan susah untuk dijawab. Lalu dengan apa ia menjawab semua itu? Padahal Imam anda adalah bukan orang yang pantas diikuti oleh penentangnya? Mungkin ia akan merujuk pada dalil-dalil teoritik, sementara musuhnya juga menguraikan dalil yang sama, bahkan bisa lebih jelas”.
Pertanyaan ini telah berbalik pada mereka dengan sangat dahsyat. Jika seluruh penganut faham aliran ini dari yang pertama hingga yang terakhir berkumpul untuk berusaha mencari jawabannya, niscaya mereka tidak akan mampu. Melainkan hanya akan semakin memunculkan kerusakan di tubuh jamaah-nya dengan perdebatan antar mereka sendiri, karena mereka tidak memperhatikan soal nuarani, dan lebih hanya menyibukan diri dengan jawaban. Inilah yang akan membuat mereka berdebat panjang, dan tidak cepat-cepat memahami persoalan, sehingga argumentasi mereka pun akan buntu.
Jika ada yang mengatakan:P
“ ini kan masalah hati. Apakah ada jawaban tentang masalah ini?” maka akan saya katakana:
“Ya, ada. Jika si orang bingung dan kalut mengeluhkan dirinya kebingungan tanpa mengemukakan masalah yang dibingungkannya, ia bisa dikatakan seperti orang yang mengeluh sakit tanpa menyebutkan jenis sakitnya, kemudian minta disembuhkan. Maka dikatakan kepadanya: tidak ada di dunia wujud ini obat penyembuhan bagi semua penyakit, bahkan untuk menyembuhkan sakit tertenu saja seperti pusing, mencret dan selain itu saja agak susah. Dengan demikian, si orang bingung harus bisa menetukan masalah yang di bingungkannya. Maka masalah itu sendirilah yang akan mengenalkannya pada kebenaran di dalamnya dengan menimbangnya menggunakan kelima timbangan yang tidak bisa difahami oleh siapa pun, kecuali jika ia mau mengakui bahwa itu adalah mizan kebenaran yang cocok untuk segala hal yang perlu ditimbang.
Dengan begitu, ia akan paham dengan timbangan itu serta mengetahui pula kesahihan timbangan (neraca), sebagaimana pemahaman orang yang belajar berhitung pada berhitung itu sendiri, serta pemahamannya atas keberadaan guru sebagai pengajar berhitung yang benar. Hal ini telah kujelaskan panjang lebar dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim yang hanya setebal 20 halaman. Maka pelajarilah!.
Sekarang tujuan dan maksud bukan untuk mengurai keburukan mazhab mereka. Hal itu sudah aku jelaskan, pertama dalam kitab al-Mustazha, dan yang kedua dalam kitab Hujjah al-Haqq yang merupakan jawaban atas pernyataan mereka yang diajukan padaku sewaktu di Baghdad. Ketiga, aku menerangkannya juga dalam kitab Mufassil al-Khilaf yang berisi 12 pasal, yang merupakan jawaban-jawabanku atas pertanyaan yang diajukan di Hamazan. Keempat dalam kitab ‘ad-Darj’ yang disertai juga dengan tabel, yang merupakan bantahan atas pernyataan mereka yang diajukan padaku sewaktu di kota Tus. Dan kelima aku mencantumkannya pula dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim, yang merupakan kitab yang berdiri sendiri dengan misi menjelaskan neraca untuk menimbang kebenaran ilmu dan menunjukan ketidak perluan Imam ma‘sum bagi yang merindukannya.
Namun maksud penjelasan jawaban atas mereka sekarang ini adalah untuk menunjukan bahwa mereka tidak memiliki obat apa-apa, yang bisa menyelamatkan mereka dari kegelapan pemikiran dan pendapat. Tapi menunjukkan pada kelemahan mereka pada argumentasi mereka tentang penunjukan Imam. Kami coba mereka dengan membenarkan mereka dalam hal dibutuhkannya belajar dan seorang pengajar ma‘sum. Pengajar yang ma‘sum inilah yang mereka tentukan. Kemudian kami pun menanyakan pada mereka ihwal ilmu yang mereka pelajari dari pengajar yang ma‘sum ini. Selanjutnya kami ajukan pada mereka beberapa persoalan, tapi mereka malah tidak faham dengan persoalan tersebut, apalagi memecahkannya. Dan ketika mereka tidak mampu menjawabnya, mereka lalu menyerahkannya pada sang Imam al-Ga’ib sambil berkata: “kami harus pergi ke tempatnya”. Naifnya, mereka telah menyia-nyiakan umur mereka hanya untuk mencari sang guru dan bualan mereka akan kebahagiaan menemuinya, bahkan mereka tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari sang guru yang hilang ini. Maka, mereka seperti orang yang memakai wewangian najis yang kelelahan mencari air, namun setelah menemukannya, ia tidak bisa mempergunakannya dan ia pun tetap berwewangian kotoran.
Di antara mereka ada yang mengaku telah mamperoleh sedikit ilmu dari mereka. Namun hasil yang mereka peroleh adalah secuil ilmu filsafat phitagoras yang merupakan seorang tokoh filsuf kuno dimana mazhabnya adalah mazhab yang paling lemah dalam bidang filsafat. Aristoteles telah membantahnya habis-habisan. Ia menganggap lemah dan merendahkan segala pendapat dan pernyataan phitagoras. Orang itu adalah sang penutur dalam kitab “Ikhwan as-Safa”. Dia benar-benar berada dalam jurang filsafat. Orang yang telah bersusah payah sepanjang usianya untuk mencari ilmu, akhirnya hanya puas dengan ilmu yang sangat lemah seperti ini. Bahkan ia menyangka bahwa dengan meraih itu ia telah mencapai puncak dari ilmu pengetahuan.
Kami juga mencoba mereka dengan menguji lahir batin mereka. Mereka Pada dasarnya berusaha merayu secara halus kepada kalangan awam dan lemah pikiran agar masuk ke dalam jamaah mereka sambil menjelaskan pentingnya seorang guru dan mendebat setiap orang yang mengingkari kebutuhan akan pengajaran dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Sehingga jika ada penolong yang membantu mereka dalam upaya memenuhi kebutuhan pada seorang pengajar berkata:
“Tunjukan ilmu sang Guru dan kami akan memanfaatkan pengajarannya!”, mereka akan berhenti dan berkata:
“sekarang jika memang anda menyerahkan hal ini padaku, maka mintalah. Tetapi, materiku hanya sekedar ini saja”. Dengan demikian jadi ketahuan, karena mereka menyadari bahwa jika melebihi hal itu maka mereka akan tersingkap kekurangannya. Mereka tidak akan mampu memecahkan persoalan yang sepele sekalipun, bahkan tidak akan mampu memahami apalagi menjawabnya. Demikianlah sesungguhnya kondisi nyata mereka.
TAREKAT-TAREKAT SUFI
Kemudian setelah menyelesaikann pembahasan ilmu-ilmu sebelumya, saya mengalihkan sepenuh perhatian pada jalan sufisme. Saya pelajari bahwa tarekat mereka merupakan perpaduan antara ilmu dan amal. Tujuan amalan mereka adalah memutus halangan dan rintangan jiwa untuk kemudian mensucikan diri dari akhlak-akhlak jiwa yang tercela dan dari sifat-sifat keji, sehingga ia mencapai pengosongan hati dari selain Allah dan menghiasinya dengan zikir kepada Allah .
Karena ilmu lebih mudah bagi saya dari pada amal, maka saya memulai penelaahan bidang keilmuan mereka dengan menelaah kitab-kitabnya, seperti Qut al-Qulub karya Abu Talib al-Makki –semoga Allah merahmatinya, karya-karya al-Haris al-Muhasibi, rumusan-rumusan al-junayd, asy-Syibli, Abu Yazid al-Bustami –semoga Allah mensucikan arwah mereka, dan rumusan-rumusan dari syekh-syekh sufi lainnya, sehingga saya bisa mencapai inti dari tujuan ilmu mereka.
Saya meraih apa yang telah diperoleh dari jalan sufi ini melalui belajar dan menyimak. Tampak olehku bahwa ilmu khusus mereka, tidak mungkin diraih hanya dengan belajar melainkan harus dengan menggunakan intuisi , pengenalan kondisi (hal), dan perubahan sifat-sifat. Betapa banyak konsepsi mereka tentang definisi sehat dan kenyang serta sarana dan syarat untuk memperoleh sehat dan kenyang, tentang orang yang sehat dan orang yang kenyang. Tentang batasan antara gila (extase) yang merupakan perumpamaan dari kondisi yang telah teraih dengan menelan asap yang naik dari perut ke pusat pikiran dan menjadi orang yang mabuk. Bahkan orang yang sedang extase tidak akan pernah mengetahui batasan extase, dan juga pengetahuan akan kemabukan dirinya dan pengetahuan yang lainnya. Sementara orang-orang yang tersadar mengetahui batasan mabuk, bahkan faktorfaktor penting dan hal-hal yang terkait dengan masalah mabuk.
Seorang dokter yang berada dalam keadaan sakit, ia mengetahui batasan sakit, penyebab dan obatnya, meskipun ia kehilangan kesehatan. Begitu juga berbeda antara anda yang mengetahui hakikat zuhud, syarat-syarat dan sarana untuk menggapainya, dengan keadaanmu sendiri yang berada dalam zuhud dengan jiwa yang berpaling dari keduniaan.
Aku menjadi yakin bahwa mereka adalah pengendali prilaku perbuatan, dan bukan tukang omong. Apa yang bisa didapat dengan jalan ilmu, telah aku dapatkan, tinggal sekarang hal yang tidak bisa diperoleh dengan jalan menyimak dan belajar, melainkan dengan intuisi (cita rasa) dan menyusuri jalan (tarekat). Dari ilmu-ilmu yang saya amalkan serta laku-laku yang saya telusuri dalam meneliti kedua kategori ilmu, yaitu syara’ (fiqih/normative agama) dan logika keilmuan (rasional akal), saya telah mendapatkan keyakinan yang mencapai tarap tidak teragukan lagi akan Allah Swt., kenabian dan hari akhir. Ketiga pokok keimanan ini telah mengakar kokoh dalam diri saya, bukan dengan teori-teori tertentu yang bisa mudah dijelaskan, melainkan dengan sarana-sarana, permisalan-permisalan (indikasi) dan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa dijelaskan uraiannya.
Tiada lagi obsesi dalam diriku untuk meraih kebahagiaan akhirat kecuali dengan jalan taqwa dan mengekang diri dari hawa nafsu. Dan yang lebih utama lagi adalah memutuskan keterkaitan hati pada kedunawian dengan mengekang diri dari ‘rumah tipuan’ untuk kemudian bertaubat kembali pada ‘rumah keabadian’ dan menerima inti harapan pada Allah swt. Semua itu tidak akan terwujud sempurna kecuali dengan menolak segala kehormatan dan harta, serta berpaling dari segala yang menyibukkan dan berkaitan dengan dunia.
Maka saya pun langsung menyelidiki keadaan diri saya. Ternyata saya telah tenggelam dalam simpul-simpuln keduniwian. Saya juga memandang diri saya dari segala segi. Saya amati amalan-amalan saya terutama aktivitas mengajar. Ternyata saya juga telah terjebak menerima dan mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat untuk kebahagiaan akhirat. Saya selidiki juga niat saya dalam mengajar, ternyata niat itu juga tidak murni untuk Allah semata, melainkan didorong oleh pencarian kehormatan dan keharuman nama. Dari sini saya yakin bahwa saya berada ditepi jurang neraka. Aku tidak akan selamat dari jilatan api neraka, jika tidak bersegera memperbaiki keadaan diri tersebut.
Selama beberapa waktu saya terus dicekam pikiran bahwa saya telah jauh dari maqam pilihan. Saya pun merencanakan niat bahwa pada suatu saat kelak untuk keluar dari kota Baghdad dan meninggalkan kondisi-kondisi yang ada selanjutnya menuruti azam (niat) dengan melangkahkan kaki bersegera pergi. Pagi-pagi aku memang terobsesi mencari akhirat, namun ia selalu ditumpangi oleh pasukan hawa nafsu, sehingga tercerai-berai lagi pada sore harinya. Syahwat keduniaan begitu kuat menarikku dengan segala tali pengikatnya, sementara panggilan keimanan terus mendengungkan nasihatnya:
“pergi! Pergi! Umurmu hanya tinggal sedikit, sementara di depanmu masih terbentang jalan yang maha panjang, padahal semua yang ada padamu baik ilmu maupun amal, hanyalah riya‘ dan imajinasi. Maka jika kamu tidak pergi sekarang, kapan lagi kamu akan bersiap untuk menghadapi akhirat? Jika tidak kau putus sekarang kaitan-kaitan itu, terus kapan lagi? Ketika itulah hasrat untuk menyingkir dan meninggalkan keduniwian semakin kuat. Selanjutnya, datang setan menggoda:
“ini hanyalah rintangan, kamu harus bisa menundukannya. Ia akan cepat menghilang. Jika kamu mendengarkannya dan meninggalkan segala kemuliaan yang ada, kedudukan nyaman yang sepi dari segala gangguan dan goncangan, serta keamanan dan ketentraman yang bersih dari konflik permusuhan. Mungkin ia akan berpaling darimu dan engkau tidak akan pernah kembali lagi”.
Aku masih terus dicekam kebimbangan di antara tarikan syahwat keduniwian dan dorongan akhirat selama kurang lebih 6 bulan. Puncaknya terjadai pada bulan Rajab 488 H. Saat itu, masalah ini telah melebihi batas maksimal kemampuanku. Allah telah mengunci mulutku sehingga aku terpaksa berhenti mengajar. Suatu hari, aku pernah mengajar demi menyenangkan hati orang-orang yang berkunjung ke majlisku. Namun, mulutku sama sekali tidak bisa mengucap meski hanya satu kata. Gagu dalam mulutku ini telah menorehkan kesedihan tersendiri dalam hati, hingga merusak system pencernaan dan nafsu makanku. Aku tidak bisa makan meski hanya mengunyah bubur, dan menelan sesuap makanan. Sehingga kekuatan tubuhku semakin lemah dan menurun. Sampai-sampai para dokter pun telah putus harapan akan kesembuhanku. Mereka berkata:
“ada sesuatu yang turun di hati, dan dari sana naik ke otak. Maka tidak ada lagi jalan kesembuhan kecuali dengan mengurai rahasia tentang beratnya beban yang menghimpit”.
Tatkala kurasakan kelemahan diri dan tuntasnya usaha maksimal yang telah kulakukan, aku bersimpuh meminta kekuatan kepada Allah sebagai orang yang tidak berdaya. Maka Tuhan adalah Yang Maha Menjawab atas do‘a orang yang sedang ditimpa kesusahan bila ia memohon kepada-Nya. Allah kemudian memudahkan hatiku untuk berpaling dari segala kehormatan, harta, anak-anak dan rekan sejawat.
Kusampaikan hasratku untuk pergi ke Mekah sambil menyusun rencana untuk menetap di Syam ( Damaskus), karena aku tidak mau khalifah (Raja) dan beberapa rekan sejawat, menghalangi keinginanku untuk tinggal di negeri Syam. Aku pun bertindak dengan penuh taktis untuk keluar dari kota Baghdad sambil berjanji kuat tidak akan kembali lagi selamanya. Kukunjungi seluruh Imam-imam Irak. Tidak ada diantara mereka yang membolehkan kepergianku dari posisi yang kujabat dan segala jabatan hidupku sebagai bagian dari bidang agama. Mereka menganggap semua jabatan dan ketenaran adalah posisi tertinggi dalam agama serta puncak dari ambisi keilmuan mereka.
Banyak orang yang terperangah kaget dengan simpang-siurnya alasan keputusanku. Orang yang jauh dari Baghdad berpikiran bahwa kepergianku dari Baghdad merupakan penyingkiran oleh pihak penguasa. Sementara orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, melihat dengan sendirinya simpati dan dedikasi penguasa terhadapku, aku berpaling dari mereka dan tidak mengindahkan permintaan mereka untuk tetap tinggal di Baghdad. Orang-orang ini berkomentar:
“Ini adalah urusan langit yang tanpa memiliki sebab-musabab, kecuali merupakan musibah yang menimpa ummat Islam dan kalangan akademisi”.
Aku tinggalkan Baghdad dan meninggalkan semua ambisi yang saya miliki. Aku hanya membawa sekedar keperluan secukupnya untuk hidup dan bekal anak-anak. Seluruh kekayaan di Baghdad aku wakafkan demi kemaslahatan kaum Muslimin. Aku tidak melihat di dunia ini kekayaan yang diambil oleh seorang ulama untuk keluarganya yang lebih baik dari pada itu.
Aku kemudian masuk dan menetap di Syam kurang lebih dua tahun. Tidak ada kesibukan yang aku lakukan selain hanya uzlah, khalwah, riyadah, dan mujahadah demi mensucikan jiwa, menata akhlaq dan memurnikan hati untuk selalu ingat kepada Allah Swt. sebagaimana yang aku dapatkan dari ilmu tasawwuf. Aku selalu beri‘tikaf beberapa waktu di mesjid Damaskus, untuk kemudian naik ke menara mesjid sepanjang siang dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Dari sana , aku kemudian mengadakan perjalanan ke Bait al-Maqdis (yerusalem). Setiap hari aku masuk masjid. Di sana aku juga menutup pintu masjid sendirian. Selanjutnya muncul panggilan untuk menunaikan ibadah Hajji dan menyerap barakah kota Makkah dan Madinah, serta menziarahi makam Rasulullah Saw. selepas menjiarahi makam al-Khalil, Nabi Ibrahim As. Maka aku pun mengadakan perjalanan ke Hijaz (kota Makkah dan Madinah).
Kemudian panggilan dan kerinduan pada anak-anak menarik aku kembali ke tanah air. Aku pun pulang setelah menjadi makhluk yang paling jauh untuk kembali. Di sana aku tetap membiasakan uzlah demi menjaga khalwah dan pensucian hati untuk zikir. Peristiwa-peristiwa dalam perjalanan, kewajiban terhadap keluarga dan kebutuhan dasar hidup telah mengubah maksud tujuan dalam diriku serta mengacaukan kesucian khalwah. Memang, kesucian adalah sesuatu yang belum pernah aku dapatkan keculai hanya kadang-kadang saja, namun aku terus berambisi untuk meraihnya. Banyak rintangan yang menjauhkan saya dari khalwah, namun saya terus mencoba kembali dan kembali berkhalwah. Keadaan ini berlangsung selama 10 tahun.
Dalam laku khalwah yang panjang ini telah banyak tersingkap ihwal yang tidak bisa dihitung dan disebutkan. Sekadar yang aku ingat agar pembaca bisa mengambil manfaatnya adalah: “Aku menjadi yakin bahwa kaum Sufi adalah orang yang pertama-tama secara khusus merambah jalan Allah. Mereka adalah orang yang paling baik kelakuannya, jalan mereka adalah yang terbenar, akhlak mereka adalah yang tersuci. Bahkan kalau segenap teori akal kaum pemikir, hikmah kaum penasehat, dan ilmu para ulama yang mengetahui seluk beluk syari‘at, dikumpulkan untuk mengubah sedikit saja dari jalan hidup dan akhlak mereka untuk menggantinya dengan yang lebih baik, maka mereka semua tidak akan bisa mendapatkan jalan dan caranya. Karena semua gerakan dan diam mereka, dalam laku zahir dan batin mereka diguyur oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya di atas muka bumi ini yang lebih terang dari cahaya Kenabian.
Termasuk sarat utama yang pertama jalan kesucian mereka adalah membersihkan hati secara total dari selain Allah Swt. Kunci menuju ke sana adalah menenggelamkan hati secara total dalam lautan zikir Allah dan jalan terahir adalah tenggelam dalam fana (peleburan) secara total dalam Allah. Inilah yang sebenarnya disebut jalan tarekat pertama, sedangkan ritual sebelumnya hanyalah seperti pemanasan bagi para pelakunya.
Dari awal tarekat inilah dimulai musyahadah (penyaksian) dan mukasyafah (penyingkapan), sehingga dalam kesadarannya, mereka bisa menyaksikan Malaikat dan arwah para Nabi, meraih suara-suara tuntunan dari mereka dan memungut faedah-faedah dari mereka. Selanjutnya derajatnya naik dari menyaksikan gambaran-gambaran dan simbol-simbol pemisalan ke drajat yang tidak memberikan ruang untuk berbicara. Upaya untuk mengungkapkannya malah akan mengandung kesalahan yang tidak mungkin bisa untuk dihindarkan lagi.
Semua laku tasawwuf ini berakhir pada kedekatan (qurb) yang diimajinasikan oleh sebagian kalangan tasawwuf sebagai al-hulul, al-Ittihad ( manunggal ) dan al-Wusul (sampai). Kami telah menjelaskan titik-titik kesalahan persepsi ini dalam kitab ‘al-Maqsad al-Asna’. Lebih lanjut kekeliruan memahami kondisi qurb ini tidak boleh lebih dari yang dikatakan sebagai:
Dan yang ada adalah apa yang ada
Yang aku tidak mengingatnya
sangkalah baik
Dan jangan kau Tanya tentang apa itu baik.
Pendek kata barang siapa yang belum dikaruniai sedikit zauq (rasa intuisi), maka ia tidak akan bisa menggapai hakikat kenabian kecuali hanya sekedar nama. Dan karamah ( kekuatan adiluhung ) para wali sebenarnya adalah permulaan prestasi kenabian para Nabi.
Kondisi (hal) demikian yang pertama dialami oleh Rasulullah Saw. beliau tabattul (pantangan untuk tidak melakukan hubungan seksual) dan mengasingkan diri di Gua Hira sambil beribadah dan ber-khalwah dengan Tuhannya. Sehingga orang-orang Arab mengatainya:
“Muhammad telah rindu tergila-gila pada Tuhannya”. Kondisi ini hanya bisa terwujud dengan zauq orang yang menempuh jalannya. Barang siapa yang belum dikaruniai zauq, maka ia sebaiknya memantapkan jalannya dengan terus mencoba dan sering mendengarkan jika saja mereka mempunyai banyak kawan, sampai kondisi zauq bisa dipahami secara meyakinkan. Dan orang yang ikut berkumpul dalam majelis mereka pun bisa mengambil manfaat keimanan ini. Mereka adalah kalangan yang tidak memiskinkan teman duduknya. Barang siapa yang belum dikaruniai jalinan persahabatan dengan mereka, maka ketahuilah olehnya dengan segala keyakinannya bahwasannya hal itu bisa terungkap dengan penjelasan-penjelasan teoritis seperti yang kami uraikan dalam pasal ‘Ajaib al-Qalb’ ( keajaiban-keajaiban Hati ) pada kitab Ihya‘ulumddin.
Pendalaman dengan teori dan bukti adalah ilmu ( pengetahuan ), sementara melibatkan diri dalam kondisi tersebut adalah zauq ( perasaan ), dan penerimaan dengan toleransi dan mencoba dengan baik sangka adalah iman ( kepercayaan ). Inilah tiga tingkatan yang disebutkan oleh Allah dalam firman:
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”.(Q.S. al-Mujaddalah [58]: 11).
Selebihnya adalah mereka kaum bodoh. Mereka mengingkari inti persoalan dan kaum yang hanya tercengang dengan uraian kata-kata. Mereka mendengarkan, lalu mencemooh, “Aneh sekali! Mereka hanya mengigau!” Allah menyinggung mereka dalam firman-Nya:
“dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan [sahabat-sahabat Nabi]: apa gerangan yang diucapkannya tadi?. Mereka itulah orang-orang yang telah dikunci mati hatinya oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu”. (Q.S. Muhammad [47]: 16). Allah telah mendungukan pendengaran dan membutakan mata hati mereka.
Yang tampak oleh saya dari praktik tarekat mereka adalah hakikat dan karakter kenabian. Karena itu, hal ini harus dijelasakan secara tersendiri karena teramat diperlukan.
“Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri”. (Q.S. al-Muddatsir [74]: 31).
Informasi manusia tentang fenomena ketuhanan lebih banyak diperoleh lewat apresiasi (idrak) yang diciptakan oleh Allah agar manusia mengetahui fenomena dari wujud ( keberadaan ). Fenomena yang kami maksudkan di sini adalah beragam jenis wujud.
Hal pertama yang diciptakan dalam diri manusia adalah indera sentuh perasa. Dengan indera ini, manusia bisa mengetahui jenis-jenis realitas wujud seperti panas,dingin, basah dan kering, lunak dan keras, dan lainnya. Indera perasa tidak menjangkau untuk mengetahui warna-warna dan suara, bahkan fungsi seperti ini nyaris tidak ada sama sekali bagi indera sentuh.
Selanjutnya diciptakanlah untuknya indera penglihatan, sehingga ia bisa mengetahui warna dan bentuk. Indera ini adalah indera yang paling luas dalam menangkap tanda obyek-obyek fisik material.
Kemudian ditiupkanlah di dalamnya pendengaran, denganya manusia bisa mendengar suara dan nada. Setelah itu baru diciptakan zauq (rasa intuisi) sehingga manusia mampu melampaui dunia materi. Lalu diciptakan Tamyiz (kemampuan membedakan) dalam diri manusia saat ia berusia 7 tahun. Ini adalah fase lain dari rangkaian tahap-tahap wujud manusia.
Dalam fase ini, manusia bisa menangkap hal-hal di luar dunia fisik yang tidak ditemukan sama sekali di dunia indera.
Manusia kemudian naik ke fase berikutnya. Maka diciptakanlah “akal” dalam dirinya, sehingga ia mampu mengetahui hal-hal yang wajib, boleh, dan mustahil, serta hal-hal yang tidak ditemukannya dalam fase-fase sebelumnya. Di belakang akal terdapat fase lain lagi. Dimana dalam fase tersebut terbuka mata lain yang bisa melihat alam gaib dan masa depan, serta hal-hal lain di mana fungsi akal terhilangkan, sebagaimana hilangnya kemampuan membedakan (tamyiz) oleh pengetahuan akal, juga hilangnya fungsi kekuatan indera oleh fungsi pengetahuan membedakan (tamyiz). Sebagaimana penolakan dan pengabaiannya anak yang telah mempunyai kemampuan membedakan pada hal-hal yang hanya diketahui dengan akal. Maka begitu pun juga beberapa orang berakal akan menolak dan memungkiri pengetahuan tentang kenabian (Nubuwwah). Hal tersebut lebih berdasar kebodohan dan ketidaktahuan mereka, karena itu adalah fase yang belum ia capai dan tidak terdapat pula dalam haknya. Sehingga ia pun berpikiran bahwa hal itu tidak ada dalam dirinya.
Seorang tuna netra jika ia tidak mengetahui warna-warna dan bentuk dengan jalan pengelihatan dan pendengaran, kemudian diberi tahu bahwa hal itu adalah ‘hal permulaan’, maka ia pun tidak akan memahami, bahkan tidak mengakuinya.
Melihat hal demikian, Allah pun mendekatkan pemahaman tentang Nubuwwah dengan cara memberi mereka contoh dari keistimewaan kenabian, yaitu dengan tidur. Orang tidur mengetahui masalah gaib yang akan terjadi, baik secara terang dan jelas, maupun secara tersembunyi yang kemudian diungkap melalui ta‘bir mimpi. Namun jika hal ini belum pernah dialami sendiri oleh manusia, mereka pasti akan memungkirinya. Misalnya, ketika dikatakan pada mereka, “jika manusia pingsan tak sadarkan diri, ia seperti mayat, kehilangan fungsi indera, pendengaran dan penglihatannya, namun ia bisa mengetahui hal gaib”, maka mereka pun akan menjawab dengan menyatakan alasan yang menyatakan kemustahilannya:
“daya sensitivitas indera adalah sarana mengetahui. Orang saja tidak mengetahui segala sesuatu dengan keberadaan dan kehadiran inderanya, apalagi dalam ketidak fungsiannya, tentunya ia akan lebih tidak tahu”.
Ini adalah bentuk analogi yang ditolak mentah-mentah oleh wujud dan musyahadah. Sebagaimana akal merupakan salah satu fase kehidupan anak Adam di mana manusia memperoleh ‘mata hati’ untuk melihat segala bentuk yang bisa dipikirkan yang tidak dapat di lihat dengan indera, maka begitu juga nubuwwah. Ia juga merupakan fase, di mana anak Adam memperoleh ‘mata’ yang mempunyai cahaya, yang dengan cahaya tersebut nampak segala kegaiban dan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal.
Keraguan akan konsep nubuwwah mungkin akan terletak pada potensinya, wujud dan proses terjadinya, atau dalam realisasinya pada orang tertentu. Sementara kapasitas teori dan wujudnya sebagai bentuk pengetahuan di dunia, jelas tidak bisa dijangkau oleh akal. Ia seperti ilmu kedokteran dan astronomi. Siapa pun yang menyelidikinya, ia akan tahu dengan pasti bahwa nubuwwah ini tidak bisa diketahui kecuali dengan ilham Tuhan dan Taufiq pertolongan Allah, serta tidak ada jalan ke sana kecuali dengan pengalaman. Hukum-hukum perbintangan misalnya, ada yang terjadi hanya sekali dalam setiap 1000 tahun, lalu bagaimana hal itu akan diperoleh dengan pengalaman? Begitu juga obat-obat khusus.
Dengan bukti teoritis ini, jelas bahwa potensi wujud merupakan jalan menuju pengetahuan pada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal ini. Inilah yang dimaksud dengan nubuwwah. Bukan saja ia merupakan penjelasan tentangnya, melainkan lebih karena pengetahuan akan jenis di luar jangkauan akal ini, merupakan salah satu kehususan nubuwwah. Disamping kehususan lain yang masih banyak. Apa yang barusan kami kemukakan hanya merupakan setetes air lautan. Itu pun lebih dikarenakan anda sudah memiliki contoh tentang apa yang anda ketahui dalam kondisi tidur. Juga karena anda memiliki padanan jenis pengetahuan ini dalam disiplin kedokteran dan astronomi. Nubuwwah adalah mu‘jizat para Nabi yang tidak pernah bisa digapai oleh orang-orang yang berakal dengan hanya berbekal akalnya saja.
Adapun hal yang di luar kehususan nubuwwah, seperti suluk tasawwuf, ia bisa dicapai dengan zauq. Sebab hal ini bisa langsung anda fahami dengan hanya lewat contoh yang anda hasilkan sendiri, yaitu tidur. Jika bukan karena ini, anda pasti tidak akan mempercayai dan membenarkannya. Contoh ini dihasilkan pada awal-awal jalan tasawwuf, yang kemudian menghasilkan jenis zauq dalam kadar tertentu , serta jenis pembenaran akan hal yang tidak bisa diperoleh dengan analogi. Satu contoh kekhususan ini sudah cukup bagi anda untuk mengimani dan mempercayai orisinalitas nubuwwah.
Jika anda masih ragu dan bimbang pada seseorang, apakah dia Nabi atau tidak. Maka selamanya, keyakinan tidak akan diperoleh kecuali dengan mengetahui hal ihwal orang tersebut, baik melalui cara menyaksikan sendiri, penggambaran atau pun mendengar. Misalnya jika anda mengetahui disiplin kedokteran dan fiqh, pastilah anda akan bisa mengetahui para pakar kedokteran dan fiqh, baik dengan jalan menyaksikan langsung kerja mereka, atau dengan mendengarkan pernyataan mereka.Jika memang anda terpaksa tidak bisa menyaksikan secara langsung.
Sebagaimana anda juga tidak akan terlalu sulit menyaksikan kebenaran Imam Syafi‘i sebagai ahli fiqh, atau Galinos sebagai seorang dokter, dengan pengetahuan yang hakiki dan benar-benar, bukan dengan ikut-ikutan pada orang lain, melainkan dangan mempelajari karya fiqh dan kedokteran, menelaah kitab-kitab dan karangan mereka berdua. Maka di sini anda pun akan memperoleh pengetahuan yang pasti akan kualitas keduanya. Begitu pula halnya jika anda memahami makna nubuwwah, kemudian memperbanyak penelaahan Alquran dan hadits-hadits, maka anda tentu akan mendapat pengetahuan yang pasti akan kenabian Muhammad sebagai derajat tertinggi kenabian. Akan lebih kuat lagi, jika anda mencoba untuk menerapkan apa yang disabdakan beliau dalam ritual ibadah dan fungsinya dalam membersihkan hati. Betapa benarnya beliau ketika bersabda,
“Barang siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui”. Dan betapa benarnya beliau saat bersabda:
“Barang siapa di saat pagi hari perhatianya hanya satu, maka Allah akan mencukupkannya dari kegelisahan dunia dan akhirat”.
Jika anda mau mengamalkan petuah-petuah kenabian tersebut dalam 1000, 2000, bahkan ribuan kali, niscaya anda akan memperoleh ilmu yang tidak akan diragukan lagi.
Dengan jalan demikianlah sebaiknya anda mencari keyakinan akan nubuwwah, bukan dengan teori pengubahan tongkat menjadi ular, atau pembelahan bulan. Sebab jika anda melihat hal-hal terakhir ini saja tanpa dukungan banyak faktor yang tiada terhitung, mungkin anda malah akan menyangkanya sebagai sihir dan imajinasi. Dan hal ini pun mendapatkan sandaran dari firman Allah Swt.,
“Dia menyesatkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dindaki-Nya”. (Q.S. Fatir [35]: 8).
Ia dicekam oleh banyak pertanyaan tentang mukjizat. Dan jika anda menyandarkan keimanan anda akan hal tersebut pada perkataan yang tersusun dalam menghadapi aspek pertunjukkan mukjizat, serta pada perkataan yang runtut (kalam murattab) dalam menghadapi blunder dan syubhat di atasnya, maka hal-hal di luar kebiasaan ini pun dalam pandangan anda akan menjadi salah satu dalil dan factor penentu. Dengan begitu, anda akan mendapat pengetahuan pasti (daruri), meski anda tidak mungkin bisa menyebutkan penyandarannya pada hal tertentu. Kenyataan ini seperti orang yang diberi informasi oleh sekelompok orang, maka ia tidak bisa langsung menegaskan bahwa keyakinanya diperoleh dari pernyataan tersebut, dan bukan dari seseorang tertentu. Inilah keyakinan kuat yang ilmiah. Sementara itu, zauq (intuisi) lebih seperti penyaksian dan berpegangan tangan. Zauq (intuisi) ini tidak ditemukan kecuali dalam tarekat Sufisme.
Cukuplah kiranya penjelasan tentang hakikat kenabian ini bisa memenuhi tujuan yang saya maksudkan sekarang. Dan selanjutnya akan saya uraikan segi kebutuhan akan konsep kenabian .
Manusia diciptakan dengan raga dan hati. Hati yang saya maksud ini adalah hakikat ruh yang menjadi wadah ma‘rifat Allah tanpa daging dan darah yang sama-sama dimiliki oleh mayat dan binatang. Badan mempunyai potensi kesehatan yang menjadi sebab kebahagiaan manusia, juga mempunyai potensi sakit yang menjadi sebab kesedihan dan kematiannya. Begitu juga hati menyimpan potensi sehat dan selamat. Pada saat itu, tidak ada yang selamat, “kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang tulus” (Q.S. asy-Syu‘ara[42]:24). Dan ia pun mempunyai potensi sakit yang menjadi pangkal abadi di akhirat, sebagaimana yang diisaratkan dalam firman Allah, “Dalam hati mereka ada penyakit,”(Q.S. al-Baqarah [2]: 10); “maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafiq),”(Q.S. al-Maidah [5]: 52); “Ingatlah ketika orang-orang munafiq dan orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya,” (Q.S. al- Anfal [8]: 49);“Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,”(Q.S. at-Tawbah [9]: 125);“ Bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan kasar hatinya,” (Q.S. al-Hajj [22]: 53); “Dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,” (Q.S. al-Ahzab [33]: 60); “Kami lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya”, (Q.S. Muhammad [47]: 20); “Supaya orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir”. (Q.S. al- Mudatsir [74]: 31).
Kebodohan dan kelalaian pada Allah merupakan racun penghancur. Perbuatan maksiat kepada Allah dan menuruti hawa nafsu adalah penyakit. Penangkalnya adalah ma‘rifat, dan mentaati Allah dengan melawan hawa nafsu adalah obat yang paling mujarab. Tidak ada terapi untuk mengobati hati dan menjaga kesehatannya kecuali dengan obat-obatan ini sebagai mana fungsi obat untuk badan. Sama halnya ketika obat-obatan untuk badan berpengaruh bagi kesehatan tubuh lantaran khasiat khusus yang terkandung didalamnya, yang tidak bisa dijangkau begitu saja oleh otak orang berakal. Bahkan dalam mengkonsumsinya pun orang harus mengikuti petunjuk dokter yang telah memperoleh rahasia khasiat-khasiat tersebut dari para Nabi, yang mana mereka dengan kekhususan kenabiannya telah mengetahui intisari segala perkara. Dengan demikian, jelas bagi saya secara pasti bahwa obat-obatan ibadah dengan batasan dan kadar yang telah ditentukan oleh para Nabi tidak bisa begitu saja diketahui dengan akal saja, melainkan harus taklid mengikuti para Nabi yang telah mendapatkan khasiat hal-hal tersebut dengan nur kenabian, bukannya dengan akal.
Sebagaimana obat-obatan tersusun dari campuran komposisi yang beragam, dimana masing-masing mempunyai ukuran dan kadar tersendiri yang merupakan rahasia khasiat tersebut. Begitu juga ibadah yang merupakan obat penyakit hati. Ia tersusun dari keragaman laku yang berbeda-beda jenis dan kadarnya, serta menyimpan rahasia khasiat masing-masing yang hanya bisa dijangkau dengan cahaya kenabian. Sujud misalnya, dua kali lipat dalam ruku (dalam solat), dan salat shubuh separoh lebih sedikit dari shalat ‘Asar dalam jumlah rakaatnya . Maka, bodoh dan tolol jika ada orang yang ingin menngapresiasi hikmah di dalamnya dengan media akal, atau berpikiran bahwa hal tersebut disebutkan secara kebetulan dan bukan oleh rahasia Tuhan yang terkandung di dalamnya sebagai konsekuensi menempuh jalan khusus. Dan sebagaimana juga obat-obatan yang mempunyai inti primer yang merupakan unsur utama pembentuknya, disamping zat tambahan yang merupakan pelengkapnya di mana masing-masing memiliki kekhususan pengaruh dalam kerja inti primer, maka begitu pula halnya dengan laku-laku ibadah sunnah. Ia lebih merupakan tambahan pelengkap untuk menyempurnakan rukun-rukun ibadah.
Pendek kata, para nabi adalah dokter-dokter penyakit hati. Fungsi dan kapasitas akal jika kita tahu hanyalah untuk bersaksi atas kebenaran kenabian dan kelemahan dirinya untuk menjangkau pengetahuan dengan mata kenabian. Akal seharusnya membimbing dan menyerah tundukan kita pada kenabian sebagaimana ketundukan orang buta pada petunjuk si penuntunnya dan ketundukan pasien yang kebingungan kepada dokter yang menyembuhkan. Lebih dari itu, akal terpinggirkan, kecuali sebatas memahami apa yang disampaikan dokter kepadanya. Inilah hal-hal yang kami ketahui dengan cara musyahadah penyaksian selama masa uzlah dan khalwah.
Pada perkembangan selanjutnya, kami melihat pengikisan keyakinan pada konsep kenabian, lalu pada hakikat kenabian, hingga pengikisan praktik pengamalan beragam perintah yang sudah dijelaskan oleh kenabian. Kami menemukan hal itu sudah banyak di tengah-tengah ummat. Kami melihat kemalasan manusia dan kelemahan iman mereka yang dalam hal ini lebih disebabkan oleh empat factor penyebab sebagai berikut:
“Mengapa anda kurang dalam menjalankan syariat agama? Jika anda mengimani hari akhir, tetapi anda tidak melakukan persiapan dalam menghadapinya dan malah menjualnya dengan keduniaan, maka ini merupakan sebuah kebodohan! Bukankah anda tidak mau menukar dua dengan harga satu, lalu bagaimana bisa anda mempertaruhkan sesuatu yang tiada akhir dengan hal yang sifatnya sementara dan bisa dihitung? Jika memang anda tidak beriman, maka anda sudah kafir. Uruslah diri anda untuk mencari keimanan. Telitilah penyebab kekafiran semu anda yang telah menjadi mazhab kebatinan anda serta menjadi sebab kelancangan anda dalam tatanan lahir, jika memang anda tidak mau berterus terang bahwa anda hanya berhias-hias dengan iman dan seolah-olah memuliakan syara!”.
Orang pertama menjawab:
“Ini adalah persoalan yang jika diwajibkan menjaganya, maka kalangan ulama lah yang paling pantas untuk menanganinya. Si Fulan yang kalangan elit terkemuka tidak shalat. Si Fulan minum minuman keras. Si Fulan makan harta wakaf dan harta anak-anak yatim. Si Fulan makan harta negara dan tidak menjaga diri dari perkara yang haram. Si Fulan menyuap pengadilan dan saksi. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya!”
Orang kedua menuduh disiplin tasawwuf sebagai penyebabnya. Menurutnya, praktek sufisme telah mencapai batas yang tidak memerlukan lagi praktek-praktek ibadah.
Orang ketiga beralasan dengan kerancuan lain. Mereka menuduh kalangan yang memiliki kerancuan lain dari kaum serba membolehkan sebagai orang-orang yang sesat dari jalan tasawwuf.
Orang keempat melemparkan kesalahan pada Ahl at-Ta‘lim (aliran syi‘ah Batiniyyah) sambil menyatakan:
“kebenaran adalah suatu yang rumit. Jalan ke sana sudah buntu. Di dalamnya sudah banyak berbagai perselisihan. Tidak ada satu pun mazhab yang lebih menonjol dari yang lainnya. Dalih-dalih yang diungkapkan kalangan intelektual saling bertentangan. Akibatnya tidak ada lagi kepercayaan pada pendapat kalangan rasionalis. Para penyeru pengajaran hikmah sudah tak diperlukan lagi. Lalu bagaimana aku meninggalkan sesuatu yang sudah yakin demi sesuatu yang masih ragu?”.
Orang kelima mengatakan:
“Masa bodoh dengan taklid ini. Saya sudah membaca ilmu filsafat. Saya ketahui di sana makna hakikat kenabian. Bahwa inti kenabian kembali kepada hikmah (kebijakan) dan maslahah (kebaikan). Misi kenabian adalah mencegah dan mengekang kalangan awam untuk tidak saling berperang, berselisih dan mengumbar syahwat. Sementara saya bukanlah orang awam dan bukanlah orang bodoh yang mau terjebak dalam batu keterpaksaan. Saya adalah kaum bijaksana yang lebih menuruti kata hikmah. Aku selalu berpegangan pada hikmah dan tidak membutuhkan taklid( Ikut-ikutan) lagi!”.
Inilah prestasi puncak keimanan orang yang membaca mazhab Ilahiyyin (ketuhanan). Ia mempelajari hal-hal tersebut dari kitab Ibn Sina dan Abu Nasr al-Farabi. Mereka inilah yang memakai Islam sebagai penghias diri semata. Anda bisa melihat mereka membaca Alquran, aktif mengikuti jamaah shalat, dan mengagung-agungkan syari‘at. Tapi mereka tetap tidak meninggalkan meminum minuman keras dan segala bentuk kefasikan dan prostitusi. Jika dikatakan pada mereka:
“jika memang kenabian tidak benar, lalu mengapa anda masih tetap shalat?”, mungkin mereka akan menjawab:
“untuk mengolah ragakan badan saja, atau karena sudah menjadi tradisi masyarakat, serta untuk menjaga harta dan anak-anak!”. Mungkin juga mereka terus mengatakan;
” bahwa syari‘ah sudah benar dan kenabian juga benar”. Lalu ketika ditanyakan kepada mereka:
“Terus, mengapa anda tetap meminum minuman keras?!” mereka akan berdalih:
“Minuman keras itu kan dilarang ketika memicu permusuhan dan kebencian. Sementara saya, dengan daya hikmah yang saya miliki, jelas terjaga dari hal itu. Toh saya meminumnya juga untuk lebih menajamkan pikiran.”
Bahkan Ibn Sina menulis dalam sebuah wasiat bahwa dia telah bersumpah pada Allah untuk melakukan ini dan itu, menjunjung tinggi syari‘at, tidak membatasi diri pada ibadah keagamaan, tidak meminum sesuatu yang tiada guna, melainkan yang memiliki fungsi kesehatan dan penyembuhan. Itulah puncak prestasi keimanan Ibn Sina dalam kesucian iman dan komitmen ibadah dengan pengecualian minuman keras untuk tujuan pengobatan.
Maka ini adalah keimanan orang yang biasanya hanya sekedar mengaku-ngaku. Banyak kalangan yang telah tertipu oleh mereka. Ketertipuan ini semakin bertambah dengan lemahnya fungsi kritis untuk membantah dan membendungnya. Mereka menolak mendebat ilmu teknik dan logika, serta disiplin lain yang penting bagi mereka yang telah saya paparkan alasanya sebelumnya.
Melihat kelemahan iman banyak kalangan hingga batas ini karena sebab-sebab di atas, aku merasa berkewajban untuk menyingkap kerancuan-kerancuan tersebut. Bagi saya yang sudah berkecimpung banyak di dalam disiplin ilmu dan metode mereka, maksudnya disiplin tarekat sufi, filsuf, Ahl at-Ta‘limiyyah dan ulama terkemuka, membuka kedok mereka lebih mudah daripada minum air. Aku merasa bahwa sekaranglah waktunya. Apa perlunya khalwah dan ‘uzlah bagimu sementara penyakit sudah sedemikian mewabah, dan para dokter sendiri sakit dan kebanyakan orang tengah menuju jurang kehancuran?. Saya bilang pada diri saya:
“Kapan kamu akan menyibukan diri untuk menyingkirkan awan dan menepis kegelapan ini, sementara zamannya adalah zaman kemunduran dan fasenya adalah putaran roda kebatilan? Jika kamu sibuk dengan mendakwahi kebenaran pada mereka tentunya semua orang akan memusuhi kamu. Kalau sudah begitu, bagaimana kamu bisa berkomunikasi dengan mereka. Hal itu hanya bisa dilakukan secara sempurna pada zaman pembantu dan penguasa agamis yang berwibawa”.
Saya lalu meminta keringanan pada Allah untuk meneruskan uzlah dengan alas an kelemahan diri untuk menunjukan kebenaran dengan hujjah dan dalil. Allah Swt. kemudian menggerakan jiwa dakwah penguasa dengan sendirinya tanpa dorongan dari luar. Sultan mengeluarkan perintah mendesak kepadaku untuk pergi ke Naysabur untuk mengecek dan mereportase fitnah ini.
Dari sini aku tersadar bahwa alasan dispensasi ketidakberdayaan, tidak seharusnya diajukan jika pendorong untuk tetap uzlah hanyalah karena kemalasan dan untuk beristirahat saja, mencari prestise diri dan menjaga diri dari pesakitan manusia. “Jangan kamu meminta keringanan lagi atas dirimu hanya karena brutalnya manusia sementara Allah sudah berfirman menjanjikan:
“Alif Laam Miim, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah Swt. mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 1-3).
Dia juga telah berfirman pada Rasul-Nya yang merupakan makhluk-Nya yang paling terkemuka,
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar atas pendustaan dan penganiyaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami pada mereka.” (Q.S. al-An‘am [6]: 34).
Bahkan Allah berfirman panjang, “yaa Siin. Demi Alquran yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul. (yang berada) di jalan yang lurus. (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan., karena itu mereka lalai. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. Sesungguhnya kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka diangkat ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan, dan yag takut pada Tuhan Yang Maha Pemurah walau pun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” (Q.S. Yasiin [36]:1-11].
Lebih lanjut, saya kemudian meminta pendapat kalangan Sufi (Arbab al-Qulub wa al-Musyahadah). Mereka semua menyetujui keinginan saya untuk menanggalkan uzlah dan keluar dari zawiyyah (tempat peribadatan para sufi-penj.). keputusan ini juga lebih dikuatkan lagi dengan mimpi-mimpi dari para kaum saleh yang cukup banyak dan mutawattir. Aktifitas ini merupakan awal kebaikan dan kelurusan yang telah ditakdirkan Allah Swt. dalam penghujung abad ini. Allah Swt. telah berjanji untuk menyegarkan agama-Nya di setiap penghujung abad. Maka harapan dan prasangka baik pun semakin kokoh dengan kesaksian-kesaksian di atas. Dan Allah memudahkan gerak saya ke Naysabur untuk melaksanakan tugas-tugas ini pda bulan Zul Qa‘dah tahun 499 H. dulu aku meninggalkan Baghdad pada bulan Zu al-Qa‘dah tahun 488 H, kemudian melakukan uzlah selama 11 tahun. Mungkin prilaku ini sudah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi saya. Ini adalah keajaiban takdir-Nya yang belum pernah terlintas dalam hati saya selama laku uzlah. Begitu pula kepergian saya dari Baghdad dan pilihan saya untuk menempuh laku-laku sufisme tersebut juga tidak pernah saya perkirakan kemungkinannya sebeumnya. Alah Swt. memang Maha Pembolak-Balik hati dan kondisi. ‘Dan hati orang mukmin memang berada dalam kedua jari jemari Sang Maha Pengasih.’
Saya bertekad kembali menyebarkan ilmu. Namun aku sadar sepenuhnya, saya tidak boleh kembali terjebak dalam keterpeosokan masa lalu. Dulu saya menyebarkan ilmu demi memperoleh kehormatan. Sekarang saya menyebarkan ilmu yang bisa menjauhkan diri dari ambisi kehormatan dan membuka kedok kehinaan derajat kehormatan dan jabatan. Inilah niat, misi dan harapan saya sekarang. Allah Maha Tahu akan harapan tersebut, bahwa saya terus mencari kebaikan diri dan orang lain selain saya. Saya tidak tahu apakah saya akan mampu mencapai tujuan saya atau malah terperosok lagi melenceng dari misi saya? Tapi saya percaya dengan segala keyakinan dan musyahadah bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali atas restu dan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Agung. Saya tidaklah bergerak sendiri, akan tetapi Allah-lah yang menuntunku untuk bertindak. Saya terus memohon pada Allah untuk memperbaiki diri saya terlebih dahulu. Dan Allah benar-benar telah memperbaiki dan menunjukan saya. Saya juga berdo‘a agar Allah memperlihatkan laku kebajikan sebagai kebajikan , untuk kemudian Dia memberi saya kekuatan untuk mengikutinya, dan menunjukan kebatilan sebagai kebatilan untuk kemudian Dia mengkaruniai saya kemampuan untuk menjauhinya.
Sekarang marilah kita kembali kepada masalah yang kami sebutkan di muka tentang sebab-sebab kelemahan iman demi menunjukan pada mereka akan jalan kelurusan dan menyelamatkan mereka dari jurang kehancuran.
Untuk kalangan yang mengaku bingung akan hal-hal yang mereka dengar dari kaum aliran at-ta‘lim, terapi pengobatannya telah kami sebutkan dalam kitab ‘al-Qistas al-Mustaqim’. Makanya, kami tidak memperpanjang keterangan tersebut dalam risalah ini.
Mengenai hal yang dituduhkan oleh kalangan kaum yang serba membolehkan (kaum ibahah), kami memetakan kerancuan-kerancuan mereka dalam 7 macam. Kami membeberkannya dalam kitab ‘kimiya as-Sa‘adah’.
Menjawab kalangan yang telah rusak imannya akibat jalan filsafat yang mereka tempuh hingga sampai mengingkari kebenaran kenabian, kami telah memaparkan hakikat kenabian dan keberadaan wujudnya sebagai sebab keharusan, dengan analogi adanya ilmu khasiat-khasiat medis dan astronomi, serta selain keduanya. Bahkan kami sengaja mendahulukan pembahasan tentang masalah ini sebagai pengantar sengaja untuk keperluan demikian. Kami memakai dalil dari khasiat-khasiat medis dan kedokteran karena memang pengetahuan-pengetahuan tersebut sama dengan disiplin ilmu mereka. Karena kita harus menjelaskan pada setiap orang terpelajar dengan keterampilan ilmu yang sama dengan mereka seperti astronomi, kedokteran, matematika, sihir, dan sulap dengan melalui penjelasan bukti-bukti kenabian.
Ada pun orang yang mengakui kenabian dengan lisannya, namun menyamakan syariat dengan hikmah, maka mereka sebenarnya telah kafir karena mengingkari kenabian dan beriman kepada hukum yang mempunyai karakter khusus yang harus diikutinya. Ini jelas bukan termasuk kenabian sama sekali. Akan tetapi, keimanan pada kenabian adalah kesediaan mengakui adanya fase lanjutan di belakang akal, di mana terbuka dalam fase tersebut mata yang mampu melihat pengetahuan tertentu yang tidak bisa dijangkau oleh akal sebagai mana ketidakmampuan suara untuk mengetahui warna, indera penglihatan untuk mengetahui suara, dan ketidak-mampuan panca indera untuk mengetahui hal-hal rasional. Jika memang hal ini tidak boleh, maka kami telah mempunyai bukti demonstratif, akan potensi kemungkinan, bahkan realitas itu sendiri. Dan jika mereka membolehkan penjelasan demikian, maka telah terbukti juga di sini bahwa terdapat hal-hal yang disebut dengan khasiat yang tidak dilewati lintasan akal, bahkan akal malah cenderung mendustakannya dan menetapkan kemustahilannya. Juga bahwa ganja seberat 1/6 dirham adalah racun yang mematikan, sebab ia membekukan darah di dalam nadi karena saking dinginnya.
Sementara kalangan yang menganggap diri sebagai pakar ilmu alam menyatakan bahwa di antara komposisi alam ada unsur yang mendinginkan dengan campuran senyawa air dan debu. Keduanya adalah unsur dingin . padahal sudah maklum adanya bahwa berliter-liter air dan tanah pendinginannya di dalam tidak sampai batasan ini. Jika seorang naturalis diberitahukan akan kenyataan ini dan ia belum pernah melakukan eksperimen atasnya pasti ia akan bilang:
“ini jelas mustahil. Bukti kemustahilannya bahwa di dalamnya mengandung komposisi air dan udara. Air dan udara tidak akan menambah kedinginannya. Lalu jika kita mengukur masing-masing dengan air dan debu, maka takaran tinggi pun suhu ini jelas tidak menimbulkan dingin, apalagi jika dimasuki kedua unsur panas. Pastilah lebih tidak berdampak”.
Ia begitu mengunggulkan hal ini sebagai bukti penyelidikan (burhan), dan memang kebanyakan argumen kaum filsuf dalam disiplin naturalisme dan ketuhanan didasarkan pada jenis ini. Mereka hanya melihat permasalahan sebatas yang mereka temukan dan logika-kan dengan akal, sehingga terhadap hal-hal yang asing. Mereka menduga-duga sebagai sesuatu yang mustahil adanya. Padahal mimpi yang benar-benar (ar-ra‘yu as-sadiqah) biasanya tidak lumrah. Maka jika ada orang yang mengaku bahwa dalam ketidak berfungsian inderanya ia melihat dan mengetahui barang gaib, pastilah akan ditolak oleh kalangan oleh kalangan ini. Apa lagi jika dikatakan pada mereka:
“Bolehkah (terjadi) di dunia ini sesuatu sebesar biji diletakan di sebuah negeri untuk memakan negeri tersebut, dan kemudian memakan dirinya sendiri, sehingga tidak tersisa apa-apa lagi di dalam negeri tersebut beserta seluruh isinya, dan sesuatu itu pun juga tidak tersisa?” mereka akan langsung menyatakan:
”ini tidak mungkin. Ini hanya khurafat yang mengada-ada”.
Padahal ini adalah soal api yang dapat membumi-hanguskan seluruh negeri. Namun mereka yang belum pernah menyaksikan hal tersebut akan langsung mengingkari jika mendengarnya. Dan kebanyakan pengingkaran akan keajaiban akhirat juga berlangsung demikian. Maka kami katakan pada kaum naturalis:
“Anda menyatakan sendiri bahwa di dalam ganja terdapat khasiat pendingin yang tidak bisa dianalogikan secara akal dengan tabiat alam. Lalu mengapa tidak boleh terjadi di dalam masalah-masalah syar‘iat agama yang punya khasiat-khasiat untuk menyembuhkan hati dan membersihkannya yang memang tidak bisa terjangkau oleh kemampuan akal, melainkan harus dengan mata batin kenabian?”.
Mereka sendiri telah banyak mengakui khasiat-khasiat yang lebih aneh lagi dari hal ini di buku-buku mereka, misalnya khasiat aneh didalam mengobati orang hamil yang kesulitan mengeluarkan janin dengan bentuk rajah seperti ini:
Tulis rajah di atas dua sobekan baju yang belum terkena air. Lalu si perempuan yang hamil (suruh) melihat pada keduanya dengan kedua matanya. Kemudian (suruh) ia meletakan keduanya di bawah kedua kakinya, maka pastilah si jabang bayi akan langsung keluar seketika dengan sangat mudah”.
Mereka mengakui kemungkinan hal ini dan memaparkannya panjang lebar dalam kitab ‘Ajaib al-Khawwas’. Kitab ini berbentuk tujuh bait yang dinomori dengan angka-angka khusus, dan jumlah total di dalam satu tabel adalah 15. aku telah membacanya, dalam bentuk yang panjang, lebar dan atas kedua sisinya.
Sungguh aneh bin ajaib! Bagaimana bisa orang yang membenarkan hal tersebut, tapi akalnya tidak terbuka untuk mempercayai dan membenarkan bahwa ketentuan salat subuh 2 rakaat, zuhur 4 rakaat, dan maghrib 3 rakaat juga mempunyai khasiat-khasiat yang tidak bisa diketahui dengan kemampuan nalar yang menunjukkan alasan perbedaan waktu, melainkan hanya bisa dijangkau dengan cahaya kenabian. Anehnya lagi, jika kita mengubah bahasa ungkapannya dengan bahasa kaum astronomi, pastilah mereka akan mempermasalahkan perbedaan rakaat karena perbedaan waktu tersebut. Maka akan kami katakan pada mereka:
“Bukankah berbeda-beda pula penilaian orang yang melihat matahari di tengah-tengah langit, dengan yang melihatnya di ufuk timur dan saat tenggelam. Toh banyak orang menjadikannya sebgai patokan dalam terapi penyembuhan bagi bermacam penyembuhan, dan untuk umur dan waktu yang berbeda-beda. Padahal tidak ada beda antara matahari lengser dan ketika ia di tengah-tengah langit, dengan saat ia tenggelam dan berada di barat. Apakah ada jalan lain untuk membenarkannya?”.
Ketika ia mendengar hal ini dengan bahasa ahli astronomi, mungkin ia akan mencoba mendustakannya 100 kali, sampai si ahli bilang kepadanya:
“Jika matahari berada di tengah-tengah langit, planet Fulan terlihat, dan bintang Fulan juga muncul, maka jika aku memakai baju baru di saat demikian, niscaya aku akan mati karena sebab baju tersebut! Karena tidak boleh memakai baju tersebut pada saat demikian, karena mungkin kedinginan yang luar biasa akan menderanya”. Ia akan membenarkannya, meski mungkin ia telah mendengar dan mengetahui kebohongan ucapan si ahli astronomi ini berkali-kali.
Aneh sekali orang yang mau saja akalnya memerima hal rancu ini, bahkan terpaksa membenarkannya sebagai khasiat, dimana mengetahuinya sendiri merupakan mukjizat sebagian para Nabi, bagaimana bisa ia malah mengingkari hal yang sama ketika ia mendengarnya dari pernyataan yang benar dari Nabi dan dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat yang tidak mengenal sedikitpun kata dusta.
Jika seorang filsuf mengingkari daya khasiat-khasiat ini dalam bilangan rakaat, ritual melempar jumrah, jumlah rukun haji, dan ritual-ritual ibadah syara lainnya, ia sebenarnya tidak akan menemukan perbedaan yang mendasar antara hal-hal tersebut dengan khasiat-khasiat obat-obatan dan bintang. Jika ia berdalih:
“Aku telah melakukan satu uji dari disiplin astronomi dan uji coba lain dari disiplin medis. Aku melihat sebagian memang benar adanya dan diriku pun tergerak membenarkannya. Dan gugur dalam hatiku untuk menepis dan mengingkarinya. Namun akan halnya ini, aku belum pernah mencobanya. Dengan apa aku bisa mengetahui keberadaanya dan pembuktian kebenarannya jika aku mengakui kemungkinannya?”.
Akan saya katakan padanya:
“Anda jangan mendustakan apa yang anda coba, bahkan ketika anda mendengar informasi dari para pencoba lain anda pun begitu saja mengikutinya. Maka dengarkan kata-kata para Nabi. Mereka telah mencoba hingga menyaksikan kebenaran semua yang di datangkan oleh syari‘at. Titilah jalan mereka, maka akan anda temukan dengan penyaksian sebagian yang anda cari !”.
Lebih lanjut saya katakan bahwa jika memang anda belum mencobanya, namun akal anda memutuskan keharusan membenarkan dan mengikutinya secara pasti. Maka lihat misalnya jika kita mengambil hipotesa seorang anak yang telah menginjak akil baligh. Ia belum pernah mengalami sakit kemudian sakit. Di sini ia memiliki seorang bapak yang begitu penyayang dan cakap dalam masalah kedokteran yang telah mendengar rumusan-rumusan pengetahuan kedokteran sejak akil balighnya. Kemudian si bapak meracik obat untuk si remaja yang sakit dan berkata:
“Obat ini cocok untuk sakitmu. Ia akan menyembuhkanmu dari kesakitanmu”.
Coba, apa yang akan diputuskan oleh akal si anak?. Jika memang obat itu pahit dan berasa kurang enak, apakah si anak akan menelannya demi kesembuhannya, ataukah malah menolak dan memutuskannya sambil berkata:
“Akalku belum mengerti kaitan obat ini dengan kesembuhanku, karena aku belum pernah mencobanya!”.
Di sini, anda pasti akan membodoh-bodohkan anak itu jika ia melakukan hal tersebut. Maka, begitu pula orang-orang kaum pemilik mata batin akan membodoh-bodohkan anda dalam kekukuhan anda menolak petuah para Nabi! Jika anda mau mengatakan:
“lalu bagaimana aku bisa mengetahui kasih sayang Nabi Saw. dan pengetahuannya dalam masalah medis?”, Maka akan saya bilang:
“Bagaimana anda bisa mengetahui kasih sayang ayahmu? padahal itu bukan sesuatu yang bisa diraba dengan indera. Anda kan mengetahuinya lantaran tanda-tanda prilakunya serta bukti-bukti perbuatanya dalam sumber-sumbernya dengan pengetahuan mendesak yang tidak diragukan lagi.”
Barang siapa yang memperhatikan sabda-sabda Rasulullah Saw. dan kabar tentang beliau dalam usaha membimbing manusia, kasih sayangnya mengenai keberutalan manusia dengan segala kelembutan dan kasih sayangnya demi membaguskan akhlak mereka dan memperbaiki yang jelek, dan secara umum pada hal-hal yang menjadi titik tolak kebaikan agama dan keduniaan manusia. Maka ia akan memperoleh kepastian pengetahuan bahwa kasih sayang Nabi pada umatnya lebih besar daripada kasih sayang orang tua kepada anaknya. Lebih lanjut, jika anda melihat keajaiban-keajaiban laku beliau yang tampak nyata dan yang gaib sebagaimana yang disampaikan dalam Alquran melalui lisan beliau serta yang diberitakan juga dalam khabar-khabar (hadis), hingga prihal yang beliau sebutkan di akhir zaman yang kemudian muncul menjadi kenyataan sebagaimana yang beliau isaratkan. Maka ia akan tahu dengan sendirinya bahwa beliau telah mencapai fase lanjutan melebihi akal. Telah terbuka baginya, mata yang menyingkap segala kegaiban yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang khusus (khawwas), serta hal-hal lain yang tidak terjangkau akal. Inilah metodelogi ilmiah yang akan mendesak dan mengharuskan pembenaran akan Nabi Saw.. Cobalah dan renungkanlah Alquran, lalu telaah juga khabar-khabar (hadits), niscaya anda akan mengetahui hal tersebut dengan mata kepala sendiri.
Penjelasan sekedarnya ini cukup untuk memperingati orang yang sedang meniti jalan filsafat. Kami menguraikan karena kebutuhan yang sangat mendesak pada zaman ini.
Adapun factor penyebab keempat adalah kelemahan iman karena keburukan laku para ulama. Penyakit ini bisa disembuhkan dengan tiga hal:
Pertama:
Apa yang anda katakan bahwa orang alim yang menurut anda telah memakan barang haram itu, maka pengetahuannya tentang hal tersebut sama seperti pengetahuan anda mengenai keharaman khamr. Memakan daging babi dan makan riba, hingga keharaman menggunjing orang, berbohong dan propokasi(namimah). Anda juga tahu persis keharaman hal tersebut, tapi anda tetap pula melakukannya. Hal ini bukan karena ketidak imanan anda akan kemaksiatan hal tersebut, melainkan karena syahwat telah menguasai anda. Maka nafsu syahwat seorang alim ulama juga sama seperti syahwat anda. Ia telah terkalahkan oleh syahwatya sebagaimana anda. Hanya pengetahuannya akan masalah-masalah di belakang inilah yang membedakan dia dengan anda. Bertambahnya larangan dari hal-hal terlarang ini tidak sesuai dengan kapasitasnya. Betapa banyak orang yang percaya akan medis, namun mereka tidak sabar dengan buah-buahan tertentu dan air dingin, meski dokter telah menjauhkan dan melarangnya untuk mengkonsumsinya. Hal ini tidak boleh diartikan bahwa hal itu tidak berbahaya, atau bahwa kepercayaan kepada medis tidak benar. Inilah letak kesalahan para ulama.
Kedua:
Dikatakan pada orang awam bahwa sebaiknya kamu percaya bahwa seorang ulama menjadikan ilmu sebagai bekal untuk dirinya kelak di akhirat. Si ulama menyangka bahwa ilmu akan menyelamatkannya serta menjadi penolongnya sampai-sampai ia meremehkan amalan-amalannya karena keutamaan ilmunya. Padahal jika memang ilmu boleh dijadikan sebagai tambahan argumentasi olehnya, maka ia boleh juga menjadi tambahan derajatnya. Hal ini mungkin-mungkin saja. Kalau pun ia meninggalkan amal, ia masih bisa menunjukan ilmu. Sedangkan kamu!, wahai orang awam, jika kamu hanya melihatnya, kemudian kamu meninggalkan amal, sementara kamu juga melalaikan ilmu, maka kamu akan binasa karena kejelekan amalmu tanpa ada penolong.
Ketiga:
Inilah yang benar. Bahwa seorang alim ulama sejati tidak melakukan tindak maksiat kecuali karena factor kelalaian. Dan ia juga tidak akan bersikeras berbuat maksiat. Sebab ilmu sejati telah mengajarkan bahwa maksiat merupakan racun yang merusak, dan akhirat lebih utama dari pada dunia. Orang yang sudah tahu hal ini tidak akan mempertaruhkan kebaikan dengan sesuatu yang lebih rendah. Ilmu ini juga tidak diperoleh sebagaimana jenis disiplin-disiplin lain yang banyak digeluti oleh orang yang malah semakin menambah keberanian mereka untuk berbuat maksiat pada Allah. Beda dengan ilmu sejati, maka ia menambahkan bagi pemiliknya rasa takut dan harap cemas. Perasaan inilah yang akan menghalangi dirinya untuk tidak berbuat maksiat, kecuali ada godaan kesalahan yang memang tidak akan mampu ditahan oleh semua orang dalam beberapa fase. Hal ini tidak lalu menunjukan kelemahan iman mereka. Karena orang mukmin adalah orang yang suka bertaubat. Mereka jauh dari kekukuhan dan kesetiaan pada kesalahan.
Demikianlah yang ingin aku uraikan dalam rangka mendudukan noda dan bahaya disiplin filsafat dan faham ta‘lim aliran syi‘ah Batiniyyah, serta bahaya orang yang mengingkari keduanya tanpa menggunakan metode.
Kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang Dia lindungi dan Dia tunjukan pada kebenaran jalan-Nya, juga yang Dia ilhami untuk terus berzikir mengingat-Nya tanpa pernah melupakan-Nya, serta yang Dia jaga dari kejelekan diri sehingga tidak terpengaruh oleh kejelekan orang lain, dan terakhir, semoga Dia berkenan menjadikan kita semua sebagai orang-orang dibersihkan dirinya sehingga hanya menyembah kepada-Nya.
Shalawat dan salam bagi penghulu kita, Muhammad Saw., beserta seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Bab ii
Meraih kebahagiaan sejati
[kimiya as-sa‘adah]
Bismillahirrahmanirrahim
Kata pengantar pengarang
Puji syukur kepada Allah Swt. yang telah menaikan derajat jiwa orang-orang yang suci dengan perjuangan batin, yang telah membahagiakan hati para wali dengan penyaksian haq, yang telah menghiasi ucapan orang-orang mukmin dengan zikir, yang telah memuliakan hati orang-orang yang banyak mengetahui serta bijak dengan berfikir, yang telah menjaga para hamba dari kerusakan, yang telah menahan segala halangan dari para ahli zuhud, yang telah menghindarkan orang-orang taqwa dari godaan nafsu, yang telah mensucikan ruh orang-orang yakin dari segala keraguan, yang telah menerima semua amal perbuatan para pencinta kebaikan melalui do‘a-do‘a dan telah menguatkan tali persatuan penyanjung kemerdekaan dengan ikatan yang kuat.
Aku memuji-Nya dengan pujian mereka yang telah menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan kekuatan-Nya, yang telah menyaksikan ke-Mahatunggalan-Nya dan wahdaniyah-Nya, yang telah mengetuk pintu-pintu rahasiah-Nya dan kemuliaan-Nya, yang telah memetik buah dari sujud dan kataatan kepada-Nya. Aku mensyukuri-Nya dengan syukur mereka yang telah terbakar dan hanyut dalam arus sungai kemuliaan dan pemuliaan-Nya.
Aku beriman pada-Nya dengan iman mereka yang telah mengakui kitab-kitab-Nya, perintah-Nya, para Nabi-Nya, para Wali-Nya, janji-janji-Nya, ancaman-Nya, pahala dan azab-Nya. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Maha Tunggal dan yang tidak memiliki sekutu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang diutus untuk menghancurkan kefasikan dan kemerosotan moral, diutus untuk mencerai-beraikan para pembangkang, diutus untuk memaksa orang-orang musyrik mengakui kebenaran-Nya, diutus untuk menolong para pengikut kebenaran dan kebaikan. Maka semoga keselamatan senantiasa Allah menganugerahkan kepadan Rosul SAW dan kepada para sahabatnya.
OBYEK PENGETAHUAN ADALAH DIRI
Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang seluk beluk tubuh tidak ada dalam katalog ilmunya kaum awam. Akan tetapi tersimpan dalam gudang ilmu para raja, demikian juga dengan kimia kebahagiaan. Ia hanya ada dalam gudang rahmat Allah Swt. Di langit atas tersimpan inti para malaikat, dan di bumi tersimpan hati para wali yang bijak. Dan setiap orang yang mencari kimia ini tanpa berdasar kehadiran konsep kenabian, maka ia telah salah jalan dan semua daya upayanya tak lebih seperti uang dinar palsu. Ia kira dirinya kaya, tapi sebenarnya miskin di hari kiamat, sebagaimana ditegaskan allah Swt.:
“Maka kami singkapkan dari padamu tutup yang menutupi matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.S. Qaf [50]: 22).
Dari sejumlah rahmat Allah pada hamba-Nya, Dia telah mengutus seratus dua puluh empat ribu Nabi untuk mengajarkan seluruh manusia tentang kimia ini, mengajarkan mereka bagaimana menjadikan hati sebagai alat mujahadah perjuangan diri. Mengajarkan bagaimana mensucikan hati dari budi pekerti tak terpuji dan mengajarkan bagaimana mengggunakannya untuk menapaki tangga-tangga kesucian, seperti dijelaskan Allah Swt.:
“Dia-lah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kitab dan hikmah.” (Q.S. al-Jum‘ah [62]: 2).
Atau mensucikan mereka dari akhlak tidak terpuji dan sifat-sifat kebinatangan, serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai baju dan hiasan mereka.
Ada pun maksud dari kimia ini adalah, bahwa semua yang berhubungan dengan sifat-sifat negatif dan buruk maka wajib meninggalkanya, dan semua yang berhubungan dengan sifat-sifat positif dan kebaikan maka wajib mengenakannya. Satu-satunya rahasia keberhasilan kimia ini adalah melangkah mundur dari keduniawian seperti ditegaskan oleh Allah Swt.,:
“Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.S. al- Muzammil [73]: Dan kimia ini sangat banyak.
PENGETAHUAN TENTANG DIRI PRIBADI
Ketahuilah bahwa kunci mengetahui Allah (ma‘rifat Allah) adalah mengetahui diri pribadi. Sepeti firman-Nya :
“Kami akan memperlihatkan pada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami atas segenap galaksi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran adalah benar.” (Q.S. Fussilat [41]: 52).
Demikian pula sabda Nabi Saw. “Siapa saja yang tahu akan dirinya, maka ia telah mengetahui Tuhannya.” Tak sesuatu yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri. Maka jika kamu tidak mengetahui dirimu, bagaimana mungkin bisa mengetahui Tuhanmu?.
Jika kamu katakan bahwa :aku telah mengetahui diriku, yang kamu tahu sebenarnya adalah diri bagian yang tampak (anggota badan) yang terdiri dari tangan, kaki, kepala dan yang lainnya. Kamu tak mengetahui apa yang tersimpan dalam jiwamu. Yang bila sedang marah, ia menueretmu kepada untuk bertengkar. Jika sedang bernafsu ia mengajakmu kawin. Jika sedang lapar, ia memintamu makan. Jika sedang haus, ia memintamu minum, dan hewan sangat mirip denganmu dalam hal ini. Maka dari itu, yang wajib engkau lakukan adalah mengenalkan hakikat pada dirimu hingga engkau tahu apa sebenarnya dirimu, dari mana kamu datang hingga sampai di tempat ini (Dunia), untuk tujuan apa kamu diciptakan, dengan apa kamu bisa meraih kebahagiaan dan dengan apa kamu mendapatkan kepuasan.
Dalam jiwamu terhimpun berbagai macam sifat. Di antaranya sifat-sifat binatang jinak, binatang buas, demikian juga sifat-sifat malaikat. Maka ruh adalah hakikatmu yang paling mendasar, lainnya adalah unsur asing dan kosong. Maka yang wajib kamu lakukan adalah mengetahui hal ini, demikian juga bahwa sifat-sifat itu harus dipupuk dan dibahagiakan. Kebahagiaan binatang jinak terletak pada makan, minum, tidur dan kawin, maka jika kamu merasa bagian dari mereka, kenyangkan perutmu! dan puaskan kelaminmu!. Kebahagiaan akan dirasakan binatang buas ketika ia mampu menyerang dan melumpuhkan mangsa, kebahagiaan syetan terletak pada makar, kejahatan dan tipuan. Maka jika kalian merasa bagian dari mereka, berbuatlah seperti yang mereka lakukan!.
Kebahagiaan dirasakan para malaikat, ketika mereka mengalami keindahan hadir di tengah haribaan Tuhan. Bagi mereka tak ada jalan sedikit pun untuk amarah dan syahwat. Jika engkau merasa sehakikat dengan mereka, berusahalah mengenal asalmu sampai engkau tahu jalan menuju hadirnya kehambaan Tuhan. Sampai engkau bisa menyaksikan kebesaran dan keindahan-Nya. Sampai engkau mampu menyelamatkan dirimu dari belenggu amarah dan nafsu. Sampai engkau tahu untuk apa sifat-sifat ini menjadi bagian dari dirimu.
Allah Swt. tidak menciptakan semua sifat itu agar mereka mengekangmu dan menawanmu, tapi Ia menciptakannya agar mereka menjadi dibawah kendalimu dan tawananmu. Agar bisa mendorong berjalan, yaitu kedua kakimu dan agar salah satunya bisa engkau jadikan kendaraan berjalan sedangkan lainnya sebagai senjata hingga engkau mencapai kebahagiaan. Jika engkau telah sampai, maka kendalikanlah ia di bawah kedua kakimu dan kembalilah ke tempat kebahagiaanmu. Tempat itu adalah rumah bagi para orang-orang khusus yang menyaksikan Hadirat Illahi (al-Hadrah al-Illahiyyah), sedang rumah-rumah para awam adalah tingkatan-tingkatan surga.
Engkau harus mengerti makna-makna istilah ini untuk bisa mengetahui sepenggal saja tentang dirimu. Dan barang siapa yang tidak mengetahui pada makna-makna ini, maka ia hanya mendapatkan serpihan-serpihannya saja, karena hakikat sebenarnya tertutup rapat .
PASAL DUA
HATI , JIWA DAN RUH
Jika kamu berkeinginan untuk mengerti prihal dirimu, maka ketahuilah bahwa engkau sebenarnya terdiri dari dua hal: Pertama, hati, dan kedua yang disebut jiwa atau ruh. Jiwa atau ruh adalah hati yang biasa engkau sebut sebagai mata hati. Hakikatmu adalah jiwamu, karena jasad yang tampak pertama sebenarnya adalah terakhir. Dan jiwa yang engkau anggap sebagai terakhir sebenarnya yang pertama, atau disebut hati. Hati disini bukanlah sepotong daging yang terletak di dada sebelah kiri, karena itu hanya berlaku bagi binatang dan jasad mati.
Segala sesuatu yang kamu lihat dengan mata telanjang adalah alam ini atau yang disebut alam realita. Sedang hakikat hati bukanlah bagian alam ini, tapi alam gaib, dan hakikat itu tersimpan di balik alam ini. Segumpal daging itu hanyalah wadahnya, semua anggota tubuh adalah bala tentaranya, sedang ia adalah rajanya. Ma‘rifah Allah (mengtahui Allah) dan musyahadah (menyaksikan) keindahan hadir-Nya adalah sifat-sifat mata hati. Beban baginya dan perintah untuknya. Dari situ ia mendapatkan pahala dan siksa. Kebahagiaan dan kepuasan mengikutinya, demikian ruh hewani pun mengintainya. Mengetahui sifat-sifat hati adalah kunci mengetahui Allah Swt.. Maka kamu harus bekerja keras untuk mengetahuinya, karena ia adalah inti mulia yang berakar pada inti para malaikat dan berasal dari Hadirat Illahi, dari tempat itu ia datang dan ke tempat itu ia kembali.
“dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: “ruh itu termasuk urusan Tuhanmu,” (Q.S. al-Isra’ [17]: 85)
Karena ruh merupakan bagian dari kekuasaan Ilahiyyah, yaitu dari alam al-amr ( kekuasaan Tuhan). Allah Swt. berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah haqq Allah.” (Q.S. al-‘Araf [7]: 54)
Dengan demikian, pada satu sisi manusia merupakan bagian dari alam ciptaan dan pada sisi lain bagian dari alam kekuasaan. Segala sesuatu yang bisa dikenai ukuran panjang-lebar, takaran, dan cara kerja, adalah termsuk alam ciptaan, namun hati tidak memiliki ukuran panjang lebar dan kadar tertentu. Oleh karena itu, ia tak menerima pembagian. Jika bisa dibagi, maka ia bisa termasuk alam ciptaan. Misalnya sisi sifat bodoh, maka ia pun menjadi bodoh, dari sisi sifat pintar, ia pun menjadi pintar. Namun segala sesuatu yang memiliki sifat bodoh dan pintar pada saat yang sama adalah mustahil. Jadi jelas hati bagian dari alam kekuasaan, karena dalam alam kekuasaan(alam al-amr) tidak berlaku ukuran panjang,lebar dan kadar tertentu. Sebagian dari mereka mengira bahwa ruh bersifat qadim (permulaan), maka mereka telah salah. Sebagian lain berpendapat ruh adalah ‘ard (aksiden), maka mereka pun salah. Karena sifat tak pernah berdiri sendiri, tapi mengikuti yang lain. Maka, ruh adalah asal anak Adam, dan jiwa adalah wadah mereka. Jadi bagaimana mungkin dia adalah sifat. Suatu kaum mengatakan ruh adalah badan, mereka juga salah, karena badan menerima pembagian. Dan ruh yang sejak tadi kita sebut adalah sarana untuk mengetahui Allah. Oleh karena itu, ia bukan merupakan badan, juga bukan sifat, melainkan unsur inti malaikat.
Mengetahui tentang ruh teramat sangat sulit, karena agama tak memberi jalan sedikit pun. Dan agama tidak memerlukan untuk mengetahuinya, sebab agama intinya adalah kesungguhan beribadat, sedang ma‘rifah adalah tanda hidayah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 69)
Dan barang siapa yang tidak bersungguh-sungguh beribadah( Mujahadah), ia tidak boleh membahasnya atau mencari hakikatnya. Dasar pertama dari mujahadah adalah mengetahui bala tentara hati. Karena manusia jika tidak mengetahui hal ihwal kemiliteran, ia tak dibenarkan berperang.
“dan tak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.” (Q.S. al-Mudatsir[74]: 31)
Hati diciptakan untuk tugas-tugas akhirat, untuk mendapatkan kebahagiaannya. Adapaun kebahagiaan hati adalah dengan mengetahui Tuhannya. Mengetahui Tuhannya bisa didapatkan melalui ciptaan Allah Swt. dari berbagai ‘alam-Nya. Keajaiban alam tidak mungkin terlihat kecuali melalui panca indera, dan panca indera berasal dari hati yang mengambil jiwa sebagai sarananya. Kemudian dilanjutkan dengan mengetahui cara kerjanya dan komponen. Jiwa tidak akan berfungsi aktif kecuali dengan makan, minum, suhu panas dan kelembaban tertentu. Ia akan lemah saat dibebani bahaya dari dalam, yaitu lapar dan haus. Demikian saat melawan bahaya luar, seperti air dan api. Ia menghadapi banyak musuh.
Seandainya akal berada di bawah kendali kekuasaan amarah dan syahwat, maka jiwanya akan rusak dan hatinya tidak akan bahagia di akhirat kelak.
“Dan Aku tak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Q.S.az-Zariyat [61]: 56)
Artinya, bahwa Kami telah menciptakan hati, mendudukanya sebagai raja dan memberinya bala tentara. Kami juga telah menjadikan jiwa sebagai kendaraannya hingga ia bisa berjalan dari alam yang penuh debu ke arah alam atas yaitu ‘illiyin.
Jika berkeinginan melaksanakan anugerah nikmat ini, duduklah dalam kerajaannya, jadikan kehadiran Tuhan sebagai kiblat dan tujuannya, jadikan akhirat sebagai tanah air dan akhir keputusannya, demikian jiwa sebagai kendaraannya, dunia sebagai rumah sementaranya, kedua tangan dan kaki sebagai pembantunya, akal sebagai menterinya, syahwat sebagai budaknya, amarah sebagai angkutannya dan indera sebagai mata-matanya. Masing-masing bagian itu adalah gambaran dari setiap alam yang mengumpulkan semua hal mengenai kondisi alam-alam lainnya.
Daya khayal di bagian muka kepala seperti seorang kapten yang bertugas mengumpulkan semua informasi mata-mata. Daya hafal pada bagian tengah kepala pemilik peta informasi yang bertugas mengumpulkan komponen dari tangan sang kapten sampai ia ajukan kepada akal. Jika informasi-informasi ini sampai pada sang menteri, baru ia akan lihat kondisi kota sebagaimana mestinya.
Jika kamu melihat salah satu dari mereka membangkang, seperti syahwat dan amarah, maka engkau harus berupaya keras menundukannya. Ini tidak bermaksud untuk membunuhnya. Sebab kerajaan tidak akan bertahan tanpa keduanya. Jika engkau mampu menundukanya, maka engkau adalah orang yang berbahagia, yang telah melaksanakan perkara yang wajib dilakukan atas limpahan anugerah nikmat. Wajib bagimu menghadiahkan sesuatu pada saat itu, jika tidak, maka engkau tidak akan bahagia, dan dikenai siksa dan diwajibkan bertaubat.
Namun jika disinergikan yang akan muncul adalah kesabaran, keberanian, dan kearifan. Nafsu juga demikian, jika semakin memuncak, maka yang muncul adalah kejelekan dan kejahatan, dan jika berkurang maka akan menyebabkan kelemahan dan ketidakgairahan. Namun jika disinergikan, yang ada adalah kesucian, kepuasan dan sifat-sifat sejenis yang baik lainnya.
PASAL SEPULUH
ANJING, BABI, SETAN DAN MALAIKAT
Ketahuilah bahwa di dalam kulit manusia terdapat empat hal, anjing, babi, setan dan malaikat. Anjing tercela pada segenap sifatnya dan tidak dari bentuknya. Begitu pun setan dan malaikat, memiliki hal tercela hanya pada sifat-sifatnya dan bukan pada bentuk atau tingkah lakunya. Babi pun demikian, tercela dalam sifat- sifatnya tapi tidak pada bentuk dan tingkah lakunya.
Manusia diperintahkan untuk menyngkap kebodohan dengan cahaya akal agar terhindar dari segala macam fitnah. Seperti ditegaskan Rasulullah Saw. :
“Tak seorang pun (dari manusia) kecuali memiliki setan, aku juga memiliki setan. Sungguh Allah telah menjagaku dari setanku hingga aku bisa menguasainya.”
Demikian nafsu dan amarah harusnya berada di bawah kendali akal, hendaknya harus dijamin tidak akan melakukan sesuatu kecuali atas perintahnya. Jika seseorang melakukan proses demikian, ia dibenarkan berakhlak terpuji. Sifat ini adalah sifat malaikat dan merupakan benih kebahagiaan. Namun jika melakukan hal sebaliknya, maka ia dikatakan berakhlak tercela. Sifat ini adalah bagian dari sifat-sifat setan dan merupakan benih dari timbulnya siksa. Dalam tidur ia akan melihat dirinya, seakan berdiri terpasung menjadi budak anjing dan babi. Orang ini seperti lelaki muslim yang membawa beberapa muslim lainnya dan menawan mereka di penjara orang-orang kafir. Bagaimana perasaanmu jika nanti pada hari kiamat sang raja, yaitu akal, tertawan di bawah kendali nafsu dan amarah, yaitu anjing dan babi?.
PASAL SEBELAS
BELENGGU YANG MENGOTORI HATI
Ketahuilah bahwa manusia pada saat ini berbentuk anak Adam, kelak kemudian saat makna-makna itu tersingkap, mereka pun keluar dalam bentuk menyesuaikan dengan makna masing-masing. Mereka yang dominan amarahnya, maka akan berdiri dalam bentuk anjing. Mereka yang dominan nafsunya, maka akan berdiri dalam bentuk babi, sebab bentuk selalu mengikuti makna-makna. Seorang yang tertidur akan melihat semua yang ada dalam jiwanya.
Karena demikian halnya dimana isi jiwa manusia tercirikan dalam empat hal dia atas, maka ia harus memeriksa setiap gerak-geriknya, diamnya dan mengenali diri termasuk dari bagian mana dari yang empat itu. Sifat-sifat itu ada dalam hati dan terus bertahan ada hingga hari kiamat. Dan jika masih tersisa sepenggal kebaikan, maka itu adalah benih kebahagiaan. Sebaliknya jika yang tersisa adalah sepenggal kejelekan, maka ia pun merupakan benih dari siksa. Manusia tidak akan pernah berhenti bergerak dan diam, hatinya bagaikan kaca. Akhlak tercela bagaikan asap dan kegelapan, jika menyentuh hati, maka seketika ia menggelapkan jalan menuju kebahagiaan. Akhlak terpuji bagaikan cahaya dan pancarannya, jika mengenai pada hati maka ia akan membersihkannya dari gelapnya kemaksiatan. Seperti sabda Rasulullah Saw.:
“ Ikutkanlah pada perbuatan jelek itu perbuatan baik yang akan menghapusnya.”
Dan hati bisa jadi terang dan gelap, semua tidak akan lolos kecuali mereka yang mendatangi Allah dengan hati yang pasrah.
”Dia telah menundukan untukmu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi semuanya.” (Q.S. al-Jasyyah [45]: 13).
Jika hati telah mati ( terhindar dari belenggunya ) bersama si pemiliknya, maka pada saat itu tidak ada yang namanya khayal, dan tidak juga indera. Oleh karena itu, pada saat tersebut hati mampu melihat dengan tanpa keraguan atau pun khayalan. Dan ketika itu, diucapkan padanya:
“Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.S. Qaaf [50]: 22).
PASAL ENAM BELAS
METODE PENYINGKAPAN ALAM MALAKUT
Ketahuilah jangan engkau kira ketersingkapan ini hanya terbuka pada saat tidur dan mati saja, tapi ia pun terbuka pada saat sadar bagi mereka yang ikhlas berjihad, ikhlas melakukan latihan riyadah, dan menyelamatkan diri dari belenggu nafsu, amarah, akhlak tercela dan perbuatan buruk.
Jika ia duduk semedi di tempat yang sepi dan mengosongkan dirinya dari aktifitas indera, kemudian membuka mata hati dan pendengaran batiny. Menjalankan fungsi hatinya sebagai bagian dari alam malakut, terus menerus menyebut kalimat Allah, Allah, Allah, dengan hatinya dan tidak dengan lidahnya sampai ia tidak mendapatkan informasi dari dirinya dan alam sekitarnya sedikit pun, dan yang ia lihat hanyalah Allah. Maka kekuatan itu akan terbuka, apa yang ia lihat di saat tidur, ia bisa lakukan pada saat sadar, yang tampak adalah ruh para malaikat dan para Nabi, gambar-gambar bagus nan indah dan mulia, saat itu tersingkaplah kerajaan langit dan bumi. Ia bisa lihat semua yang tidak bisa dijelaskan dan tak bisa digambarkan, sebagaimana sabda Rasul.:
“dibentangkan padaku bumi, seketika kulihat ujung barat dan timur.” Allah Swt. menjelaskan,:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami ( yang terdapat ) di langit dan bumi.” (Q.S. al-An‘am [6]: 75)
Karena semua ilmu para Nabi diperoleh melalui jalan ini dan bukan melalui jalan indera, seperti ditegaskan Allah Swt.:
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.S. al- Muzammil [73]:
Artinya terputus dari segala sesuatu, penyucian diri dari segalanya dan terus memohon kesempurnaan pada-Nya, ini adalah metode (jalan) kaum sufi zaman ini. Sedang metode pengajarannya adalah jalan para ulama. Semua ini dihimpun dari jalan kenabian. Begitu juga ilmu para wali. Sebab ilmu demikian itu tertanam di dalam lubuk hati mereka tanpa melalui perantara, yaitu langsung dari Hadirat Illahi sebagai mana firman-Nya:
“Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya di antara ilmu-ilmu dari sisi Kami.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 65)
Metode jalan ini tidak akan dimengerti tanpa melalui latihan, dan jika tidak dihasilkan dengan rasa, maka ia pun tak bisa dihasilkan melalui pengajaran. Yang seharusnya dilakukan ialah mempercayainya hingga kita bisa mendapatkan kebahagiaan mereka yang telah meraihnya, dan ini adalah sebagian dari keajaiban hati. Siapa yang tidak melihat hasilnya, ia tidak akan mempercayai, seperti firman-Nya.:
“Yang sebenarnya mereka dustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.” (Q.S. Yunus [10]: 39) dan firman-Nya:
“Dan ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya (baca: Alquran) maka mereka berkata: “ini adalah dusta yang lama.” (Q.S. al-Ahqaf [46] :11).
. “Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan kami)”. (Q.S. al-‘Araf [7]: 172)
Begitu pun anak Adam, fitrahnya adalah mempercayai ketuhanan Allah, seperti dalam firman-Nya. “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Q.S. ar-Rum [30]: 30). Para Nabi dan para Wali adalah anak Adam, Allah berfirman.:
“Katakanlah (Muhammad): bahwasannya aku hanyalah manusia seperti kamu”. (Q.S. Fusilat [41]: 6).
Setiap yang menanam pasti menuai, siapa saja yang berjalan, pasti sampai, siapa yang memohon, pasti akan mendapatkan. Permohonan tidak akan berhasil tanpa mujahadah. Jika dua hal ini berlaku pada seseorang, maka Allah telah berkehendak menganugerahinya kebahagiaan dengan hukum azali hingga ia mencapai derajat ini.
Begitu pula mereka yang telah sampai pada ma‘rifat Allah. Ia pun merasa senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab kenikmatan hati adalah makrifat. Setiap kali makrifat bartambah besar, maka nikmat pun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia mengetahui dan berjumpa dengan sang menteri, maka ia akan senang, terlebih lagi jika tahu dan berjumpa dengan sang raja, maka kebahagiaannya tentu lebih besar lagi.
Tak ada satu wujud pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt.. Karena kemuliaan yang dimiliki semua hal timbul oleh sebab-Nya dan dari-Nya. Semua keajaiban alam adalah karya-Nya, tak ada pengetahuan (ma‘rifat) yang lebih mulia selain pengetahuan tentang-Nya. Tak ada kenikmatan yang melebihi nikmat makrifat-Nya. Tak ada pemandangan indah yang melebihi pemandangan Hadirat-Nya. Semua nikmat dari nafsu duniawi menempel pada jiwa, ia akan berakhir bersama kematian. Sedang nikmat pengetahuan (ma‘rifat) tentang ketuhanan tergantung pada hati, ia tidak lenyap bersama kematian, sebab hati tidak akan hancur dan bahkan kenikmatannya akan lebih banyak bertambah, cahayanya lebih besar, karena ia telah keluar dari rahim kegelapan menuju alam cahaya.
Pertama, hendaknya mengetahui bahwa yang menciptakan seseorang juga mampu membawanya kepada kesempurnaan dan bukannya sebaliknya, Ia adalah Allah Swt. Tak satu pun perbuatan di dunia yang lebih ajaib dari penciptaan manusia yang berasal dari air hina (mani) dan pembentukan fisik dengan bentuk yang sangat menakjubkan, sebagaimana firman-Nya.:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.” (Q.S. al-Insan [76]: 2).
Maka untuk mengembalikannya setelah mati, adalah lebih mudah lagi, sebab pengulangan selalu lebih mudah dari permulaan.
Kedua, pengetahuan tentang ilmu Allah Swt. bahwa ia mencakupi segala sesuatu, sebab keajaiban dan keanehan ini tak mungkin ada kecuali dengan kesempurnaan ilmu.
Ketiga, hendaknya engkau tahu bahwa keramahan-Nya, rahmat-Nya dan perlindungan-Nya mengenai segala sesuatu, tak terbatas disaat engkau melihat tumbuhan, hewan dan kandungan bumi, semua berada dalam keluasan kuasa-Nya, bentuk yang baik dan warna yang indah.
Kami berlindung pada Allah Swt. dari semua itu. Kami meminta pertolongan-Nya, sebab Ia sebaik-baik Pemelihara dan Penolong, dan rasa syukur ini, untuk Allah Swt. Tuhan semesta alam. Semoga keselamatan senantiasa dianugerahkan pada junjungan kita Muhammad Saw., dan keluarga berikut para sahabatnya.
PENGARANG:IMAM ALGHAZALI
PENTERJEMAH:MUHAMMAD HILMAN ANSHARY
Bismillahirrahmanirrahim
Pengantar
Segala puji dan syukur kepada Allah yang dengan memuji-Nya akan terbuka segala pemahaman tentang tulisan dan perkataan. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad al-Mustafa , pemilik Nubuwwah, dan pemilik Risalah (kerasulan), beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya yang telah memperoleh petunjuk dengan terhindar dari kesesatan.Saudaraku seiman dan seagama! Dahulu engkau pernah memintaku untuk menguraikan kepadamu tentang puncak dan rahasia-rahasia disiplin ilmu, belenggu mazhab-mazhab dan lubang gelapnya. Menceritakan pengalaman yang pernah aku alami tentang kebenaran yang haq di tengah malang melintangya sekte agama dan perbedaan pendapat. Juga cara-cara yang aku gunakan untuk bisa keluar dari jurang taklid dan mampu melewati bukit terjal pentafsiran. Pertama bagaimana aku bisa memberdayakan ilmu kalam (teologi), kedua mampu menyiasati doktrin-doktrin Ahl at–Ta‘lim (penganut doktrin mahdisme dari aliran Syi‘ah Bathiniyyah) yang membatasi proses penemuan kebenaran dengan hanya bertumpu kepada seorang Imam (yang Ma‘sum), ketiga, mampu menepiskan cara-cara berfilsafat, dan keempat justru aku memilih jalan tasawwuf. Energi apa yang bisa dihasilkan dari penelitian panjang yang kulakukan yang berkaitan dengan peranan makhluk dalam mencari intisari kebenaran?, strategiku dalam menyebarkan ilmu di Baghdad dengan jumlah murid yang banyak, serta motifasi apa yang mendorongku untuk kembali ke Naysabur setelah lama meninggalkannya?. Maka, pada kesempatan ini, aku berinisiatif untuk menjawab pertanyaan mengingat ketulusan keinginan yang begitu membara.
Aku memohon pertolongan dari Allah dan berserah kepada-Nya, memohon kekuatan dan bersimpuh di hadapan-Nya seraya meminta perlindungan-Nya.
Ketahuilah saudara-saudaraku seiman dan seagama!, semoga Allah berkenan membimbingmu sebaik-baiknya. Keragaman agama dan kepercayaan (millah) di antara makhluk, dan adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama yang melahirkan banyaknya sekte dan cara yang beragama. Hal ini seumpama sebuah samudra lautan dalam yang menenggelamkan banyak orang, dan hanya sedikit saja yang mampu selamat dari gulungan ombaknya. Sehingga setiap kelompok dan sekte mengklaim diri sebagai ‘yang selamat’. Allah berfirman:
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (Q.S. ar-Rum [30]: 32).
Inilah kebenaran perkataan Rasulullah yang telah dijanjikan kepada kita. Dalam hal ini, beliau bersabda:
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, dan yang selamat hanya satu”.
Sejak memasuki usia remaja hingga umurku lebih dari 50 tahun, aku masih tetap bersemangat untuk menjelajahi kedalaman samudera yang sangat dalam ini, menyelami dasarnya dengan penuh keberanian seperti seorang penyelam yang tidak sedikit pun merasa takut. Kumasuki setiap sisi gelapnya, kuterjang setiap kesulitannya, dan kubolak-balik setiap masalahannya. Kukaji semua doktrin dari masing-masing golongan dan kusingkap rahasia-rahasia mazhab mereka demi membedakan antara yang hak dan yang bathil, yang sunnah dan yang bid‘ah Aku tidak meninggalkan seorang penganut batiniyyah sebelum mengungkap terlebih dahulu pemahaman kebatinannya. Tidak pula kutinggalkan seorang Zahiri sebelum mengetahui kedalaman ke-Zahiri-annya. Begitu juga aku tidak akan meninggalkan seorang filsuf sebelum aku menyelami kedalaman filsafatnya, seorang ahli kalam sebelum menyingkap teori kalam dan pola perdebatannya, seorang sufi sebelum aku menelusuri rahasia kesufiannya, seorang ahli ibadah sebelum mengetahui hasil dari ibadahnya, serta tidak akan kutinggalkan seorang Zindiq yang melalaikan agama kecuali aku telah membongkar dan mengetahui latar belakangnya dalam berlaku Zindiq.
Semangat yang menggelora untuk menyelam sampai dasar hakikat segala sesuatu merupakan kebiasaanku sejak kecil. Sebagai sebuah sifat dasar dan sikap naluriah yang telah dianugerahkan Allah ke dalam tabi‘atku. Bukan pilihan atau pun alasan buatku, sehingga terungkap segala belenggu taklid dalam diriku dan pecah pula dogma-dogma warisan anak kecil sebagai manusia yang secara turun temurun menjadikanku seorang muslim. Sebagaimana Nasrani danYahudi yang pasti akan tumbuh pula menjadi pengikut Nasrani dan Yahudi. Tatkala mendengar sabda Rasulullah saw yang menyatakan bahwa:
”Setiap anak terlahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang membentuknya menjadi seorang Yahudi, Nasrani, atau pun Majusi,”
Maka hatiku tergerak untuk berupaya menyingkap hakikat tentang fitrah asli dan hakikat dogma warisan orang tua dan para guru, memilah-milah diantara tradisi-tradisi ini, terutama mengenai aneka macam doktrin, dan memisahkan yang benar dari yang batil pada tradisi-tradisi tersebut. Oleh karena itu, selalu kutegaskan pada diriku bahwa:
“Aku sangat membutuhkan ilmu tentang hakikat segala perkara. Oleh karenanya, aku harus segera mencari tentang hakikat ‘ilmu’ itu sendiri. Kemudian tampak olehku bahwa ilmu yakin-lah yang bisa menguak pengetahuan secara sempurna tanpa menyisakan keraguan sedikit pun. Juga tidak disertai kemungkinan adanya kekeliruan dan kelemahan, dan menampakan kebatilannya. Seperti menyulap batu menjadi emas dan tongkat, maka tidak akan melahirkan keraguan dan pengingkaran.
Dengan demikian, ketika aku tahu persis bahwa 10 lebih banyak dari pada 3, kemudian ada orang yang berkata: “tidak, 3-lah yang lebih banyak. Buktinya aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular”, dan untuk kemudian ia benar-benar mengubahnya menjadi ular didepan mataku. Maka hal itu tetap tidak akan membuatkku ragu pada pengetahuanku bahwa 10 lebih banyak dari pada 3. Hanya saja aku akan terheran-heran bagaimana ia mampu melakukannya. Dan aku sama sekali tidak akan meragukan apa-apa yang telah aku pelajari.
Selanjutnya, kemudian aku menyimpulkan bahwa setiap hal yang tidak aku pelajari dengan cara seperti ini dan tidak aku yakini dengan keyakinan penuh seperti yang telah disebutkan, maka landasan ilmu itu tidak akan kuat dan tidak pula aman bersamanya. Dan segala ilmu yang tidak memiliki unsur pengaman (dari segala keraguan dan kekeliruan ), maka ilmu tersebut bukanlah ilmu yakin.
PINTU-PINTU BERFIKIR SESAT DAN SIKAP ANTI ILMU
Aku menyusuri dan memeriksa ilmu-ilmu yang kumiliki, ternyata diriku jauh dari memiliki ilmu yakin, kecuali dalam ilmu inderawi dan esensial. Oleh karena itu, kutegaskan pada diriku bahwa, “setelah mendapatkan pesimisme, tiada lagi ambisi untuk mengupas segala permasalahan, kecuali yang hanya berkaitan dengan jaliyyat, yaitu disiplin ilmu inderawi dan esensial. Oleh karena itu, mau tidak mau, terlebih dahulu aku harus meyakini kepercayaanku terhadap segala yang diindera dan dibayangkan supaya terhindar dari kesalahan yang fatal. Apakah ia termasuk dari jenis angan-angan yang sudah ada dalam tradisi, atau termasuk dari jenis pengamatan harapan kebanyakan makhluk , ataukah ia termasuk dalam angan yang pasti terwujud tanpa petaka dan kesalahan lagi?. Aku berusaha keras merenungi ilmu inderawi dan esensial, hingga kuselidiki apakah aku bisa meragukan diriku sendiri di dalamnya? Keraguanku yang panjang ini berujung pada satu kesimpulan bahwa aku tidak boleh merasa aman hanya dengan ilmu inderawi saja.Keraguan ini pun semakin menguat, sehingga muncul pertanyaan:
“Dari mana asal munculnya keyakinan terhadap mahsusat (yang bisa diindera)? Dan betulkah penglihatan adalah indera yang paling kuat? Dimana ketika kamu melihat suatu bayangan, kamu melihatnya seolah terdiam, dan tidak bergerak sama sekali. Namun dengan pengalaman dan penyaksian pada beberapa waktu kemudian, ternyata indera terkuat itu baru menyadari bahwa bayangan tersebut bergerak, meskipun ia tidak bergerak sekaligus, melainkan secara bertahap, partikel demi partikel. Sehingga ia tidak memiliki posisi berhenti. Pun ketika mata melihat semesta bintang, ia melihatnya kecil-kecil seukuran mata uang, padahal bukti-bukti ilmu pengetahuan menunjukan bahwa bintang-bintang itu lebih besar ukurannya daripada bumi. Pernyataan ini juga berlaku pada penginderaan yang lebih dikendalikan oleh hukum indera dan disangkal oleh hukum akal dengan sangkalan yang tidak menyisakan jalan membela diri lagi.
Dengan kenyataan di atas, aku lantas menggugurkan segala keyakinanku akan mahsusat (hal-hal yang bisa diindera), kecuali pada hal-hal yang rasional yang tidak terbantahkan kebenarannya. Sebagaimana perkataan bahwa 10 lebih banyak dari pada 3; penyangkalan dan penetapan tidak mungkin berkumpul dalam satu obyek. Sesuatu tidak mungkin baru namun sekaligus kuno. Sesuatu tidak mungkin ada dan pada saat bersamaan menjadi tiada. Dan sesuatu tidak mungkin wajib adanya namun juga sekaligus mustahil adanya. Namun demikian, kaum penganut famam material akan bertanya, ”dengan apa kamu berani menjamin bahwa keyakinanmu akan ilmu akal rasional tidak akan senasib dengan keyakinanmu akan ilmu material. Taruhlah umpamanya, kamu mempercayai kebenaranku, tapi vonis akal mengatakan bahwa aku berdusta. Jika tidak ada keputusan dari vonis akal, akankah engkau masih tetap mempercayaiku? Bukankah mungkin saja ada pemutus (hakim) lain selain akal yang justru akan membatalkan vonis akal, sebagaimana pembatalan hukum inderawi pada saat sebelumnya setelah kedatangan akal. Dan tidak adanya pengetahuan tentang itu, bukan berarti menunjukan kemustahilan terjadinya!.
Sejenak diriku terdiam tidak mampu menjawab, dan masalah ini semakin terasa sulit ketika mereka kembali berkata dengan menggunakan argumentasi mimpi, yaitu bahwa:
” Bukankah dalam tidurmu kamu sempat meyakini beberapa hal, mengkhayalkan beberapa hal, bahkan meyakininya sebagai suatu yang telah kokoh dan mantap tanpa kamu ragukan lagi, namun setelah bangun, kamu menyadari bahwa semua khayalan dan keyakinanmu dalam mimpi itu tidak berdasar dan tidak berguna. Maka, bagaimana kamu bisa menjamin bahwa semua yang kamu yakini dalam kesadaranmu dengan indera atau akal adalah kebenaran yang nyata pada saat kondisi kamu seperti sekarang ini. Bahkan bisa jadi muncul suatu kondisi dimana “posisi” kesadaranmu saat terjaga layaknya kesadaranmu di saat mimpi, maka dengan demikian bukankah kesadaranmu menjadi seperti mimpi? Dan ketika kondisi ini terjadi, kamu meyakini bahwa semua hal yang kamu duga dengan akalmu hanyalah khayalan belaka. Mungkin kondisi seperti inilah yang diakui oleh para sufi sebagai kondisi mereka (hal keadaan). Di mana dalam kondisis-kondisi tersebut, mereka merasa tenggelam dalam diri mereka dan menghilag dari indera mereka, mereka merasa menyaksikan kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan akal rasional ini. Dan bisa jadi kondisi tersebut, berupa “kematian”, sebagaimana yang diindikasikan oleh sabda Rasulullah Saw.:
“Seluruh manusia itu sedang tertidur, maka ketika ia mati, mereka akan tersadar kaget”.
Mungkin kehidupan dunia adalah tidur, lebih-lebih kehidupan akhirat dimana ketika mati akan terlihatlah hal-hal yang berbeda dan berkebalikan dengan apa yang mereka saksikan sekarang. Dan pada saat itu, akan dikatakan pada mereka:
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu”. (Q.S. Qaff [50]: 22].
Tatkala pikiran- pikiran ini muncul dalam benakku dan menghujam dalam diriku, maka aku segera mengusahakan pengobatannya, namun tetaplah tidak mudah. Karena tidak mungkin mengobatinya sekaligus, kecuali dengan adanya resep (Alasan). Dan tidak mungkin memberikan resep, kecuali dengan menyusun diagnosanya terlebih dahulu. Dan tidak mungkin dibuatkan resep, kecuali dengan adanya kerelaan untuk sembuh. Oleh karena itu, maka penyakit inipun semakin menguat dan mengganas didalam diriku, kurang lebih selama dua bulan. Selama itu, aku menganut mazhab skeptimisme (kearaguan) akan hukum kondisi, dan bukan dengan hukum wicara dan dialogis. Sampai akhirnya Allah berkenan menyembuhkanku dari penyakit tersebut. Diriku kembali menjadi sehat dan sembuh. Kepastian logika kembali aku terima sebagai sebuah keyakinan yang aman dan mantap. Hal itu terjadi bukan dengan sebuah uraian dalil alasan dan kontruksi ilmu kalam, melainkan berkat rambatan cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt. di dalam dada. Cahaya inilah yang merupakan kunci segala pengetahuan. Maka barang siapa yang berfikir bahwa kasyaf [ketersingkapan] bergantung kepada dalil-dalil pembebasan, maka ia telah menyempitkan kasih Allah yang maha luas.
Tatkala ditanya tentang kata ‘syarh’ dan maknanya dalam firman Allah:
”Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah Swt. untuk diberikan petunjuk, niscaya dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam”. (Q.S. al-An‘am [6]: 125), Nabi Saw. bersabda:
“Itu adalah cahaya Tuhan yang dilemparkan oleh Allah ke dalam hati”. Lalu beliau ditanya lagi, “apa tandanya?” Nabi menjawab, ”Menyingkir dari dunia kepalsuan, dan bertaubat kembali ke rumah keabadian”. Setaraf dengan makna hadits ini, adalah sabda Nabi yang menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk didalam kegelapan, lalu Dia pancarkan cahaya-Nya pada mereka”.
Dengan bekal cahaya ini, seseorang harus mencari Kasyaf. Karena cahaya ini mengalir dari kemurahan Tuhan dalam beberapa kondisi, sehingga harus dilakukan pengamatan sebagaimana yang diisyaratkankan oleh Nabi Saw. dalam dalam sabdanya, “sesungguhnya dalam waktu hari-harimu, Tuhanmu mengalirkan kemurahan pemberian. Maka ingat-ingatlah, carilah kemurahan itu”.
Maksud dari hikayat cerita yang aku uraikan di atas adalah agar supaya kita bekerja dengan penuh keseriusan dalam kebaikan sehingga berakhir dengan memperoleh sesuatu yang tidak bisa dicari. Disiplin-disiplin terbatas bukanlah kebutuhan yang dicari, melainkan ia hadiah [karunia]. Dan sesuatu yang hadir jika dicari, maka ia akan menghilang. Dan barang siapa mencari hal yang tidak dicari, maka ia tidak akan mengenal kata menyerah dalam mencari sesuatu yang diharapkannya.
Dan ketika Allah menyembuhkanku dari penyakit ini dengan karunia dan anugerah-Nya yang luas, maka tergambar dalam benakku bahwa orang-orang yang mencarinya terkelompokan ke dalam empat bagian.
Pertama:
Orang-orang ahli Ilmu kalam(Teologi). Mereka menyebut diri mereka sebagai kaum rasionalis .Kedua:
Kaum Batiniyyah. Mereka menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang dididik dan memperoleh hak khusus untuk mendapatkan pengajaran dari seorang imam yang ma‘sum (terhindar dari dosa dan kesalahan).Ketiga:
Kaum Filsuf. Mereka menyangka bahwa mereka adalah kaum ahli logika dan yang menguasai teori argumentasi (burhan).Keempat:
Kaum Sufi. Mereka mengklaim kalau mereka adalah orang-orang yang mempunyai tempat khusus di hadirat Ilahi. Orang-orang yang telah menyaksikan rahasia Allah dan telah menyingkap keagungan-Nya. Oleh karena itu, aku memantapkan dalam hatiku, bahwa kebenaran itu tidak terbatas pada keempat golongan itu.Mereka semua adalah orang-orang yang menelusuri jalan untuk meraih kebenaran. Jika pun tidak ada kebenaran dari keempat golongan ini, maka semangat untuk mencari kebenaran janganlah berhenti. Karena tidak ada gunanya kembali kepada taqlid (ikut-ikutan) setelah ditinggalkan sebelumnya. Karena termasuk syarat dianggap syahnya taqlid adalah ia tidak mengetahui kalau dia adalah seorang yang taqlid. Jika ia mengetahui dan menyadarinya, maka statusnya sebagai orang yang taqlid tidak dibenarkan lagi. Ia bagaikan seorang bangsa yang tidak berpemimpin. Keruwetan yang tidak bisa diatasi dengan talfiq dan ta‘lif, kecuali jika telah dilelehkan oleh api, dan dibentuk kembali dalam wujud bentuk yang baru.
Maka saya segera menyusuri semua jalan ini, dengan mendalami segala pemikiran masing-masing kelompok. Pertama-tama aku mendalami jalan ilmu Kalam, lalu Filsafat, kemudian jalan Batiniyyah, dan terakhir jalan Sufi.
1 . ILMU KALAM, TUJUAN DAN HASILNYA
Aku memulai penelusuranku pada ilmu kalam dengan mendalami dan mengkritisinya. Kutelaah buku-buku para pakar di kalangan mereka. Aku membuat klasifikasi sendiri tentang ilmu ini. Banyak kutemukan tema yang sudah memenuhi misi dari ilmu kalam, namun belum memenuhi misiku.Tujuan ilmu kalam adalah untuk menjaga aqidah Ahl as-Sunnah dan mempertahankannya dari gangguan ahli bid‘ah. Yaitu bahwa Allah telah memberikan kepada para hamba-Nya dengan melalui Rasul-Nya sebuah aqidah yang benar yang merangkum dunia dan agama mereka, sebagaimana yang difirmankan dalam Alquran dan disabdakan oleh Nabi. Namun, syetan juga telah menyebarkan kepada kalangan ahli bid‘ah, hal-hal yang bertentangan dengan sunnah, yang membuat mereka menggemari dan mendalaminya sehingga hampir menjadikan keraguan kepada para pemilik aqidah yang benar. Maka Allah pun menggerakkan kelompok Mutakallimin dan menggerakan motivasi-motivasi mereka untuk memenangkan sunnah dengan bahasa kalam yang sistematis, dan mengupas kerancuan-kerancuan ahli bid‘ah yang bertentangan dengan sunnah Nabawi. Dari sinilah awal mula pertumbuhan ilmu kalam dan para akarnya.
Diantara para pakar ilmu kalam, ada kelompok yang menjalankan tujuan yang telah digariskan oleh Allah. Mereka memelihara sunnah dan memperjuangkan aqidah yang diterima langsung dari kenabian Muhammad Saw. dari usaha rekayasa dan penyimpangan yang dilakukan oleh ahli bid‘ah.
Hanya saja mereka lebih berpegangan pada pendekatan yang diperoleh dari musuh mereka sendiri yang memaksa mereka untuk menerima hal itu, baik dengan cara taklid, kesepakatan ummat atau pun hanya sekedar menerima atas dasar Alquran dan Sunnah. Keterlibatan mereka yang sangat dominan dalam mengkaji kelemahan-kelemahan musuh dan menyalahkan atas konsekuensi-konsekuensi rumusan dan kesimpulan dari mereka, hanya akan memberikan manfaat yang sangat minim dalam mengajak orang yang belum masuk Islam. Kecuali hanya menawarkan sesuatu yang sudah pasti saja.
Dengan demikian pendekatan ilmu kalam menurut saya kurang mencukupi dan juga tidak efektif untuk mengobati penyakit yang saya derita.
Mungkin saja dengan tumbuhnya ilmu kalam, kuatnya intensitas pergumulan mereka, dan banyaknya materi yang didiskusikan, akan menjadikan para ahli kalam menggeser tujuan mereka dari hanya membela sunnah Nabawi kearah kajian hakikat segala sesuatu. Mereka lebih berkonsentrasi pada pergulatan mencari esensi, aksiden dan ketentuan-ketentuannya. Namun, ketika menyadari bahwa itu semua bukanlah merupakan misi dari ilmu mereka, maka kajian ilmu kalam mereka pun tidak mencapai tujuan yang maksimal. Mereka tidak memperoleh jawaban yang bisa mengikis kerancuan yang tengah berkecamuk dalam dinamika pergaulan makhluk. Dan hal itu pun diakui oleh orang-orang lainnya.
Bahkan aku tidak ragu sama sekali bahwa pencapaian kelompok lain pada hal ini hanya sekedar pencapaian dalam beberapa masalah. Bukan yang sangat prioritas utama yang kemudian telah tertulari oleh taqlid. Targetnya sekarang adalah menceritakan kondisiku dan bukan mengingkari orang yang ingin berobat dengannya. Sebab terapi penyembuhan amat beragam sesuai dangan penyakit yang dideritanya. Betapa banyak obat yang bermanfaat bagi sejumlah pasien, namun berakibat buruk bagi pasien lain.
2 . FILSAFAT
Adapun rangkuman ilmu Filsafat, ada yang tercela dan tidak tercela. Yang membuat kafir penganutnya dan yang tidak. Yang termasuk bid‘ah dan yang tidak. Yang diambil kalangan filsuf dari ahli ilmu kalam. Yang diramu Filsuf dari ahli kalam untuk menutupi kebatilan mereka. Strategi manusia agar tidak menerima kebenaran yang bercampur dengan kebatilan. Dan strategi menghasilkan kebenaran murni yang lepas dari kepalsuan dan kesamaran. Setelah mendalami secara tuntas ilmu kalam, aku mulai mengkaji ilmu Filsafat.
Aku mempunyai keyakinan bahwa tidak akan terungkap kebusukkan suatu ilmu, kecuali oleh orang yang sudah mendalaminya hingga sampai ke akar dasarnya. Sehingga ia mampu menyamai para pakar yang paling pintar dalam bidang ilmu tesebut, bahkan melebihi dan melampaui kemampuannya. Lalu ia mampu menelaah apa yang tidak bisa ditelaah oleh kalangan akademisi ilmu tersebut.
Dalam kondisi seperti itulah, kebusukkan yang ia duga pada sebelumnya merupakan suatu kenyataan. Namun sayangnya, tidak kulihat -sementara ini- adanya seorang ulama yang memberikan pengertian yang mendalam dan mengkaji pada hal tersebut.
Dan tidak ada dalam karya ilmiah kalangan ahli kalam, sebuah usaha yang menunjukan bantahan mereka pada pemikiran para Filsuf. Kecuali hanya beberapa ulasan yang rumit, terpisah-pisah, bertentangan, dan salah. Yang tidak akan dikira oleh kalangan orang awam sebagai sesuatu yang berasal dari kelompok orang yang mengaku diri mereka sebagai orang-orang yang mengkaji hakikat segala perkara.
Dari sini aku tersadarkan bahwa membantah sebuah pendapat sebelum mendalami dan menelaah kedalaman isinya terlebih dahulu, hanya akan seperti memanah di tengah kegelapan malam. Oleh karena itu, aku pun mencurahkan segala usaha dan jerih payah untuk mendalami dan menelaah ilmu tersebut dari karya para Filsuf, tanpa bantuan seorang guru. Aku melakukan hal tersebut pada saat-saat luangku di sela-sela kesibukan mengarang dan mengajar, dimana kala itu aku harus mengajar 300 santri di Baghdad.
Akhirnya, Allah menunjukan kepadaku -dengan usaha penelaahan di waktu-waktu senggang- pada puncak ilmu-ilmu mereka dalam waktu kurang dari dua tahun. Baru setelah faham, aku kemudian memikirkannya secara intensif selama kurang lebih satu tahun. Aku mengulang-ulangi dan menyelidiki jeram demi jeram kedalamannya sehingga akhirnya aku menemukan celah-celah tipuan dan kesalahan, serta realitas dan ilusi dalam disiplin ilmu tersebut sebagai sebuah hasil belajar dan penemuan yang tidak kuragukan lagi.
Maka, perhatikanlah sekarang kisah pengungkapan ilmu-ilmu mereka. Aku menyaksikan mereka terbagi dalam beberapa golongan dan ilmu mereka pun terbelah menjadi beberapa klasifikasi. Namun, mereka semua pantas di cap sebagai orang yang telah kafir dan menyimpang, meski ada perbedaan jarak yang besar antara angkatan lama dan baru, serta angkatan terakhir dan pemula, dalam segi jauh dan dekatnya mereka dalam segi kebenaran.
KLASIFIKASI FILSUF DAN TANDA KEKUFURAN MEREKA
Ketahuilah Meskipun terdapat banyak sekte dan mazhab dikalangan para filsuf, mereka dapat dibagi ke dalam tiga kelompok:
Pertama
Kelompok ad-Dahriyyun. Mereka adalah sekelompok filsuf angkatan pertama yang mengingkari Sang Pencipta, Sang Maha mengetahui . Mereka berpendapat bahwa dunia ada dengan sendirinya tanpa keterlibatan Pencipta. Binatang berasal dari sperma. Seperma binatang ada dalam tubuh mereka dengan sendirinya. Dan begitulah seterusnya. Mereka ini merupakan kaum zindiq.
Kedua,
Kelompok Tabi‘iyyun (KOSMOLOGI). Mereka adalah kalangan filsuf yang intensif melakukan pengkajian dan pEenelitian tentang dunia kosmos, serta keajaiban-keajaiban hewan dan tetumbuhan. Mereka juga banyak berkecimpung membedah dan mengamati anggota-anggota tubuh binatang. Dengan begitu mereka menyaksikan keajaiban Allah Swt. dan keindahan hikmah-Nya yang selanjutnya memaksa mereka harus mengakui adanya Sang Maha Kuasa dan Sang Maha Bijaksana, Yang mengetahui segala seluk-beluk segala sesuatu dan tujuan-tujuannya. Memang orang yang meneliti anatomi tubuh dan keajaiban fungsi anggota-anggota tubuh akan mendapatkan ‘ilm ad-daruri pada kesempurnaan rekayasa Sang Penyusun kontruksi hewan, lebih-lebih struktur tubuh manusia.
Hanya saja, karena sering banyaknya meneliti alam, timbul dalam diri mereka –dengan tujuan untuk menyeimbangkan rumusan komposisi organic- pengaruh yang besar dalam dalam memandang factor-faktor kekuatan binatang, maka mereka menduga bahwa daya rasional manusia pun mengikuti komposisi organiknya juga. Tidak akan ada daya rasional manusia, jika komposisi organiknya tidak sempurna. Dengan demikian – menurut sangkaan mereka- ketika komposisi-komposisi organiknya sudah hilang, maka tidak mungkin untuk terkembalikannya sesuatu yang sudah sirna. Sehingga mereka berpendapat bahwa jiwa itu akan mati dan tidak bisa dihidupkan kembali. Oleh karena itu, mereka mengingkari adanya Akhirat, Surga, Neraka, apel akbar di akhirat (mahsyar) dan pemberian catatan amal Hari kiamat, dan penghitungan (hisab). Bagi mereka, ketaatan tidak akan memberi pahala, begitu juga maksiat tidak memiliki konsekuensi siksa. Oleh karena itu, kendali nafsu mereka lepas, sehingga mereka memuaskan segala keinginannya layaknya binatang.
Kelompok ini juga bisa digolongkan ke dalam golongan zindiq, karena mereka mengingkari hari kiamat meskipun mengimani Allah dengan segala sifat-Nya. Padahal titik pusat keimanan adalah percaya pada Allah dan hari kiamat.
Ketiga
Kelompok Ilahiyyun (teis). Mereka adalah kalangan Filsuf generasi terakhir seperti Socrates dimana ia adalah guru dari Plato, dan Plato guru dari Aristotales. Aristotales-lah yang menyusun logika mereka dan mengkodifikasi ilmu-ilmu mereka, serta menuliskan hal-hal yang belum ditulis sebelumnya. Maka menjadi matanglah ilmu-ilmu mereka yang sebelumnya masih mentah.
Secara umum, kelompok ini membantah kedua kelompok di atas yaitu kaum dahriyyah dan tabi’iyyun, serta membeberkan kesalahan-kesalahan mereka sehingga lawan-lawan mereka tidak perlu lagi memerangi mereka. Aristoteles bahkan melakukan counter produktif atas Sokrates dan Plato, serta Filsuf-filsuf teis sebelumnya sebagai bentuk counter yang melepaskan dirinya dari mereka semua. Meski begitu, kalangan filsuf Ilahiyyin tetap menyimpan sisa-sisa kekafiran dan bid‘ah mereka yang tidak bisa dicabut lagi. Sehingga mereka semua wajib dikafirkan, begitu juga dengan para pengikut mereka dari kalangan filsuf Islam seperti Ibn Sina dan al-Farabi.
Tidak ada satu pun filsuf Islam yang telah berusaha secara maksimal dalam mentransformasikan ilmu Aristotales, setaraf yang telah dilakukan oleh keduanya. Bahkan transsformasi ilmu yang telah dilakukan oleh selain keduanya terkesan rancu dan mengaburkan hati para pengkajinya, sehingga malah tidak bisa difahami. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak bisa difahami bisa dibantah atau diterima?.
Secara global, khasanah filsafat Aristoteles yang sahih menurut kami, sebatas nukilan kedua filsuf di atas, terangkum dalam tiga bagian:
1-Bagian yang harus dikafirkan
2-Bagian yang wajib dibid‘ahkan
3-Bagian yang sebenarnya tidak wajib diingkari.
Ketahuilah bahwa disiplin ilmu filsafat, ditinjau dari tujuan dan misi yang kita maksudkan, ada 6 bagian: matematika, logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, politik, dan etika.
1. Disiplin Matematika
Disiplin ini terkait dengan ilmu hitung, teknik, dan epistemology ilmu. Ia sama sekali tidak berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, baik menafikanya atau pun meneguhkanya. Ia hanya teori argumentasi yang tidak ada jalan untuk membantahnya setelah memahami dan mengetahuin.Disiplin ilmu ini telah menghasilkan dua bahaya.
Bahaya pertama, barang siapa yang melihatnya, ia akan takjub terhadap ketelitian dan kejelasan teori argumentasi-argumentasinya, sehingga akan semakin mempertajam keyakinan dan kepercayaan kepada disiplin ilmu filsafat. Dan juga membentuk sebuah aggapan bahwa seluruh disiplin ilmu mereka, akan sejelas dan sekuat argumentasi mereka seperti dalam disiplin ini. Dan jika pun ia mendengar kekafiran para praktisinya , pelalaian dan pelecehan mereka atas syari‘at agama dari mulut ke mulut, ia pun akan ikut-ikutan kafir sambil menepis:
“jika memang agama yang benar, niscaya agama tak luput dari ketelitian mereka dengan segenap ketelitian yang mereka tunjukan dalam disiplin ilmu ini!”. Sehingga, jika diketahui kabar kekafiran dan keingkaran mereka, Orang akan berdalih bahwa yang benar adalah penafian dan pengingkaran atas agama.
Betapa banyak kulihat orang yang tersesat dari kebenaran dengan modus seperti ini. Jika dikatakan kepada mereka bahwa orang yang pintar dalam suatu keterampilan tertentu, ia belum tentu menguasai segala bidang. Misalnya orang yang pintar dalam ilmu fiqih dan ilmu kalam belum tentu pintar dalam disiplin kedokteran. Begitu juga orang yang tidak mengetahui disiplin logika belum tentu ia tidak tahu masalah ilmu Nahwhu. Akan tetapi, setiap bidang keterampilan mempunyai ahlinya sendiri-sendiri yang mencapai tingkatan kehebatan dan kapabilitas tertentu, meski ia mungkin saja tidak mengetehui sama sekali bidang ilmu lain. Pernyataan para filsuf terdahulu dalam masalah matematika memang argumentative dan jelas, akan tetapi pernyataan mereka dalam masalah ketuhanan adalah samar dan dan tidak jelas.
Hal ini tidak akan diketahui kecuali oleh orang-orang yang telah mencoba dan menyelaminya lebih dalam. Jika hal tersebut dikemukakan kepada orang yang bersikap taklid seperti yang telah dikatakan, maka tetap saja mereka tidak akan menerima. Mereka akan lebih dikendalikan oleh hawa nafsu dan syahwat kepahlawanan, serta lebih cenderung menganggap lebih baik pada kalangan filsuf kafir dalam semua disiplin ilmunya.
Ini merupakan petaka besar yang harus segera dibendung oleh setiap orang yang menyelami disiplin-disiplin ilmu ini, meskipun disiplin ilmu tersebut tidak ada kaitannya dengan masalah agama. Namun jika prinsi-prinsip dasar ilmu mereka ini mengalirkan kesesatan dan kejelekan, maka sedikit saja kejelekan terkena pada orang yang menggeluti disiplin ilmu ini akan berakibat tercerabut dari ajaran agamanya dan akan terlepas pula ikatan ketaqwaannya.
Bahaya kedua, akan muncul orang bodoh dari golongan konservatif islam . Orang seperti ini menduga bahwa agama sebaiknya mengingkari setiap ilmu yang dinisbatkan pada setiap kalangan ahli disiplin ini. Maka ia pun lalu mengingkari seluruh disiplin ilmu mereka bahkan menuduh merek sebagai bodoh. Sehingga ia juga mengingkari pendapat dan pemikiran mereka dalam bidang gerhana matahari dan gerhana bulan. Dengan keyakinan bahwa setiap statemen yang mereka katakan adalah bertentangan dengan syari‘at.
Maka jika saja hal ini( Pandangan konservatif kalangan islam) dikemukakan dihadapan orang yang sudah mengetahui disiplin ini dengan argumentasi yang kuat dan mapan, mereka malah akan semakin berkeyakinan bahwa Islam dibangun diatas kebodohan dan pengingkaran argumentasi, sehingga dengan demikian filsafat akan semakin dicintainya dan Islam malah akan semakin dibencinya.
Lebih bahaya lagi, agama juga telah dinodai oleh orang yang beranggapan bahwa Islam mengingkari ilmu-ilmu ini, dan bahwa syari‘at juga tidak menyinggung ilmu ini sama sekali, baik menafikan ataupun membenarkan. Begitu juga ilmu-ilmu ini tidak menyinggung dan berhubungan dengan masalah agama. Padahal Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan mengandung dua tanda-tanda pengingat Allah. Keduanya tidak tenggelam oleh kematian ataupun kehidupan seseorang. Maka jika kamu melihat hal itu, bersegeralah mengingat Allah dan melaksanakan shalat”.
Namun hal ini tidak berarti mengingkari ilmu hitung yang dikenal dengan nama rotasi matahari dan bulan, berkumpul dan sejajar-nya. Bahkan sabda Rasulullah saw., “Akan tetapi Allah jika memperlihatkan diri pada sesuatu, maka sesuatu itu akan tunduk padanya”. Maka tidak juga didapat dalih lain yang mengingkari ilmu hisab dalam kitab-kitab yang sahih. Demikianlah hukum disiplin Matematika dan bahaya yang ditimbulkannya.
2. Disiplin Logika
Disiplin ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, baik dalam bentuk negasi maupun justifikasi. Disiplin ini hanya merupakan penalaran atas cara-cara pembuktian dan parameter, syarat-syarat validitas premis dan cara menyusunnya, serta syarat-syarat batasan yang benar dan bagaimana menyusunnya. Sebuah disiplin ilmu memang mempunyai dua kemungkinan jalan pengetahuan dan jalan pembenarannya. batasan eksekutor atau argumentasi. Tidak ada hal dalam disiplin logika ini yang harus diingkari. Ia merupakan jenis yang dimasukan oleh kaum mutakallimin dan para pakar teoritik ke dalam bagian argumentasi-argumentasi. Yang membedakan mereka hanya ungkapan dan istilah saja, serta tambahan rumusan pada definisi-definisi dan pemilahannya.
Contoh pendapat mereka adalah: jika ditetapkan bahwa A bagian dari B, maka semestinya B bagian dari A. Atau dengan kata lain, jika setiap manusia adalah hewan, maka semestinya beberapa hewan adalah manusia. Kesimpulan ini mereka ungkapkan dalam bentuk bahwa konsekuensi Universal mencerminkan konsekuensi parsial.
Jadi, apa hubungannya disiplin ini dengan tugas-tugas keagamaan sehingga ia harus diingkari? Bahkan jika disiplin ini diingkari, maka pengingkaranya hanya akan membentuk persepsi buruk dihadapan diri para akademisi logika terhadap nalar para pengingkarnya. Bahkan bisa pada agama si pengingkar yang menjadi acuannya dalam mendukung pengingkaran ini.
Memang, ada bentuk noda dalam disiplin ilmu ini. Yaitu ketika mereka mengumpulkan syarat-syarat sebuah argumen yang diketahui akan melahirkan keyakinan yang tiada diragukan lagi. Namun begitu mencapai kesimpulan akhir pada maksud-maksud keagamaan mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat tersebut, bahkan mereka malah sangat meremehkannya. Padahal masih terbuka kemungkinan bahwa bagi orang yang mendalami logika, ia akan menganggapnya baik-baik saja dan jelas, sehingga terbentuk sebuah dugaan bahwa apa yang dinukil mereka dari wacana kekafiran memang didukung dengan argumentasi-argumentasi seperti ini. Maka orang inipun akan segera kafir sebelum sampai pada penghujung disiplin ilmu-ilmu ketuhanan.
Demkianlah Bahaya yang menyusup ke dalam disiplin ilmu logika ini.
3. Disiplin Alam (Tab‘iyyat)
Adalah disiplin yang membahas alam langit, planet, dan apa yang di bawahnya berupa materi tunggal, seperti: air, udara, debu, dan tanah, serta materi komplek, seperti: hewan, tumbuhan, dan barang tambang. Disiplin ini juga membahas sebab-sebab perubahannya, pemuaian dan kombinasinya. Hal itu seperti diagnosa seorang dokter pada tubuh manusia, anggota-anggota badan yang utama dan penunjang, serta sebab-sebab perubahan karakternya.
Sebagaimana agama tidak mengingkari disiplin kedokteran, maka ia juga tidak mengingkari dan tidak menolak disiplin ini. Kecuali beberapa masalah tertentu yang kami ulas di dalam kitab ‘Tahafut al-Falasifah’ (kerancuan para filsuf). Disamping beberapa hal lain yang harus dibantah jika dicermati dengan lebih seksama. Kesimpulannya, bahwa alam dibawah kendali dan kuasa Allah. Alam tidak bekerja dengan sendirinya, melainkan menggunakan tangan Pencipta dan Pengendalinya. Matahari, planet, bulan, bintang, dan galaksi-galaksi alam lainnya, semua berjalan di atas titah-Nya. Bukan bekerja dengan kekuatanya sendiri.
4. Disiplin Ketuhanan (Ilahiyyat)
Di sinilah para filsuf banyak yang tersesat dalam kubangan kesalahan dan kekeliruan. Mereka tidak mampu memenuhi argumentasi-argumentasi yang mereka syaratkan sendiri dalam ilmu logika. Karena itulah di kalangan mereka sendiri banyak sekali perdebatan dan perbedaan pendapat dalam disiplin ini. Dalam sekup ketuhaAnan, mazhab Aristoteles dekat dengan mazhab-mazhab kalangan Islam, seperti yang dikutip oleh al-Farabi dan Ibn Sina.
Rangkuman kekeliruan mereka dalam disiplin ini dibagi menjadi 20 prinsip masalah yang kami susun dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Tiga diantarnya menyebabkan mereka harus dikafirkan, 17 harus dibid‘ahkan dan mazhab mereka juga harus digugurkan. Dan untuk membantah pemikiran mereka dalam 20 permasalahan ini, kami telah menyusun kitab Tahafut al-Falasifah.
Adapun tiga masalah yang bertentangan dengan pokok-pokok keimanan umat Islam adalah pendapat mereka sebagai berikut:
a. Jasad (pada hari kiamat) tidak dikumpulkan di Mahsyar. Karena yang menerima pahala dan siksa hanyalah ruh tanpa jasad. Sebab ganjaran pahala dan siksa adalah soal ruhaniah dan bukan jasmaniyah fisik.
Mereka benar ketika menetapkan ruhaniah sebuah sesuatu yang nyata. Mereka salah besar ketika mengingkari jasmaniah fisikal. Mereka telah mengingkari ( Kufur ) syariat dengan pernyataan ini.
b. Allah hanya mengetahui masalah Universal makro, tanpa mengetahui masalah Parsial mikro. Ini jelas-jelas bentuk sebuah kekafiran. Yang benar adalah bahwa,
“Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan di bumi” (Q.S. Saba‘ [34]:3).
c. Juga pendapat mereka tentang terdahulunya alam( bukan baru) dan azalinya alam. Tidak ada satu pun orang Islam yang berpendapat demikian, sehingga mereka bisa dikatakan telah kafir dengan pendapat seperti ini.
Adapun masalah-masalah selain mengenai pendapat ini, seperti pengingkaran mereka akan sifat-sifat zat Allah, juga pendapat mereka bahwa Allah Maha Tahu tentang esensi-esensi tapi bukan dengan pengetahuan surplus (‘ilm zaid); serta pendapat-pendapat serupa, maka dalam hal ini mereka lebih dekat dengan mazhab Mu‘tazilah. Mereka tidak wajib dikafirkan seperti dikafirkannya kelompok Mu‘tazilah. Dalam kitab ‘Faisol at-Tafriqah bayna al-Islam wa az-Zanadiqah’ (Memilah perbedaan antara Islam dan Zindiq), kami telah menjelaskan kesalahan dan kebobrokan pendapat orang yang terlalu buru-buru dan serampangan mengkafirkan setiap mazhab dan pendapat yang berbeda dengan mereka.
5. Disiplin Politik (Siyasiyyat)
Semua pendapat kalangan filsuf dalam tema ini, merujuk pada hukum-hukum kebaikan umum yang berkaitan dengan masalah-masalah keduniaan dan kewenangan kekuasaan. Bahkan mereka mengambilnya juga dari kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi, serta rumusan-rumusan dari kaum salaf penerus para Nabi.
6. Disiplin Etika (Khuluqiyyat)
Maka semua pendapat mereka dalam tema ini merujuk pada pembatasan sifat-sifat diri dan etikanya. Penjelasan jenis-jenis dan macamnya, serta bagaimana mengatasi dan melatihnya. Dalam hal ini, mereka lebih merujuk pada rumusan-rumusan kaum Sufi yang telah beribadah dan giat mengingat Allah, menentang hawa nafsu, dan meniti jalan menuju Allah dengan berpaling dari segala kesenangan dunia.
Dalam bermujahadah melatih diri, kaum sufi telah menyingkap etika diri, celah-celah bahaya nafsu, dan menyadari bahaya menuruti hawa nafsu. Dalam hal ini, kalangan filsuf mengambilnya untuk kemudian mengakomodasikan dengan pendapat mereka sendiri sebagai bentuk penghiasan diri dalam rangka menyebar luaskan kebatilan pemikiran ini.
Pada masa mereka, bahkan disetiap masa, memang akan selalu ada kelompok penyembah Tuhan. Allah tidak akan mengkosongkan dunia dari para penyembahnya. Mereka adalah pasak-pasak bumi. Berkat mereka rahmat-Nya turun pada penduduk bumi, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. yang berbunyi:
“Karena mereka kamu sekalian dikaruniai hujan, dan karena mereka kamu sekalian dianugerahi rizki Diantara kalangan ini adalah Ashab al-Kahf”.
Seiring dengan jalanya waktu, sebagaimana penuturan Alquran, pengakomodasian yang dilakukan oleh kalangan filsuf dari prinsip kenabian dan prinsip kesufian dalam karya-karya mereka telah melahirkan dua bahaya besar. Bahaya bagi yang menerima dan bahaya bagi yang menolak.
1.Bahaya bagi yang menolak, cukup sangat dahsyat.
Kaum lemah akal akan tetap bersikap menganggap buruk. Dengan berkeyakinan bahwa prinsip yang termaktub dalam kita-kitab mereka dan yang tercampuri noda kebatilan mereka, harus ditinggalkan dan tidak disebut. Bahkan kalangan lemah akal ini juga mengingkari setiap orang yang menyebutnya. Ketika mereka mendengarnya pertama kali, yang mula-mula hadir dalam akal lemah mereka adalah bahwa hal itu batil dan yang mengucapkanya pun batil. Misalnya ketika si lemah akal mendengar seorang Nasrani mengatakan:
“Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah utusan Allah”. Maka mereka akan langsung mengingkarinya sambil mengatakan: “ Ini adalah kata-kata orang nasrani”. Mereka tidak pernah sedikit pun merenung dan berfikir bahwa orang Nasrani ini hanya kafir karena ucapan ini, atau dengan mengingkari kenabian Muhammad Saw. yang mereka lihat bahwa statemen itu diucapkan oleh orang Nasrani dan karenanya pasti salah dan harus dimunkarkan tanpa melihat kebenaran ucapan mereka. Inilah kebiasaan orang-ornang lemah akal yang mendefinisikan kebenaran berdasarkan orang, bukan berdasarkan atas kebenaran itu sendiri. Seorang yang berakal akan mengikuti nasehat yang disampaikan oleh Amir al-Mu‘minin ‘Ali bin Abi Thalib ra., ‘Jangan pandang kebenaran berdasarkan orang, tapi ketahuilah kebenaran dangan kebenaran itu sendiri niscaya akan kamu ketahui pemiliknya.
Seorang yang berakal akan menganggap kebenaran sebagai sebuah kebenaran, baik yang mengucapkannya orang yang batil maupun orang yang lurus, bahkan mungkin ia akan bersemangat menjemput kebenaran dari kata-kata orang sesat dengan asumsi bahwa emas yang keluar dari dubur hewan kotor sekalipun tetaplah emas. Seorang tukang emas tidak akan segan-segan memasukan tangannya ke dalam plastik milik tukang sepuh emas dan mengabil emas murni di antara yang palsu dan imitasi, setelah yakin dengan pandangannya. Ia hanya tidak mau berurusan dengan tukang sepuh emas desa tanpa menelitinya terlebih dahulu; ia tidak mau menyeberangi lautan yang dalam, kecuali ia adalah perenang yang hebat; dan menolak menangkap anak ular, kecuali ia mengetahui mantera yang hebat.
Ketika dugaan telah menguasai kebanyakan makhluk bahwa mereka mempunyai kehebatan, kepintaran, kesempurnaan akal dan kelengkapan alat untuk membedakan kebenaran dan kebatilan, yang lurus dan yang sesat, maka dibutuhkan satu bab khusus untuk menghalau mereka semua dari menelaah kitb-kitab kalangan sesat sedapat mungkin. Karena mereka tidak akan selamat dari bahaya kedua yang akan kami sebutkan, meskipun mereka telah selamat dari bahaya pertama.
Muncul penolakan atas beberapa kalimat yang termuat dalam kitab-kitab kami tentang rahasia ilmu-ilmu agama dari sekelompok orang yang belum kuat hati mereka dalam disiplin keilmuan dan belum terbuka juga mata hati mereka akan puncak mazhab-mazhab. Mereka menuduh bahwa beberapa kalimat tersebut adalah pernyataan orang-orang terdahulu , dimana sebagian kalimat itu, menurut mereka, muncul dari ‘daerah bahaya’ yang akan memperosokan seorang penggali ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Padahal beberapa kalimat itu juga terdapat dalam kitab-kitab syari‘at, bahkan banyak pula ditemukan maknanya dalam kitab-kitab sufisme. Atau taruhlah hal itu tidak ada kecuali hanya dalam kitab-kitab orang-orang kuno.
Maka jika memang pernyataan tersebut masuk akal, bahkan didukung pula dengan argumentasi serta tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, maka ia pun tidak perlu dihindari dan ditinggalkan. Jika kita meninggalkan setiap kebenaran yang telah dikeluarkan oleh orang yang bahaya dan batil, niscaya kita akan menelantarkan banyak sekali kebenaran. Kita terpaksa juga harus meninggalkan beberapa ayat Alquran, sabda-sabda Nabi dan nasehat-nasehat kaum salaf, serta kata-kata hikmah dari kaum waskita dan sufi, hanya dikarenakan penulis kitab ‘ikhwan as-safa’ telah mencantumkan dan berargumentasi dengan menggunakan pernyataan-pernyataan para ulama pendahulu tersebut untuk menarik hati orang-orang yang bodoh agar mengikuti kebatilan mereka. Derajat ‘Alim (Orang berilmu) yang paling rendah ialah ia mampu membedakan dirinya dengan orang awam yang berpengalaman sama sekali.
Madu tidak akan busuk meski berada di dalam gelas pembekaman, karena terbukti pembekaman tidak akan merubah esensi madu. Penolakan tabi‘at atas madu tersebut hanya didasarkan pada kebodohan orang awam karena ia berasumsi bahwa gelas pembekaman dipakai untuk wadah darah yang kotor. Ia pikir bahwa darah menjadi kotor karena berada dalam gelas pembekaman, padahal darah itu kotor dengan sendirinya dikarenakan adanya sifat dalam zatnya. Maka jika sifat ini tidak ada dalam madu tersebut, maka adanya madu di dalam alat pembekaman tidak berarti madu memiliki sifat tersebut. Sehingga madu tidak boleh begitu saja dianggap kotor.Cara pikir sembrono yang menganggap kotor madu dalam gelas pembekaman adalah sangkaan yang batil meskipun mendominasi pemikiran kebanyakan orang.
Mereka akan menerima begitu saja setiap perkataan yang disandarkan pada orang yang mereka pandang baik akidah keyakinan mereka, meskipun perkataannya batil. Dan mereka akan menolak mentah-mentah setiap perkataan orang yang mereka anggap sesat keyakinannya, sebenar apa pun perkataan mereka. Mereka selamanya memandang kebenaran pada pribadi pengucapnya, bukan pada inti kebenaran itu sendiri. Ini jelas-jelas sangat batil. Dan demikianlah bahaya atas orang yang menolak.
2.Adapun bahaya bagi yang menerima adalah
Bahwa orang yang menelaah kitab mereka, misalnya kitab-kitab Ikhwan as-Safa dan yang lainnya. Begitu melihat kombinasi bagus pendapat mereka dengan kata-kata nasehat nubuwwah (kenabian) dan sufisme, mereka akan langsung tergerak untuk menganggapnya baik dan mengokohkan keyakinannya pada mereka. Mereka akan cepat-cepat menerima kebatilan kombinasi mereka hanya karena sangkaan baik yang dihasilkan dari apa yang telah ia lihat dan anggap baik. Ini merupakan bentuk penggiringan pada kebatilan.
Dalam rangka mengantisipasi bahaya ini, harus dilakukan pelarangan untuk menelaah kitab-kitab kaum filsuf kombinatif ini karena kandungan bahaya dan kesalahan didalamnya. Sebagaimana keharusan mencegah orang yang tidak bisa berenang untuk meloncat ke sungai, maka wajib pula mencegah orang-orang untuk menelaah kitab-kitab berbahaya tersebut. Juga sebagaimana kewajiban menjaga anak kecil dari gigitan ular, maka menjadi wajib pula menjaga pendengaran dari campur-aduk kata-kata mereka. Dan sebagaimana kewajiban seorang pawang ular untuk tidak membawa ularnya di hadapan anaknya yang masih kecil. Jika ia tahu betul bahwa anaknya yang masih kecil itu akan mendekati ular itu karena menyangka dirinya kebal seperti bapaknya, bahkan ia malah wajib memperingatkannya dengan memperingatkan dirinya terlebih dahulu untuk tidak mempermainkan ular di hadapan anak kecil. Maka wajib pula bagi alim ulama untuk melakukan hal yang sama. Begitu juga sebagaimana seorang pawang ular yang pintar, ketika mengambil ular, ia akan bisa membedakan antara racun ular dan penangkalnya, maka diambilnya penangkal racun dan dibuangnya bisa ular tersebut. Ia pun tidak boleh kikir dengan penangkal racun bagi orang yang sangat membutuhkannya.
Sama juga dengan seorang tukang emas, ketika ia memasukkan tangannya ke dalam kantong sepuhan, lalu ia mengambil yang murni dan membuang yang sepuhan dan imitasi. Maka ia juga tidak boleh kikir untuk membagi emas yang baik bagi orang yang membutuhkannya. Maka begitu pun juga seorang ulama.
Sama halnya, ketika seorang yang membutuhkan penangkal racun merasa jijik, karena ia tahu bahwa penangkal itu dihasilkan dari ular yang merupakan sumber racun, maka si pawang wajib memberi tahu. Begitu juga seorang fakir miskin, mungkin ia akan menolak menerima emas yang dikeluarkan dari kantong sepuhan, karena ia pikir itu hanya emas imitasi, maka si tukang emas harus memperingatkan bahwa penolakannya adalah sebuah kebodohan dan ini adalah sebab tidakdapatnya akan manfaat yang sebenarnya ia butuhkan. Harus diberitahukan juga kedekatan tempat emas dengan yang imitasi tidak berarti lantas menjadikan emas murni tersebut menjadi imitasi dan yang imitasi menjadi murni.
Maka demikian juga kedekatan tempat antara kebenaran dan kebatilan, tidak akan menjadikan kebenaran menjadi batil dan kebatilan menjadi benar.
Demikianlah bahaya filsafat dan belenggunya sebatas yang kami kemukakan.
Setelah menyelesaikan penelaahan ilmu filsafat, mendalami dan membedakan kepalsuan-kepalsuan yang ada. Aku masih saja belum cukup meraih targetku. Akal memang tidak akan mampu menutupi seluruh tuntutan kebutuhan dan tidak akan bisa juga membuka seluruh tabir permasalahan.
Saat itu ramai sekali pembicaraan aliran Ta‘limiyyah. Para penyebarnya menyebar di tengah-tengah umat dan menceramahi mereka tentang pengetahuan makna tema penting dari Imam Ma‘sum sang penegak kebenaran. Aku mendapat tugas untuk meneliti pemikiran-pemikiran mereka dengan mengacu pada kitab-kitab mereka. Kemudian dengan titah khalifah, aku menyanggupi juga untuk menyusun sebuah kitab yang mengupas dan menjelaskan seluk-beluk mazhab Ta‘limiyyah ini. Aku sama sekali tidak kuasa menolaknya, walaupun hal itu ada dorongan luar untuk melakukanya namun juga ada motivasi dalam batin pribadiku. Aku mulai mencari kitab-kitab mereka dan mengumpulkan pemikiran-pemikiran mereka. Dan aku telah mengetahui beberapa pernyataan terbaru mereka yang diberikan oleh para pemikir baru mereka, yang bukan merupakan metode dari para pendahulu dan tokoh-tokoh mereka. Aku kemudian mengurutkannya secara sistematis dengan rapi dan perbandingannya. Aku menjawab semua pertanyaan ini secara mendetail sehingga beberapa orang dari kalangan ahl al-haqq memperingati akan keberanianku dalam menetapkan argumentasi mereka. Mereka bilang, “Ini adalah kemenangan mereka. Mereka sebenarnya tidak mampu mempertahankn mazhab mereka dengan segala kerancuan yang ada, kalau bukan karena penyelidikan dan sekematis Anda atas mazhab tersebut”.
Tantangan ini memang benar adanya. Imam Ahmad Ibn Hambal pernah menegur dan menentang karya al-Haris al-Muhasibi dalam membantah Mu‘tazilah. “membantah bid‘ah adalah kewajiban!” kata al-Haris. “benar, tetapi anda mengurai kerancuan mereka terlebih dahulu, kemudian baru membantah dan menjawabnya. Apa Anda berani menjamin? bahwa orang yang membaca tidak malah akan tertarik dengan kerancuan tersebut dan malah tidak melihat serta memperhatikan sama sekal jawaban dan bantahan Anda, sementara mereka tidak memahami intinya.
Apa yang disebut oleh Imam Ahmad memang benar adanya, tetapi hanya untuk kasus kerancuan yang belum tersebar dan terkenal di kalangan umum. Adapun kerancuan yang sudah terlanjur menyebar, maka menjawab dan membantahnya merupakan kewajiban dan tidak mungkin pula membantahnya tanpa memaparkan terlebih dahulu.
Memang, seharusnya kita tidak perlu repot-repot membeberkanya. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud demikian, hanya saja aku mendengar tentang kerancuan-kerancuan tersebut dari salah seorang kawan yang sering berkunjung ke rumahku. Ia masuk ke dalam organisasi mereka dan menyerap pemikiran mazhab mereka. Ia menceritakan bahwa mereka mengolok-olok dan mentertawakan karangan beberapa penulis yang berisi bantahan atas mazhab mereka karena para penulis memahami betul argumentasi mereka. Si kawan itu pun lebih lanjut menguraikan argumentasi-argumentasi yang mereka kemukakan. Maka aku pun tidak ingin diriku disebut lalai pada objek keaslian argumentasi mereka. Karena itulah, aku kemudian berinisiatif menyertakannya juga. Aku tidak ingin pula dikatakan belum memahami argumentasi tersebut meski telah mendengarnya, sehingga kuputuskan juga untuk menyelidiki argumentasi mereka.
Misi dan target yang ingin kucapai dengan menyelidiki kerancuan mereka kemudian memunculkan ketidak validan argumen mereka dengan argumentasi yang mencukupi.
Hasilnya, pada kenyataan hal itu tidak menunjukan hasil positf bagi mereka atau menjadi perdebatan yang berkepanjanagan bagi mereka. Dan kalau saja tidak ada pembelaan beberapa kawan yang bodoh, niscaya bid‘ah tersebut sudah tamat riwayatnya dengan segala kelemahan mereka pada lefel ini. Sayang, kerasnya fanatisme telah membawa orang-orang menjadi tercerabut dari kebenaran, untuk memperpanjang konflik dengan mereka pada setiap pembicaraan mereka, dan mendebat segala yang mereka ucapkan. Mereka bahkan mendebat pengakuan mereka, “kebutuhan pada pengajaran dan pengajar”, serta “tidak semua pengajar baik. Kerena itu yang dibutuhkan adalah seorang pengajar ma‘sum”.
Maka yang terjadi kemudian, argumentasi mereka pun malah semakin populer dan menguat, karena relitanya memang kita semua membutuhkan pengajaran dan pengajar. Sementara itu, jawaban para pengingkarnya semakin melemah dalam menghadapi mereka. Hal demikian, membuat aliran ini pun semakin bangga diri sambil menyangka bahwa hal itu dikarenakan kekuatan mazhab mereka. Dan kelemahan mazhab kalangan yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa hal itu lebih disebabkan karena kelemahan para pembela kebenaran dan kebodohan mereka akan metodologi yang tepat.
Memang kita harus mengakui bahwa kita semua membutuhkan seorang pengajar agung, dan pengajar ini jelas haruslah seorang ma‘sum yang bebas dari salah dan dosa. Namun sang pengajar ma‘sum kita adalah Muhammad Saw. dan ketika mereka mengatakan, “tapi kan beliau sudah meninggal”, kita bisa membalas mereka, “pengajar anda juga menghilang”. Kemudian jika mereka berargumentasi lagi, “tapi pengajar kami telah mengajar para da‘i dan menyebarkannya di seluruh pelosok negeri. Dia hanya menunggu mereka akan merujuknya saat terjadi perbedaan diantara mereka atau ada masalah penting yang menimpa mereka”, bisa kita katakan juga pada mereka, “Pengajar kami juga telah mendidik para da‘i dan menyebarkan mereka ke seluruh pelosok negeri, bahkan telah menyempurnakan ajarannya sebagaimana firman Allah,
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu”. (Q.S. al-Midah[5]: 3).
setelah sempurnanya ajaran, maka tidak akan menjadi mudarat lagi kematian atau ketiadaan sang Pengajar”.
Jika mereka bertanya, “Bagaimana kalian menghukumi sesuatu yang belum kalian dengar? Apa dengan dalil yang belum pernah kalian dengar juga, ataukah dengan cara ijtihad dan penalaran yang merupakan wadah sangkaan perbedaan pendapat?”, kita akan jawab, “kami akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Mu‘az Ibn Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah Saw. ke Yaman. Dia menghukumi dengan nass [dalil hukum dari Alquran dan Sunnah Nabi] jika memang ada nas, dan dengan berijtihad disaat tidak ada dalil. Bahkan kita juga meniru tindakan para pendakwah mereka ( kaum batiniyyah ), ketika mereka jauh dari sang Imam diujung negri, sehingga mereka tidak mungkin menghukumi dengan nass. Padahal dalil-dalil yang saling berjauhan tidak akan menyerap realitas lain yang saling berjauhan. Tidak mungkin pula melaporkan setiap peristiwa dan kejadian pada negeri si Imam, atau menempuh perjalanan jauh ke sana dan kembali hingga si peminta fatwa telah meninggal. Dan kembalinya mereka pun menjadi tiada arti. Begitu juga orang yang susah menentukan arah kiblat, maka tidak ada cara lain baginya untuk melaksanakan shalat kecuali dengan berijtihad. Jika ia pergi ke negeri sang Imam hanya untuk mengetahui arah kiblat, tentunya waktu shalat sudah akan berlalu.
“Jadi boleh shalat dengan tanpa menghadap kiblat dan lebih hanya berdasarkan sangkaan semata?” Jika dikatakan demikian, maka kita akan menjawab, “sesungguhnya orang yang salah dalam ijtihadnya memperoleh satu pahala dan dua pahala bagi yang benar”. Begitu pula dalam seluruh bidang ijtihad. Masalah penyaluran zakat pada fakir miskin misalnya. Mungkin si pemberi zakat menyangka si fakir dengan ijtihadnya sebagai orang kaya yang berhaluan batini yang suka menyembunyikan hartanya. Maka kalau pun salah, ia tetap tidak berdosa, sebab seperti orang yang berijtihad menentukan kiblat, ia mengikuti sangkaan dirinya meskipun harus berbeda dengan orang lain”.
Jika ia mempertahankan, “Di sini, seorang pengikut mazhab mengikuti siapa? Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‘i –semoga Allah mengasihi keduanya- ataukah Imam yang lainnya.?” Maka akan saya jawab, “Seorang pengikut mazhab dalam menentukan arah kiblat berada dalam posisi yang sama. Artinya, kepada imam yang mana pun ia bisa mengikutinya,” “tapi jika para mujtahid tersebut berbeda pendapat dalam hal itu, apa yang akan ia perbuat?.” Akan aku jawab, “Ia bisa berijtihad untuk mengetahui mana yang lebih utama dan lebih tahu akan dalil-dalil kiblat, maka dia bisa mengikuti ijtihad tersebut. Begitu juga dalam berbagai pendapat mazhab lainnya”.
Pengembalian masalah manusia pada ijtihad merupakan hal darurat bagi para Nabi dan Imam, dan mereka sadar juga bahwa kadang mereka bersalah. Nabi Saw. misalnya pernah bersabda:
“Aku hanya menghukumi dengan dzohirnya dan Allah-lah yang mengurusi rahasia-rahasianya”.
Dengan bahasa lain, Nabi ingin mengatakan bahwa, “aku menghukumi dengan dugaan yang dihasilkan dari ucapan para saksi, sehingga mungkin saja aku keliru”.
Tidak ada jaminan bebas dari kekeliruan pada diri para Nabi dalam masalah-masalah ijtihad seperti ini, lalu bagaimana kita akan berbuat lebih dari itu?.
Dalam hal ini, mereka (kaum batiniyyah) mempunyai dua pertanyaan penting.
Pertama
“diperkenankan ijtihad pada masalah-masalah yang boleh diijtihadkan (obyek ijtihad ), tetapi tidak dalam masalah keyakinan (aqaid). Sebab jika salah, maka ia tidak terampuni. Lalu bagaimana caranya?”.
Jawab saya, “Kaidah-kaidah akidah sudah tercakup dalam Alquran, sunnah serta dan uraian terinci di belakang keduanya. Hal-hal yang dipertentangkan di sini bisa diketahui kebenarannya dengan cara menimbangnya dengan timbangan yang lurus (al-qistas al-mustaqim), yaitu timbangan-timbangan yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam kitab-Nya dan jumlahnya 5 timbangan. Semua sudah kusebutkan dalam kitab saya yang berjudul “al-Qistas al-Mustaqim”.
Jika ia bertanya lagi, “tapi lawan-lawan anda kan menentang timbangan anda ini?”.
Maka akan saya jawab:
“tidak bisa dibayangkan jika orang yang sudah memahami timbangan-timbangan ini kemudian menentangnya. Para pakar at-Ta‘lim tidak bisa menentangnya, karena saya intisarikan dari Alquran dan aku juga mempelajarinya dari Alquran. Kalangan ahli logika pun tidak akan bisa menentangnya, karena hal itu sesuai dengan apa yang mereka syaratkan sendiri dalam disiplin logika yang tidak diperdebatkan lagi. Begitu juga para pakar kalangan mutakallimin, karena hal itu pun sesuai dengan apa yang mereka sebutkan dalam dalil teoritik dan dengan teori dimana suatu kebenaran diketahui dalam disiplin ilmu kalam”.
“Jika memang ditangan anda sudah ada timbangan ini, lalu mengapa tidak anda angkat perbedaan yang terjadi diantara manusia?” Mereka bertanya demikian. Akan saya jawab:
“jika kalian mau mendengarkanku, niscaya akan kulenyapkan perselisihan diantara mereka! Sudah saya sebutkan cara-cara menghilangkan perselisihan ini dalam kitab ‘al- Qistas al-Mustaqim’. Maka renungkanlah agar anda mengetahui bahwa itu adalah kebenaran, dan ini pasti akan menghilangkan segala perselisihan jika mereka mau medengarkan. Tapi nyatanya mereka juga tidak mau mendengarkannya. Buktinya, ada golongan yang mau mendengarkanku, lalu kuselesaikan konflik diantara mereka. Sementara Imam anda juga ingin mengangkat perselisihan diantara mereka dan mereka tidak mau mendengarkannya, ia juga tidak mampu menghilangkannya juga hingga sekarang.
Mengapa juga Ali ra. belum juga mengangkatnya( menghulangkan konflik), padahal beliau adalah pemimpin para imam? Atau ia mampu mengajak mereka semua untuk mendengarkan nasehat mereka dengan paksa, lalu mengapa ia tidak memaksa mereka hingga sekarang? Lalu sampai kapan? Malahan dakwahnya hanya menyebabkan bertambahnya perbedaan dan penentang. Benar! Beliau memang mengkhawatirkan perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang membahayakan, namun tidak akan berakhir dengan pertumpahan darah, memporak porandakan negara, dan membuat panjang daftar anak-anak yatim, maraknya perampokan, serta perampasan harta. Telah terjadi di dunia ini, berkat penghilangan perselisihan yang kalian lakukan suatu akibat yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah “.
Jika mereka bertanya:
“Anda mengaku telah menyelesaikan perselisihan diantara manusia, tapi orang yang merasa paling bingung di antara mazhab yang saling bertentangan dan perselisihan yang saling berhadapan, tidak akan mau mendengarkan anda juga, apalagi lawan anda. Kebanyakan lawan anda juga berselisih dengan anda. Jadi apa bedanya anda dengan mereka?”.
Ini adalah pertanyaan kedua mereka dan akan saya jawab: “pertanyaan ini seharusnya ditujukan kepada anda terlebih dahulu. Jika anda mendakwahi orang bingung ini untuk mengikuti anda, dia mungkin malah akan menjawab:
“atas dasar apa anda menjadikanku sebagai penentang argumen pertama anda, padahal kebanyakan ilmuwan berselisih pendapat dengan anda?’ aku tidak bisa membayangkan jawaban anda. Apakah anda akan menjawab bahwa Imam saya telah ditentukan oleh nass?. Lalu siapa yang akan mempercayai dalil nass, jika ia tidak mendengar nass itu dari Rasul? Apalagi jika mereka mendengarkan pendapat para ulama akan rekayasa dan kebohongan anda? Kemudian anggaplah ia menerima nass yang anda ajukan ini, tetap saja jika ia masih bingung dalam masalah pokok kenabian ( Nubuwwah ).
Maka ia akan bilang: “Anggap saja misalnya, jika Imam anda menunjukan mu‘jizat ‘Isa sambil berkata, “dalil atas kebenaranku adalah bahwa aku telah menghidupkan bapakmu. Aku menghidupkannya, lalu ia berbicara kepadaku bahwa ia benar”, lalu dengan apa ia mengetahui kebenarannya?. Padahal segenap makhluk juga tidak mengetahui kebenaran Isa dengan mukjizat ini. Bahkan orang itu malah akan lebih banyak mengajukan sejumlah pertanyaan lagi yang tidak bisa dijawab kecuali dengan penalaran logika yang terinci, padahal logika yang terinci tidak anda kuasai. Orang ini tidak akan mengetahui perbandingan kebenaran mukjizat selama ia tidak mengetahui sihir dan perbedaannya dengan mukjizat. Dan selama ia tidak mengetahui bahwa Allah tidak akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Biasanya, orang seperti ini mengajukan pertanyaan yang menyesatkan dan susah untuk dijawab. Lalu dengan apa ia menjawab semua itu? Padahal Imam anda adalah bukan orang yang pantas diikuti oleh penentangnya? Mungkin ia akan merujuk pada dalil-dalil teoritik, sementara musuhnya juga menguraikan dalil yang sama, bahkan bisa lebih jelas”.
Pertanyaan ini telah berbalik pada mereka dengan sangat dahsyat. Jika seluruh penganut faham aliran ini dari yang pertama hingga yang terakhir berkumpul untuk berusaha mencari jawabannya, niscaya mereka tidak akan mampu. Melainkan hanya akan semakin memunculkan kerusakan di tubuh jamaah-nya dengan perdebatan antar mereka sendiri, karena mereka tidak memperhatikan soal nuarani, dan lebih hanya menyibukan diri dengan jawaban. Inilah yang akan membuat mereka berdebat panjang, dan tidak cepat-cepat memahami persoalan, sehingga argumentasi mereka pun akan buntu.
Jika ada yang mengatakan:P
“ ini kan masalah hati. Apakah ada jawaban tentang masalah ini?” maka akan saya katakana:
“Ya, ada. Jika si orang bingung dan kalut mengeluhkan dirinya kebingungan tanpa mengemukakan masalah yang dibingungkannya, ia bisa dikatakan seperti orang yang mengeluh sakit tanpa menyebutkan jenis sakitnya, kemudian minta disembuhkan. Maka dikatakan kepadanya: tidak ada di dunia wujud ini obat penyembuhan bagi semua penyakit, bahkan untuk menyembuhkan sakit tertenu saja seperti pusing, mencret dan selain itu saja agak susah. Dengan demikian, si orang bingung harus bisa menetukan masalah yang di bingungkannya. Maka masalah itu sendirilah yang akan mengenalkannya pada kebenaran di dalamnya dengan menimbangnya menggunakan kelima timbangan yang tidak bisa difahami oleh siapa pun, kecuali jika ia mau mengakui bahwa itu adalah mizan kebenaran yang cocok untuk segala hal yang perlu ditimbang.
Dengan begitu, ia akan paham dengan timbangan itu serta mengetahui pula kesahihan timbangan (neraca), sebagaimana pemahaman orang yang belajar berhitung pada berhitung itu sendiri, serta pemahamannya atas keberadaan guru sebagai pengajar berhitung yang benar. Hal ini telah kujelaskan panjang lebar dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim yang hanya setebal 20 halaman. Maka pelajarilah!.
Sekarang tujuan dan maksud bukan untuk mengurai keburukan mazhab mereka. Hal itu sudah aku jelaskan, pertama dalam kitab al-Mustazha, dan yang kedua dalam kitab Hujjah al-Haqq yang merupakan jawaban atas pernyataan mereka yang diajukan padaku sewaktu di Baghdad. Ketiga, aku menerangkannya juga dalam kitab Mufassil al-Khilaf yang berisi 12 pasal, yang merupakan jawaban-jawabanku atas pertanyaan yang diajukan di Hamazan. Keempat dalam kitab ‘ad-Darj’ yang disertai juga dengan tabel, yang merupakan bantahan atas pernyataan mereka yang diajukan padaku sewaktu di kota Tus. Dan kelima aku mencantumkannya pula dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim, yang merupakan kitab yang berdiri sendiri dengan misi menjelaskan neraca untuk menimbang kebenaran ilmu dan menunjukan ketidak perluan Imam ma‘sum bagi yang merindukannya.
Namun maksud penjelasan jawaban atas mereka sekarang ini adalah untuk menunjukan bahwa mereka tidak memiliki obat apa-apa, yang bisa menyelamatkan mereka dari kegelapan pemikiran dan pendapat. Tapi menunjukkan pada kelemahan mereka pada argumentasi mereka tentang penunjukan Imam. Kami coba mereka dengan membenarkan mereka dalam hal dibutuhkannya belajar dan seorang pengajar ma‘sum. Pengajar yang ma‘sum inilah yang mereka tentukan. Kemudian kami pun menanyakan pada mereka ihwal ilmu yang mereka pelajari dari pengajar yang ma‘sum ini. Selanjutnya kami ajukan pada mereka beberapa persoalan, tapi mereka malah tidak faham dengan persoalan tersebut, apalagi memecahkannya. Dan ketika mereka tidak mampu menjawabnya, mereka lalu menyerahkannya pada sang Imam al-Ga’ib sambil berkata: “kami harus pergi ke tempatnya”. Naifnya, mereka telah menyia-nyiakan umur mereka hanya untuk mencari sang guru dan bualan mereka akan kebahagiaan menemuinya, bahkan mereka tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari sang guru yang hilang ini. Maka, mereka seperti orang yang memakai wewangian najis yang kelelahan mencari air, namun setelah menemukannya, ia tidak bisa mempergunakannya dan ia pun tetap berwewangian kotoran.
Di antara mereka ada yang mengaku telah mamperoleh sedikit ilmu dari mereka. Namun hasil yang mereka peroleh adalah secuil ilmu filsafat phitagoras yang merupakan seorang tokoh filsuf kuno dimana mazhabnya adalah mazhab yang paling lemah dalam bidang filsafat. Aristoteles telah membantahnya habis-habisan. Ia menganggap lemah dan merendahkan segala pendapat dan pernyataan phitagoras. Orang itu adalah sang penutur dalam kitab “Ikhwan as-Safa”. Dia benar-benar berada dalam jurang filsafat. Orang yang telah bersusah payah sepanjang usianya untuk mencari ilmu, akhirnya hanya puas dengan ilmu yang sangat lemah seperti ini. Bahkan ia menyangka bahwa dengan meraih itu ia telah mencapai puncak dari ilmu pengetahuan.
Kami juga mencoba mereka dengan menguji lahir batin mereka. Mereka Pada dasarnya berusaha merayu secara halus kepada kalangan awam dan lemah pikiran agar masuk ke dalam jamaah mereka sambil menjelaskan pentingnya seorang guru dan mendebat setiap orang yang mengingkari kebutuhan akan pengajaran dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Sehingga jika ada penolong yang membantu mereka dalam upaya memenuhi kebutuhan pada seorang pengajar berkata:
“Tunjukan ilmu sang Guru dan kami akan memanfaatkan pengajarannya!”, mereka akan berhenti dan berkata:
“sekarang jika memang anda menyerahkan hal ini padaku, maka mintalah. Tetapi, materiku hanya sekedar ini saja”. Dengan demikian jadi ketahuan, karena mereka menyadari bahwa jika melebihi hal itu maka mereka akan tersingkap kekurangannya. Mereka tidak akan mampu memecahkan persoalan yang sepele sekalipun, bahkan tidak akan mampu memahami apalagi menjawabnya. Demikianlah sesungguhnya kondisi nyata mereka.
TAREKAT-TAREKAT SUFI
Kemudian setelah menyelesaikann pembahasan ilmu-ilmu sebelumya, saya mengalihkan sepenuh perhatian pada jalan sufisme. Saya pelajari bahwa tarekat mereka merupakan perpaduan antara ilmu dan amal. Tujuan amalan mereka adalah memutus halangan dan rintangan jiwa untuk kemudian mensucikan diri dari akhlak-akhlak jiwa yang tercela dan dari sifat-sifat keji, sehingga ia mencapai pengosongan hati dari selain Allah dan menghiasinya dengan zikir kepada Allah .
Karena ilmu lebih mudah bagi saya dari pada amal, maka saya memulai penelaahan bidang keilmuan mereka dengan menelaah kitab-kitabnya, seperti Qut al-Qulub karya Abu Talib al-Makki –semoga Allah merahmatinya, karya-karya al-Haris al-Muhasibi, rumusan-rumusan al-junayd, asy-Syibli, Abu Yazid al-Bustami –semoga Allah mensucikan arwah mereka, dan rumusan-rumusan dari syekh-syekh sufi lainnya, sehingga saya bisa mencapai inti dari tujuan ilmu mereka.
Saya meraih apa yang telah diperoleh dari jalan sufi ini melalui belajar dan menyimak. Tampak olehku bahwa ilmu khusus mereka, tidak mungkin diraih hanya dengan belajar melainkan harus dengan menggunakan intuisi , pengenalan kondisi (hal), dan perubahan sifat-sifat. Betapa banyak konsepsi mereka tentang definisi sehat dan kenyang serta sarana dan syarat untuk memperoleh sehat dan kenyang, tentang orang yang sehat dan orang yang kenyang. Tentang batasan antara gila (extase) yang merupakan perumpamaan dari kondisi yang telah teraih dengan menelan asap yang naik dari perut ke pusat pikiran dan menjadi orang yang mabuk. Bahkan orang yang sedang extase tidak akan pernah mengetahui batasan extase, dan juga pengetahuan akan kemabukan dirinya dan pengetahuan yang lainnya. Sementara orang-orang yang tersadar mengetahui batasan mabuk, bahkan faktorfaktor penting dan hal-hal yang terkait dengan masalah mabuk.
Seorang dokter yang berada dalam keadaan sakit, ia mengetahui batasan sakit, penyebab dan obatnya, meskipun ia kehilangan kesehatan. Begitu juga berbeda antara anda yang mengetahui hakikat zuhud, syarat-syarat dan sarana untuk menggapainya, dengan keadaanmu sendiri yang berada dalam zuhud dengan jiwa yang berpaling dari keduniaan.
Aku menjadi yakin bahwa mereka adalah pengendali prilaku perbuatan, dan bukan tukang omong. Apa yang bisa didapat dengan jalan ilmu, telah aku dapatkan, tinggal sekarang hal yang tidak bisa diperoleh dengan jalan menyimak dan belajar, melainkan dengan intuisi (cita rasa) dan menyusuri jalan (tarekat). Dari ilmu-ilmu yang saya amalkan serta laku-laku yang saya telusuri dalam meneliti kedua kategori ilmu, yaitu syara’ (fiqih/normative agama) dan logika keilmuan (rasional akal), saya telah mendapatkan keyakinan yang mencapai tarap tidak teragukan lagi akan Allah Swt., kenabian dan hari akhir. Ketiga pokok keimanan ini telah mengakar kokoh dalam diri saya, bukan dengan teori-teori tertentu yang bisa mudah dijelaskan, melainkan dengan sarana-sarana, permisalan-permisalan (indikasi) dan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa dijelaskan uraiannya.
Tiada lagi obsesi dalam diriku untuk meraih kebahagiaan akhirat kecuali dengan jalan taqwa dan mengekang diri dari hawa nafsu. Dan yang lebih utama lagi adalah memutuskan keterkaitan hati pada kedunawian dengan mengekang diri dari ‘rumah tipuan’ untuk kemudian bertaubat kembali pada ‘rumah keabadian’ dan menerima inti harapan pada Allah swt. Semua itu tidak akan terwujud sempurna kecuali dengan menolak segala kehormatan dan harta, serta berpaling dari segala yang menyibukkan dan berkaitan dengan dunia.
Maka saya pun langsung menyelidiki keadaan diri saya. Ternyata saya telah tenggelam dalam simpul-simpuln keduniwian. Saya juga memandang diri saya dari segala segi. Saya amati amalan-amalan saya terutama aktivitas mengajar. Ternyata saya juga telah terjebak menerima dan mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat untuk kebahagiaan akhirat. Saya selidiki juga niat saya dalam mengajar, ternyata niat itu juga tidak murni untuk Allah semata, melainkan didorong oleh pencarian kehormatan dan keharuman nama. Dari sini saya yakin bahwa saya berada ditepi jurang neraka. Aku tidak akan selamat dari jilatan api neraka, jika tidak bersegera memperbaiki keadaan diri tersebut.
Selama beberapa waktu saya terus dicekam pikiran bahwa saya telah jauh dari maqam pilihan. Saya pun merencanakan niat bahwa pada suatu saat kelak untuk keluar dari kota Baghdad dan meninggalkan kondisi-kondisi yang ada selanjutnya menuruti azam (niat) dengan melangkahkan kaki bersegera pergi. Pagi-pagi aku memang terobsesi mencari akhirat, namun ia selalu ditumpangi oleh pasukan hawa nafsu, sehingga tercerai-berai lagi pada sore harinya. Syahwat keduniaan begitu kuat menarikku dengan segala tali pengikatnya, sementara panggilan keimanan terus mendengungkan nasihatnya:
“pergi! Pergi! Umurmu hanya tinggal sedikit, sementara di depanmu masih terbentang jalan yang maha panjang, padahal semua yang ada padamu baik ilmu maupun amal, hanyalah riya‘ dan imajinasi. Maka jika kamu tidak pergi sekarang, kapan lagi kamu akan bersiap untuk menghadapi akhirat? Jika tidak kau putus sekarang kaitan-kaitan itu, terus kapan lagi? Ketika itulah hasrat untuk menyingkir dan meninggalkan keduniwian semakin kuat. Selanjutnya, datang setan menggoda:
“ini hanyalah rintangan, kamu harus bisa menundukannya. Ia akan cepat menghilang. Jika kamu mendengarkannya dan meninggalkan segala kemuliaan yang ada, kedudukan nyaman yang sepi dari segala gangguan dan goncangan, serta keamanan dan ketentraman yang bersih dari konflik permusuhan. Mungkin ia akan berpaling darimu dan engkau tidak akan pernah kembali lagi”.
Aku masih terus dicekam kebimbangan di antara tarikan syahwat keduniwian dan dorongan akhirat selama kurang lebih 6 bulan. Puncaknya terjadai pada bulan Rajab 488 H. Saat itu, masalah ini telah melebihi batas maksimal kemampuanku. Allah telah mengunci mulutku sehingga aku terpaksa berhenti mengajar. Suatu hari, aku pernah mengajar demi menyenangkan hati orang-orang yang berkunjung ke majlisku. Namun, mulutku sama sekali tidak bisa mengucap meski hanya satu kata. Gagu dalam mulutku ini telah menorehkan kesedihan tersendiri dalam hati, hingga merusak system pencernaan dan nafsu makanku. Aku tidak bisa makan meski hanya mengunyah bubur, dan menelan sesuap makanan. Sehingga kekuatan tubuhku semakin lemah dan menurun. Sampai-sampai para dokter pun telah putus harapan akan kesembuhanku. Mereka berkata:
“ada sesuatu yang turun di hati, dan dari sana naik ke otak. Maka tidak ada lagi jalan kesembuhan kecuali dengan mengurai rahasia tentang beratnya beban yang menghimpit”.
Tatkala kurasakan kelemahan diri dan tuntasnya usaha maksimal yang telah kulakukan, aku bersimpuh meminta kekuatan kepada Allah sebagai orang yang tidak berdaya. Maka Tuhan adalah Yang Maha Menjawab atas do‘a orang yang sedang ditimpa kesusahan bila ia memohon kepada-Nya. Allah kemudian memudahkan hatiku untuk berpaling dari segala kehormatan, harta, anak-anak dan rekan sejawat.
Kusampaikan hasratku untuk pergi ke Mekah sambil menyusun rencana untuk menetap di Syam ( Damaskus), karena aku tidak mau khalifah (Raja) dan beberapa rekan sejawat, menghalangi keinginanku untuk tinggal di negeri Syam. Aku pun bertindak dengan penuh taktis untuk keluar dari kota Baghdad sambil berjanji kuat tidak akan kembali lagi selamanya. Kukunjungi seluruh Imam-imam Irak. Tidak ada diantara mereka yang membolehkan kepergianku dari posisi yang kujabat dan segala jabatan hidupku sebagai bagian dari bidang agama. Mereka menganggap semua jabatan dan ketenaran adalah posisi tertinggi dalam agama serta puncak dari ambisi keilmuan mereka.
Banyak orang yang terperangah kaget dengan simpang-siurnya alasan keputusanku. Orang yang jauh dari Baghdad berpikiran bahwa kepergianku dari Baghdad merupakan penyingkiran oleh pihak penguasa. Sementara orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, melihat dengan sendirinya simpati dan dedikasi penguasa terhadapku, aku berpaling dari mereka dan tidak mengindahkan permintaan mereka untuk tetap tinggal di Baghdad. Orang-orang ini berkomentar:
“Ini adalah urusan langit yang tanpa memiliki sebab-musabab, kecuali merupakan musibah yang menimpa ummat Islam dan kalangan akademisi”.
Aku tinggalkan Baghdad dan meninggalkan semua ambisi yang saya miliki. Aku hanya membawa sekedar keperluan secukupnya untuk hidup dan bekal anak-anak. Seluruh kekayaan di Baghdad aku wakafkan demi kemaslahatan kaum Muslimin. Aku tidak melihat di dunia ini kekayaan yang diambil oleh seorang ulama untuk keluarganya yang lebih baik dari pada itu.
Aku kemudian masuk dan menetap di Syam kurang lebih dua tahun. Tidak ada kesibukan yang aku lakukan selain hanya uzlah, khalwah, riyadah, dan mujahadah demi mensucikan jiwa, menata akhlaq dan memurnikan hati untuk selalu ingat kepada Allah Swt. sebagaimana yang aku dapatkan dari ilmu tasawwuf. Aku selalu beri‘tikaf beberapa waktu di mesjid Damaskus, untuk kemudian naik ke menara mesjid sepanjang siang dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Dari sana , aku kemudian mengadakan perjalanan ke Bait al-Maqdis (yerusalem). Setiap hari aku masuk masjid. Di sana aku juga menutup pintu masjid sendirian. Selanjutnya muncul panggilan untuk menunaikan ibadah Hajji dan menyerap barakah kota Makkah dan Madinah, serta menziarahi makam Rasulullah Saw. selepas menjiarahi makam al-Khalil, Nabi Ibrahim As. Maka aku pun mengadakan perjalanan ke Hijaz (kota Makkah dan Madinah).
Kemudian panggilan dan kerinduan pada anak-anak menarik aku kembali ke tanah air. Aku pun pulang setelah menjadi makhluk yang paling jauh untuk kembali. Di sana aku tetap membiasakan uzlah demi menjaga khalwah dan pensucian hati untuk zikir. Peristiwa-peristiwa dalam perjalanan, kewajiban terhadap keluarga dan kebutuhan dasar hidup telah mengubah maksud tujuan dalam diriku serta mengacaukan kesucian khalwah. Memang, kesucian adalah sesuatu yang belum pernah aku dapatkan keculai hanya kadang-kadang saja, namun aku terus berambisi untuk meraihnya. Banyak rintangan yang menjauhkan saya dari khalwah, namun saya terus mencoba kembali dan kembali berkhalwah. Keadaan ini berlangsung selama 10 tahun.
Dalam laku khalwah yang panjang ini telah banyak tersingkap ihwal yang tidak bisa dihitung dan disebutkan. Sekadar yang aku ingat agar pembaca bisa mengambil manfaatnya adalah: “Aku menjadi yakin bahwa kaum Sufi adalah orang yang pertama-tama secara khusus merambah jalan Allah. Mereka adalah orang yang paling baik kelakuannya, jalan mereka adalah yang terbenar, akhlak mereka adalah yang tersuci. Bahkan kalau segenap teori akal kaum pemikir, hikmah kaum penasehat, dan ilmu para ulama yang mengetahui seluk beluk syari‘at, dikumpulkan untuk mengubah sedikit saja dari jalan hidup dan akhlak mereka untuk menggantinya dengan yang lebih baik, maka mereka semua tidak akan bisa mendapatkan jalan dan caranya. Karena semua gerakan dan diam mereka, dalam laku zahir dan batin mereka diguyur oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya di atas muka bumi ini yang lebih terang dari cahaya Kenabian.
Termasuk sarat utama yang pertama jalan kesucian mereka adalah membersihkan hati secara total dari selain Allah Swt. Kunci menuju ke sana adalah menenggelamkan hati secara total dalam lautan zikir Allah dan jalan terahir adalah tenggelam dalam fana (peleburan) secara total dalam Allah. Inilah yang sebenarnya disebut jalan tarekat pertama, sedangkan ritual sebelumnya hanyalah seperti pemanasan bagi para pelakunya.
Dari awal tarekat inilah dimulai musyahadah (penyaksian) dan mukasyafah (penyingkapan), sehingga dalam kesadarannya, mereka bisa menyaksikan Malaikat dan arwah para Nabi, meraih suara-suara tuntunan dari mereka dan memungut faedah-faedah dari mereka. Selanjutnya derajatnya naik dari menyaksikan gambaran-gambaran dan simbol-simbol pemisalan ke drajat yang tidak memberikan ruang untuk berbicara. Upaya untuk mengungkapkannya malah akan mengandung kesalahan yang tidak mungkin bisa untuk dihindarkan lagi.
Semua laku tasawwuf ini berakhir pada kedekatan (qurb) yang diimajinasikan oleh sebagian kalangan tasawwuf sebagai al-hulul, al-Ittihad ( manunggal ) dan al-Wusul (sampai). Kami telah menjelaskan titik-titik kesalahan persepsi ini dalam kitab ‘al-Maqsad al-Asna’. Lebih lanjut kekeliruan memahami kondisi qurb ini tidak boleh lebih dari yang dikatakan sebagai:
Dan yang ada adalah apa yang ada
Yang aku tidak mengingatnya
sangkalah baik
Dan jangan kau Tanya tentang apa itu baik.
Pendek kata barang siapa yang belum dikaruniai sedikit zauq (rasa intuisi), maka ia tidak akan bisa menggapai hakikat kenabian kecuali hanya sekedar nama. Dan karamah ( kekuatan adiluhung ) para wali sebenarnya adalah permulaan prestasi kenabian para Nabi.
Kondisi (hal) demikian yang pertama dialami oleh Rasulullah Saw. beliau tabattul (pantangan untuk tidak melakukan hubungan seksual) dan mengasingkan diri di Gua Hira sambil beribadah dan ber-khalwah dengan Tuhannya. Sehingga orang-orang Arab mengatainya:
“Muhammad telah rindu tergila-gila pada Tuhannya”. Kondisi ini hanya bisa terwujud dengan zauq orang yang menempuh jalannya. Barang siapa yang belum dikaruniai zauq, maka ia sebaiknya memantapkan jalannya dengan terus mencoba dan sering mendengarkan jika saja mereka mempunyai banyak kawan, sampai kondisi zauq bisa dipahami secara meyakinkan. Dan orang yang ikut berkumpul dalam majelis mereka pun bisa mengambil manfaat keimanan ini. Mereka adalah kalangan yang tidak memiskinkan teman duduknya. Barang siapa yang belum dikaruniai jalinan persahabatan dengan mereka, maka ketahuilah olehnya dengan segala keyakinannya bahwasannya hal itu bisa terungkap dengan penjelasan-penjelasan teoritis seperti yang kami uraikan dalam pasal ‘Ajaib al-Qalb’ ( keajaiban-keajaiban Hati ) pada kitab Ihya‘ulumddin.
Pendalaman dengan teori dan bukti adalah ilmu ( pengetahuan ), sementara melibatkan diri dalam kondisi tersebut adalah zauq ( perasaan ), dan penerimaan dengan toleransi dan mencoba dengan baik sangka adalah iman ( kepercayaan ). Inilah tiga tingkatan yang disebutkan oleh Allah dalam firman:
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”.(Q.S. al-Mujaddalah [58]: 11).
Selebihnya adalah mereka kaum bodoh. Mereka mengingkari inti persoalan dan kaum yang hanya tercengang dengan uraian kata-kata. Mereka mendengarkan, lalu mencemooh, “Aneh sekali! Mereka hanya mengigau!” Allah menyinggung mereka dalam firman-Nya:
“dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan [sahabat-sahabat Nabi]: apa gerangan yang diucapkannya tadi?. Mereka itulah orang-orang yang telah dikunci mati hatinya oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu”. (Q.S. Muhammad [47]: 16). Allah telah mendungukan pendengaran dan membutakan mata hati mereka.
Yang tampak oleh saya dari praktik tarekat mereka adalah hakikat dan karakter kenabian. Karena itu, hal ini harus dijelasakan secara tersendiri karena teramat diperlukan.
HAKIKAT KENABIAN DAN PENTINGNYA KONSEP KENABIAN BAGI SEGENAP MAKHLUK
Ketahuilah! Sebenarnya esensi manusia pada awal penciptaannya tidak mengetahui informasi apa-apa tentang ilmu-ilmu Allah yang sangat banyak. Dimana tak seorangpun mampu menghitung jumlahnya, kecuali oleh Allah Swt. Hal ini sebagaimana firman-Nya:“Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri”. (Q.S. al-Muddatsir [74]: 31).
Informasi manusia tentang fenomena ketuhanan lebih banyak diperoleh lewat apresiasi (idrak) yang diciptakan oleh Allah agar manusia mengetahui fenomena dari wujud ( keberadaan ). Fenomena yang kami maksudkan di sini adalah beragam jenis wujud.
Hal pertama yang diciptakan dalam diri manusia adalah indera sentuh perasa. Dengan indera ini, manusia bisa mengetahui jenis-jenis realitas wujud seperti panas,dingin, basah dan kering, lunak dan keras, dan lainnya. Indera perasa tidak menjangkau untuk mengetahui warna-warna dan suara, bahkan fungsi seperti ini nyaris tidak ada sama sekali bagi indera sentuh.
Selanjutnya diciptakanlah untuknya indera penglihatan, sehingga ia bisa mengetahui warna dan bentuk. Indera ini adalah indera yang paling luas dalam menangkap tanda obyek-obyek fisik material.
Kemudian ditiupkanlah di dalamnya pendengaran, denganya manusia bisa mendengar suara dan nada. Setelah itu baru diciptakan zauq (rasa intuisi) sehingga manusia mampu melampaui dunia materi. Lalu diciptakan Tamyiz (kemampuan membedakan) dalam diri manusia saat ia berusia 7 tahun. Ini adalah fase lain dari rangkaian tahap-tahap wujud manusia.
Dalam fase ini, manusia bisa menangkap hal-hal di luar dunia fisik yang tidak ditemukan sama sekali di dunia indera.
Manusia kemudian naik ke fase berikutnya. Maka diciptakanlah “akal” dalam dirinya, sehingga ia mampu mengetahui hal-hal yang wajib, boleh, dan mustahil, serta hal-hal yang tidak ditemukannya dalam fase-fase sebelumnya. Di belakang akal terdapat fase lain lagi. Dimana dalam fase tersebut terbuka mata lain yang bisa melihat alam gaib dan masa depan, serta hal-hal lain di mana fungsi akal terhilangkan, sebagaimana hilangnya kemampuan membedakan (tamyiz) oleh pengetahuan akal, juga hilangnya fungsi kekuatan indera oleh fungsi pengetahuan membedakan (tamyiz). Sebagaimana penolakan dan pengabaiannya anak yang telah mempunyai kemampuan membedakan pada hal-hal yang hanya diketahui dengan akal. Maka begitu pun juga beberapa orang berakal akan menolak dan memungkiri pengetahuan tentang kenabian (Nubuwwah). Hal tersebut lebih berdasar kebodohan dan ketidaktahuan mereka, karena itu adalah fase yang belum ia capai dan tidak terdapat pula dalam haknya. Sehingga ia pun berpikiran bahwa hal itu tidak ada dalam dirinya.
Seorang tuna netra jika ia tidak mengetahui warna-warna dan bentuk dengan jalan pengelihatan dan pendengaran, kemudian diberi tahu bahwa hal itu adalah ‘hal permulaan’, maka ia pun tidak akan memahami, bahkan tidak mengakuinya.
Melihat hal demikian, Allah pun mendekatkan pemahaman tentang Nubuwwah dengan cara memberi mereka contoh dari keistimewaan kenabian, yaitu dengan tidur. Orang tidur mengetahui masalah gaib yang akan terjadi, baik secara terang dan jelas, maupun secara tersembunyi yang kemudian diungkap melalui ta‘bir mimpi. Namun jika hal ini belum pernah dialami sendiri oleh manusia, mereka pasti akan memungkirinya. Misalnya, ketika dikatakan pada mereka, “jika manusia pingsan tak sadarkan diri, ia seperti mayat, kehilangan fungsi indera, pendengaran dan penglihatannya, namun ia bisa mengetahui hal gaib”, maka mereka pun akan menjawab dengan menyatakan alasan yang menyatakan kemustahilannya:
“daya sensitivitas indera adalah sarana mengetahui. Orang saja tidak mengetahui segala sesuatu dengan keberadaan dan kehadiran inderanya, apalagi dalam ketidak fungsiannya, tentunya ia akan lebih tidak tahu”.
Ini adalah bentuk analogi yang ditolak mentah-mentah oleh wujud dan musyahadah. Sebagaimana akal merupakan salah satu fase kehidupan anak Adam di mana manusia memperoleh ‘mata hati’ untuk melihat segala bentuk yang bisa dipikirkan yang tidak dapat di lihat dengan indera, maka begitu juga nubuwwah. Ia juga merupakan fase, di mana anak Adam memperoleh ‘mata’ yang mempunyai cahaya, yang dengan cahaya tersebut nampak segala kegaiban dan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal.
Keraguan akan konsep nubuwwah mungkin akan terletak pada potensinya, wujud dan proses terjadinya, atau dalam realisasinya pada orang tertentu. Sementara kapasitas teori dan wujudnya sebagai bentuk pengetahuan di dunia, jelas tidak bisa dijangkau oleh akal. Ia seperti ilmu kedokteran dan astronomi. Siapa pun yang menyelidikinya, ia akan tahu dengan pasti bahwa nubuwwah ini tidak bisa diketahui kecuali dengan ilham Tuhan dan Taufiq pertolongan Allah, serta tidak ada jalan ke sana kecuali dengan pengalaman. Hukum-hukum perbintangan misalnya, ada yang terjadi hanya sekali dalam setiap 1000 tahun, lalu bagaimana hal itu akan diperoleh dengan pengalaman? Begitu juga obat-obat khusus.
Dengan bukti teoritis ini, jelas bahwa potensi wujud merupakan jalan menuju pengetahuan pada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal ini. Inilah yang dimaksud dengan nubuwwah. Bukan saja ia merupakan penjelasan tentangnya, melainkan lebih karena pengetahuan akan jenis di luar jangkauan akal ini, merupakan salah satu kehususan nubuwwah. Disamping kehususan lain yang masih banyak. Apa yang barusan kami kemukakan hanya merupakan setetes air lautan. Itu pun lebih dikarenakan anda sudah memiliki contoh tentang apa yang anda ketahui dalam kondisi tidur. Juga karena anda memiliki padanan jenis pengetahuan ini dalam disiplin kedokteran dan astronomi. Nubuwwah adalah mu‘jizat para Nabi yang tidak pernah bisa digapai oleh orang-orang yang berakal dengan hanya berbekal akalnya saja.
Adapun hal yang di luar kehususan nubuwwah, seperti suluk tasawwuf, ia bisa dicapai dengan zauq. Sebab hal ini bisa langsung anda fahami dengan hanya lewat contoh yang anda hasilkan sendiri, yaitu tidur. Jika bukan karena ini, anda pasti tidak akan mempercayai dan membenarkannya. Contoh ini dihasilkan pada awal-awal jalan tasawwuf, yang kemudian menghasilkan jenis zauq dalam kadar tertentu , serta jenis pembenaran akan hal yang tidak bisa diperoleh dengan analogi. Satu contoh kekhususan ini sudah cukup bagi anda untuk mengimani dan mempercayai orisinalitas nubuwwah.
Jika anda masih ragu dan bimbang pada seseorang, apakah dia Nabi atau tidak. Maka selamanya, keyakinan tidak akan diperoleh kecuali dengan mengetahui hal ihwal orang tersebut, baik melalui cara menyaksikan sendiri, penggambaran atau pun mendengar. Misalnya jika anda mengetahui disiplin kedokteran dan fiqh, pastilah anda akan bisa mengetahui para pakar kedokteran dan fiqh, baik dengan jalan menyaksikan langsung kerja mereka, atau dengan mendengarkan pernyataan mereka.Jika memang anda terpaksa tidak bisa menyaksikan secara langsung.
Sebagaimana anda juga tidak akan terlalu sulit menyaksikan kebenaran Imam Syafi‘i sebagai ahli fiqh, atau Galinos sebagai seorang dokter, dengan pengetahuan yang hakiki dan benar-benar, bukan dengan ikut-ikutan pada orang lain, melainkan dangan mempelajari karya fiqh dan kedokteran, menelaah kitab-kitab dan karangan mereka berdua. Maka di sini anda pun akan memperoleh pengetahuan yang pasti akan kualitas keduanya. Begitu pula halnya jika anda memahami makna nubuwwah, kemudian memperbanyak penelaahan Alquran dan hadits-hadits, maka anda tentu akan mendapat pengetahuan yang pasti akan kenabian Muhammad sebagai derajat tertinggi kenabian. Akan lebih kuat lagi, jika anda mencoba untuk menerapkan apa yang disabdakan beliau dalam ritual ibadah dan fungsinya dalam membersihkan hati. Betapa benarnya beliau ketika bersabda,
“Barang siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui”. Dan betapa benarnya beliau saat bersabda:
“Barang siapa di saat pagi hari perhatianya hanya satu, maka Allah akan mencukupkannya dari kegelisahan dunia dan akhirat”.
Jika anda mau mengamalkan petuah-petuah kenabian tersebut dalam 1000, 2000, bahkan ribuan kali, niscaya anda akan memperoleh ilmu yang tidak akan diragukan lagi.
Dengan jalan demikianlah sebaiknya anda mencari keyakinan akan nubuwwah, bukan dengan teori pengubahan tongkat menjadi ular, atau pembelahan bulan. Sebab jika anda melihat hal-hal terakhir ini saja tanpa dukungan banyak faktor yang tiada terhitung, mungkin anda malah akan menyangkanya sebagai sihir dan imajinasi. Dan hal ini pun mendapatkan sandaran dari firman Allah Swt.,
“Dia menyesatkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dindaki-Nya”. (Q.S. Fatir [35]: 8).
Ia dicekam oleh banyak pertanyaan tentang mukjizat. Dan jika anda menyandarkan keimanan anda akan hal tersebut pada perkataan yang tersusun dalam menghadapi aspek pertunjukkan mukjizat, serta pada perkataan yang runtut (kalam murattab) dalam menghadapi blunder dan syubhat di atasnya, maka hal-hal di luar kebiasaan ini pun dalam pandangan anda akan menjadi salah satu dalil dan factor penentu. Dengan begitu, anda akan mendapat pengetahuan pasti (daruri), meski anda tidak mungkin bisa menyebutkan penyandarannya pada hal tertentu. Kenyataan ini seperti orang yang diberi informasi oleh sekelompok orang, maka ia tidak bisa langsung menegaskan bahwa keyakinanya diperoleh dari pernyataan tersebut, dan bukan dari seseorang tertentu. Inilah keyakinan kuat yang ilmiah. Sementara itu, zauq (intuisi) lebih seperti penyaksian dan berpegangan tangan. Zauq (intuisi) ini tidak ditemukan kecuali dalam tarekat Sufisme.
Cukuplah kiranya penjelasan tentang hakikat kenabian ini bisa memenuhi tujuan yang saya maksudkan sekarang. Dan selanjutnya akan saya uraikan segi kebutuhan akan konsep kenabian .
DORONGAN MENYEBARKAN ILMU KEMBALI SETELAH MENINGGALKANYA
Setelah menjalani uzlah dan menyepi diri selama hampir 10 tahun, muncul dalam diriku bermacam motivasi yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagian diperoleh dengan zauq, sebagian lain dengan pemikiran teoritis (burhani) dan sebagian lagi dengan unsur keimanan. Antara lain sebagai berikut:Manusia diciptakan dengan raga dan hati. Hati yang saya maksud ini adalah hakikat ruh yang menjadi wadah ma‘rifat Allah tanpa daging dan darah yang sama-sama dimiliki oleh mayat dan binatang. Badan mempunyai potensi kesehatan yang menjadi sebab kebahagiaan manusia, juga mempunyai potensi sakit yang menjadi sebab kesedihan dan kematiannya. Begitu juga hati menyimpan potensi sehat dan selamat. Pada saat itu, tidak ada yang selamat, “kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang tulus” (Q.S. asy-Syu‘ara[42]:24). Dan ia pun mempunyai potensi sakit yang menjadi pangkal abadi di akhirat, sebagaimana yang diisaratkan dalam firman Allah, “Dalam hati mereka ada penyakit,”(Q.S. al-Baqarah [2]: 10); “maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafiq),”(Q.S. al-Maidah [5]: 52); “Ingatlah ketika orang-orang munafiq dan orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya,” (Q.S. al- Anfal [8]: 49);“Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,”(Q.S. at-Tawbah [9]: 125);“ Bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan kasar hatinya,” (Q.S. al-Hajj [22]: 53); “Dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,” (Q.S. al-Ahzab [33]: 60); “Kami lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya”, (Q.S. Muhammad [47]: 20); “Supaya orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir”. (Q.S. al- Mudatsir [74]: 31).
Kebodohan dan kelalaian pada Allah merupakan racun penghancur. Perbuatan maksiat kepada Allah dan menuruti hawa nafsu adalah penyakit. Penangkalnya adalah ma‘rifat, dan mentaati Allah dengan melawan hawa nafsu adalah obat yang paling mujarab. Tidak ada terapi untuk mengobati hati dan menjaga kesehatannya kecuali dengan obat-obatan ini sebagai mana fungsi obat untuk badan. Sama halnya ketika obat-obatan untuk badan berpengaruh bagi kesehatan tubuh lantaran khasiat khusus yang terkandung didalamnya, yang tidak bisa dijangkau begitu saja oleh otak orang berakal. Bahkan dalam mengkonsumsinya pun orang harus mengikuti petunjuk dokter yang telah memperoleh rahasia khasiat-khasiat tersebut dari para Nabi, yang mana mereka dengan kekhususan kenabiannya telah mengetahui intisari segala perkara. Dengan demikian, jelas bagi saya secara pasti bahwa obat-obatan ibadah dengan batasan dan kadar yang telah ditentukan oleh para Nabi tidak bisa begitu saja diketahui dengan akal saja, melainkan harus taklid mengikuti para Nabi yang telah mendapatkan khasiat hal-hal tersebut dengan nur kenabian, bukannya dengan akal.
Sebagaimana obat-obatan tersusun dari campuran komposisi yang beragam, dimana masing-masing mempunyai ukuran dan kadar tersendiri yang merupakan rahasia khasiat tersebut. Begitu juga ibadah yang merupakan obat penyakit hati. Ia tersusun dari keragaman laku yang berbeda-beda jenis dan kadarnya, serta menyimpan rahasia khasiat masing-masing yang hanya bisa dijangkau dengan cahaya kenabian. Sujud misalnya, dua kali lipat dalam ruku (dalam solat), dan salat shubuh separoh lebih sedikit dari shalat ‘Asar dalam jumlah rakaatnya . Maka, bodoh dan tolol jika ada orang yang ingin menngapresiasi hikmah di dalamnya dengan media akal, atau berpikiran bahwa hal tersebut disebutkan secara kebetulan dan bukan oleh rahasia Tuhan yang terkandung di dalamnya sebagai konsekuensi menempuh jalan khusus. Dan sebagaimana juga obat-obatan yang mempunyai inti primer yang merupakan unsur utama pembentuknya, disamping zat tambahan yang merupakan pelengkapnya di mana masing-masing memiliki kekhususan pengaruh dalam kerja inti primer, maka begitu pula halnya dengan laku-laku ibadah sunnah. Ia lebih merupakan tambahan pelengkap untuk menyempurnakan rukun-rukun ibadah.
Pendek kata, para nabi adalah dokter-dokter penyakit hati. Fungsi dan kapasitas akal jika kita tahu hanyalah untuk bersaksi atas kebenaran kenabian dan kelemahan dirinya untuk menjangkau pengetahuan dengan mata kenabian. Akal seharusnya membimbing dan menyerah tundukan kita pada kenabian sebagaimana ketundukan orang buta pada petunjuk si penuntunnya dan ketundukan pasien yang kebingungan kepada dokter yang menyembuhkan. Lebih dari itu, akal terpinggirkan, kecuali sebatas memahami apa yang disampaikan dokter kepadanya. Inilah hal-hal yang kami ketahui dengan cara musyahadah penyaksian selama masa uzlah dan khalwah.
Pada perkembangan selanjutnya, kami melihat pengikisan keyakinan pada konsep kenabian, lalu pada hakikat kenabian, hingga pengikisan praktik pengamalan beragam perintah yang sudah dijelaskan oleh kenabian. Kami menemukan hal itu sudah banyak di tengah-tengah ummat. Kami melihat kemalasan manusia dan kelemahan iman mereka yang dalam hal ini lebih disebabkan oleh empat factor penyebab sebagai berikut:
1.Faktor penyebab yang berasal dari para pengkaji yang berkecimpung dalam disiplin filsafat.
2.Faktor penyebab yang berasal dari para pelaku tarekat tasawwuf.
3.Faktor penyebab yang berasal dari para pengikut mazhab Batiniyyah; dan
4.Faktor penyebab yang berasal dari interaksi sosial kaum terpelajar.
Selama beberapa waktu, saya mengadakan penyelidikan pada orang per orang. Pada orang yang kurang aktif menjalankan syari‘at, saya tanyakan mengenai keraguannya menjalankan syari‘at. Saya mengorek juga masalah akidah dan rahasia mereka. Saya katakana pada mereka:“Mengapa anda kurang dalam menjalankan syariat agama? Jika anda mengimani hari akhir, tetapi anda tidak melakukan persiapan dalam menghadapinya dan malah menjualnya dengan keduniaan, maka ini merupakan sebuah kebodohan! Bukankah anda tidak mau menukar dua dengan harga satu, lalu bagaimana bisa anda mempertaruhkan sesuatu yang tiada akhir dengan hal yang sifatnya sementara dan bisa dihitung? Jika memang anda tidak beriman, maka anda sudah kafir. Uruslah diri anda untuk mencari keimanan. Telitilah penyebab kekafiran semu anda yang telah menjadi mazhab kebatinan anda serta menjadi sebab kelancangan anda dalam tatanan lahir, jika memang anda tidak mau berterus terang bahwa anda hanya berhias-hias dengan iman dan seolah-olah memuliakan syara!”.
Orang pertama menjawab:
“Ini adalah persoalan yang jika diwajibkan menjaganya, maka kalangan ulama lah yang paling pantas untuk menanganinya. Si Fulan yang kalangan elit terkemuka tidak shalat. Si Fulan minum minuman keras. Si Fulan makan harta wakaf dan harta anak-anak yatim. Si Fulan makan harta negara dan tidak menjaga diri dari perkara yang haram. Si Fulan menyuap pengadilan dan saksi. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya!”
Orang kedua menuduh disiplin tasawwuf sebagai penyebabnya. Menurutnya, praktek sufisme telah mencapai batas yang tidak memerlukan lagi praktek-praktek ibadah.
Orang ketiga beralasan dengan kerancuan lain. Mereka menuduh kalangan yang memiliki kerancuan lain dari kaum serba membolehkan sebagai orang-orang yang sesat dari jalan tasawwuf.
Orang keempat melemparkan kesalahan pada Ahl at-Ta‘lim (aliran syi‘ah Batiniyyah) sambil menyatakan:
“kebenaran adalah suatu yang rumit. Jalan ke sana sudah buntu. Di dalamnya sudah banyak berbagai perselisihan. Tidak ada satu pun mazhab yang lebih menonjol dari yang lainnya. Dalih-dalih yang diungkapkan kalangan intelektual saling bertentangan. Akibatnya tidak ada lagi kepercayaan pada pendapat kalangan rasionalis. Para penyeru pengajaran hikmah sudah tak diperlukan lagi. Lalu bagaimana aku meninggalkan sesuatu yang sudah yakin demi sesuatu yang masih ragu?”.
Orang kelima mengatakan:
“Masa bodoh dengan taklid ini. Saya sudah membaca ilmu filsafat. Saya ketahui di sana makna hakikat kenabian. Bahwa inti kenabian kembali kepada hikmah (kebijakan) dan maslahah (kebaikan). Misi kenabian adalah mencegah dan mengekang kalangan awam untuk tidak saling berperang, berselisih dan mengumbar syahwat. Sementara saya bukanlah orang awam dan bukanlah orang bodoh yang mau terjebak dalam batu keterpaksaan. Saya adalah kaum bijaksana yang lebih menuruti kata hikmah. Aku selalu berpegangan pada hikmah dan tidak membutuhkan taklid( Ikut-ikutan) lagi!”.
Inilah prestasi puncak keimanan orang yang membaca mazhab Ilahiyyin (ketuhanan). Ia mempelajari hal-hal tersebut dari kitab Ibn Sina dan Abu Nasr al-Farabi. Mereka inilah yang memakai Islam sebagai penghias diri semata. Anda bisa melihat mereka membaca Alquran, aktif mengikuti jamaah shalat, dan mengagung-agungkan syari‘at. Tapi mereka tetap tidak meninggalkan meminum minuman keras dan segala bentuk kefasikan dan prostitusi. Jika dikatakan pada mereka:
“jika memang kenabian tidak benar, lalu mengapa anda masih tetap shalat?”, mungkin mereka akan menjawab:
“untuk mengolah ragakan badan saja, atau karena sudah menjadi tradisi masyarakat, serta untuk menjaga harta dan anak-anak!”. Mungkin juga mereka terus mengatakan;
” bahwa syari‘ah sudah benar dan kenabian juga benar”. Lalu ketika ditanyakan kepada mereka:
“Terus, mengapa anda tetap meminum minuman keras?!” mereka akan berdalih:
“Minuman keras itu kan dilarang ketika memicu permusuhan dan kebencian. Sementara saya, dengan daya hikmah yang saya miliki, jelas terjaga dari hal itu. Toh saya meminumnya juga untuk lebih menajamkan pikiran.”
Bahkan Ibn Sina menulis dalam sebuah wasiat bahwa dia telah bersumpah pada Allah untuk melakukan ini dan itu, menjunjung tinggi syari‘at, tidak membatasi diri pada ibadah keagamaan, tidak meminum sesuatu yang tiada guna, melainkan yang memiliki fungsi kesehatan dan penyembuhan. Itulah puncak prestasi keimanan Ibn Sina dalam kesucian iman dan komitmen ibadah dengan pengecualian minuman keras untuk tujuan pengobatan.
Maka ini adalah keimanan orang yang biasanya hanya sekedar mengaku-ngaku. Banyak kalangan yang telah tertipu oleh mereka. Ketertipuan ini semakin bertambah dengan lemahnya fungsi kritis untuk membantah dan membendungnya. Mereka menolak mendebat ilmu teknik dan logika, serta disiplin lain yang penting bagi mereka yang telah saya paparkan alasanya sebelumnya.
Melihat kelemahan iman banyak kalangan hingga batas ini karena sebab-sebab di atas, aku merasa berkewajban untuk menyingkap kerancuan-kerancuan tersebut. Bagi saya yang sudah berkecimpung banyak di dalam disiplin ilmu dan metode mereka, maksudnya disiplin tarekat sufi, filsuf, Ahl at-Ta‘limiyyah dan ulama terkemuka, membuka kedok mereka lebih mudah daripada minum air. Aku merasa bahwa sekaranglah waktunya. Apa perlunya khalwah dan ‘uzlah bagimu sementara penyakit sudah sedemikian mewabah, dan para dokter sendiri sakit dan kebanyakan orang tengah menuju jurang kehancuran?. Saya bilang pada diri saya:
“Kapan kamu akan menyibukan diri untuk menyingkirkan awan dan menepis kegelapan ini, sementara zamannya adalah zaman kemunduran dan fasenya adalah putaran roda kebatilan? Jika kamu sibuk dengan mendakwahi kebenaran pada mereka tentunya semua orang akan memusuhi kamu. Kalau sudah begitu, bagaimana kamu bisa berkomunikasi dengan mereka. Hal itu hanya bisa dilakukan secara sempurna pada zaman pembantu dan penguasa agamis yang berwibawa”.
Saya lalu meminta keringanan pada Allah untuk meneruskan uzlah dengan alas an kelemahan diri untuk menunjukan kebenaran dengan hujjah dan dalil. Allah Swt. kemudian menggerakan jiwa dakwah penguasa dengan sendirinya tanpa dorongan dari luar. Sultan mengeluarkan perintah mendesak kepadaku untuk pergi ke Naysabur untuk mengecek dan mereportase fitnah ini.
Dari sini aku tersadar bahwa alasan dispensasi ketidakberdayaan, tidak seharusnya diajukan jika pendorong untuk tetap uzlah hanyalah karena kemalasan dan untuk beristirahat saja, mencari prestise diri dan menjaga diri dari pesakitan manusia. “Jangan kamu meminta keringanan lagi atas dirimu hanya karena brutalnya manusia sementara Allah sudah berfirman menjanjikan:
“Alif Laam Miim, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah Swt. mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 1-3).
Dia juga telah berfirman pada Rasul-Nya yang merupakan makhluk-Nya yang paling terkemuka,
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar atas pendustaan dan penganiyaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami pada mereka.” (Q.S. al-An‘am [6]: 34).
Bahkan Allah berfirman panjang, “yaa Siin. Demi Alquran yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul. (yang berada) di jalan yang lurus. (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan., karena itu mereka lalai. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. Sesungguhnya kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka diangkat ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan, dan yag takut pada Tuhan Yang Maha Pemurah walau pun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” (Q.S. Yasiin [36]:1-11].
Lebih lanjut, saya kemudian meminta pendapat kalangan Sufi (Arbab al-Qulub wa al-Musyahadah). Mereka semua menyetujui keinginan saya untuk menanggalkan uzlah dan keluar dari zawiyyah (tempat peribadatan para sufi-penj.). keputusan ini juga lebih dikuatkan lagi dengan mimpi-mimpi dari para kaum saleh yang cukup banyak dan mutawattir. Aktifitas ini merupakan awal kebaikan dan kelurusan yang telah ditakdirkan Allah Swt. dalam penghujung abad ini. Allah Swt. telah berjanji untuk menyegarkan agama-Nya di setiap penghujung abad. Maka harapan dan prasangka baik pun semakin kokoh dengan kesaksian-kesaksian di atas. Dan Allah memudahkan gerak saya ke Naysabur untuk melaksanakan tugas-tugas ini pda bulan Zul Qa‘dah tahun 499 H. dulu aku meninggalkan Baghdad pada bulan Zu al-Qa‘dah tahun 488 H, kemudian melakukan uzlah selama 11 tahun. Mungkin prilaku ini sudah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi saya. Ini adalah keajaiban takdir-Nya yang belum pernah terlintas dalam hati saya selama laku uzlah. Begitu pula kepergian saya dari Baghdad dan pilihan saya untuk menempuh laku-laku sufisme tersebut juga tidak pernah saya perkirakan kemungkinannya sebeumnya. Alah Swt. memang Maha Pembolak-Balik hati dan kondisi. ‘Dan hati orang mukmin memang berada dalam kedua jari jemari Sang Maha Pengasih.’
Saya bertekad kembali menyebarkan ilmu. Namun aku sadar sepenuhnya, saya tidak boleh kembali terjebak dalam keterpeosokan masa lalu. Dulu saya menyebarkan ilmu demi memperoleh kehormatan. Sekarang saya menyebarkan ilmu yang bisa menjauhkan diri dari ambisi kehormatan dan membuka kedok kehinaan derajat kehormatan dan jabatan. Inilah niat, misi dan harapan saya sekarang. Allah Maha Tahu akan harapan tersebut, bahwa saya terus mencari kebaikan diri dan orang lain selain saya. Saya tidak tahu apakah saya akan mampu mencapai tujuan saya atau malah terperosok lagi melenceng dari misi saya? Tapi saya percaya dengan segala keyakinan dan musyahadah bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali atas restu dan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Agung. Saya tidaklah bergerak sendiri, akan tetapi Allah-lah yang menuntunku untuk bertindak. Saya terus memohon pada Allah untuk memperbaiki diri saya terlebih dahulu. Dan Allah benar-benar telah memperbaiki dan menunjukan saya. Saya juga berdo‘a agar Allah memperlihatkan laku kebajikan sebagai kebajikan , untuk kemudian Dia memberi saya kekuatan untuk mengikutinya, dan menunjukan kebatilan sebagai kebatilan untuk kemudian Dia mengkaruniai saya kemampuan untuk menjauhinya.
Sekarang marilah kita kembali kepada masalah yang kami sebutkan di muka tentang sebab-sebab kelemahan iman demi menunjukan pada mereka akan jalan kelurusan dan menyelamatkan mereka dari jurang kehancuran.
Untuk kalangan yang mengaku bingung akan hal-hal yang mereka dengar dari kaum aliran at-ta‘lim, terapi pengobatannya telah kami sebutkan dalam kitab ‘al-Qistas al-Mustaqim’. Makanya, kami tidak memperpanjang keterangan tersebut dalam risalah ini.
Mengenai hal yang dituduhkan oleh kalangan kaum yang serba membolehkan (kaum ibahah), kami memetakan kerancuan-kerancuan mereka dalam 7 macam. Kami membeberkannya dalam kitab ‘kimiya as-Sa‘adah’.
Menjawab kalangan yang telah rusak imannya akibat jalan filsafat yang mereka tempuh hingga sampai mengingkari kebenaran kenabian, kami telah memaparkan hakikat kenabian dan keberadaan wujudnya sebagai sebab keharusan, dengan analogi adanya ilmu khasiat-khasiat medis dan astronomi, serta selain keduanya. Bahkan kami sengaja mendahulukan pembahasan tentang masalah ini sebagai pengantar sengaja untuk keperluan demikian. Kami memakai dalil dari khasiat-khasiat medis dan kedokteran karena memang pengetahuan-pengetahuan tersebut sama dengan disiplin ilmu mereka. Karena kita harus menjelaskan pada setiap orang terpelajar dengan keterampilan ilmu yang sama dengan mereka seperti astronomi, kedokteran, matematika, sihir, dan sulap dengan melalui penjelasan bukti-bukti kenabian.
Ada pun orang yang mengakui kenabian dengan lisannya, namun menyamakan syariat dengan hikmah, maka mereka sebenarnya telah kafir karena mengingkari kenabian dan beriman kepada hukum yang mempunyai karakter khusus yang harus diikutinya. Ini jelas bukan termasuk kenabian sama sekali. Akan tetapi, keimanan pada kenabian adalah kesediaan mengakui adanya fase lanjutan di belakang akal, di mana terbuka dalam fase tersebut mata yang mampu melihat pengetahuan tertentu yang tidak bisa dijangkau oleh akal sebagai mana ketidakmampuan suara untuk mengetahui warna, indera penglihatan untuk mengetahui suara, dan ketidak-mampuan panca indera untuk mengetahui hal-hal rasional. Jika memang hal ini tidak boleh, maka kami telah mempunyai bukti demonstratif, akan potensi kemungkinan, bahkan realitas itu sendiri. Dan jika mereka membolehkan penjelasan demikian, maka telah terbukti juga di sini bahwa terdapat hal-hal yang disebut dengan khasiat yang tidak dilewati lintasan akal, bahkan akal malah cenderung mendustakannya dan menetapkan kemustahilannya. Juga bahwa ganja seberat 1/6 dirham adalah racun yang mematikan, sebab ia membekukan darah di dalam nadi karena saking dinginnya.
Sementara kalangan yang menganggap diri sebagai pakar ilmu alam menyatakan bahwa di antara komposisi alam ada unsur yang mendinginkan dengan campuran senyawa air dan debu. Keduanya adalah unsur dingin . padahal sudah maklum adanya bahwa berliter-liter air dan tanah pendinginannya di dalam tidak sampai batasan ini. Jika seorang naturalis diberitahukan akan kenyataan ini dan ia belum pernah melakukan eksperimen atasnya pasti ia akan bilang:
“ini jelas mustahil. Bukti kemustahilannya bahwa di dalamnya mengandung komposisi air dan udara. Air dan udara tidak akan menambah kedinginannya. Lalu jika kita mengukur masing-masing dengan air dan debu, maka takaran tinggi pun suhu ini jelas tidak menimbulkan dingin, apalagi jika dimasuki kedua unsur panas. Pastilah lebih tidak berdampak”.
Ia begitu mengunggulkan hal ini sebagai bukti penyelidikan (burhan), dan memang kebanyakan argumen kaum filsuf dalam disiplin naturalisme dan ketuhanan didasarkan pada jenis ini. Mereka hanya melihat permasalahan sebatas yang mereka temukan dan logika-kan dengan akal, sehingga terhadap hal-hal yang asing. Mereka menduga-duga sebagai sesuatu yang mustahil adanya. Padahal mimpi yang benar-benar (ar-ra‘yu as-sadiqah) biasanya tidak lumrah. Maka jika ada orang yang mengaku bahwa dalam ketidak berfungsian inderanya ia melihat dan mengetahui barang gaib, pastilah akan ditolak oleh kalangan oleh kalangan ini. Apa lagi jika dikatakan pada mereka:
“Bolehkah (terjadi) di dunia ini sesuatu sebesar biji diletakan di sebuah negeri untuk memakan negeri tersebut, dan kemudian memakan dirinya sendiri, sehingga tidak tersisa apa-apa lagi di dalam negeri tersebut beserta seluruh isinya, dan sesuatu itu pun juga tidak tersisa?” mereka akan langsung menyatakan:
”ini tidak mungkin. Ini hanya khurafat yang mengada-ada”.
Padahal ini adalah soal api yang dapat membumi-hanguskan seluruh negeri. Namun mereka yang belum pernah menyaksikan hal tersebut akan langsung mengingkari jika mendengarnya. Dan kebanyakan pengingkaran akan keajaiban akhirat juga berlangsung demikian. Maka kami katakan pada kaum naturalis:
“Anda menyatakan sendiri bahwa di dalam ganja terdapat khasiat pendingin yang tidak bisa dianalogikan secara akal dengan tabiat alam. Lalu mengapa tidak boleh terjadi di dalam masalah-masalah syar‘iat agama yang punya khasiat-khasiat untuk menyembuhkan hati dan membersihkannya yang memang tidak bisa terjangkau oleh kemampuan akal, melainkan harus dengan mata batin kenabian?”.
Mereka sendiri telah banyak mengakui khasiat-khasiat yang lebih aneh lagi dari hal ini di buku-buku mereka, misalnya khasiat aneh didalam mengobati orang hamil yang kesulitan mengeluarkan janin dengan bentuk rajah seperti ini:
Tulis rajah di atas dua sobekan baju yang belum terkena air. Lalu si perempuan yang hamil (suruh) melihat pada keduanya dengan kedua matanya. Kemudian (suruh) ia meletakan keduanya di bawah kedua kakinya, maka pastilah si jabang bayi akan langsung keluar seketika dengan sangat mudah”.
Mereka mengakui kemungkinan hal ini dan memaparkannya panjang lebar dalam kitab ‘Ajaib al-Khawwas’. Kitab ini berbentuk tujuh bait yang dinomori dengan angka-angka khusus, dan jumlah total di dalam satu tabel adalah 15. aku telah membacanya, dalam bentuk yang panjang, lebar dan atas kedua sisinya.
Sungguh aneh bin ajaib! Bagaimana bisa orang yang membenarkan hal tersebut, tapi akalnya tidak terbuka untuk mempercayai dan membenarkan bahwa ketentuan salat subuh 2 rakaat, zuhur 4 rakaat, dan maghrib 3 rakaat juga mempunyai khasiat-khasiat yang tidak bisa diketahui dengan kemampuan nalar yang menunjukkan alasan perbedaan waktu, melainkan hanya bisa dijangkau dengan cahaya kenabian. Anehnya lagi, jika kita mengubah bahasa ungkapannya dengan bahasa kaum astronomi, pastilah mereka akan mempermasalahkan perbedaan rakaat karena perbedaan waktu tersebut. Maka akan kami katakan pada mereka:
“Bukankah berbeda-beda pula penilaian orang yang melihat matahari di tengah-tengah langit, dengan yang melihatnya di ufuk timur dan saat tenggelam. Toh banyak orang menjadikannya sebgai patokan dalam terapi penyembuhan bagi bermacam penyembuhan, dan untuk umur dan waktu yang berbeda-beda. Padahal tidak ada beda antara matahari lengser dan ketika ia di tengah-tengah langit, dengan saat ia tenggelam dan berada di barat. Apakah ada jalan lain untuk membenarkannya?”.
Ketika ia mendengar hal ini dengan bahasa ahli astronomi, mungkin ia akan mencoba mendustakannya 100 kali, sampai si ahli bilang kepadanya:
“Jika matahari berada di tengah-tengah langit, planet Fulan terlihat, dan bintang Fulan juga muncul, maka jika aku memakai baju baru di saat demikian, niscaya aku akan mati karena sebab baju tersebut! Karena tidak boleh memakai baju tersebut pada saat demikian, karena mungkin kedinginan yang luar biasa akan menderanya”. Ia akan membenarkannya, meski mungkin ia telah mendengar dan mengetahui kebohongan ucapan si ahli astronomi ini berkali-kali.
Aneh sekali orang yang mau saja akalnya memerima hal rancu ini, bahkan terpaksa membenarkannya sebagai khasiat, dimana mengetahuinya sendiri merupakan mukjizat sebagian para Nabi, bagaimana bisa ia malah mengingkari hal yang sama ketika ia mendengarnya dari pernyataan yang benar dari Nabi dan dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat yang tidak mengenal sedikitpun kata dusta.
Jika seorang filsuf mengingkari daya khasiat-khasiat ini dalam bilangan rakaat, ritual melempar jumrah, jumlah rukun haji, dan ritual-ritual ibadah syara lainnya, ia sebenarnya tidak akan menemukan perbedaan yang mendasar antara hal-hal tersebut dengan khasiat-khasiat obat-obatan dan bintang. Jika ia berdalih:
“Aku telah melakukan satu uji dari disiplin astronomi dan uji coba lain dari disiplin medis. Aku melihat sebagian memang benar adanya dan diriku pun tergerak membenarkannya. Dan gugur dalam hatiku untuk menepis dan mengingkarinya. Namun akan halnya ini, aku belum pernah mencobanya. Dengan apa aku bisa mengetahui keberadaanya dan pembuktian kebenarannya jika aku mengakui kemungkinannya?”.
Akan saya katakan padanya:
“Anda jangan mendustakan apa yang anda coba, bahkan ketika anda mendengar informasi dari para pencoba lain anda pun begitu saja mengikutinya. Maka dengarkan kata-kata para Nabi. Mereka telah mencoba hingga menyaksikan kebenaran semua yang di datangkan oleh syari‘at. Titilah jalan mereka, maka akan anda temukan dengan penyaksian sebagian yang anda cari !”.
Lebih lanjut saya katakan bahwa jika memang anda belum mencobanya, namun akal anda memutuskan keharusan membenarkan dan mengikutinya secara pasti. Maka lihat misalnya jika kita mengambil hipotesa seorang anak yang telah menginjak akil baligh. Ia belum pernah mengalami sakit kemudian sakit. Di sini ia memiliki seorang bapak yang begitu penyayang dan cakap dalam masalah kedokteran yang telah mendengar rumusan-rumusan pengetahuan kedokteran sejak akil balighnya. Kemudian si bapak meracik obat untuk si remaja yang sakit dan berkata:
“Obat ini cocok untuk sakitmu. Ia akan menyembuhkanmu dari kesakitanmu”.
Coba, apa yang akan diputuskan oleh akal si anak?. Jika memang obat itu pahit dan berasa kurang enak, apakah si anak akan menelannya demi kesembuhannya, ataukah malah menolak dan memutuskannya sambil berkata:
“Akalku belum mengerti kaitan obat ini dengan kesembuhanku, karena aku belum pernah mencobanya!”.
Di sini, anda pasti akan membodoh-bodohkan anak itu jika ia melakukan hal tersebut. Maka, begitu pula orang-orang kaum pemilik mata batin akan membodoh-bodohkan anda dalam kekukuhan anda menolak petuah para Nabi! Jika anda mau mengatakan:
“lalu bagaimana aku bisa mengetahui kasih sayang Nabi Saw. dan pengetahuannya dalam masalah medis?”, Maka akan saya bilang:
“Bagaimana anda bisa mengetahui kasih sayang ayahmu? padahal itu bukan sesuatu yang bisa diraba dengan indera. Anda kan mengetahuinya lantaran tanda-tanda prilakunya serta bukti-bukti perbuatanya dalam sumber-sumbernya dengan pengetahuan mendesak yang tidak diragukan lagi.”
Barang siapa yang memperhatikan sabda-sabda Rasulullah Saw. dan kabar tentang beliau dalam usaha membimbing manusia, kasih sayangnya mengenai keberutalan manusia dengan segala kelembutan dan kasih sayangnya demi membaguskan akhlak mereka dan memperbaiki yang jelek, dan secara umum pada hal-hal yang menjadi titik tolak kebaikan agama dan keduniaan manusia. Maka ia akan memperoleh kepastian pengetahuan bahwa kasih sayang Nabi pada umatnya lebih besar daripada kasih sayang orang tua kepada anaknya. Lebih lanjut, jika anda melihat keajaiban-keajaiban laku beliau yang tampak nyata dan yang gaib sebagaimana yang disampaikan dalam Alquran melalui lisan beliau serta yang diberitakan juga dalam khabar-khabar (hadis), hingga prihal yang beliau sebutkan di akhir zaman yang kemudian muncul menjadi kenyataan sebagaimana yang beliau isaratkan. Maka ia akan tahu dengan sendirinya bahwa beliau telah mencapai fase lanjutan melebihi akal. Telah terbuka baginya, mata yang menyingkap segala kegaiban yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang khusus (khawwas), serta hal-hal lain yang tidak terjangkau akal. Inilah metodelogi ilmiah yang akan mendesak dan mengharuskan pembenaran akan Nabi Saw.. Cobalah dan renungkanlah Alquran, lalu telaah juga khabar-khabar (hadits), niscaya anda akan mengetahui hal tersebut dengan mata kepala sendiri.
Penjelasan sekedarnya ini cukup untuk memperingati orang yang sedang meniti jalan filsafat. Kami menguraikan karena kebutuhan yang sangat mendesak pada zaman ini.
Adapun factor penyebab keempat adalah kelemahan iman karena keburukan laku para ulama. Penyakit ini bisa disembuhkan dengan tiga hal:
Pertama:
Apa yang anda katakan bahwa orang alim yang menurut anda telah memakan barang haram itu, maka pengetahuannya tentang hal tersebut sama seperti pengetahuan anda mengenai keharaman khamr. Memakan daging babi dan makan riba, hingga keharaman menggunjing orang, berbohong dan propokasi(namimah). Anda juga tahu persis keharaman hal tersebut, tapi anda tetap pula melakukannya. Hal ini bukan karena ketidak imanan anda akan kemaksiatan hal tersebut, melainkan karena syahwat telah menguasai anda. Maka nafsu syahwat seorang alim ulama juga sama seperti syahwat anda. Ia telah terkalahkan oleh syahwatya sebagaimana anda. Hanya pengetahuannya akan masalah-masalah di belakang inilah yang membedakan dia dengan anda. Bertambahnya larangan dari hal-hal terlarang ini tidak sesuai dengan kapasitasnya. Betapa banyak orang yang percaya akan medis, namun mereka tidak sabar dengan buah-buahan tertentu dan air dingin, meski dokter telah menjauhkan dan melarangnya untuk mengkonsumsinya. Hal ini tidak boleh diartikan bahwa hal itu tidak berbahaya, atau bahwa kepercayaan kepada medis tidak benar. Inilah letak kesalahan para ulama.
Kedua:
Dikatakan pada orang awam bahwa sebaiknya kamu percaya bahwa seorang ulama menjadikan ilmu sebagai bekal untuk dirinya kelak di akhirat. Si ulama menyangka bahwa ilmu akan menyelamatkannya serta menjadi penolongnya sampai-sampai ia meremehkan amalan-amalannya karena keutamaan ilmunya. Padahal jika memang ilmu boleh dijadikan sebagai tambahan argumentasi olehnya, maka ia boleh juga menjadi tambahan derajatnya. Hal ini mungkin-mungkin saja. Kalau pun ia meninggalkan amal, ia masih bisa menunjukan ilmu. Sedangkan kamu!, wahai orang awam, jika kamu hanya melihatnya, kemudian kamu meninggalkan amal, sementara kamu juga melalaikan ilmu, maka kamu akan binasa karena kejelekan amalmu tanpa ada penolong.
Ketiga:
Inilah yang benar. Bahwa seorang alim ulama sejati tidak melakukan tindak maksiat kecuali karena factor kelalaian. Dan ia juga tidak akan bersikeras berbuat maksiat. Sebab ilmu sejati telah mengajarkan bahwa maksiat merupakan racun yang merusak, dan akhirat lebih utama dari pada dunia. Orang yang sudah tahu hal ini tidak akan mempertaruhkan kebaikan dengan sesuatu yang lebih rendah. Ilmu ini juga tidak diperoleh sebagaimana jenis disiplin-disiplin lain yang banyak digeluti oleh orang yang malah semakin menambah keberanian mereka untuk berbuat maksiat pada Allah. Beda dengan ilmu sejati, maka ia menambahkan bagi pemiliknya rasa takut dan harap cemas. Perasaan inilah yang akan menghalangi dirinya untuk tidak berbuat maksiat, kecuali ada godaan kesalahan yang memang tidak akan mampu ditahan oleh semua orang dalam beberapa fase. Hal ini tidak lalu menunjukan kelemahan iman mereka. Karena orang mukmin adalah orang yang suka bertaubat. Mereka jauh dari kekukuhan dan kesetiaan pada kesalahan.
Demikianlah yang ingin aku uraikan dalam rangka mendudukan noda dan bahaya disiplin filsafat dan faham ta‘lim aliran syi‘ah Batiniyyah, serta bahaya orang yang mengingkari keduanya tanpa menggunakan metode.
Kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang Dia lindungi dan Dia tunjukan pada kebenaran jalan-Nya, juga yang Dia ilhami untuk terus berzikir mengingat-Nya tanpa pernah melupakan-Nya, serta yang Dia jaga dari kejelekan diri sehingga tidak terpengaruh oleh kejelekan orang lain, dan terakhir, semoga Dia berkenan menjadikan kita semua sebagai orang-orang dibersihkan dirinya sehingga hanya menyembah kepada-Nya.
Shalawat dan salam bagi penghulu kita, Muhammad Saw., beserta seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Bab ii
Meraih kebahagiaan sejati
[kimiya as-sa‘adah]
Bismillahirrahmanirrahim
Kata pengantar pengarang
Puji syukur kepada Allah Swt. yang telah menaikan derajat jiwa orang-orang yang suci dengan perjuangan batin, yang telah membahagiakan hati para wali dengan penyaksian haq, yang telah menghiasi ucapan orang-orang mukmin dengan zikir, yang telah memuliakan hati orang-orang yang banyak mengetahui serta bijak dengan berfikir, yang telah menjaga para hamba dari kerusakan, yang telah menahan segala halangan dari para ahli zuhud, yang telah menghindarkan orang-orang taqwa dari godaan nafsu, yang telah mensucikan ruh orang-orang yakin dari segala keraguan, yang telah menerima semua amal perbuatan para pencinta kebaikan melalui do‘a-do‘a dan telah menguatkan tali persatuan penyanjung kemerdekaan dengan ikatan yang kuat.
Aku memuji-Nya dengan pujian mereka yang telah menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan kekuatan-Nya, yang telah menyaksikan ke-Mahatunggalan-Nya dan wahdaniyah-Nya, yang telah mengetuk pintu-pintu rahasiah-Nya dan kemuliaan-Nya, yang telah memetik buah dari sujud dan kataatan kepada-Nya. Aku mensyukuri-Nya dengan syukur mereka yang telah terbakar dan hanyut dalam arus sungai kemuliaan dan pemuliaan-Nya.
Aku beriman pada-Nya dengan iman mereka yang telah mengakui kitab-kitab-Nya, perintah-Nya, para Nabi-Nya, para Wali-Nya, janji-janji-Nya, ancaman-Nya, pahala dan azab-Nya. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Maha Tunggal dan yang tidak memiliki sekutu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang diutus untuk menghancurkan kefasikan dan kemerosotan moral, diutus untuk mencerai-beraikan para pembangkang, diutus untuk memaksa orang-orang musyrik mengakui kebenaran-Nya, diutus untuk menolong para pengikut kebenaran dan kebaikan. Maka semoga keselamatan senantiasa Allah menganugerahkan kepadan Rosul SAW dan kepada para sahabatnya.
OBYEK PENGETAHUAN ADALAH DIRI
Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang seluk beluk tubuh tidak ada dalam katalog ilmunya kaum awam. Akan tetapi tersimpan dalam gudang ilmu para raja, demikian juga dengan kimia kebahagiaan. Ia hanya ada dalam gudang rahmat Allah Swt. Di langit atas tersimpan inti para malaikat, dan di bumi tersimpan hati para wali yang bijak. Dan setiap orang yang mencari kimia ini tanpa berdasar kehadiran konsep kenabian, maka ia telah salah jalan dan semua daya upayanya tak lebih seperti uang dinar palsu. Ia kira dirinya kaya, tapi sebenarnya miskin di hari kiamat, sebagaimana ditegaskan allah Swt.:
“Maka kami singkapkan dari padamu tutup yang menutupi matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.S. Qaf [50]: 22).
Dari sejumlah rahmat Allah pada hamba-Nya, Dia telah mengutus seratus dua puluh empat ribu Nabi untuk mengajarkan seluruh manusia tentang kimia ini, mengajarkan mereka bagaimana menjadikan hati sebagai alat mujahadah perjuangan diri. Mengajarkan bagaimana mensucikan hati dari budi pekerti tak terpuji dan mengajarkan bagaimana mengggunakannya untuk menapaki tangga-tangga kesucian, seperti dijelaskan Allah Swt.:
“Dia-lah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kitab dan hikmah.” (Q.S. al-Jum‘ah [62]: 2).
Atau mensucikan mereka dari akhlak tidak terpuji dan sifat-sifat kebinatangan, serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai baju dan hiasan mereka.
Ada pun maksud dari kimia ini adalah, bahwa semua yang berhubungan dengan sifat-sifat negatif dan buruk maka wajib meninggalkanya, dan semua yang berhubungan dengan sifat-sifat positif dan kebaikan maka wajib mengenakannya. Satu-satunya rahasia keberhasilan kimia ini adalah melangkah mundur dari keduniawian seperti ditegaskan oleh Allah Swt.,:
“Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.S. al- Muzammil [73]: Dan kimia ini sangat banyak.
PENGETAHUAN TENTANG DIRI PRIBADI
Ketahuilah bahwa kunci mengetahui Allah (ma‘rifat Allah) adalah mengetahui diri pribadi. Sepeti firman-Nya :
“Kami akan memperlihatkan pada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami atas segenap galaksi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran adalah benar.” (Q.S. Fussilat [41]: 52).
Demikian pula sabda Nabi Saw. “Siapa saja yang tahu akan dirinya, maka ia telah mengetahui Tuhannya.” Tak sesuatu yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri. Maka jika kamu tidak mengetahui dirimu, bagaimana mungkin bisa mengetahui Tuhanmu?.
Jika kamu katakan bahwa :aku telah mengetahui diriku, yang kamu tahu sebenarnya adalah diri bagian yang tampak (anggota badan) yang terdiri dari tangan, kaki, kepala dan yang lainnya. Kamu tak mengetahui apa yang tersimpan dalam jiwamu. Yang bila sedang marah, ia menueretmu kepada untuk bertengkar. Jika sedang bernafsu ia mengajakmu kawin. Jika sedang lapar, ia memintamu makan. Jika sedang haus, ia memintamu minum, dan hewan sangat mirip denganmu dalam hal ini. Maka dari itu, yang wajib engkau lakukan adalah mengenalkan hakikat pada dirimu hingga engkau tahu apa sebenarnya dirimu, dari mana kamu datang hingga sampai di tempat ini (Dunia), untuk tujuan apa kamu diciptakan, dengan apa kamu bisa meraih kebahagiaan dan dengan apa kamu mendapatkan kepuasan.
Dalam jiwamu terhimpun berbagai macam sifat. Di antaranya sifat-sifat binatang jinak, binatang buas, demikian juga sifat-sifat malaikat. Maka ruh adalah hakikatmu yang paling mendasar, lainnya adalah unsur asing dan kosong. Maka yang wajib kamu lakukan adalah mengetahui hal ini, demikian juga bahwa sifat-sifat itu harus dipupuk dan dibahagiakan. Kebahagiaan binatang jinak terletak pada makan, minum, tidur dan kawin, maka jika kamu merasa bagian dari mereka, kenyangkan perutmu! dan puaskan kelaminmu!. Kebahagiaan akan dirasakan binatang buas ketika ia mampu menyerang dan melumpuhkan mangsa, kebahagiaan syetan terletak pada makar, kejahatan dan tipuan. Maka jika kalian merasa bagian dari mereka, berbuatlah seperti yang mereka lakukan!.
Kebahagiaan dirasakan para malaikat, ketika mereka mengalami keindahan hadir di tengah haribaan Tuhan. Bagi mereka tak ada jalan sedikit pun untuk amarah dan syahwat. Jika engkau merasa sehakikat dengan mereka, berusahalah mengenal asalmu sampai engkau tahu jalan menuju hadirnya kehambaan Tuhan. Sampai engkau bisa menyaksikan kebesaran dan keindahan-Nya. Sampai engkau mampu menyelamatkan dirimu dari belenggu amarah dan nafsu. Sampai engkau tahu untuk apa sifat-sifat ini menjadi bagian dari dirimu.
Allah Swt. tidak menciptakan semua sifat itu agar mereka mengekangmu dan menawanmu, tapi Ia menciptakannya agar mereka menjadi dibawah kendalimu dan tawananmu. Agar bisa mendorong berjalan, yaitu kedua kakimu dan agar salah satunya bisa engkau jadikan kendaraan berjalan sedangkan lainnya sebagai senjata hingga engkau mencapai kebahagiaan. Jika engkau telah sampai, maka kendalikanlah ia di bawah kedua kakimu dan kembalilah ke tempat kebahagiaanmu. Tempat itu adalah rumah bagi para orang-orang khusus yang menyaksikan Hadirat Illahi (al-Hadrah al-Illahiyyah), sedang rumah-rumah para awam adalah tingkatan-tingkatan surga.
Engkau harus mengerti makna-makna istilah ini untuk bisa mengetahui sepenggal saja tentang dirimu. Dan barang siapa yang tidak mengetahui pada makna-makna ini, maka ia hanya mendapatkan serpihan-serpihannya saja, karena hakikat sebenarnya tertutup rapat .
PASAL DUA
HATI , JIWA DAN RUH
Jika kamu berkeinginan untuk mengerti prihal dirimu, maka ketahuilah bahwa engkau sebenarnya terdiri dari dua hal: Pertama, hati, dan kedua yang disebut jiwa atau ruh. Jiwa atau ruh adalah hati yang biasa engkau sebut sebagai mata hati. Hakikatmu adalah jiwamu, karena jasad yang tampak pertama sebenarnya adalah terakhir. Dan jiwa yang engkau anggap sebagai terakhir sebenarnya yang pertama, atau disebut hati. Hati disini bukanlah sepotong daging yang terletak di dada sebelah kiri, karena itu hanya berlaku bagi binatang dan jasad mati.
Segala sesuatu yang kamu lihat dengan mata telanjang adalah alam ini atau yang disebut alam realita. Sedang hakikat hati bukanlah bagian alam ini, tapi alam gaib, dan hakikat itu tersimpan di balik alam ini. Segumpal daging itu hanyalah wadahnya, semua anggota tubuh adalah bala tentaranya, sedang ia adalah rajanya. Ma‘rifah Allah (mengtahui Allah) dan musyahadah (menyaksikan) keindahan hadir-Nya adalah sifat-sifat mata hati. Beban baginya dan perintah untuknya. Dari situ ia mendapatkan pahala dan siksa. Kebahagiaan dan kepuasan mengikutinya, demikian ruh hewani pun mengintainya. Mengetahui sifat-sifat hati adalah kunci mengetahui Allah Swt.. Maka kamu harus bekerja keras untuk mengetahuinya, karena ia adalah inti mulia yang berakar pada inti para malaikat dan berasal dari Hadirat Illahi, dari tempat itu ia datang dan ke tempat itu ia kembali.
PASAL TIGA
RUH BAGIAN DARI ALAM KEKUASAAN
Sedang pertanyaanmu apa hakikat hati, syari‘at tidak menjelaskannya secara panjang lebar kecuali dalam satu ayat.“dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: “ruh itu termasuk urusan Tuhanmu,” (Q.S. al-Isra’ [17]: 85)
Karena ruh merupakan bagian dari kekuasaan Ilahiyyah, yaitu dari alam al-amr ( kekuasaan Tuhan). Allah Swt. berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah haqq Allah.” (Q.S. al-‘Araf [7]: 54)
Dengan demikian, pada satu sisi manusia merupakan bagian dari alam ciptaan dan pada sisi lain bagian dari alam kekuasaan. Segala sesuatu yang bisa dikenai ukuran panjang-lebar, takaran, dan cara kerja, adalah termsuk alam ciptaan, namun hati tidak memiliki ukuran panjang lebar dan kadar tertentu. Oleh karena itu, ia tak menerima pembagian. Jika bisa dibagi, maka ia bisa termasuk alam ciptaan. Misalnya sisi sifat bodoh, maka ia pun menjadi bodoh, dari sisi sifat pintar, ia pun menjadi pintar. Namun segala sesuatu yang memiliki sifat bodoh dan pintar pada saat yang sama adalah mustahil. Jadi jelas hati bagian dari alam kekuasaan, karena dalam alam kekuasaan(alam al-amr) tidak berlaku ukuran panjang,lebar dan kadar tertentu. Sebagian dari mereka mengira bahwa ruh bersifat qadim (permulaan), maka mereka telah salah. Sebagian lain berpendapat ruh adalah ‘ard (aksiden), maka mereka pun salah. Karena sifat tak pernah berdiri sendiri, tapi mengikuti yang lain. Maka, ruh adalah asal anak Adam, dan jiwa adalah wadah mereka. Jadi bagaimana mungkin dia adalah sifat. Suatu kaum mengatakan ruh adalah badan, mereka juga salah, karena badan menerima pembagian. Dan ruh yang sejak tadi kita sebut adalah sarana untuk mengetahui Allah. Oleh karena itu, ia bukan merupakan badan, juga bukan sifat, melainkan unsur inti malaikat.
Mengetahui tentang ruh teramat sangat sulit, karena agama tak memberi jalan sedikit pun. Dan agama tidak memerlukan untuk mengetahuinya, sebab agama intinya adalah kesungguhan beribadat, sedang ma‘rifah adalah tanda hidayah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 69)
Dan barang siapa yang tidak bersungguh-sungguh beribadah( Mujahadah), ia tidak boleh membahasnya atau mencari hakikatnya. Dasar pertama dari mujahadah adalah mengetahui bala tentara hati. Karena manusia jika tidak mengetahui hal ihwal kemiliteran, ia tak dibenarkan berperang.
PASAL EMPAT
JIWA ADALAH SARANA HATI
Ketahuilah bahwa jiwa adalah sarana hati, hati memiliki bala tentara, seperti dijelaskan Allah Swt.:“dan tak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.” (Q.S. al-Mudatsir[74]: 31)
Hati diciptakan untuk tugas-tugas akhirat, untuk mendapatkan kebahagiaannya. Adapaun kebahagiaan hati adalah dengan mengetahui Tuhannya. Mengetahui Tuhannya bisa didapatkan melalui ciptaan Allah Swt. dari berbagai ‘alam-Nya. Keajaiban alam tidak mungkin terlihat kecuali melalui panca indera, dan panca indera berasal dari hati yang mengambil jiwa sebagai sarananya. Kemudian dilanjutkan dengan mengetahui cara kerjanya dan komponen. Jiwa tidak akan berfungsi aktif kecuali dengan makan, minum, suhu panas dan kelembaban tertentu. Ia akan lemah saat dibebani bahaya dari dalam, yaitu lapar dan haus. Demikian saat melawan bahaya luar, seperti air dan api. Ia menghadapi banyak musuh.
PASAL LIMA
BALA TENTARA HATI
Ketahuilah engkau juga harus mengetahui adanya dua macam pasukan tentara, yaitu pasukan tentara bagian luar yang terdiri dari syahwat dan amarah, berikut tempat expresinya pada kedua tangan, kedua kaki, kedua mata, kedua telinga dan semua anggota badan. Sedangkan tentara bagian dalam terletak pada kepala, yaitu daya khayal, daya pikir, daya hafal, ingatan dan bingung. Setiap kekuatan ini memiliki tugas khusus, jika salah satunya lemah, maka kondisi manusia pun akan lemah dalam dua alam (dunia-akhirat). Bagian yang menghimpun semua ini adalah hati dan ia adalah pemimpinnya. Jika hati menyuruh lidah menyebutkan sesuatu, maka ia akan menyebutkannya. Jika memerintahkan tangan untuk menyerang, maka ia akan menyerang. Jika menyuruh kaki untuk melangkah, maka ia akan melangkah. Demikian pula panca indera, hingga bisa menjaga diri untuk agar tetap bisa menyimpan pahala untuk di akhirat, berfungsi secara baik, menyempurnakan tugas amal dan merangkai butiran-butiran kebahagiaan. Dan mereka semua tunduk dan patuh kepada perintah hati sebagaimana para malaikat yang tunduk dan patuh pada perintah Tuhannya dan tidak berani menentangnya.PASAL ENAM
MENGETAHUI HATI DAN BALA TENTARANYA
Ketahuilah, seperti dikatakan dalam sebuah pepatah terkenal, hati bagaikan sebuah kota, kedua tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh sebagai lahannya, kekuatan syahwat sebagai walikotanya, amarah sebagai daya dorongnya, hati sebagai rajanya dan akal sebagai menterinya. Raja bertugas mengatur keseluruhan system agar kondisi kerajaan tetap stabil, karena sang walikota atau syahwat adalah pembohong, lalai dan ambisius. Demikian pula daya dorongnya yaitu amarah teramat jahat, pembunuh dan perusak. Jika sejenak saja sang raja meninggalkan mereka dalam kondisi itu, mereka akan menguasai kota dan merusaknya. Maka sang raja wajib berkonsultasi pada sang menteri( Akal ) dan menjadikan sang walikota dan bagian daya dorongnya di bawah pengawasan sang menteri. Jika ia melakukan hal itu, maka kondisi kerajaan akan tetap stabil. Dan kota akan berkembang. Hati juga berkonsultasi pada akal dan menjadikan syahwat-amarah di bawah kekuasaannya sampai kondisi jiwa menjadi stabil dan bisa mengantarkan pada unsur-unsur kebahagiaan, yaitu mengetahui Hadirat Ilahi.Seandainya akal berada di bawah kendali kekuasaan amarah dan syahwat, maka jiwanya akan rusak dan hatinya tidak akan bahagia di akhirat kelak.
PASAL TUJUH
PROSES CARA KERJA KOMPONEN DALAM TUBUH
Ketahuilah, bahwa syahwat dan amarah melayani nafsu. Dimana keduanya senantiasa menarik-nariknya, terus mempertahankan urusan makan, minum dan kawin sebagai fungsi indera. Kemudian jiwa memfungsikan indera sebagai jaringan akal dan mata-matanya, yang dengannya ia mampu menyaksikan kehadiran Allah Swt. Kemudian indera juga memfungsikan akal, yaitu hati sebagai lentera dan lilin yang melalui cahayanya ia bisa melihat Illahi. Dengan demikian, kepuasan perut dan kemaluannya menjadi tak terpenuhi. Kemudian akal juga mempekerjakan hati, sebab hati diciptakan untuk mengalami keindahan kehadiran-Nya. Siapa saja yang mencurahkan segala kemampuanya dalam proses pekerjaan ini, maka ia adalah hamba yang sebenarnya, yang terlahir dari rahim al-hadrah al-ilahiyyah, sebagaimana firman-Nya, :“Dan Aku tak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Q.S.az-Zariyat [61]: 56)
Artinya, bahwa Kami telah menciptakan hati, mendudukanya sebagai raja dan memberinya bala tentara. Kami juga telah menjadikan jiwa sebagai kendaraannya hingga ia bisa berjalan dari alam yang penuh debu ke arah alam atas yaitu ‘illiyin.
Jika berkeinginan melaksanakan anugerah nikmat ini, duduklah dalam kerajaannya, jadikan kehadiran Tuhan sebagai kiblat dan tujuannya, jadikan akhirat sebagai tanah air dan akhir keputusannya, demikian jiwa sebagai kendaraannya, dunia sebagai rumah sementaranya, kedua tangan dan kaki sebagai pembantunya, akal sebagai menterinya, syahwat sebagai budaknya, amarah sebagai angkutannya dan indera sebagai mata-matanya. Masing-masing bagian itu adalah gambaran dari setiap alam yang mengumpulkan semua hal mengenai kondisi alam-alam lainnya.
Daya khayal di bagian muka kepala seperti seorang kapten yang bertugas mengumpulkan semua informasi mata-mata. Daya hafal pada bagian tengah kepala pemilik peta informasi yang bertugas mengumpulkan komponen dari tangan sang kapten sampai ia ajukan kepada akal. Jika informasi-informasi ini sampai pada sang menteri, baru ia akan lihat kondisi kota sebagaimana mestinya.
Jika kamu melihat salah satu dari mereka membangkang, seperti syahwat dan amarah, maka engkau harus berupaya keras menundukannya. Ini tidak bermaksud untuk membunuhnya. Sebab kerajaan tidak akan bertahan tanpa keduanya. Jika engkau mampu menundukanya, maka engkau adalah orang yang berbahagia, yang telah melaksanakan perkara yang wajib dilakukan atas limpahan anugerah nikmat. Wajib bagimu menghadiahkan sesuatu pada saat itu, jika tidak, maka engkau tidak akan bahagia, dan dikenai siksa dan diwajibkan bertaubat.
PASAL DELAPAN
AMARAH, NAFSU DAN ILMU
Ketahuilah puncak kebahagiaan yang sempurna dibangun atas tiga hal: kekuatan amarah, kekuatan nafsu dan kekuatan ilmu. Tiga hal ini harus dihimpun agar kekuatan syahwat tidak muncul dominan dan justru akan merusak dan menghalalkan semua hal. Demikian juga kekuatan amarah dibuat agar tidak menguasai dan menampakan kebodohan, maka jika dominan yang akan terjadi hanya kerusakan. Jika kekuatan tersebut normal dengan petunjuk ilmu maka keduanya akan menuju pada hidayah. Jika amarah semakin menguat, maka akan mempercepat terjadinya penyerangan dan pembunuhan, dan jika melemah, maka kecurigaan, ketentraman dalam agama dan dunia akan hilang.Namun jika disinergikan yang akan muncul adalah kesabaran, keberanian, dan kearifan. Nafsu juga demikian, jika semakin memuncak, maka yang muncul adalah kejelekan dan kejahatan, dan jika berkurang maka akan menyebabkan kelemahan dan ketidakgairahan. Namun jika disinergikan, yang ada adalah kesucian, kepuasan dan sifat-sifat sejenis yang baik lainnya.
PASAL SEMBILAN
PRILAKU SETAN, BINATANG DAN MALAIKAT
Ketahuilah, bahwa hati dan bala tentaranya memiliki kondisi keadaan dan sifat-sifat yang sebagian diistilahkan dengan budi pekerti buruk dan sebagian lain disebut akhlak terpuji. Budi pekerti terpuji akan mengantarkan kepada kebahagiaan, dan akhlak buruk akan mengantarkan pada kehancuran dan siksa. Semua ini terjadi dari empat jenis. Yaitu akhlak setan, akhlak binatang jinak, akhlak binatang buas, dan akhlak malaikat. Perilaku jelek yaitu makan, minum, tidur dan kawin adalah akhlak binatang jinak. Prilaku laku amarah seperti pemukulan, pembunuhan dan pertikaian adalah akhlak binatang buas. Keinginan-keinginan jiwa seperti makar, penipuan, kecurangan dan sifat sejenis lain adalah akhlak setan. Terakhir, aktivitas berfikir yang menghasilkan rahmat, ilmu dan kebaikan secara umum adalah akhlak malaikat.PASAL SEPULUH
ANJING, BABI, SETAN DAN MALAIKAT
Ketahuilah bahwa di dalam kulit manusia terdapat empat hal, anjing, babi, setan dan malaikat. Anjing tercela pada segenap sifatnya dan tidak dari bentuknya. Begitu pun setan dan malaikat, memiliki hal tercela hanya pada sifat-sifatnya dan bukan pada bentuk atau tingkah lakunya. Babi pun demikian, tercela dalam sifat- sifatnya tapi tidak pada bentuk dan tingkah lakunya.
Manusia diperintahkan untuk menyngkap kebodohan dengan cahaya akal agar terhindar dari segala macam fitnah. Seperti ditegaskan Rasulullah Saw. :
“Tak seorang pun (dari manusia) kecuali memiliki setan, aku juga memiliki setan. Sungguh Allah telah menjagaku dari setanku hingga aku bisa menguasainya.”
Demikian nafsu dan amarah harusnya berada di bawah kendali akal, hendaknya harus dijamin tidak akan melakukan sesuatu kecuali atas perintahnya. Jika seseorang melakukan proses demikian, ia dibenarkan berakhlak terpuji. Sifat ini adalah sifat malaikat dan merupakan benih kebahagiaan. Namun jika melakukan hal sebaliknya, maka ia dikatakan berakhlak tercela. Sifat ini adalah bagian dari sifat-sifat setan dan merupakan benih dari timbulnya siksa. Dalam tidur ia akan melihat dirinya, seakan berdiri terpasung menjadi budak anjing dan babi. Orang ini seperti lelaki muslim yang membawa beberapa muslim lainnya dan menawan mereka di penjara orang-orang kafir. Bagaimana perasaanmu jika nanti pada hari kiamat sang raja, yaitu akal, tertawan di bawah kendali nafsu dan amarah, yaitu anjing dan babi?.
PASAL SEBELAS
BELENGGU YANG MENGOTORI HATI
Ketahuilah bahwa manusia pada saat ini berbentuk anak Adam, kelak kemudian saat makna-makna itu tersingkap, mereka pun keluar dalam bentuk menyesuaikan dengan makna masing-masing. Mereka yang dominan amarahnya, maka akan berdiri dalam bentuk anjing. Mereka yang dominan nafsunya, maka akan berdiri dalam bentuk babi, sebab bentuk selalu mengikuti makna-makna. Seorang yang tertidur akan melihat semua yang ada dalam jiwanya.
Karena demikian halnya dimana isi jiwa manusia tercirikan dalam empat hal dia atas, maka ia harus memeriksa setiap gerak-geriknya, diamnya dan mengenali diri termasuk dari bagian mana dari yang empat itu. Sifat-sifat itu ada dalam hati dan terus bertahan ada hingga hari kiamat. Dan jika masih tersisa sepenggal kebaikan, maka itu adalah benih kebahagiaan. Sebaliknya jika yang tersisa adalah sepenggal kejelekan, maka ia pun merupakan benih dari siksa. Manusia tidak akan pernah berhenti bergerak dan diam, hatinya bagaikan kaca. Akhlak tercela bagaikan asap dan kegelapan, jika menyentuh hati, maka seketika ia menggelapkan jalan menuju kebahagiaan. Akhlak terpuji bagaikan cahaya dan pancarannya, jika mengenai pada hati maka ia akan membersihkannya dari gelapnya kemaksiatan. Seperti sabda Rasulullah Saw.:
“ Ikutkanlah pada perbuatan jelek itu perbuatan baik yang akan menghapusnya.”
Dan hati bisa jadi terang dan gelap, semua tidak akan lolos kecuali mereka yang mendatangi Allah dengan hati yang pasrah.
PASAL DUA BELAS
UNSUR YANG MELEBIHKAN MANUSIA DARI BINATANG
Ketahuilah bahwa nafsu dan amarah yang terdapat bersama binatang jinak juga terdapat pada anak Adam. Akan tetapi manusia diberi tambahan lain sebagai bekal untuk memperoleh kemuliaan dan kesempurnaan yaitu hati. Dengan hal tersebut, ia bisa mengetahui Allah dan keindahan ciptaan-Nya. Dan dengan hal tersebut, manusia bisa menyelamatkan dirinya dari kekuasaan nafsu dan amarah serta meraih sifat-sifat malaikat. Dengan demikian, manusia diberi sifat-sifat binatang jinak dan buas, yang semuanya ditundukan Allah untuk manusia. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah,:”Dia telah menundukan untukmu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi semuanya.” (Q.S. al-Jasyyah [45]: 13).
PASAL TIGA BELAS
PINTU-PINTU ILMU
Ketahuilah bahwa hati memiliki dua pintu ilmu, satu untuk mimpi-mimpi, dan lainnya untuk ilmu sadar, yaitu pintu untuk ilmu realita (zahir). Saat manusia tertidur, pintu-pintu indera tertutup, terbukalah pintu batin dan disingkapkan realitas alam gaib dari alam malakut dan lawh Mahfuz, seperti cahaya yang terang benderang. Untuk menyingkapnya dibutuhkan semacam tafsir mimpi. Sedang ilmu yang dihasilkan dari realita (zahir) yang diduga oleh manusia akan memunculkan kesadaran diri, dan bahwa keadaan sadar lebih utama, walaupun sebenarnya ia tidak bisa melihat sesuatu pun dari alam gaib. Bagaimana pun sesuatu yang terlihat antara keadaan sadar dan tidur tetap lebih utama sebagai pengetahuan daripada apa yang terlihat melalui indera.PASAL EMPAT BELAS
HATI BAGAIKAN CERMIN
Di samping itu engkau pun harus mengetahui bahwa hati seperti cermin, Lauh Mahfuz pun demikian. Karena di dalamnya terdapat gambaran dari semua realitas (mawjudat). Jika engkau hadapkan cermin satu dengan lainnya, maka masing-masing gambar pada setiap cermin akan saling memantulkan yang lainnya. Demikian pula semua gambar pada lawh Mahfuz, akan tampak terpantulkan dalam hati jika ia telah suci dari nafsu dunia. Jika masih disibukkan dengan nafu, maka alam malakut akan tetap tertutup. Jika saat tidur manusia tidak terhubungkan dengan obyek indera, maka ia akan menyaksikan inti (zawhar) alam malakut dan akan terlihat sebagian gambar yang ada pada Lawh Mahfuz. Jika manusia menutup pintu indera hanya sekedarnya, maka ia hanya memasuki dunia khayal. Karena itu ia melihat sesuatu yang masih tertutupi pada bagian luarnya dan bukan melihat hakikat murni bagian dalam yang tak tersingkapkan.Jika hati telah mati ( terhindar dari belenggunya ) bersama si pemiliknya, maka pada saat itu tidak ada yang namanya khayal, dan tidak juga indera. Oleh karena itu, pada saat tersebut hati mampu melihat dengan tanpa keraguan atau pun khayalan. Dan ketika itu, diucapkan padanya:
“Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.S. Qaaf [50]: 22).
PASAL LIMA BELAS
SEMUA HATI MANUSIA DIILHAMI
Ketahuilah bahwa tidak seorang pun dari anak Adam kecuali hatinya telah dimasuki hembusan suci melalui jalan ilham. Dimana hal itu tidak masuk melalui indera, akan tetapi masuk dalam hati tanpa tahu dari mana asalnya. Sebab hati termasuk alam malakut, dan indera tercipta untuk alam ini, yaitu alam al-Mulk (alam kuasa). Karenanya indra menjadi penghalang jiwa dari menyaksikan alam malakut manakala tidak tersucikan dari aktivitas indera.PASAL ENAM BELAS
METODE PENYINGKAPAN ALAM MALAKUT
Ketahuilah jangan engkau kira ketersingkapan ini hanya terbuka pada saat tidur dan mati saja, tapi ia pun terbuka pada saat sadar bagi mereka yang ikhlas berjihad, ikhlas melakukan latihan riyadah, dan menyelamatkan diri dari belenggu nafsu, amarah, akhlak tercela dan perbuatan buruk.
Jika ia duduk semedi di tempat yang sepi dan mengosongkan dirinya dari aktifitas indera, kemudian membuka mata hati dan pendengaran batiny. Menjalankan fungsi hatinya sebagai bagian dari alam malakut, terus menerus menyebut kalimat Allah, Allah, Allah, dengan hatinya dan tidak dengan lidahnya sampai ia tidak mendapatkan informasi dari dirinya dan alam sekitarnya sedikit pun, dan yang ia lihat hanyalah Allah. Maka kekuatan itu akan terbuka, apa yang ia lihat di saat tidur, ia bisa lakukan pada saat sadar, yang tampak adalah ruh para malaikat dan para Nabi, gambar-gambar bagus nan indah dan mulia, saat itu tersingkaplah kerajaan langit dan bumi. Ia bisa lihat semua yang tidak bisa dijelaskan dan tak bisa digambarkan, sebagaimana sabda Rasul.:
“dibentangkan padaku bumi, seketika kulihat ujung barat dan timur.” Allah Swt. menjelaskan,:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami ( yang terdapat ) di langit dan bumi.” (Q.S. al-An‘am [6]: 75)
Karena semua ilmu para Nabi diperoleh melalui jalan ini dan bukan melalui jalan indera, seperti ditegaskan Allah Swt.:
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.S. al- Muzammil [73]:
Artinya terputus dari segala sesuatu, penyucian diri dari segalanya dan terus memohon kesempurnaan pada-Nya, ini adalah metode (jalan) kaum sufi zaman ini. Sedang metode pengajarannya adalah jalan para ulama. Semua ini dihimpun dari jalan kenabian. Begitu juga ilmu para wali. Sebab ilmu demikian itu tertanam di dalam lubuk hati mereka tanpa melalui perantara, yaitu langsung dari Hadirat Illahi sebagai mana firman-Nya:
“Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya di antara ilmu-ilmu dari sisi Kami.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 65)
Metode jalan ini tidak akan dimengerti tanpa melalui latihan, dan jika tidak dihasilkan dengan rasa, maka ia pun tak bisa dihasilkan melalui pengajaran. Yang seharusnya dilakukan ialah mempercayainya hingga kita bisa mendapatkan kebahagiaan mereka yang telah meraihnya, dan ini adalah sebagian dari keajaiban hati. Siapa yang tidak melihat hasilnya, ia tidak akan mempercayai, seperti firman-Nya.:
“Yang sebenarnya mereka dustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.” (Q.S. Yunus [10]: 39) dan firman-Nya:
“Dan ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya (baca: Alquran) maka mereka berkata: “ini adalah dusta yang lama.” (Q.S. al-Ahqaf [46] :11).
PASAL TUJUH BELAS
MAKRIFAT ADALAH ANUGERAH BAGI SEMUA MANUSIA
Jangan engkau mengira semua ini khusus untuk para Nabi dan para wali saja, sebab bahan dasar anak Adam dari asal penciptaannya memang untuk tujuan ini. Seperti halnya unsur besi agar dibuat cermin yang bisa digunakan untuk melihat gambar alam, kecuali yang berkarat dan membutuhkan penyepuhan. Atau besi kering yang membutuhkan pengecatan sebab sewaktu-waktu bisa patah. Demikian juga hati, jika nafsu dan kemaksiatan menutupi dan membelenggunya, maka ia tidak akan mencapai derajat ini. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. “Semua yang terlahir berada dalam fitrah (esensi) Islam”. Allah berfirman:. “Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan kami)”. (Q.S. al-‘Araf [7]: 172)
Begitu pun anak Adam, fitrahnya adalah mempercayai ketuhanan Allah, seperti dalam firman-Nya. “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Q.S. ar-Rum [30]: 30). Para Nabi dan para Wali adalah anak Adam, Allah berfirman.:
“Katakanlah (Muhammad): bahwasannya aku hanyalah manusia seperti kamu”. (Q.S. Fusilat [41]: 6).
Setiap yang menanam pasti menuai, siapa saja yang berjalan, pasti sampai, siapa yang memohon, pasti akan mendapatkan. Permohonan tidak akan berhasil tanpa mujahadah. Jika dua hal ini berlaku pada seseorang, maka Allah telah berkehendak menganugerahinya kebahagiaan dengan hukum azali hingga ia mencapai derajat ini.
PASAL DELAPAN BELAS
NIKMAT DAN KEBAHAGIAAN MANUSIA TERLETAK PADA MA‘RIFAH ALLAH
Ketahuilah bahwa segala sesuatu memiliki rasa bahagia, nikmat dan kepuasan. Rasa nikmat akan diperoleh bila ia melakukan semua yang diperintahkan oleh tabi‘atnya. Tabi‘at segala sesuatu adalah semua yang tercipta untuknya. Kenikmatan mata pada gambar-gambar indah, kenikmatan telinga pada bunyi-bunyi yang merdu, dan demikian pula semua anggota badan. Kenikmatan hati hanya dirasakan ketika mengetahui Allah (ma‘rifat Allah), sebab ia diciptakan untuk melakukan hal itu. Semua yang tidak diketahui manusia sebelumya, maka tatkala ia mengetahuinya maka ia akan berbahagia, contohnya permainan catur, ketika mengetahui cara memainkanya ia pun menjadi senang. Jika ia dijauhkan dari permainan itu, maka ia tidak akan meninggalkanya dan tak akan sabar untuk kembali memainkannya.Begitu pula mereka yang telah sampai pada ma‘rifat Allah. Ia pun merasa senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab kenikmatan hati adalah makrifat. Setiap kali makrifat bartambah besar, maka nikmat pun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia mengetahui dan berjumpa dengan sang menteri, maka ia akan senang, terlebih lagi jika tahu dan berjumpa dengan sang raja, maka kebahagiaannya tentu lebih besar lagi.
Tak ada satu wujud pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt.. Karena kemuliaan yang dimiliki semua hal timbul oleh sebab-Nya dan dari-Nya. Semua keajaiban alam adalah karya-Nya, tak ada pengetahuan (ma‘rifat) yang lebih mulia selain pengetahuan tentang-Nya. Tak ada kenikmatan yang melebihi nikmat makrifat-Nya. Tak ada pemandangan indah yang melebihi pemandangan Hadirat-Nya. Semua nikmat dari nafsu duniawi menempel pada jiwa, ia akan berakhir bersama kematian. Sedang nikmat pengetahuan (ma‘rifat) tentang ketuhanan tergantung pada hati, ia tidak lenyap bersama kematian, sebab hati tidak akan hancur dan bahkan kenikmatannya akan lebih banyak bertambah, cahayanya lebih besar, karena ia telah keluar dari rahim kegelapan menuju alam cahaya.
PASAL SEMBILAN BELAS
BAHAN DASAR SARI PATI ANAK ADAM
Ketahuilah bahwa jiwa anak Adam disarikan dari alam, padanya terdapat segala gambaran alam yang masih bisa kita temukan efek dan akarnya, sebab tulang-belulang ini seperti pegunungan, dagingnya seperti debu, bulu-bulunya bagaikan tumbuhan, kepalanya bagaikan langit, inderanya seperti bintang, penjelasan mengenai hal ini sangatlah panjang. Demikian bagian dalamnya pun menyimpan gambaran alam, sebab fungsi pencernaan yang ada dalam lambung mirip dengan seorang ahli masak. Kekuatan yang ada pada limpa sama dengan pembuat roti, kekuatan pada usus bagaikan tukang cukur, kekuatan yang memutihkan susu dan memerahkan darah bagaikan tukang sepuh, penjelasan mengenai hal ini cukup panjang. Yang penting adalah hendaknya kamu mengetahui berapa banyak alam yang tersimpan bersamamu, yang terus sibuk melayanimu, sedang engkau malah mengabaikannya, dan mereka tak pernah beristirahat, engkau bahkan tak mengenalnya dan tak bersyukur pada-Nya yang telah menganugerahkan semua itu untukmu.PASAL DUA PULUH
PENGETAHUAN TENTANG KOMPONEN BADAN DAN
MANFAAT-MANFAAT ILMU KIMIA
Ilmu ini sangatlah agung, kebanyakan manusia mengabaikannya, demikian juga ilmu kedokteran. Setiap mereka yang ingin melihat dirinya dan keajaiban Allah Swt. dalam dirinya, membutuhkan minimal tiga sifat dari sifat-sifat ketuhanan.Pertama, hendaknya mengetahui bahwa yang menciptakan seseorang juga mampu membawanya kepada kesempurnaan dan bukannya sebaliknya, Ia adalah Allah Swt. Tak satu pun perbuatan di dunia yang lebih ajaib dari penciptaan manusia yang berasal dari air hina (mani) dan pembentukan fisik dengan bentuk yang sangat menakjubkan, sebagaimana firman-Nya.:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.” (Q.S. al-Insan [76]: 2).
Maka untuk mengembalikannya setelah mati, adalah lebih mudah lagi, sebab pengulangan selalu lebih mudah dari permulaan.
Kedua, pengetahuan tentang ilmu Allah Swt. bahwa ia mencakupi segala sesuatu, sebab keajaiban dan keanehan ini tak mungkin ada kecuali dengan kesempurnaan ilmu.
Ketiga, hendaknya engkau tahu bahwa keramahan-Nya, rahmat-Nya dan perlindungan-Nya mengenai segala sesuatu, tak terbatas disaat engkau melihat tumbuhan, hewan dan kandungan bumi, semua berada dalam keluasan kuasa-Nya, bentuk yang baik dan warna yang indah.
PASAL DUA PULUH SATU
MANUSIA MERUPAKAN KUNCI MENGETAHUI SIFAT-SIFAT KETUHANAN DAN TERMASUK ILMU MULIA
Yaitu pengetahuan tentang karya-karya Illahi, pengetahuan tentang keagungan dan kekuasaan Allah Swt., yang merupakan sari pati dari pengetahuan hati. Ilmu ini begitu mulia sebab berbicara tentang karya Illahi. Sebab jiwa seumpama kuda, akal sebagai penunggangnya dan keduanya terhimpun dalam kalimat penunggang kuda (joki). Siapa yang tak mengenal dirinya dan mengaku mengenal lainnya, maka ia seumpama seorang lelaki pailitt yang tak memiliki makanan sedikit pun untuk dirinya namun mengaku bisa menafkahi orang-orang miskin di kotanya.PASAL DUA PULUH DUA
KESIMPULAN DAN WASIAT TERAHIR
Jika engkau mengetahui arti kemuliaan, kehormatan, kesempurnaan, keindahan dan keagungan setelah engkau menyadari bahwa inti hati adalah esensi yang paling mulia, yang semua itu telah dianugerahkan kepadamu dan kelak akan ditarik kembali, dan engkau justeru tidak memintanya, malah mengabaikan dan menghilangkannya, maka engkau akan sangat menyesal pada hari kiamat. Berjuanglah untuk mendapatkannya, tinggalkanlah segala kesibukan duniawi! Dan segala kemuliaan yang tidak tampak di dunia, maka di akhirat kelak akan menjadi kebahagiaan, keabadian tanpa kelenyapan, kekuasaan tanpa kelemahan, pengetahuan tanpa kebodohan, keindahan sekaligus keagungan. Sedang hari ini, tak seorang pun yang lebih lemah darinya, sebab ia termiskin dan berkurangan, namun kemuliaan akan ia alami esok jika ia tancapkan pengetahuan tentang kimia kebahagiaan ini dalam inti hatinya, hingga ia bisa menyelamatkan dirinya dari perumpamaan binatang dan bisa mencapai derajat malaikat. Jika ia kembali pada nafsu dunia, maka ia lebih memilih menjadi binatang pada hari kiamat, karena sebenarnya ia kembali keasalnya, yaitu tanah. Dan ia pun akan abadi dalam siksa.Kami berlindung pada Allah Swt. dari semua itu. Kami meminta pertolongan-Nya, sebab Ia sebaik-baik Pemelihara dan Penolong, dan rasa syukur ini, untuk Allah Swt. Tuhan semesta alam. Semoga keselamatan senantiasa dianugerahkan pada junjungan kita Muhammad Saw., dan keluarga berikut para sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar