Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Senin, 16 Januari 2012

BAHASA RAHASIA I: PARA PENAMBANG

Bagaimana Dzat (Esensi) yang ia sendiri belum menemukan pengungkap Wujud, dapat menjadi suatu pengungkap Wujud?
(Jami)

Baik Sufisme dalam bentuk-bentuk penterjemahan sastranya maupun tulisan-tulisan para penyair Timur sebenarnya tidak dapat dipahami tanpa melalui suatu pengetahuan tentang bahasa rahasia ("lisan yang tersembunyi") yang digunakan untuk menyampaikan berbagai gagasan dan konsep. Penterjemahan literal ungkapan-ungkapan Sufi atau kata-kata sandi telah menyebabkan kerancuan yang begitu parah di Barat, terutama mengenai penyebaran "Pengetahuan Rahasia". Masalah ini bermula dari kaidah-kaidah sastranya pada abad kedua belas, ketika kata-kata kiasan (alegori) dalam alkimia diterjemahkan. Keadaan ini hampir terus berlanjut dari generasi demi generasi hingga akhir-akhir ini, ketika masih berlaku suatu interpretasi sastra atas karya-karya Sufi yang terlanjur dianggap baku yang sebenarnya merupakan kendala-kendala puitis -- sedemikian itu ditulis sebagai penjelasan satu-satunya tentang Sufisme.

Memang tidaklah mungkin memberikan suatu penjelasan yang utuh mengenai semua sistem rahasia-rahasia di kalangan Sufi. Namun kita dapat menjelaskan beberapa kasus, contoh-contoh yang menjadikan gagasannya jelas dan juga memberi penjelasan teka-teki yang masih berlangsung di Barat.

Pertama, kita harus menyelidiki persoalan yang lebih detail.

Penyair termasyhur, Nizhami dalam karyanya Treasury of Mysteries (Perbendaharaan Misteri), adalah salah seorang yang banyak merujuk pada kajian bahasa sandi (kriptografi) Sufi. Kriptografi merupakan salah satu bentuk komunikasi yang bebas dari prasangka; ia mempunyai kelebihan dalam menghubungkan pemikiran biasa dengan dimensi-dimensi yang lebih agung, "dunia lain" yang biasanya terputus dari kemanusiaan. Formulasi bahasa yang digunakannya beragam sesuai dengan zaman dan budaya, namun esensi dan cara kerjanya tetap sama.

Pada masa-masa klasik Sufi, bahasa tersebut dilandaskan pada bahasa Arab, meskipun ada pemakaian contoh-contoh sistem Pra-Islam.

Mengenai bahasa tersebut, Nizhami memberikan, dalam satu puisinya, indikasi-indikasi berikut ini:

Suatu saat akan tiba ketika kematian kita dicap dengan suatu lempengan baru. [Cara ungkap sang Sufi] tidak menggunakan lisan yang biasa mana pun. Di balik lisan penyair ada "kunci Perbendaharaan". Nabi dan penyair ibarat inti: yang lain adalah lapisannya.
Bahasa rahasia, karena bukan hanya merupakan suatu sandi untuk mencegah penyamaan hal-hal duniawi dengan hal-hal yang sebenarnya tidak dapat dipahami, dan karena dianggap dapat dihubungkan dengan suatu realitas yang lebih agung, maka sebenarnya sangat kompleks pengaruhnya. Ini adalah subyek dari studi Sufi dalam lingkaran para guru, dan setelah metode dari prosedurnya dipahami, maka setidaknya satu tabir cara kerjanya terungkap. Apabila kita membaca kutipan puisi Nizhami itu, maka kita melihat betapa makna ganda yang digunakan menyesatkan pembaca biasa. "Kematian kita ... dicap dengan suatu lempengan baru," mungkin digunakan untuk menunjukkan suatu kehidupan yang akan tiba, atau bahkan kemungkinan reinkarnasi. Namun gabungan otomatis ini tidak dimaksudkan demikian. Sesuai dengan pengertian pengetahuan dasar dalam bahasa Persia kuno bahwa peralihan itu adalah sebuah petunjuk, maka kita mengetahui bahwa "kunci Perbendaharaan" itu merupakan judul bukunya sendiri (Perbendaharaan Misteri). Menurut pengertian sekunder, mungkin ia dipahami untuk menunjukkan suatu perbendaharaan pengetahuan, namun penyair bermaksud lebih spesifik.

Walaupun bahasa rahasia itu menggunakan ungkapan-ungkapan yang lazim, namun ia dipertimbangkan sebagai suatu hubungan khusus dengan realitas-realitas yang luar biasa. Oleh karena itu, dalam ungkapan sastranya bahasa rahasia merupakan suatu bentuk seni sekaligus jalan masuk pada ranah-ranah yang terjangkau "lisan yang biasa."

Apabila kita kembali pada taraf yang lebih awal dalam penulisan sandi, sistem dasarnya adalah skema Abjad, suatu penulisan sandi yang begitu sederhana dan seringkali dirangkai dalam bentuk kata-kata kiasan sebagai sandi-sandi pula. Hal ini juga diterapkan secara luas dalam kesusastraan. Banyak orang, terutama para penyair dan pengarang, membacanya, atau setidaknya menelitinya hampir sebagai suatu kajian. Baik aksara Ibrani maupun Arab sama-sama menggunakan padanan angkanya dalam huruf-huruf Semitik dan sekarang pun diterapkan pada berbagai bahasa lain. Berikut ini huruf-huruf dan padanannya:

Huruf

Angka

Huruf

Angka

Huruf

Angka

Alif
1
Ya'
10
Qaf
100
Ba'
2
Kaf
20
Ra'
200
Jim
3
Lain
30
Syin
300
Dal
4
Mim
40
Ta'
400
Ha'
5
Nun
50
Tsa'
500
Wau
6
Sin
60
Kha'
600
Za'
7
Ain
70
Dzal
700
Ha
8
Fa'
80
Dhad
800
Tha'
9
Shad
90
Zha'
900




Ghain
1000

Apabila huruf-huruf Arab mempunyai padanan (angka) sampai seribu, maka aksara Ibrani hanya mempunyai padanan sampai dengan empat ratus. Untuk mempermudah hafalan, huruf-huruf tersebut dihafal menurut penataan berikut ini, sebagai serangkaian kata-kata tanpa arti dengan menambahkan beberapa poin diakritis untuk mempermudah pelafalannya:

ABJaD HaWaZ HuThY KaLiMaN
Sa'FaSh QaRaSyaT TsaKhaDz DhaZhaGh
Dalam bahasa Persia, Urdu dan bahasa non-Semitik lainnya, huruf-huruf tersebut mempunyai suara yang sedikit berbeda, namun hal ini tidak mempengaruhi pemakainya dan nilai bilangannya tetap sama.

Nama-nama hari, tanggal kelahiran atau kematian, kata-kata yang menunjukkan karakter atau aspirasi seseorang, semuanya kerapkali disusun dari skema tersebut. Dalam beberapa hal, pengulangan kata-kata tanpa makna itu memberikan berkah palsu dari (pemakaian) "kata-kata" Abjad Barbar, sebagai kepercayaan fungsi khusus yang telah melekat, namun hal ini hanya merupakan wilayah prosedur magis dan tidak penting.

Berikut ini sebuah contoh pemakaian skema tersebut. Andaikata kita ingin memberi judul sebuah buku, dengan menunjukkan bahwa ia mempunyai suatu bentuk kandungan yang tersembunyi, mungkin semacam langkah pencatatan rahasia, kita dapat memberi judul Sumber Catatan, dalam bahasa Arab Ummul-Qishshah. Mari kita teliti kata-kata yang telah kita pilih itu menurut maknanya:

UMM = ibu, kandungan, sumber, dasar, prototipe.

AL = (partikel)

QIShShAH = catatan, cerita, dongeng.

Jadi sekarang kita pahami bahwa Ummul al-Qishshah maknanya sepadan dengan: Induk Catatan-catatan, Sumber Cerita, Prototipe Dongeng-dongeng. Apabila kita dapat menyepakati semua alternatif (makna) itu, sekarang kita menyulih huruf-huruf tersebut dengan padanan angkanya dari daftar standar Abjad itu. Setelah dijumlah maka hasilnya 267.

Kini kita harus menemukan sebuah judul yang deskriptif atau puitis untuk buku kita, yang tersusun dari huruf-huruf dan setelah dijumlah harus menghasilkan 267.

Kita dapat menyusun kembali (sebuah judul) dengan ungkapan: Alfu laila wa laila, artinya Seribu Satu Malam. Judul sebuah buku, atau nama pengarang, kerapkali menunjukkan suatu indikasi yang sangat penting tentang perhatian yang ditekankan dalam buku dan perhatian yang dapat diungkapkan dari buku tersebut. Mengenai Arabian Nights (Malam-malam Bangsa Arab), pengarang yang menjuduli karyanya itu bermaksud menyampaikan bahwa di dalam bukunya akan ditemukan kisah-kisah utama tertentu. Suatu kajian tentang kisah-kisah itu sendiri dan pengungkapan bahasa sandinya menurut kaidah-kaidah bahasa rahasia, menunjukkan kedalaman atau makna yang tersembunyi dalam penggunaan kisah-kisah. Sebagian besar kisah-kisah itu dibahasa-sandikan dalam ajaran-ajaran Sufi dengan pemaparan proses-proses psikologis atau penyandian berbagai bentuk ma'rifat.

Betapapun kompleksnya semua ini, namun sebenarnya penyelidikan sangat diperlukan dan tidak sulit bagi siapa pun yang ingin membahas materi kajian ini. Banyak orang yang telah benar-benar dilatih secara metodologi oleh para guru mereka sendiri, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pelatihan sastra dari Sufi -- pokok ajaran sastra sebagai wahana bagi pengalaman-pengalaman yang lebih kompleks daripada pengalaman-pengalaman yang biasa dipahami dalam sastra.

Untuk itu kita dapat meneliti kata misterius "Sufi", sebagai subyek pemecahan teka-teki dan subyek pertanyaan sendiri. Dengan mengacu pada skema di atas, kita dapat mengurangi kata misterius tersebut sebagai berikut:

S = 90; W = 6; F = 80; Y = 10. Sebelumnya adalah huruf konsonan yang digunakan dalam bentuk ejaannya, jumlahnya 186. Untuk memecahkannya, kita harus mengurai angka-angka itu dalam ratusan, puluhan dan satuan: 100, 80, 6. Sekarang kita dapat mentransformasinya kembali menurut padanan hurufnya: 100 = Q; 80 = F; 6 = U. Kita pun dapat menyusunnya kembali dalam beberapa cara, untuk membentuk tiga akar kata dalam bahasa Arab, yang semuanya menunjukkan beberapa aspek Sufisme. Interpretasi yang utama di sini adalah FUQ yang artinya

"Di atas, transendensi". Sebagai konsekuensi, Sufisme dibicarakan sebagai filsafat transenden. .

Nama para pengarang dan guru Sufi pun dipilih dengan sangat seksama. Nama-nama tersebut menunjukkan suatu kualitas, formulasi atau penekanan maksud yang seharusnya ditafsirkan dari karya tulis mereka atau setidaknya karya yang mereka tunjukkan.

Untuk itu para Sufi tidak melakukan pendekatan secara eksternal terhadap nama-nama guru mereka, yaitu hanya sebagai produk lingkungan mereka (Bukhara, Arabia dan lain-lain), juga tidak sebagai indikasi atas profesi mereka (ahli kimia, pelukis, pemintal). Nama-nama mereka pertama harus diuraikan sebagai sandi.

Sebagai contoh, Aththar artinya kimiawan atau penjual minyak wangi. Adapun pada tataran puitikal, sebuah nama agak bersifat deskriptif. Singkat kata, setelah diuraikan menurut langkah di atas dalam memahami esensi nama Aththar, jumlahnya adalah 280. Dengan menempatkan bilangan tersebut menurut susunan besarannya (ratusan kemudian puluhan), maka terurai menjadi 200 dan 80. Kemudian kita dapat mengubahnya menurut padanan hurufnya: 200 = R, 80 = F. Kata yang menunjukkan esensi (dzat) ini adalah RF Dalam kamus bahasa Arab, kata ini berarti konsep tentang "kepak (sayap) seekor burung". Karya utama Aththar, The Parliament of the Birds (Mantiquth-Thair, Dewan Para Burung) menunjuk hal ini. Lebih dari itu, ia memilih akar (kata) RF untuk makna-makna alternatif: "berkilat (cahaya), berkilau-kilau; bercahaya (warna); digoyang-goyangkan angin."

Kilat mengacu pada intuisi, kebercahayaannya pada proyeksi ajaran dan pemakaian warna di kalangan Sufi. Adapun penggunaan akar kata penggoyangan adalah laksana tumbuhan yang kena angin, artinya gerakan latihan-latihan darwis. Lebih dari itu, Aththar memilih kias tumbuhan, karena Sufisme adalah suatu pertumbuhan, dapat menyesuaikan diri, organis dan watak yang sederhana, sesuai dengan ragam para pengikutnya. Angin yang dipakai sebagai yang menggoyang-goyangkan tumbuhan adalah angin ketuhanan, kekuatan yang tak terpahami namun dapat diketahui dampaknya (pada tumbuhan) seperti banyak pengaruh lainnya.

Syams at-Tabrizi, orang yang menjiwai beberapa puisi Rumi dan konon memang rekannya, adalah sosok yang misterius bagi kalangan eksternalis (zhahiri). Dalam kesusastraan ia dihubungkan dengan julukan Zardoz, bahasa Persia untuk "pembuatan benang emas"; konsekuensinya orang akan menduganya bahwa julukan ini pekerjaannya sehari-hari. Adapun nama lengkapnya Syamsuddin at-Tabrizi. Apabila kita mencermatinya, ternyata merupakan sebuah nama puitis, yang secara cermat dipilih menurut metode Abjad. Nama yang sebenarnya, dengan mengubah dan menyusunnya kembali ke dalam huruf-huruf, adalah khit, "benang, senar", dan berkaitan dengan rajutan benang-benang halus serta unsur-unsur yang tampak menari-nari dalam efek sinar matahari. Karena namanya Syams, diartikan secara literal "matahari", maka permainan kata-kata itu ternyata sesuai maknanya. Nama lainnya, seperti parinda (sang penerbang) juga dapat diuraikan untuk menghasilkan paparan-paparan yang bermakna.

Dalam penerapan menjadi kata, Abjad itu bahkan menyediakan makna-makna yang lebih mendalam, yang sudah lazim dalam praktek-praktek Sufisme. Hanyalah orang yang secara pribadi telah melalui rentetan pengalaman esensial yang bisa menjadi seorang guru Sufi. Manakala ia telah melalui pengalaman-pengalaman tersebut, maka ia berubah, sehingga ia bukan hanya manusia biasa menurut pengertian yang wajar (akal sehat). Fungsinya telah berubah sekarang, yaitu sebagai seorang "pengembala". Apa yang diterimanya sehingga ia mempunyai karakter seperti itu? Yaitu sebuah kognisi yang disebut "Keyakinan", yang mencerahkan sang Sufi, "manusia yang telah mencapai", "manusia yang menyeluruh", dan sekarang menguasai. Dalam hal ini ia berbeda dengan manusia biasa yang menjadi sebuah sasaran bagi turun naiknya stabilisasi dirinya sendiri yang memang tidak sempurna.

Keyakinan berarti bimbingan yang sempurna, dan kata ini berasal dari Yaqina, yang disusun dari unsur YQN. Setelah huruf-huruf ini diganti dengan bilangan, jumlahnya 160 dan dipisah menjadi 100 dan 60. Maka dapat disalin menjadi QSS. Kamus menunjukkan bahwa kata ini berarti "mengangkat sumsum dari sebuah tulang". Ini juga dapat berarti "pengembala" atau "menjadi seorang pendeta". Oleh karena itu, para Sufi menyadari bahwa hakikat keyakinan dan pernyataannya adalah "memiliki kembali sumsum, melindungi sesama, penggunaan otoritas berwibawa dan anugerah yang dinobatkan kepada diri seorang pendeta dalam agama mekanis." Mungkin perlu dicatat bahwa Sufi tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain di luar taraf fungsinya yang diakui orang itu. Sebagai seorang pelindung ia mampu mengurusi kebutuhan-kebutuhan eksternal jamaahnya; sebagai seorang pendeta ia mempunyai kemampuan-kemampuan batiniah untuk menyediakan (sarana) bagi kemajuan esensial mereka. Bagi Sufi, hal ini adalah makna (peran) pendeta -- sehingga ia harus mencapai suatu bentuk keyakinan yang menempatkannya dalam hubungannya dengan dimensi yang lebih agung, bukan secara mekanis mesti dilatih dalam tarekat atau melalui studi. Seorang pendeta adalah hasil dari suatu perkembangan (batiniah). Jadi tidak sembarang pendeta dalam pengertian agama biasa.

Kita dapat menggunakan metode Abjad itu melalui penyusunan (kata-kata) lebih lanjut dari kasus-kasus khusus itu. Di kalangan Sufi, sebagai ganti penyulihan secara angka, persajakan (rima) atau homonim digunakan untuk menyamarkan spontanitas sebagai simbolisme ritual. Beberapa jamaah misterius di Barat adalah cabang perhimpunan Sufi dan dengan mudah dapat ditelusuri melalui suatu pengetahuan tentang organisasi Sufi, kemungkinan historis atau bahasa rahasia. Para Pembangun adalah satu, yang lain adalah Para Penambang.

Dalam bahasaArab (kemudian bahasa Persia), kata FaHM, dari akar kata bahasa Semit FHM, berarti "memahami, menangkap dengan jelas". Dari kata ini diturunkan pengertian "memahamkan seseorang" dan seterusnya.

Sebuah perhimpunan Sufi yang disebut Fehmia (Para Pemaham) menyandarkan asal-usul filsafatnya pada Abu Yazid al-Bisthami. Ada dua huruf "h" dalam abjad Arab. Sebuah kata yang menggunakan "h" yang kedua juga dilafalkan seperti FaHM, namun artinya Penambang atau penjual arang.

Para anggotanya, untuk memperingatinya dalam ritual, benar-benar mengoleskan arang di wajah mereka. Para freemason [keanggotaan atau sebuah kelompok yang meluas dengan tujuan saling memberikan pertolongan dan pengembangan hubungan persahabatan antara anggotanya], dalam beberapa kamus bahasa Arab, disebut pembakar arang atau Penambang.

Sebuah kelompok rahasia di Italia, yang pada mulanya tekun mengerjakan kebajikan dan mengakhirinya dengan perbuatan saling melindungi [dalam keburukan] disebut Carbonari, para pembakar arang. Berdasar bukti historis, geografis dan linguistik, tidak diragukan lagi bahwa Carbonari merupakan sebuah perhimpunan Para Pemaham yang telah merosot. Menurut pengetahuan (khas) Sufi, apabila unsur dinamis dari kehidupan guru hilang dari sebuah jamaah, menyebabkan kualitas batiniahnya terperosok. Bagaimanapun, Carbonari adalah sebuah contoh yang sangat penting untuk dipelajari.

Mitos dasar Carbonari mengklaim bahwa Raja Francis I dari Perancis (w. 1515) ketika pergi berburu tersesat di Skotlandia, yang berbatasan dengan wilayah kekuasaannya. Kemudian ia ditemukan dan ditolong dengan ramah-tamah oleh para pembakar arang. Kalangan ini tidak seperti orang-orang biasa, namun sebuah kelompok mistik yang telah hidup dari sebuah ajaran hikmah kuno. Raja Francis kemudian bergabung dengan mereka dan menjadi pelindung mereka. Jika kita mencermati bahwa negara yang berbatasan dengan Perancis itu adalah Spanyol, bukan Skotlandia, serta orang Spanyol yang tersufikan tinggal di sana,1 maka kita dapat melihat garis hubungan lain dengan Sufi para pembakar arang itu. Skotlandia tampaknya bukan suatu anggapan yang keliru, namun maksudnya adalah sebuah nama sandi untuk Spanyol. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa para freemason juga menyatakan tentang pondok awal itu didirikan di "Skotlandia" dan mereka juga membahas tentang "ritus-ritus orang Skotlandia".

Dari sebuah kelompok mistik, Carbonari berubah menjadi kelompok etik, kemudian kelompok politik. Mereka dihubungkan dengan para freemason lainnya.2 Ada lebih banyak kemiripan antara kelompok Sufi dan kelompok Italia itu. Dalam berbagai lukisan tentang pertemuan-pertemuan Carbonari menggambarkan bahwa para anggotanya disusun menurut tingkat-tingkat yang sama dengan pertemuan-pertemuan Sufi. Adapun bagian terkecil dari Carbonari disebut Baracca, "pondok".

Namun bagi sementara para penambang Sufi, barakah adalah sebuah kata untuk suatu pertemuan, yang pada mulanya sebuah isyarat untuk sebutan pertemuan. Sama sekali tidak penting bahwa karena reputasinya, maka para penambang Sufi itu dapat memberikan suatu barakah (restu) kepada para pengantin perempuan di wilayah negaranya. Bahkan di Inggris saat ini, para pengantin perempuan memanggil (pengantin laki-laki) dari dalam cerobong asap -- dengan wajah hitam legam -- untuk memberikan sebuah ciuman kepada mereka setelah acara pernikahan. Al-Aswad, si Manusia Hitam, merupakan tokoh penting dan sosok misterius baik di Eropa Utara maupun Arab Spanyol dalam berbagai catatan tentang ritus-ritus ilmu sihir (dalam upacara keagamaan non-Katholik) di berbagai wilayah Eropa.3

Begitu banyak catatan telah ditulis mengenai makna-makna Sufi yang tersembunyi, kadangkala berupa frase-frase, sebagian berupa pengertian-pengertian yang tidak bermakna, namun diungkapkan kembali dengan suatu semangat yang telah mengagumkan orang yang tidak terlibat di dalamnya. Berikut ini salah satu pepatah:

"Carilah ilmu, bahkan sampai ke Negeri Cina," suatu ungkapan yang kerapkali dinyatakan para Sufi, lebih mempunyai pengertian literal atau bahkan figuratif. Maksud dari ungkapan ini (dapat) dikuak melalui analisa atas pemakaian kata "Cina", diinterpretasi melalui bahasa rahasia.

"Cina" adalah kata sandi untuk pemusatan pemikiran, salah satu praktek Sufi, sebuah prasyarat utama bagi pengembangan Sufi. Sementara, ungkapan itu adalah penting karena ia menunjukkan sebuah contoh koinsidensi dari kemungkinan interpretasi baik dalam bahasa Arab ataupun Persia. Namun tidak ada hubungan yang jelas di antara keduanya. Kenyataannya, meskipun dieja dan dilafalkan secara berbeda, kata "Cina" dalam kedua bahasa tersebut secara substansial mengungkapkan konsep yang sama, mempunyai pemaknaan yang khusus bagi Sufi.

Metode pengungkapan (kata sandi tersebut) sebagai berikut:

CINA. Dalam bahasa Arab SHYN (hurufnya Shad, Ya', Nun). Padanan angkanya: 90, 10, 50. jadi jumlah huruf-huruf ini 150. Dengan menguraikannya menjadi ratusan, puluhan dan satuan: 100 + 50 (tidak ada satuan). Diterjemahkan kembali ke dalam angka-angka: 100 = Q, 50 = N. Q dan N kemudian digabungkan kembali menjadi sebuah kata: QN. Kata QN (dalam bentuk QaNN) dalam bahasa Arab menunjukkan konsep tentang "penelitian dengan cermat, pengamatan", maka dari itu dipakai sebagai sebuah simbol pemusatan, fokus. Kata perintah tersebut sekarang dibaca: "Carilah ilmu, bahkan sampai mencapai pemusatan (pikiran)!"

CINA. Dalam bahasa Persia CHYN (Che, Ya', Nun). Padanan angkanya: 3, 10, 50. Sebelum menyulih menjadi angka, huruf Persia Che (CH) pertama mesti diganti dengan padanan hurufnya yang lebih dekat dalam skema Abjad, yaitu J. Jumlah keseluruhan: 3 + 10 + 50 = 63. Setelah dipisah dalam puluhan dan satuan menjadi 60 + 3. Angka ini dapat disulih menjadi huruf 60 = SIN; 3 = JIM. Sekarang kita harus menentukan sebuah kombinasi kata dari S dan J. SJ (dilafalkan SaJJ) artinya "memplester atau melapisi, sebagaimana dengan lempung". Kebalikan dari susunan huruf tersebut, kita dapat mengubah menjadi kata JS (suatu pengubahan yang diperbolehkan, salah satu kaidah yang diijinkan) yang dilafalkan JaSS, artinya "menyelidiki sesuatu; meneliti dengan cermat (hal-hal tersembunyi); memastikan (berita)". Kata ini adalah akar kata dari "pengintaian", karena itu Sufi disebut Pengintai Hati. Bagi Sufi, penelitian untuk memastikan hal-hal tersembunyi, dengan membicarakannya secara puitis, adalah sebuah tujuan yang sepadan dengan motif pemusatan pikiran.

Dalam berbagai dokumen resminya, dan dalam memaksudkan antara satu dan lainnya, Carbonari selalu menggunakan istilah "sepupu yang baik". Istilah ini merupakan sebuah contoh penterjemahan dari bahasa Arab, dan juga pengalihan dari akar kata Semitik yang menarik, melalui aliterasi [pengulangan konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau awal kata secara berurutan] ke dalam bahasa-bahasa lain -- dalam hal ini Italia. "Sepupu yang baik", dalam bahasa Arab adalah kata yang juga digunakan para Sufi klasik seperti disebut di dalam al-Qur'an, muqaribin, Orang-orang Dekat, "keluarga dekat". Akar kata Semitik QRB yang merupakan kata asal ungkapan tersebut secara cemerlang diabadikan dalam suku kata yang pertama dari istilah Italia Carbonari, suara K-R-B. Ada beberapa kemiripan yang lain dari bentuk-bentuk ini dan pemakaian-pemakaian lain dari masyarakat-masyarakat yang penuh prakarsa, yang sebagian besar masih tetap tersembunyi bagi para pengamat luar, selagi mereka tetap menggunakannya.

Catatan kaki:

1 Pengusiran besar-besaran yang terakhir atas kaum Muslimin dari Spanyol terjadi pada tahun 1609, ketika sejuta bangsa Moor [Bangsa Arab Muslim yang telah menaklukkan Spanyol pada abad ketujuh] dideportasi. Pada masa Raja Francis I, kemungkinan besar ada asosiasi pelarian para Sufi di hutan itu, yang dididik para "leluhur"nya.

2 Berbagai makna tersembunyi dalam berbagai ritual dan gagasan-gagasan yang tersebar di Spanyol mungkin tetap "disingkirkan" atau telah memfosil dalam berbagai sistem kontemporer, ketika makna yang lebih orisinal telah hilang. Yang menarik untuk dicatat bahwa sampai kini pun di Spanyol, beberapa makna ini mungkin lebih jelas bagi petani sederhana daripada kalangan non-Arab terpelajar dari Eropa Utara. Profesor E.G. Browne, Orientalis termasyhur, melaporkan bahwa sebuah naskah Arab yang diabaikan masih digunakan untuk (menulis) surat-surat cinta oleh petani-petani Spanyol pada paruh pertama abad ini. (E.G. Browne, Literary History of Persia, Cambridge University Press, 1956, Vol. 1, hlm. 9).

3 Ada yang berkata bahwa, di bawah Louis XVIII dan Charles X, lebih dari dua belas ribu freemason di Paris adalah juga anggota Carbonari.

BAHASA RAHASIA II: PARA PEMBANGUN

Lepaskanlah gagasan-gagasan baku dan praduga-praduga. Hadapilah apa yang menjadi nasibmu.
(Syekh Abu Said ibnu Abi Khair)

"Sufisme," kata Sir Richard Burton adalah, "induk freemasonry Timur."1 Apakah Burton seorang freemason atau bukan, tidak diragukan sama sekali bahwa ia adalah Sufi.

freemasonry sangat dihargai oleh orang-orang tertentu di berbagai negara, namun juga dicerca dan dianiaya, dikaitkan dengan politik, direduksi sebagai informalitas relatif dari kesenangan kaum bisnismen yang sungguh-sungguh, dirasuki Rosicrucianisme [aliran atau kelompok (yang dianggap) "sempalan" dalam agama Kristen], diserang sebagai orang Yahudi yang licik oleh kaum Nazi. Tidaklah layak menganggap seorang freemason sebagai suatu representasi umum dari bidang keahlian membuat simbol-simbol atau kepercayaan apa pun -- sebenarnya, lebih pada kemungkinan bahwa seorang anggota yang berada di bawah suatu sumpah rahasia, harus menjaga setiap bagian kegiatan persaudaraan itu dari semua orang yang secara resmi bukan anggotanya. Sumber dari tujuan material untuk menjadi Masonis bagi non-anggota, oleh sebab itu, adalah sebatas pada (pandangan) yang cenderung satu aspek -- kegiatan batin Masonry yang dilakukan para pembelot dan mungkin para penentang keahlian itu.

Ketika sebuah kajian dilakukan berdasar semua kepustakaan yang tersedia dengan tujuan mengungkap rahasia keanggotaan freemason, maka beberapa sketsa tertentu muncul, yang barangkali berhak dipertimbangkan untuk memperoleh sejumlah informasi besar yang masuk akal, di atas prinsip tidak ada asap api. Bagaimanapun juga, yang menarik dari Sufisme ternyata bahwa, di luar hal material yang diklaim sebagai atau keseluruhan sebagai syarat menjadi anggota Masonis itu, suatu hubungan yang sangat penting, yang pada suatu ketika terlihat, adalah dengan materi praktek pembaiatan Sufi sehari-hari. Entah freemasonry yang, seperti diklaim Burton, diturunkan dari para Sufi; ataupun substansi ungkapan lain yang kerap dan sangat kaya, yang sama sekali tidak mungkin diperoleh freemasonry, ternyata lebih merupakan hasil pengungkapan kultus Sufi daripada freemasonry. Untuk tujuan kajian ini, kita akan mendekati wilayah penelitian yang menarik ini dari perspektif yang dapat membuka (wawasan) kita. Adapun berbagai keterkaitan akan dilihat antara apa yang diklaim para pengungkap sebagai freemasonry, dan apa yang kita ketahui tentang madzhab-madzhab Sufi.

Salah satu metode terbaik penyelidikan transmisi Arab-Sufi ke dunia Barat adalah melalui terminologi. Jika suatu kata tertentu digunakan dengan suatu makna esoteris, hal itu secara umum berguna untuk bahan pengkajian dan mencari suatu paralel antara kedua sistem tersebut. Kata dasar yang kita temukan, yang sebagian besar digunakan dalam ungkapan-ungkapan Masonik, disusun dari tiga huruf Ibrani, A, B, L. Setelah ditransliterasi dalam huruf-huruf Arab, ternyata kata ini merupakan kata sandi kalangan Sufi yang disebut Para Pembangun (al-Banna), adapun bahasa Arab bagi Mason juga al-Banna. Namun tidak hanya berhenti di sini, berbagai keterkaitan akan mulai dikaji.

Seperti kata troubadors [penyair atau biduan keliling Perancis abad kesebelas hingga ketiga belas] (TRB, akar kata bahasa Arabnya), kata para Pembangun (the Builders) (pertama perlu dicatat bahwa nama ini sangat berpengaruh pada abad kesembilan) sebenarnya dapat merujuk pada kata tiga huruf berikut ini sembari mencari arti dari setiap aspek susunan hurufnya di dalam kamus sebanyak mungkin. Setelah dianalisa menurut pengubahan (suara) akar kata bahasa Arab dalam bentuk asalnya, hasilnya menunjukkan daftar karakteristik kelompok berikut ini:

ABL = rahib, pengurus gereja, dan sebagainya; hierophancy (lukisan kuno).

ALB = menghimpun orang-orang; pengelompokan.

LaBA = berhenti, berhenti sejenak di sebuah tempat.

BaLA = memberi sesuatu, bersifat dermawan.

BAL = hati, pikiran; perhatian; keadaan; kegagahan; kesejahteraan.

Walaupun tanpa informasi lainnya tentang madzhab Sufi ini, sudah tentu kita dapat mengumpulkan beberapa informasi tentang organisasi dan sasaran mereka melalui perincian kata rahasia mereka berikut ini. Kata pertama mengisyaratkan inisiasi (pembaiatan), kata yang kedua mengisyaratkan para (jamaah) Sufi, ketiga mengisyaratkan tahapan-tahapan Tarekat Para Sufi, yang keempat mengisyaratkan pemberian (cinta dan derma) yang merupakan makna ungkapan mereka, adapun yang kelima mengisyaratkan beragam aspek kegiatan dan latihan mereka. Lalu mengapa kata tersebut ditulis dalam bahasa Ibrani dan bukan dalam bahasa Arab? Karena beberapa penulis terakhir telah mempola kembali tulis halus Arab yang asli dalam suatu bentuk yang lebih dapat diterima orang-orang dalam suatu tradisi Yahudi-Kristiani, sehingga kelompok itu merupakan sebuah komunitas yang serupa dengan kelompok Masonry modern di Barat.

Bagi Para Pembangun Sufi, tiga huruf ini menyimbolkan tiga bentuk meditasi. Huruf alif kufi adalah simbol posisi sujud. Dzun Nun al-Mishri, salah seorang guru Sufi terbesar, dipercaya sebagai tokoh yang telah memformulasi bentuk ini. Simbol ini sangat berpengaruh di Turki selama abad keenam belas. Sementara para penulis Barat mengatakan, "ternyata ia seperti para Mason." Simbol ini diilustrasikan dengan suatu bentuk persegi, suatu simbol prima Mason. Di samping itu, kata persegi (square) dalam bahasa Arabnya adalah RBA-yang mengandung, secara sangat tepat, alternatif makna: "menunggu, pengendalian". Sementara huruf kedua ba ditulis dalam aksara Arab seperti sebuah perahu dengan sebuah titik di bawahnya. Bentuk ini merupakan suatu sketsa simbol yang agak mengena -- tingkatan -- yang juga digunakan dalam Masonry. Bentuk ini menunjukkan makna simbolik dari "ketundukan dan konsentrasi". Adapun huruf terakhir lam menyerupai seutas tali seperti kurva. Bagi Para Pembangun itu berarti "tali yang mengikat semua benda menjadi satu".

Menurut para Sufi, ada 99 Nama atau Sifat Tuhan. Perkembangan pengaruh semua Nama itu menghasilkan individu yang sempurna. Namun yang keseratus adalah suatu rahasia dan hanya dikenal sang Pencari setelah ia diilhami secara utuh kesembilan puluh sembilan Nama itu. Nama Tuhan yang ketiga puluh tiga digunakan Para Pembangun untuk menunjukkan sepertiga keseluruhan sistem latihan yang merupakan tingkatan pertama pencerahan. Dalam sistem bilangan aksara Arab (dimana setiap aksara mempunyai sebuah nomer) tiga puluh tiga menunjuk: 30 = L ; 3 = J. Penyulihan menjadi aksara ini merupakan jalan satu-satunya dalam sistem pemilihan bilangan. Apabila huruf L dan J dilafalkan sebagai sebuah kata, maka keduanya membentuk semacam kata sandi atau makna awal dari sepertiga pencerahan Sufi. Adakah kosa kata LJ atau JL dalam bahasa Arab? Tentu saja ada. Bahkan keduanya LJ berarti "berkobar" dan dari sudut pandang Sufi berarti penerangan, hasrat cinta yang membara. JL berarti "termasyhur" [karena keagungan pribadi]. Pedang bernyala, sebuah lambang Masonik, digunakan Para Pembangun untuk melambangkan makna Nama Tuhan yang ketiga puluh tiga ini.

Apa nama yang keseratus? Nama ini, sekalipun kelihatannya aneh, agaknya merupakan (bentuk) yang orisinal (dan kini dirusak) dari simbol seperti G yang asing dan terdapat dalam lambang bintang Masonik di inti lambang kebesaran (kelompok ini). Dalam kultus Para Pembangun, hurufArab G ini adalah Q, yang tampak hampir mirip.2 Dan Q disini berarti rahasia, unsur final.

Dalam notasi persamaan huruf-angka Arab, Q sama dengan bilangan seratus.

Metode pemakaian kata-kata sandi serta pemakaian huruf dan angka untuk menyampaikan materi-materi yang hanya dipahami orang-orang tertentu, merupakan ciri khas para penyair darwis; dan mengingat kata sandi ini mengacu pada begitu banyak fakta-fakta dengan tujuan pengikisan semata, maka pemakaian kata sandi tersebut dalam Masonik dan Sufi adalah identik. Marilah kita kaji materi ini pada tataran yang lebih jauh. Apabila kita menambahkan huruf Q, kekuatan tersembunyi, pada tiga huruf kata ALB dalam bahasa Arab, dengan menghilangkan bunyi A, maka kita melihat suatu panorama yang lebih luas tentang makna-makna tersembunyi:

Q-ABL = sebelumnya, yang pertama, yang terdahulu (keutamaan kultus).

Q-ALB = hati (simbol kontemplasi dan kontak batin metafisik Sufi).3

L-aQB = julukan, panggilan kehormatan (penghormatan dalam ibadah).

Baik secara kebetulan ataupun sengaja, apabila tiga huruf Q, L, B dijumlah semua menurut notasi Arab, maka hasilnya 132. Jumlah ini dapat dibaca 32 + 1 = 33. Namun, menurut Para Pembangun, hasil penjumlahan 132 ini merupakan isyarat tentang ajaran rahasia yang disebarkan, dengan kerahasiaan yang agung itu, oleh orang yang namanya, manakala dikalkulasi menurut metode notasi Arab tersebut, menunjuk bilangan tiga puluh tiga. Mereka (Para Pembangun) mengurai nama orang tersebut menurut cara berikut ini:

M = 40, H = 8, M = 40, M = 40, D = 4, jumlahnya 132.
Apabila susunan huruf dieja menurut ortografi Arab, maka menjadi kata Muhammad. Kini kita berada pada tataran tempat manakala Para Pembangun menyatakan bahwa pengetahuan Sufi yang dipraktekkannya adalah sebagian ajaran rahasia Muhammad sendiri.

Adapun bilangan tiga puluh tiga ini atau huruf Q dituliskan dalam suatu pentagram (lambang segilima) oleh Para Pembangun, dan kadangkala dalam sebuah bintang yang disusun dari dua segitiga. Dalam tradisi kebatinan lainnya, susunan segitiga ini dijelaskan sebagai makna dari prinsip-prinsip laki-laki dan perempuan, sebagai udara, api dan sebagainya. Namun bagi Para Pembangun Sufi, segitiga yang bawah adalah bentuk angka 7 (tujuh) dalam bilangan Arab, sedangkan segitiga yang atas adalah bentuk angka 8 (delapan). Dan bagi mereka, hal ini menunjuk rangkaian (angka) 786 yang sesuai dengan doa Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, apabila diturunkan menjadi angka melalui penyulihan langsung. Makna dari frase ini sama seperti yang terdapat dalam suatu bentuk salib Sufi dari Irlandia abad kesembilan -- Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Ka'bah (bangunan berbentuk kubus) di Mekkah dipugar kembali pada tahun 608 M, ketika Muhammad berusia tiga puluh lima tahun, lima tahun sebelum memulai menyampaikan ajarannya. Ka'bah dibangun dengan tiga puluh satu batu dan kayu.4 Kalangan Sufi menambahi: "dengan Bumi dan Langit, jadi tiga puluh tiga."

Kendati demikian, kita tidak mungkin beranjak lebih jauh dalam menjelaskan materi-materi baik mengenai para freemason maupun persaudaraan darwis yang terorganisir, yang merupakan kualitas makna awal yang rumit.5 Akan tetapi ada fakta-fakta identik yang dapat diutarakan dan ada beberapa pokok perhatian umum. Menurut sementara sejarawan, freemasonry masuk ke Inggris pada masa Aethelstan (kira-kira tahun 894-939), Raja Saxon yang memperdekat hubungan Inggris dengan negara-negara Eropa lainnya. Ia hidup hampir dalam periode yang sama dengan Sufi Spanyol termasyhur, Ibnu Masarra (883-931), pengikut madzhab pencerahan, yang mempunyai pengaruh sangat kuat dan lestari atas pemikiran Barat. Sementara pada abad yang sama, seorang tokoh Sufi Mesir, pendiri Tarekat al-Banna (Pembangun), Dzun-Nun hidup dan mengajarkan (pengetahuannya). Dzun Nun, tokoh yang dipuja-puja semua Sufi, dihubungkan dengan sang pemilik Nubian ("hitam") yang asli, dengan menunjukkan suatu hubungan antara pemakaian (istilah) "hitam" (fahm) dan "pengetahuan, pemahaman" (fahm) oleh madzhab darwis sang Penambang, yang telah kita asosiasikan dengan Carbonari.

"Hitam" juga merupakan kata lain Mesir, yang katanya diturunkan dari warna tanah. Banyak kalangan menganggap bahwa seni Hitam maksudnya sama sekali tidak lebih dari "Seni Mesir" atau "Seni Memahami". Dengan anggapan yang sama, Perawan Hitam pada Abad Pertengahan dapat diterjemahkan sebagai "Perawan yang Bijak". Kerancauan antara Seni Hitam, Seni Hermetik dan Rahasia Mesir telah muncul dan muncul kembali dalam seluruh kepustakaan Abad Pertengahan. Adanya kesalahpahaman ini sepenuhnya disebabkan ketidaktahuan orang-orang asing atas kesamaan antara "hitam" dan "bijak" dalam bahasa Arab.

Hubungan antara Seni Hitam, alkimia dan Rosicrucianisme ini telah menimbulkan kekaguman para murid yang sebagian besar beranggapan bahwa orang-orang Eropa Abad Pertengahan sekadar menduga-duga semua istilah itu menurut kepercayaan umum semata dan hasrat memahami rahasia-rahasia serta mengungkap suatu ajaran terseinbunyi.

Hubungan antara para Pertapa (di kuil) dan para Mason bagi kebanyakan pengamat agaknya kelihatan kabur atau semacam asosiasi yang keliru. Seorang pertapa pastilah seorang Mason. Tak ayal lagi ibadahnya berdasar pada sebuah mitos dan ritual terhadap Bangunan Suci di Mekkah itu. Lalu, seperti kadangkala ditanyakan, hubungan apa yang mungkin ada antara bangunan Muslim di Mekkah itu dengan Kuil Sulaiman dan pembangunannya? Tentu saja ada suatu pertalian yang erat. Pertama perlu dicatat, di antara tuduhan terhadap Sufi kuno adalah praduga yang sangat keliru bahwa suatu tindak peniruan ibadah perjalanan suci ke Mekkah itu dapat dilaksanakan di mana pun dan mempunyai suatu keabsahan yang sama dengan perjalanan suci (Haji) yang sebenarnya. Kedua, perlu diingat bahwa guru Sufi Yang Agung, Ma'ruf al-Karkhi (w. 815) dikenal sebagai Putra Dawud dan sebagai "raja", suatu julukan yang lazim di kalangan Sufi. Putra Dawud tidak lain adalah Sulaiman. Sulaiman adalah orang yang memugar kembali bangunan tersebut. Mengapa dijuluki Putra Dawud? Karena Karkhi adalah murid guru termasyhur, Dawud ath-Thai. Adapun Dawud adalah bahasa Arabnya, sementara David adalah bahasa Inggrisnya.

Dawud di sini meninggal pada tahun 781. Kurang dari satu abad sebelumnya, kira-kira tahun 691, kalangan Saracen [Arab Muslim yang masih hidup di daerah Tanah Suci Palestina pada Abad Pertengahan] memugar Kuil Sulaiman tersebut di situs yang kini dikenal sebagai the Dome of Rock (Kubah Batu). Bangunan ini dan bukan bentuk yang lebih awal, adalah Kuil yang para abdinya adalah para Ksatria Templar [Ksatria penunggang kuda dari golongan gereja dan tentara kuil pada Abad Pertengahan], yang diduga sebagai kelompok Saracen. Bukan suatu kebetulan bahwa setelah bubarnya aliran Templar tersebut, para freemason mengambil alih tradisi Templar.

Perlu dicatat bahwa Ka'bah (secara literal, Kubus) adalah kuil berbentuk empat persegi di Mekkah. Adapun "batu hitam" Mekkah itu diletakkan di salah satu sudut luar Ka'bah. Jadi benarkah bila dianggap sebagai batu Ka'bah (kubus), yang biasanya disebut Batu Kubik atau Hajarul Aswad (batu hitam)? "Hitam", sebagaimana telah kami catat, adalah penyulihan dari "batu bara" dan "batu hitam", dapat diterjemahkan menjadi hajarul fahm, "batu kebijaksanaan" ataupun "batu bijak". Hanya saja bagi Muslim mana pun bangunan kedua adalah tempat yang disucikan yang dikenal sebagai Kuil Sulaiman di Palestina.

Tradisi Sufi menunjukkan bahwa sekelompok Sufi klasik awal adalah sejumlah orang yang berkumpul di tempat suci Mekkah itu dan mengabdikan diri sebagai pelayannya. Setelah jatuhnya Jerusalem pada bangsa Arab, tindakan pertama kalangan Muslim adalah membenahi Kuil Sulaiman itu untuk disesuaikan dengan (ajaran) Islam. Tradisi Sufi yang lestari dalam menghormati the Dome of Rock juga dibuktikan oleh fakta bahwa dekorasi ruang dalamnya yang terakhir terdiri dari gambar-gambar simbolik Sufi. Adapun gereja-gereja Templar dan indikasi lainnya menunjukkan pengaruh Kuil Sulaiman versi Saracen.

Ada dua garis penyebaran tradisi pengetahuan Sufi ini ke Barat --yang pertama melalui Saracen Spanyol, dengan atau tanpa pencampuran pikiran-pikiran Yahudi (karena orang Yahudi aktif mengadakan kerja sama dengan kalanganArab Cabalis [Kelompok atau gerakan politik "bawah tanah"]) dan yang kedua melalui kaum Crusade [Kelompok atau gerakan militer negara-negara Kristen Eropa yang bertujuan membebaskan Tanah Suci (Palestina) dari kekuasaan Muslim pada Abad Pertengahan], ketika para anggota kelompok kultus itu yang dikenal sebagai Para Pembangun mungkin saja telah menemukan kesamaan ritual di antara para darwis Timur Dekat.

Akhirnya, motif kegelapan-dan-cahaya yang dikaitkan dengan freemasonry mempunyai kaitan-kaitan yang sangat dekat dengan motif para darwis, sehingga kaitan-kaltan ini sendiri merupakan suatu sebab yang menarik untuk dikaji. Para darwis menganggap cahaya sebagai kebenaran, penerangan. Hitam, sebagaimana telah kami catat, diasosiasikan dengan kebijaksanaan (kata yang homonim dalam bahasa Arab); adapun putih juga berarti pemahaman. Pengetahuan tentang makna yang benar dari kebijaksanaan dan cahaya, baik dan buruk, "kegelapan" yang nyata dari ketidaktahuan adalah poin penting dalam kegiatan Darwis. Pada akhirnya Sufi mendasarkan pengetahuan ini pada Ayat Cahaya (an-Nuur) didalam al-Qur'an (Surat 24, ayat 35) yang menyatakan, "Para penentang seperti dalam kegelapan: kegelapan di atas kegelapan. Tiada cahaya sama sekali, cahaya Allah." Tema ini diangkat al-Ghazali dengan rincian yang cermat dan kita tahu sangat berpengaruh terhadap skolastik Barat: al-Ghazali menulis sebuah buku tentang cahaya dan kegelapan ini -- Misykatul Anwar.

Para darwis mengangkat tema cahaya dan kegelapan ini melalui kesusastraan. Sebuah contoh yang sederhana dapat kita temukan di dalam the Secret Garden (Kebun Rahasia)-nya asy-Syabistari, yang disusun tahun 1319: "Sang darwis melangkah di antara kegelapan dua dunia; akan tetapi kegelapan cakrawala padang pasir yang menyenangkan bagi musafir dan menunjukkan tempat berkemah ada di hadapan ... Dalam hari gelap terdapat cahaya terang."

Terjemahan Johnson Pasha (The Dialogue of the the Gulshan-i-Raz, Kairo, 1903), baik dari sumber-sumber Mason maupun Para Pembangun, bukan karya yang tak dikenal dalam kesusastraan Inggris. Paus sendiri, misalnya (Dunciad, Buku IV), telah menggunakan alegori Sufi dalam tulisannya:

Kegelapan inderawi, sangat sering dijumpai.
Sebagian dapat diketahui, sebagian terselubung
dan sebagian sangat gelap-gulita.
Dari pemakaian tema ini oleh para darwis, kita dapat menginterprestasikan pesan misterius dalam sebuah markah yang aneh dan diulang-ulang oleh Mason yang dilukiskan dalam bangunan-bangunan Abad Pertengahan. Di bawah ini adalah sebuah markah yang menyerupai bentuk empat. Apabila kita menghubungkan para Mason profesional dengan tarekat-tarekat darwis di Barat, seperti halnya kita menghubungkan para pekerja bangunan Timur dengannya, maka kita menemukan suatu pesan yang tersembunyi di sini.

Diagram Sufi yang dikenal sebagai Persegi Magis dari lima belas digambar seperti di bawah ini:


Dari arah mana pun kita menjumlahkan tiga angka dalam persegi ini hasilnya selalu lima belas. Persegi ini digunakan dalam Kabalisme sebagai suatu kerangka sandi dengan maksud menyampaikan sebuah pesan. Pemakaian ini digambarkan dengan garis-garis yang menghubungkan antar bilangan dengan maksud memberi tekanan. Lambang Mason digambarkan seperti di bawah ini:

 
Jika gambar ini diletakkan di atas kerangka persegi di atas, maka kita dapat membaca pesan yang terkandung dalam hubungan angka-angka tersebut. Sketsa di atas melewati semua angka dalam persegi itu, kecuali angka delapan!


Delapan melambangkan gambar angka yang sempurna, segi delapan, gambaran, di antara bangun-bangun lainnya, berbentuk kubus. Sketsa tersebut juga meliputi delapan angka dari sembilan persegi di atas. Maksudnya di sini adalah, "Delapan (keseimbangan) adalah jalan menuju sembilan". Sembilan dalam bahasa Arab menunjuk huruf Ta, yang makna tersembunyinya adalah "pengetahuan rahasia".

Sketsa tersebut juga mempunyai arti tambahan manakala kita mencermati bahwa gambar yang menyerupai angka empat dengan sebuah tiang (kadangkala sebuah kurva) yang dirapatkan, juga merupakan gambaran kasar dari kata Arab hoo - kata liturgis darwis, yang dinyanyikan agar mencapai tingkat-tingkat ekstase.

Adapun para Mason yang dihubungkan dengan alkimia melalui tanda ini sendiri kemungkinan besar dibuktikan oleh fakta bahwa persegi magis ternyata juga digunakan di Cina dan telah diulas para peneliti kimia mutakhir, yang dikaitkan dengan baik suatu simbol kimia maupun tradisi Tao. Apabila membutuhkan indikasi lebih lanjut, seseorang dapat mengacu pada fakta bahwa persegi magis ini juga digunakan Jabir (Geber), bapak kimia Barat maupun Timur, dan (sebagaimana dinyatakan Profesor Holmyard) digunakan kelompok Sufi yang salah satu anggotanya adalah Jabir.

Tentu saja para ahli kimia, freemason, Rosicrucian, Carbonari dan lainnya sama sekali tidak mencampuradukan suatu koleksi misteri yang tak teratur dan serampangan serta tradisi pengetahuan yang tak bertalian, karena sasaran mereka yang orisinal dan utama adalah unsur pokok simbol Sufi -- per kembangan kesadaran manusia.

Catatan kaki:

1 F. Hitchman, Miami, Vol. I, hlm. 286.

2 Dalam bahasa Arab sehari-hari, suara Q cenderung disulih, terutama oleh (bangsa) non-Arab, seperti suara G. Kecenderungan ini lebih jauh masih berlaku di beberapa negara yang menggunakan kata-kata Arab, karena mereka sendiri tidak mempunyai suara tekak (dari tenggorokan) Q.

3 Lihat anotasi "QA-LB".

4 Azraqi, dikutip Wistenfeld dalam Creswell: Early Muslim Architecture, London, 1958, hlm. 1. Tentu saja dua susunan lainnya, yaitu bumi dan langit adalah simbolisme Sufi sendiri.

5 Tentang pertukaran yang samar itu, lihat anotasi "Titik".

TAREKAT-TAREKAT DARWIS


Karena pemikiran yang dangkal
apa yang tampak kemunafikan pada
diri orang yang tercerahkan (mukasyafah),
sesungguhnya itu lebih baik dibanding
apa yang dirasakan sebagai ketulusan pada
si pemula.
(Hadhrat Bayazid al-Bisthami)
Hampir semua Sufi, pada suatu waktu atau lainnya, merupakan anggota dari salah satu Tarekat yang oleh para sarjana Barat disebut "Order", sebagai isyarat dari dugaan kemiripannya dengan ordo-ordo keagamaan Kristiani pada Abad Pertengahan. Ada beberapa perbedaan penting antara dua jenis organisasi tersebut.
Tarekat, bagi seorang Sufi, bukanlah suatu pelestarian entitas diri yang langsung dengan suatu hirarki dan pernyataan yang baku serta membentuk suatu sistem pelatihan bagi pemeluknya. Sifat Sufisme adalah evolusioner, untuk itu suatu lembaga Sufi niscaya tidak mungkin mengambil suatu bentuk permanen sekaku ini. Di tempat-tempat tertentu dan di bawah guru-guru individual, sekolah-sekolah muncul dan melaksanakan suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kebutuhan manusia terhadap penyempurnaan pribadi. Sekolah-sekolah ini (seperti sekolah Rumi dan Data Ganj Bakhsh, sebagai contoh) menarik minat banyak orang yang bukan Muslim, meskipun sekolah-sekolah Sufi sejak kemunculan Islam, selalu dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari tradisi Muslim.
Kemudian, meskipun Tarekat-tarekat Sufi memiliki aturan-aturan khusus dan serangkaian pakaian dan ritual, hal ini bukan suatu keharusan, dan sejauh mana Sufi mengikuti bentuk-bentuk ini ditentukan oleh kebutuhannya terhadap hal-hal itu, sebagaimana yang diperintahkan oleh gurunya.
Beberapa Tarekat besar mempunyai sejarah yang rinci, tetapi kecenderungan untuk membagi ke dalam berbagai bentuk spesialisasi pada waktu-waktu tertentu sama-sama mempunyai karakteristik nominal. Hal ini karena Tarekat dikembangkan melalui wahana untuk memenuhi suatu keperluan batin, tidak diarahkan oleh kerangka kerja organisasinya yang tampak jelas secara lahiriah.
Karena begitu banyak sekolah-sekolah tersebut maka salah seorang Sufi terbesar, Hujwiri (w. 1063) menulis sebuah kitab1 yang membahas Sufisme dan Tarekat-tarekat pada abad kesebelas, dengan memberikan informasi mendalam tentang mereka. Sebagian orang justru menganggap bahwa ia telah mengarang-ngarang sebagian dari bahan tersebut.
Bahkan perkembangan itu sendiri, berbeda dengan apa yang diduga orang, merupakan bagian dari kebijaksanaan darwis yang tidak bisa dihindari. Data ("darwis" dalam Hindu) Ganj Bakhsh (dalam bahasa India berarti Orang Dermawan) adalah gelar Ali al-Hujwiri yang dikenal di India.
Dilahirkan di Ghazna (Afghanistan), para Sufi menyebutnya sebagai "Yang Terpilih", orang yang dipilih untuk memaparkan kenyataan-kenyataan tertentu tentang Sufisme dan organisasi Sufi di daratan India. Meskipun bukan berarti Sufi pertama ini tinggal di India (ia dimakamkan di Lahore, Pakistan, dan makamnya diziarahi oleh orang-orang dari semua kepercayaan), tugasnya adalah untuk menegaskan, melalui kehidupan dan karya-karyanya, suatu klaim bahwa Sufisme secara keseluruhan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Arti pentingnya tidak mungkin diabaikan sebagaimana penulis Kristiani John Subhan mengatakan:
Makam Ali al-Hujwiri mungkin masih bisa dilihat di Lahore dekat pintu gerbang Bhati. Ia telah menjadi tujuan ziarah dan penghormatan selama sembilan ratus tahun. Semua macam dan kedudukan manusia, para raja dan pengemis, telah mengunjunginya selama berabad-abad, untuk mencari berkah spiritual dan temporal. Semua penakluk Muslim dan para darwis yang mengembara, di saat memasuki negeri ini, telah menjadikan makamnya sebagai titik tujuan penghormatannya.2
Kedudukan Hujwiri di kalangan Sufi mendekati peranan penting sebagai seorang penafsir Sufisme bagi orang-orang Muslim itu sendiri. Bagi Sufi, kitabKasyful Mahjub memuat bahan-bahan yang hanya bisa dipahaminya, tersimpan dalam bentuk sebuah kitab yang dimaksudkan untuk dibaca oleh orang-orang Muslim yang saleh untuk memperkenalkan mereka kepada cara berpikir Sufi melalui terminologi tradisi formal mereka yang telah dikenal.
Kitab tersebut dikaji dengan seksama oleh anggota-anggota dari semua Tarekat. Hujwiri sendiri belajar di bawah bimbingan Abu al-Qasim Jurjani, seorang guru besar dari Tarekat Naqsyabandiyah, dan karya utamanya adalah kitab Kasyful Mahjub, yang merupakan buku pertama tentang Sufisme dan Tarekat dalam bahasa Persia.
Kitab tersebut mencatat kehidupan para Sufi terkenal, pada masa kuno maupun kontemporer, referensi-referensi untuk ajaran, shadagah, doa, kepercayaan dan mistisisme. Kitab ini ditujukan kepada mereka yang ingin mendekati Sufisme melalui konteks Islam yang berlaku. Di balik penyajian yang jelas ini, dengan suatu cara yang hanya bisa dipahami oleh para Sufi, kitab Kasyful Mahjub mengandung informasi tentang penggunaan dan makna dari bahasa rahasia yang digunakan para Sufi untuk berkomunikasi dan menjalankan latihan khusus.
Untuk sementara semua yang diungkap tentang hal ini termuat pada bagian yang membahas tentang jubah tambalan. Pemakaian jubah tambalan merupakan adat Sufi, sebagai ciri Sufi yang mempraktikkan Jalan tersebut. Ia mungkin bisa disebut sebagai seragam darwis pengembara, dan ini terlihat di hampir semua bagian Asia dan Eropa selama hampir empat belas abad. Nabi Muhammad (saw.) dan beberapa sahabat menunjukkan penerimaan mereka terhadap Jalan Sufi dengan mengadopsi pakaian jubah ini. Banyak guru Sufi menulis tentang cara menjahit lembaran-lembaran kain tersebut, siapa yang boleh memakainya, siapa yang boleh menganugerahinya, dan sebagainya. Semua fenomena ini adalah bagian dari misteri Sufi.
Kajian tentang jubah tambalan yang ditulis Hujwiri, jika dibaca secara dangkal, mungkin bisa memuaskan seorang teolog yang saleh. Dengan merenungkan hubungan antara tambalan-tambalan kain dan kemiskinan, cara menjahit lembaran kain secara benar dan pembenaran lahiriah atas kezuhudan yang ditunjukkan oleh tambalan-tambalan kain itu, maka bab ini bisa dibaca sebagai suatu yang bersifat kesalehan, suatu kumpulan gagasan dan fakta-fakta yang sangat memuaskan dan dikarang untuk tujuan-tujuan sentimentil. Kenyataan ini sangat khas.
Ketika membaca teks tersebut, pertama-tama seorang pelajar harus menyadari bahwa dia tidak bisa menerjemahkan kata "tambalan" itu dan mengabaikannya. Dia harus mencermati konsep-konsep yang terkandung dalam istilah Arab itu, dan merenungkannya untuk diterapkan terhadap teks dengan cara tertentu. Kemudian dia akan bisa memahami makna "lembaran", "berjalan" atau "kebodohan yang parah" dan seterusnya.
Dengan demikian pengaruh kitab tersebut terhadap Sufi sangat berbeda dengan peneijemahan yang akan dia dapatkan dari suatu pembacaan yang dangkal. Inilah sebuah contoh terjemahan semi harfiah yang diambil dari terjemahan Profesor Nicholson untuk bagian itu:
"Berupaya menjahit jubah-jubah tambalan diperbolehkan oleh para Sufi, sebab mereka telah memperoleh reputasi yang tinggi dalam masyarakat; karena banyak orang meniru mereka dan memakai jubah-jubah tambalan serta bersalah karena melakukan tindakan yang tidak terpuji; karena para Sufi tidak menyukai masyarakat selain masyarakatnya sendiri --karena alasan-alasan inilah mereka menciptakan suatu jubah yang tidak bisa dijahit siapa pun kecuali mereka sendiri, dan menjadikannya sebagai tanda untuk saling mengenal dan sebagai suatu lencana. Sedemikian (rumitnya) sehingga ketika seorang darwis menemui salah seorang Syekh dengan mengenakan sebuah baju, Syekh tersebut mengusirnya."
Akar kata bahasa Arab yang merupakan asal kata "tambalan" juga memiliki serangkaian makna yang penting. Diantaranya kita bisa mencatat:
  1. Yang bukan-bukan, "nyleneh" (raqua). Cara Sufi tampil ketika dia tengah berbicara atau bertindak dalam hubungannya dengan suatu pengetahuan-ekstra (inderawi) yang tidak bisa dimengerti oleh orang awam. "Ocehan-Pelawak" merupakan terjemahan yang tepat untuk sifat ini. "Bodoh" dalam pengertian Sufi juga berasal dari akar kata yang sama (arqa'a).
  2. Mabuk karena anggur (raqaa'). Para Sufi menggunakan analogi kemabukan untuk menyebut pengalaman mistis tertentu.
  3. Sikap tidak peduli (artaqa'). Sufi tampak sebagai orang yang tidak peduli terhadap hal-hal yang tampak paling penting bagi orang awam, tetapi secara obyektif mungkin memiliki arti penting lain.
  4. Langit Ketujuh (raqa'). Suatu isyarat bagi sifat ketuhanan dalam Sufisme.
  5. Papan Catur (ruqa'at). Pergantian hitam dan putih dari cahaya dan kegelapan, bagian lantai di tempat-tempat pertemuan darwis tertentu dengan warna seperti papan catur.
  6. Baju tambalan (muraqqa'). Satu-satunya kata dari kelompok (kata) ini selain kata terakhir yang bisa digunakan sebagai simbol atau alat, suatu obyek kiasan yang menerangkan akar kata tersebut sebagai suatu keseluruhan dan semuanya mengandung makna Sufi.
  7. Menambal baju, berjalan dengan cepat, menulis (prasasti), menguasai sasaran dengan anak-panah. Semua (makna) ini merupakan kata turunan dari akar kata yang sama yaitu raqa'a.
  8. Memperbaiki (sumur) menyimbolkan perbaikan "sumur" pengetahuan manusia, yang menurut para Sufi memiliki akar kata yang sama.
Salah satu tugas Hujwiri adalah menuliskan kode-kode rahasia Sufi sebagai unsur-unsur pokok yang digunakan oleh madzhab-madzhab darwis.
Hujwiri datang ke India mengikuti teknik perjalanan yang secara luas dipraktikkan pada Tarekat-tarekat tersebut. Ia dianjurkan gurunya untuk pergi dan menetap di Lahore. Ini merupakan keinginannya yang terakhir, tetapi karena ia berada di bawah disiplin utuh yang berada di antara (status) murid dan guru, maka ia berangkat ke India. Setiba di Lahore, ia melihat jenazah Syekh Hasan Zanjani tengah diusung ke kuburnya. Hujwiri adalah penerusnya, dan untuk itulah ia menyadari bahwa ia diutus karena alasan ini. Contoh penggantian guru-guru Sufi yang menjelang kematiannya dengan mengirim seseorang dari tempat yang sangat jauh seperti ini bukan sesuatu yang aneh dalam sejarah darwis.
Hujwiri tidak mendirikan sebuah Tarekat, tetapi tetap sebagai seorang guru secara umum. Namanya termasuk dalam daftar guru-guru dengan barakah-nya yang memancar ke seluruh komunitas darwis, tanpa melihat masa di mana dia hidup. Setelah meninggal, diyakini bahwa kewibawaannya tetap hidup di bumi, sebab kesempurnaannya telah mencapai tingkatan sedemikian rupa sehingga kematian lahiriah tidak memusnahkannya.
Tarekat-tarekat Sufi mungkin diorganisir dalam suatu bentuk kependetaan. Di sisi lain, "biara" atau madzhab Sufi mungkin terdiri dari suatu mata rantai orang-orang dan kegiatan yang menyebar di kawasan yang luas dan tidak terlihat oleh orang luar. Oleh karena itu ada Tarekat-tarekat --dan khususnya cabangcabang Tarekat-- dengan beberapa anggotanya berada di India, yang lain di Afrika, sebagian lagi di Indonesia. Secara kolektif mereka membentuk organisasi dari madzhab tersebut. Karena para Sufi meyakini kemungkinan berkomunikasi tanpa kehadiran secara fisik, maka konsep dari suatu Tarekat yang tersebar seperti ini lebih mudah diterima oleh Sufi dibandingkan orang-orang yang terbiasa dengan pandangan-pandangan yang lebih konvensional tentang masyarakat dan tujuan manusia.
Cabang-cabang Tarekat berupa serikat pekerja, kelompok pelajar, kesatuan-kesatuan pasukan. Kecuali pada masa yang lebih modern, jenis kesatuan yang ditunjukkan melalui biara konvensional. Biara Sufi, yang secara lahiriah serupa dengan biara Kristiani, Hindu atau Budha, dalam kenyataannya merupakan produk dari kondisi-kondisi ekonomi dan politis, bukan sebagai hasil dari suatu kepentingan esoteris. Menurut para Sufi, "biara merupakan jantung manusia". Sekali lagi, ungkapan ini sejalan dengan gagasan darwis bahwa Sufisme merupakan suatu entitas yang berkembang, dan tidak bisa tetap menjadi satu sistem untuk menurunkan bentuk-bentuk, betapapun menariknya bentuk tersebut.
Di tempat-tempat di mana bentuk kehidupan feodal masih berlangsung, karena terikat kepada hasil pertanian, biara-biara Sufi terus berkembang. Di daerah perkotaan, pusat-pusat Sufi lebih terkait dengan irama kehidupan kota dan mendapatkan penghasilan dari toko-toko yang disumbangkan kepada komunitas atau dari "pajak" pendapatan anggota-anggota tarekat tersebut.
Jadi, Tarekat Sufi berperan sebagai lembaga masyarakat yang secara khusus menerima, menggunakan dan menyebarkan Sufisme. Ia tidak memiliki bentuk tradisional, dan penampilan lahiriahnya akan tergantung kepada kondisi-kondisi lokal dan keperluankeperluan "amal".
Sebuah perusahaan penerbitan Arab adalah sebuah organisasi Sufi. Di beberapa kawasan, semua pekerja industri dan pertanian adalah para Sufi. Profesi-profesi tertentu di beberapa negara didominasi oleh para Sufi. Kelompok-kelompok para Sufi ini mungkin memandang dirinya sendiri sebagai Tarekat atau biara, yang terlibat dalam tugas khusus penerimaan, pemeliharaan dan penyebaran.
Tentu saja faktor sentral Tarekat adalah menghasilkan sosok manusia pengajar, sebagaimana terlihat dari dakwah tarekat atau suatu promosi mekanik dalam hubungannya dengan tingkatan yang tidak bisa diidentifikasi. Para Sufi tidak mempunyai kubu.
Hal ini bukan berarti bahwa hirarki dari para Sufi tidak ditentukan dengan baik. Tetapi seorang Sufi dikenal oleh Sufi lainnya, dan sejauh menyangkut tingkatan, melalui cara-cara selain dari penampakan lencana. Suatu tingkatan perkembangan tertentu dari individu, selain harus ditegaskan oleh seorang guru, dipegang oleh para Sufi dan (hanya) bisa dilihat oleh orang-orang lain yang telah mencapai tingkatan serupa.
Di dalam sekolah Tarekat itulah penerimaan awal dan perkembangan dari calon Sufi terjadi. Tidak seperti sistem-sistem pengajaran lainnya, tidak ada satu pun bentuk pengondisian. Calon (Sufi) harus dibiasakan kepada prinsip-prinsip Tarekat dan sosok guru, tetapi sebelum hal ini terjadi ia harus diuji. Pengujian tersebut dilakukan dengan tujuan melepaskan pribadi-pribadi yang tidak sesuai. Mereka yang mempunyai keinginan untuk menggabungkan dirinya kepada suatu organisasi atau individu-individu (tertentu) karena kelemahan mereka sendiri, akan tertolak. Orang-orang yang telah tertarik kepada reputasi para Sufi dan ingin meraih kekuatan-kekuatan ajaib akan tersisih. Tugas-tugas awal yang diberikan kepada seorang calon anggota memiliki dua fungsi utama --pertama adalah menentukan kesesuaiannya, kedua adalah memperlihatkan kepadanya bahwa dia harus menginginkan kehidupan Sufi untuk kepentingan kesufian itu sendiri.
Seorang guru yang bertanggung jawab atas calon darwis seringkali melakukan apa saja yang dia mampu untuk menghalanginya --bukan dengan cara persuasi, tetapi dengan memainkan suatu peran yang mungkin tampak memantulkan cacat dirinya sendiri. Para Sufi yakin bahwa hanya dengan cara-cara ini mereka bisa berkomunikasi dengan esensi yang menunggu untuk dibangkitkan oleh dorongan hati Sufi. Komunikasi formal dengan kepribadian lahiriah dari calon Sufi tidaklah penting. Ketika jiwa belum mampu menangkap Sufisme secara koheren, sang Sufi tidak akan berusaha membujuknya. Ia harus berkomunikasi dengan kedalaman yang lebih besar. Orang-orang yang bisa diyakinkan melalui cara-cara konvensional tentang arti penting Sufisme ini, tidak akan menjadi pengikut yang murni.
Banyak laporan-laporan tentang perilaku para Sufi yang konyol dan tidak bisa diterima berasal dari pelaksanaan rencana-rencana semacam ini.
Banyak dari Tarekat-tarekat besar telah diberi julukan. Tarekat ar-Rifa'iyah disebut "Para Darwis yang Meraung"; al-Qalandariyah disebut "Gundul"; al-Chisytiyah disebut "Para Musisi"; al-Mevlevi disebut "Tari", dan Tarekat Nagsyabandiyah disebut "Diam".
Tarekat-tarekat ini umumnya dinamakan sesuai dengan nama pendiri dari spesialisasi yang mereka wakili. Sebagai contoh, Rumi mengorganisir "tarian-tarian" sesuai dengan apa yang ia pandang menjadi cara terbaik untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman Sufistik bagi murid-muridnya. Sebagaimana tercantum dalam catatan-catatan kuno, tarian-tarian itu sesuai dengan mentalitas dan temperamen orang-orang Konia. Para peniru telah berupaya mengekspor sistem tersebut ke luar daerah budayanya, akibatnya tarian-tarian tersebut tidak ubahnya seperti sebuah pantomim dan pengaruh asli dari gerakannya telah hilang.
Gerakan-gerakan ritmis (dan tidak ritmis) yang disebut tarian digunakan banyak Tarekat dan selalu merespon kebutuhan-kebutuhan individual dan kelompok. Dengan demikian gerakan-gerakan Sufi tidak bisa dilakukan, dan tidak membentuk apa yang di mana saja disebut tarian, senam atau semacamnya. Penggunaan gerakan-gerakan mengikuti suatu pola yang didasarkan kepada penemuan-penemuan dan pengetahuan tertentu yang hanya bisa diterapkan oleh seorang mursyid/guru dari sebuah Tarekat darwis.
Tampaknya tarian-tarian keagamaan yang dikenal dalam Kristiani, Yudaisme dan bahkan suku-suku primitif merupakan suatu kemerosotan dari pengetahuan ini dan akhirnya ditekan menjadi hiburan, berbentuk magis atau bentuk-bentuk yang superfisial.
"Jika pisau cukur tidak digunakan mencukur jenggot setiap hari," ucap penyair Sufi terkenal, Jami', "maka dengan pertumbuhan yang lebih cepat jenggot cenderung lebat seperti rambut di kepala." (Baharistan --Peraduan Musim Semi).
Tarekat darwis mungkin bisa dilihat sebagai sebuah organisasi dengan sejumlah aturan minimum. Seperti perhimpunan lainnya yang mempunyai suatu tujuan, aturan-aturan Tarekat akan berakhir ketika tujuan telah tercapai.
Diagram-diagram skematis yang dipergunakan oleh Tarekat-tarekat tersebut bisa membantu menjelaskan gagasan ini. Lingkaran rantai dari Tarekat-tarekat itu memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok tersebut berasal dari madzhab-madzhab yang dikelilingi guru-guru tertentu. Madzhab-madzhab ini mengambil inspirasi dari majelis pribadi Muhammad (saw) dan para sahabat dekatnya. Oleh karena itu, dalam sebuah peta geometrik semacam ini, pusat (diagram) memperlihatkan sahabat-sahabat Abu Bakar, Ali dan Abdul Aziz al-Makki dalam sebuah lingkaran. Di sekeliling lingkaran ini ada tujuh lingkaran lebih kecil, masing-masing lingkaran berisi nama dari seorang guru besar. Tujuh Jalan utama Sufisme dan spesialisasi-spesialisasi pengajaran memancar dari pribadi-pribadi ini.
Semua Tarekat darwis mengklaim mendapatkan barakah dari salah satu atau beberapa guru ini. Harus diingat bahwa karena Sufisme tidak statis, maka semua barakah para pendiri Tarekat-tarekat tersebut diyakini merembes semua Tarekat-tarekat tersebut.
Bentuk pusaran dan lingkaran-lingkaran yang saling terangkai tersebut menunjukkan kesaling-ketergantungan dan gerakan ini. Dalam puisi, para pengarang seperti Rumi telah menekankan hal ini dengan menyatakan: "Ketika engkau melihat dua orang Sufi bersama-sama, engkau melihat keduanya dan dua puluh ribu lainnya."
Tujuan organisasi temporer yang disebut Tarekat dan disetujui oleh semua guru itu adalah menyediakan lingkungan dimana anggota bisa mencapai kemantapan batin yang bisa dibandingkan atau identik dengan keadaan batin para guru awal.
Dorongan untuk menciptakan suatu Tarekat dengan menggunakan sekelompok kata-kata dan dipilih untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan atau karakteristik tarekat, sangat jelas. Semua anggota tahu bahwa format tersebut bukan bersifat mistik, tetapi berubah-ubah. Akibatnya, mereka tidak bisa terikat secara emosional kepada lambang-lambang Tarekat. Dengan demikian pemusatan perhatian diarahkan pada rantai penyampaian (hubungan dengan substansi individu-individu). Kemudian, karena diyakini bahwa "Insan Kamil" adalah suatu individualitas sejati dan sekaligus suatu bagian menyeluruh dari kesatuan esensial, maka Sufi tidak mungkin melekatkan dirinya kepada satu personalitas semata. Sejak awal ia mengetahui bahwa kekuatan-kekuatan batinnya sedang dibimbing dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Oleh karena itu, dalam tarekat-tarekat darwis yang menjalankan kesalehan ketat, ada serangkaian kemajuan baku melalui satu individu. Pertama-tama murid harus melekatkan dirinya kepada guru. Ketika ia mungkin telah mencapai perkembangan maksimal, guru akan memindahkannya pada realitas pendiri Tarekat. Dari sini ia memindahkan kesadarannya kepada substansi ("kaki") Muhammad, perintis ajaran (Tarekat) dalam bentuk kontemporer. Dari sini ia dipindahkan kepada realitas Tuhan. Ada cara-cara lain dengan penerapan yang bergantung pada karakter sekolah dan terutama kualitas-kualitas kepribadian yang terkait. Dalam beberapa latihan, murid harus membenamkan dirinya sendiri dalam kesadaran para guru lainnya, termasuk Yesus dan lain-lainnya, yang dipandang oleh para Sufi sebagai anggota mereka.
Salah satu tujuan ziarah ke makam-makam atau bekas tempat tinggal guru adalah untuk melakukan hubungan dengan realitas atau substansi ini. Dalam ungkapan netral bisa dikatakan bahwa para Sufi meyakini, aktivitas Sufistik dalam menghasilkan seorang Insan Kamil mengakumulasi suatu kekuatan (substansi) sehingga ia sendiri mampu melakukan proses pengubahan individu yang lebih kecil. Hal ini tidak perlu dirancukan dengan gagasan tentang kekuatan magis tersebut, karena kekuatan yang ditempa sang Salik itu hanya akan bekerja bila didasarkan pada niat yang murni dan dia terbebas dari keakuannya. Kemudian ia akan bertindak dengan caranya sendiri, bukan dengan cara yang bisa diantisipasi oleh sang Salik. Lantaran telah melewati jalan tersebut sebelumnya, hanya gurunya yang bisa menilai akibat apakah yang akan ditimbulkan dari pengungkapan (tersingkapnya tabir) semacam ini.
Di dalam tarekat-tarekat tersebut, ketika murid telah diterima untuk mendapatkan pelatihan di bawah seorang mursyid, ia harus dipersiapkan untuk menghadapi pengalaman-pengalaman yang tidak mampu dimengerti oleh jiwanya yang belum tercerahkan.3 Proses yang mengikuti pengondisian atau pemikiran otomatis, disebut sebagai "pengaktifan hal-hal yang pelik".
Tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk istilah teknis "kepelikan" itu. Kata asalnya adalah lathifah (jamak: lathaif). Kata ini diterjemahkan dengan "titik kesucian", "tempat pencerahan", "pusat realitas". Dalam rangka mengaktifkan unsur ini, maka suatu keadaan yang bersifat fisik teoritis ditetapkan dalam tubuh --umumnya dipandang sebagai pusat dimana kekuatan atau barakah terbukti paling kuat. Secara teoritis lathifah dipandang sebagai "suatu organ baru dari persepsi spiritual".
Akar kata dalam bahasa Arabnya berasal dari tiga akar kata LThF. Dari akar kata ini, istilah-istilah yang dipergunakan dalam bahasa Arab meliputi konsep-konsep kepelikan, kehalusan, keramahan, karunia atau kerelaan, kesamaran. Oleh karena itu, dalam ungkapan "seks yang lembut," kata yang diterjemahkan dengan "yang lembut" dalam bahasa Arabnya diambil dari akar kata ini.
Murid harus membangkitkan lima lathaif, menerima pencerahan melalui lima dari tujuh pusat komunikasi yang halus. Dengan dipimpin oleh pembimbing (Syekh), metode ini bertujuan memusatkan kesadaran pada kawasan tertentu dari tubuh dan kepala, masing-masing kawasan dihubungkan dengan fakultas-fakultas lathifah.
Karena setiap lathifah diaktifkan melalui latihan-latihan, kesadaran murid berubah untuk menampung kemampuan jiwanya yang lebih besar. Ia menembus kebutaan yang membuat orang awam tertawan dalam kehidupan dan seolah-olah hal itu tampak sebagai sesuatu yang wajar.
Oleh karena itu, dalam beberapa hal, pengaktifan pusat-pusat lathifah tersebut menghasilkan suatu sosok manusia baru. Untuk pembaca yang secara tidak sadar mengaitkan sistem ini dengan sistem-sistem lainnya yang mungkin menyerupainya, kita harus mencatat bahwa pengaktifan lathaif tersebut hanyalah satu bagian dari suatu perkembangan yang sangat komprehensif dan tidak bisa dilaksanakan sebagai suatu kajian individual.
Lima pusat tersebut dinamakan Hati, Ruh, Rahasia, Misterius dan Yang Sangat Tersembunyi. Tanpa membicarakan secara ketat suatu lathifah sama sekali, hal lain adalah Diri yang tersusun dari suatu kumpulan "diri-diri". Inilah keseluruhan dari apa yang oleh orang-orang dipandang sebagai kepribadian. Hal ini ditandai dengan serangkaian rasa dan kepribadian yang berubah-ubah dengan kecepatan gerak yang memberikan kesan kepada seseorang bahwa kesadarannya konstan atau merupakan suatu kesatuan. Padahal tidak demikian.
Kepelikan ketujuh hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah mengembangkan kepelikan-kepelikan (kesamaran-kesamaran) lainnya dan menjadi milik seorang arif sejati, pemegang dan penyampai ajaran.
Pencerahan atau pengaktifan salah satu atau lebih dari pusat-pusat lathifah tersebut mungkin terjadi secara parsial atau aksidental. Ketika hal ini teijadi, pada suatu waktu seseorang mungkin mencapai suatu pendalaman pengetahuan intuitif berkaitan dengan lathifah yang terlibat. Tetapi jika hal ini bukan suatu bagian dari perkembangan komprehensif, maka jiwa akan mencoba secara sia-sia untuk menyeimbangkan dirinya sendiri di sekitar "piala agung" ini, suatu tugas yang mustahil. Akibatnya bisa sangat berbahaya, seperti semua fenomena mental satu-sisi, dan meliputi anggapan-anggapan yang berlebihan tentang arti penting diri (ujub), munculnya sifat-sifat tercela, atau suatu pembusukan kesadaran karena membanggakan suatu kemampuan.
Latihan-latihan pernafasan atau gerakan-gerakan tari yang dilakukan dengan runtutan yang tepat juga bisa menghasilkan dampak yang sama.
Perkembangan yang timpang akan menghasilkan orang-orang yang mungkin mempunyai ilusi bahwa mereka adalah orang yang tercerahkan atau arif Akibat kekuatan inheren dari lathifah, orang semacam ini mungkin hidup di masyarakat luas dan menjadi panutan. Dalam diagnosa Sufi, tipe kepribadian seperti ini menyebabkan munculnya sejumlah besar guru-guru metafisika palsu. Tentu saja mereka sendiri merasa bahwa mereka asli. Ini karena kebiasaan menipu diri sendiri atau memperdaya orang lain belum dihilangkan. Justru kebiasaan tersebut didukung dan diperkuat oleh kebangkitan organ baru yang belum terarahkan, yakni lathifah.
Kawasan-kawasan yang terlibat dalam pengaktifan lathifah adalah: Diri (nafsu/hawa), di bawah pusar; Hati, tempatnya hati lahiriah; Ruh, pada sisi tubuh yang berhadapan dengan posisi hati. Rahasia lathifah tepat berada di antara Hati dan Ruh. Misteri berada di dahi; Yang Sangat Tersembunyi berada di otak.
Makna-makna aktual dari tempat-tempat ini berasal dari suatu realisasi khusus Sufi ketika lathifah yang dimaksud sedang diaktifkan. Ini hanyalah awal kajian sehingga mereka diberi tempat-tempat ini.
Di sekolah-sekolah darwis, ada hubungan dialogis khusus antara guru dan pelajar --sesuatu yang tidak mungkin terjadi kecuali ada seorang guru sejati yang hadir dalam komunitas tersebut, dan sampai pada kondisi-kondisi tertentu telah siap untuk komunikasi tersebut. Tentu saja dalam hal ini Sufisme berbeda dengan filsafat atau suatu praktik yang bisa dipelajari melalui tangan kedua.
Pertukaran khusus ini meliputi teknik-teknik yang disebut tajalli (penampakan). Tajalli mempengaruhi setiap orang meskipun hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Sebagai contoh, seseorang mungkin melihat bahwa dirinya "beruntung" atau "melakukan hal yang benar" atau ia "tidak salah langkah". Ini mungkin merupakan akibat aksidental dari tajalli. Karena tidak menyadari sumber fenomena tersebut, seseorang akan menisbatkan penyebabnya kepada sesuatu yang lain, katakanlah "nasib baik". Ia merasa senang karena seseorang memujinya atau karena gajinya naik. Semua ini merupakan alasan, rasionalisasi. Ini juga merupakan bentuk tajalli yang sia-sia, sebab operasinya mempunyai kandungan nilai dan bahkan manfaat yang melebihi manfaat-manfaat sekunder yang bisa menghangatkan hati dari penerima yang tidak menyadarinya. Akan tetapi karena tidak menyadari mekanismenya, ia tidak bisa melangkah lebih jauh dalam mendapatkan manfaat-manfaat tajalli.
Kondisi ekstatik (fana'), ketika manusia merasa dirinya menyatu dengan penciptaan, atau Pencipta, terpesona, sesuatu seperti rasa mabuk; ketika ia merasa telah memasuki surga; ketika semua rasa saling berganti atau menjadi satu --semua ini menyebabkan ketidakmampuan untuk menerima dan berpartisipasi dalam tajalli. Apa yang dianggap oleh individu sebagai suatu berkah sebenarnya merupakan meluapnya kemampuan. Ini seperti tumpahan cahaya yang dipancarkan pada mata seseorang sampai akhirnya ia buta. Ia mempunyai kemuliaan dan mengalami keterpesonaan. Tetapi ini tidak berguna, sebab ia menyilaukan.
Ada tahapan yang lebih lanjut, ketika kebutaan telah dihilangkan, dan ketika kepribadian berada dalam ketergantungan penuh dan cukup siap menerima tajalli. Kemudian ada ilusi tajalli, kadang-kadang berupa kepekaan rasa (kemampuan merasakan sesuatu sebelum terjadi), kadang-kadang berupa suatu refleksi yang berguna untuk kreativitas artistik atau kepuasaan diri, tetapi bagi seorang Sufi, ia merupakan suatu keadaan khayal. Hal ini mudah ditengarai, karena keadaan seperti ini tidak disertai dengan suatu akses pengetahuan. Keadaan ini mengaburkan keadaan sejati, karena semata-mata memberikan suatu sensasi pengetahuan atau kepuasan. Dalam pandangan ini, ia menyerupai suatu impian, dalam mana sebuah keinginan terasa terpenuhi, dengan demikian memungkinkan pemimpi yang gelisah tersebut melanjutkan tidurnya. Jika ia tidak memperoleh suatu hasil yang menggembirakan dari pikirannya sendiri dalam mengatasi masalahnya, maka ia akan terbangun dan menunda istirahatnya.
Tajalli palsu yang dialami oleh mereka yang tidak membawa perkembangannya kepada suatu cara yang seimbang, mungkin menimbulkan suatu keyakinan bahwa hal itu merupakan suatu keadaan mistis sejati, terutama jika terbukti bahwa kemampuan-kemampuan supranatural terlihat aktif dalam kondisi ini. Para Sufi memilah antara pengalaman ini dan pengalaman sejati melalui dua cara. Pertama, guru akan langsung mengenali keadaan palsu tersebut. Kedua, sebagai suatu masalah penyelidikan diri (muhasabah), ia selalu bisa ditengarai bahwa pencapaian-pencapaian persepsi itu tidaklah mengandung nilai kepastian. Sebagai contoh, mungkin ada suatu akses intuisi. Mungkin seseorang mengetahui perihal seseorang --membaca pikiran adalah suatu contoh. Tetapi fungsi aktualnya, nilai dari kemampuan membaca pikiran adalah tidak ada. Orang yang menderita karena tajalli palsu akan mampu menceritakan fakta tertentu atau seringkali fakta tentang orang lain yang menandakan kemampuan menembus batas-batas ruang dan waktu. Pengujian tajalli terhadap orang yang tidak bisa mengenali secara langsung apakah asalnya ia merupakan persepsi "supranatural" disertai oleh suatu peningkatan pengetahuan intuitif secara permanen --sebagai contoh, melihat segala sesuatu sebagai satu keseluruhan, atau mengetahui jalan yang akan diambil untuk pengembangan-dirinya, atau jalan yang sesuai bagi orang lain, atau melakukan "keanehan-keanehan". Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa keajaiban-keajaiban yang seringkali diceritakan para Sufi itu, tidak disebabkan oleh suatu jenis kekuatan sebagaimana dipahami secara umum: "Ketika engkau memperoleh pengetahuan Ilahiyah, maka engkau akan menyatu dengan kehendak Tuhan (sehingga) esensi keabadianmu tidak menerima hal-hal lainnya ... Orang-orang akan menisbatkan keajaiban-keajaiban kepadamu. Keajaiban-keajaiban itu seolah-olah berasal darimu, tetapi asal-usul dan kehendak tersebut adalah milik Tuhan." (Muqalah VI dari kitab Futuh al-Ghayb).
Seperti cabang-cabang lain dari tindakan Sufi, banyak hal-hal lainnya yang tidak dikatakan dan ditulis tentang kepelikan-kepelikan tajalli tersebut. Ini semua hanyalah berperan sebagai petunjuk, dan bisa jadi sama sekali keliru jika diterapkan tanpa memperhatikan kondisi-kondisi yang berlaku. Bagi Sufi, setiap situasi adalah unik dan tidak ada buku pegangan sebagaimana dipahami secara umum.
Di samping kesalahan yang bisa menghalangi sebagian besar orang dari apa yang mereka anggap sebagai suatu penyelidikan tentang pencerahan Sufi, praktik pengaktifan lathaif adalah sangat mendasar jika kemajuan (spiritual) yang sesungguhnya ingin dicapai. Guru sejati adalah guru yang mampu mendidik murid-muridnya dengan cara sedemikian rupa, sehingga kebangkitan dari kepelikan-kepelikan itu terjadi secara bersamaan dan sesuai dengan kemampuan individu. Pepatah mengatakan, "Berilah sebuah manisan kepada seorang anak, maka ia akan bahagia. Berilah ia sekotak besar manisan, maka ia akan sakit."
Dalam tahapan pengaktifan lathaif, murid pertama-tama harus mengenali pengaruh-pengaruh Diri terhadap kepribadiannya. Hal ini merupakan sesuatu yang diperkenalkan oleh gurunya. Maka dari itu, hampir sejajar tetapi sedikit di belakang perkembangan ini, ia mendapatkan pengaktifan lathaif-nya yang didorong oleh upaya-upaya sang guru. Ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dia mulai sendiri jika ingin berhasil.
Pengalaman Sufistik pertamanya akan terkait dengan pencerahan salah satu lathaif-nya. Sebelum tahapan tersebut dicapai, ia akan menemukan bahwa ia harus mengupayakannya sendiri di wilayah kepribadian. Jika ia terlalu banyak dan lama memusatkan perhatian pada masalah ke-Diri-an itu, maka guru akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam membangkitkan pencerahan lathifah. Dalam berbagai komunikasi dimana faktor ini tidak dipahami secara tepat, memperjuangkan diri menjadi hampir segalanya dan tujuan akhir upayanya. Keterpikatan terhadap guru tetap kuat dan pembebasan kepribadian tidak bisa dihasilkan.
Dalam bidang inilah dibandingkan bidang lainnya bahwa para okultis dan sekolah-sekolah yang terpilah-pilah, maupun orang-orang yang mencoba-coba secara mandiri, hanya akan menuju pada sistem-sistem pembiakan-diri bagi perjuangan-diri, tanpa memperoleh manfaat dari pengalaman itu, yaitu tajalli yang akan menunjukkan kepadanya bahwa mereka mampu mencapai perkembangan yang mereka cari. Dalam menerima seorang murid, guru selalu berhati-hati untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa (calon) murid tersebut memiliki kemampuan untuk maju melalui pemusatan-diri menuju pelepasan lathifah.
Secara umum, doktrin-doktrin Sufi dikaji dan sekaligus diamalkan secara kolektif dalam Tarekat-tarekat darwis. Ini berarti bahwa harus ada keseimbangan antara penyajian intelektual dan pemahaman suatu doktrin serta penerapannya. Selain itu harus ada keseimbangan antara serangkaian pemikiran dan pernikiran lainnya. Konsentrasi sebagai suatu metode melakukan latihan adalah satu hal; tetapi ia harus disesuaikan dengan penyerapan benturan-benturan pasif Bagaimana cara melakukannya adalah suatu bagian yang intim dan metodologi Tarekat-tarekat darwis sangat efektif.
Beberapa Tarekat mengkhususkan variasi teknik tertentu. Ketika seorang murid telah dibawa sejauh mungkin ke dalam sekolah dari sebuah Tarekat, dia mungkin dikirim ke (sekolah) lainnya untuk memberikan unsur-unsur spesifik kepadanya dari sekolah tersebut. Hal ini juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab pasti akan ada suatu perkembangan satu-sisi. Jika kemampuan-kemampuan tertentu ingin dikembangkan, maka hal ini harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa untuk memberi peluang bagi perkembangan yang benar dan sejajar pada masa berikutnya di sekolah lainnya.
Di antara spesifikasi-spesifikasi dari sekolah-sekolah tersebut adalah latihan qiff (berhenti/diam), yaitu ketika seorang guru memberi aba-aba, "Berhenti!" dan semua gerak fisik dihentikan sampai dia membolehkan para murid untuk istirahat. Latihan tersebut diterapkan oleh para guru Tarekat Naqsyabandiyah, sebagai Latihan Rahasia Kesembilan dari Tarekat ini, dan menjadi suatu metode yang terbukti efektif untuk menembus jaringan pemikiran asosiatif serta memungkinkan terjadinya penyampaian barakah.
Suasana dalam sebuah sekolah Tarekat darwis bisa dirasakan melalui pernyataan di bawah ini sebagai wahana lahiriah dari kuliah pendahuluan oleh Syekh al-Masyaikh, yang ditujukan kepada sejumlah calon (murid) untuk memasuki Tarekat Azhamiyah baru-baru ini:
"Tujuan para Sufi adalah menjernihkan diri mereka sampai pada tingkatan tertentu sehingga mereka memperoleh pencerahan (anwar) dari apa yang kita sebut sebagai beberapa sifat Tuhan, atau Nama-nama Indah (Asma'ul-Husna). Tidak ada Sufi yang bisa menjadi bagian dari 'Susunan Tuhan' melalui pemurnian puncak semacam ini. Tetapi hanya dengan cara menghilangkan penderitaan material itu, dia bisa menghidupkan esensi sejatinya, apa yang bisa kita sebut sebagai ruh."
"Perhatianmu tergugah oleh anekdot yang diceritakan Allamah Sanai, dalam kitabnya Taman Kebenaran Berdinding. Dalam kitab ini ia menunjukkan bahwa persepsi agama yang dangkal tidaklah tepat, maka ketika aku berbicara tentang Tuhan, Ruh dan lainnya, engkau harus mengingat bahwa semua itu adalah hal-ihwal, sebagaimana ditekankan oleh Ibnu Arabi, yang tidak mempunyai kaitan secara tepat denganmu, dan yang harus dipahami, bukan semata-mata disebut dan dikaitkan dengan emosionalisme."
"Al-Allamah Sanai berkata:
'Seorang arif pernah bertanya kepada seorang yang (belum) tercerahkan, karena melihat ia mudah menerima asumsi-asumsi yang dangkal, 'Apakah engkau pernah melihat kunyit, atau hanya mendengarnya?'
Ia menjawab, 'Aku telah melihatnya, aku telah memakannya lebih ratusan kali (dalam nasi kuning).'
Allamah tersebut berkata, 'Baiklah! Tetapi apakah engkau tahu bahwa ia tumbuh dari sebuah biji? Bisakah engkau melanjutkan untuk berbicara seperti ini? Apakah orang yang tidak mengetahui tentang dirinya sendiri bisa mengetahui jiwa orang lain? Ia yang (hanya) tahu tentang tangan dan kaki, begaimana ia bisa mengetahui ketuhanan? ... Ketika engkau mengalami (sendiri), maka engkau akan mengetahui makna keimanan ... Keilmuan secara keseluruhan telah salah arah'."
"Selanjutnya, karena banyak perkembangan (rasional) telah merendahkan kilatan batin (ruh) dari sang Salik dan dengan demikian menghalangi kemajuannya menuju kesempurnaan. Untuk mengurangi perkembangan-perkembangan ini, latihan-latihan tertentu harus dilakukan. Latihan-latihan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang Salik. Bagaimana melakukan latihan ini secara tepat bergantung pada amalan dan pengetahuan dari seorang Pembimbing Khusus (mursyid, pir). Sebagian orang mempunyai kesan bahwa pencerahan ini bisa dicapai oleh seorang Salik dengan membaca kitab-kitab Tasawuf dan mempraktikkannya sendiri. Secara teoritis hal ini tidak kuat dan juga tidak dikenal dalam pengalaman mistik, jauh berbeda dari pengetahuan batin kami tentang kepalsuannya. Seorang mursyid tentu saja sangat penting."
"Istilah-istilah tertentu harus diperhatikan. Nafs dalam terminologi Sufi bermakna ego sekaligus 'nafas'. Bagaimana cara menggunakan kata tersebut adalah penting untuk diketahui dan dicapai dengan memperhatikan penerapannya dalam kenyataan aktual, bukan dengan membaca kamus semata. Sering dikatakan bahwa nafs al-ammarah (diri yang selalu memerintah) harus ditundukkan. Ini mungkin bermakna bahwa keinginan-keinginan serta sikap-sikap mental dan fisik tertentu harus dilihat untuk apa semua itu dan diperlakukan dengan selayaknya. Dalam penggunaan ini, kata tersebut terlihat bermakna diri atau ego. Dalam penggunaan lain, kata tersebut benar-benar berarti nafas. Sebagai contoh, dalam latihan yang dikenal dengan habs-i-dam, ia berarti 'penahanan pernafasan' di bawah pengawasan ketat seorang Mursyid yang menggunakan latihan ini untuk tujuan khusus dan terbatas."
"Kata bai'at berarti mengambil sumpah, ikrar, dan menandakan suatu peristiwa ketika seorang Salik meletakkan tangannya di antara tangan dari seorang Pembimbing Spiritual untuk melakukan ikrar ganda. Di pihak murid, mengikat dirinya untuk mencari Jalan yang ditunjukkan oleh pembimbing. Di pihaknya sendiri, berusaha membimbing sang Salik di Jalan tersebut. Ini merupakan saat yang khusus, khidmat dan penuh makna. Ada suatu interaksi ganda yang saling terkait dalam perjanjian tersebut, suatu hubungan berdasar perjanjian yang diresmikan melalui bai'at ini. Dalam konjungtur inilah seorang Salik diperbolehkan menyebut dirinya sendiri sebagai murid (orang yang berkehendak mencari), Orang yang Terarahkan."
"Istilah muraqibah meliputi bentuk-bentuk konsentrasi. Di dalamnya murid berusaha keras untuk menghilangkan pikiran-pikiran tertentu dari jiwanya dan memusatkan pada hal-hal yang akan memungkinkan pencerahannya dan meletakkan dasar kemantapan pribadinya. Istilah tersebut juga berkaitan dengan sikap duduk dengan kepala menunduk, dagu di lutut, suatu sosok Sufi yang benar."
"Kata dzikir secara harfiah berarti pengulangan atau bacaan. Kata ini menjelaskan tindakan dari seorang murid yang mengulang-ulang bacaan sebanyak yang telah ditentukan oleh mursyidnya. Dalam pengertian lain, ia juga disebut wirid."
"Istilah teknis tajalli, pencerahan, maupun nur (jamak: anwar) dihubungkan dengan proses pengaktifan menuju realitas independen melalui kekuatan yang terkandung dalam kekuatan Cinta. Dalam proses ini kita bekerja dengan Nama-nama yang Indah (Asmaul Husna). Meskipun secara umum dipandang berjumlah sembilan puluh sembilan, sesuai dengan jumlah biji tasbih Sufi, dalam pengertian ini nama-nama tersebut tidak terbatas. Dalam 'amalan' aktif, nama-nama tersebut pertama-tama terbatas pada nama-nama yang diperlukan untuk membantu mengaktifkan organ-organ persepsi dan komunikasi yang khusus."
"Tidak ada artinya sama sekali mengaktifkan organ-organ baru yang khusus bagi persepsi dan komunikasi kecuali jika pada saat yang sama individu tersebut mampu menyadari tentang apa yang dikomunikasikan, kepada siapa, dan mengapa. Peningkatan komunikasi dalam dirinya sendiri paling jauh terbatas pada bidang-bidang yang dimiliknya --di kalangan para intelektual yang menganggap bahwa mereka memiliki sesuatu untuk disampaikan. Sementara bagi kita sendiri, metode-metode masa kini sudah memadai untuk tujuan-tujuan biasa."
"Kata qalb (hati) mungkin bisa dipandang sebagai suatu lokalisasi anatomis dari organ yang harus dibangkitkan. Posisinya terletak di detak jantung fisikal yang biasanya ditentukan di dada kiri. Dalam kepercayaan dan amalan Sufi, organ ini dipandang sebagai tempat dari penglihatan batin utama dan awal yang terlibat dalam 'pencarian' dan 'kerja'."
"Pencerahan total terhadap organ ini dan organ-organ lainnya mendahului walayat al-Kubra (kewalian utama) sebagai tujuan Sufi dan sesuai dengan pencerahan dalam sistem-sistem lainnya. Pada tahapan ini ada kekuatan-kekuatan tertentu yang tampaknya mengendalikan fenomena alamiah. Harus diingat bahwa kekuatan-kekuatan ajaib tersebut berkaitan dengan suatu bidang dimana kekuatan-kekuatan tersebut menyatu dan bermakna dan tidak bisa diuji dari sudut pandang 'penjual-mantra'."
"Penyatuan yang dicapai Sufi itu disebut fana' (peleburan, peniadaan). Pelumpuhan diri tidak diperbolehkan dan pemeliharaan tubuh secara layak adalah penting."
"Sebelum latihan-latihan berlangsung, baik Keseimbangan yang Lebih Besar ataupun Keseimbangan yang Lebih Kecil harus telah dicapai oleh calon Sufi. Keseimbangan ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa manusia biasa tidak mampu berkonsentrasi sama sekali, kecuali untuk periode-periode yang sangat singkat. Dalam kitabnya Fihi Ma Fahi, Rumi menekankan hal ini, suatu persoalan yang paling penting dalam semua situasi pengajaran:
Perubahan-perubahan perasaan (dhamir) adalah milikmu, semua itu tidak terkendali. Jika engkau mengetahui asal-usulnya, maka engkau pasti mampu menguasainya. Jika engkau tidak bisa membatasi perubahan-perubahanmu sendiri, bagaimana engkau bisa membatasi perubahan-perubahan yang membentukmu?"
"Disamping kandungan formalnya, sejumlah besar puisi Sufi merujuk pada tingkatan-tingkatan keutuhan atau kemampuan untuk memusatkan jiwa sehingga bisa menemukan jalan menuju kebenaran tidak terpecah-pecah. Dalam kitabnya Kebun Rahasia, ketika Syabistari berbicara tentang suatu kilatan yang berputar dan hanya memberikan suatu ilusi bahwa ini membentuk suatu lingkaran cahaya, (sebenarnya) ia tengah membicarakan pengalaman Sufi yang dikenal oleh semua darwis, dalam suatu tahapan 'penghimpunan' tertentu."
Sebagaimana ditegaskan dalam praktik-praktik kerja Tarekat-tarekat (berbeda dari tarekat-tarekat yang mengkhususkan pada penyembahan orang suci), darwis percaya bahwa ada suatu keadaan khusus yang harus diaktifkan. Ini tidak bersifat emosional, dan bukan intelektual seperti pengalaman biasa. Rujukan-rujukan pada pencerahan, penjernihan dan pembedaan berkaitan dengan hal ini. Seorang darwis menjernihkan kesadarannya sehingga ia bisa menyadari keadaan-keadaan jiwa dan kondisi-kondisi realitas yang hanya dimengerti secara lahiriah oleh pikiran awam. Mungkin bisa dikatakan bahwa biasanya orang memahami pikiran dan emosi hanya sebagai suatu kuantitas. Segi yang lebih rumit tetapi sangat mendasar bagi kesempurnaan, yaitu kualitas, sulit untuk dilatih atau dijelaskan, dan oleh karena itu diabaikan oleh semua orang dengan memberikan perkiraan-perkiraan sangat kasar tentang kapasitas keseluruhannya.
Tentu saja persepsi tentang kepelikan-kepelikan yang tak terbatas ini tidak mungkin bagi orang awam. Seperti seorang anak kecil yang harus belajar membedakan antara benda-benda kasar dan halus, maka persepsi manusia yang masih mentah harus dilatih dalam hubungannya dengan hal ini.
Daya gerak utuh dari Organ Evolusi tersebut hanya akan bekerja jika sesuatu yang terkait dengan pelepasan telah dicapai. Hal ini hanya terjadi ketika persiapan-persiapan pendidikan tertentu telah dilakukan. Sebelum tahapan perkembangan kesadaran itu, berbagai pengalaman yang tidak dapat disangkal menandai tahapan-tahapan kemajuan tertentu. Pengalaman-pengalaman ini memberikan bukti atas kemajuan dan kekuatan individu untuk melanjutkan pada tahapan berikutnya. Jika ia tidak menerima pencerahan-pencerahan ini dalam rentetan yang benar, ia akan tinggal pada suatu tahapan kesadaran parsial atau kekuatan konsentrasi yang tidak teratur. Salah satu akibat yang tidak diinginkan dari perkembangan lanjut seperti ini adalah ketika calon Sufi itu tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan terhadap pengajarnya.
Jika apa yang disebut sebagai Organ Evolusi tersebut dikembangkan dan bisa bekerja, fungsi-fungsi instink, emosi dan intelek diubah serta bekerja dalam suatu suasana baru. Serangkaian pengalaman yang segar dan luas selalu terbuka bagi darwis.
Berbagai kemungkinan tak terbatas dan mekanisme yang saling terjalin terlihat dalam hal-hal yang sebelumnya tampak lamban atau digunakan terbatas. Sebuah contoh darwis terdapat dalam rujukan pengajaran pada pembolehan mendengarkan musik. Syibli al-Kubra mengatakan: "Mendengarkan musik dengan sengaja secara lahiriah tampak sebagai sesuatu yang merusak; secara batiniah ia merupakan suatu peringatan. Ketika 'Tanda' diketahui, maka orang semacam ini mungkin akan menyimak, karena dia mendengarkan sebuah peringatan. Jika dia tidak memiliki tanda tersebut (bangkitnya Organ Evolusi), berarti dia tengah menyerahkan dirinya kepada kemungkinan bahaya." Sifat sensual musik di sini disebutkan, begitu pula nilai musik yang semata-mata emosional dan secara intelektual terbatas. Semua ini berbahaya, sebab mereka mungkin membawa kepada sensualitas dan karena menghasilkan suatu selera bagi kegemaran sekunder (terhadap musik; karena seseorang bisa menikmati musik sebagai musik), maka ia akan menyelimuti kegunaan musik yang sesungguhnya, yaitu untuk mengembangkan kesadaran.
Ini merupakan pengertian musik yang bukan saja tidak dikenal di Barat, tetapi dengan keras disangkal oleh banyak orang di Timur. Karena kekhususan-kekhususan musik, sebagian Tarekat darwis, terutama Tarekat Naqsyabandiyah yang kuat dan sangat mampu beradaptasi, menolak untuk menggunakannya.
Demikian pula suatu spesialisasi dari sekolah-sekolah darwis menghargai nilai sejati puisi yang dipergunakan sebagai suatu latihan mistis. Setiap puisi mempunyai beberapa fungsi. Sesuai dengan "realitas"-nya, ia juga akan bermakna bagi Sufi. Dengan landasan-landasan teologis, semua Sufi memperbolehkan mendengar puisi, sebab Nabi Muhammad saw memperbolehkannya. Beliau pernah bersabda, "Sebagian puisi adalah hikmah," dan "Hikmah itu seperti unta betina milik orang saleh yang hilang. Kapan saja ia menemukannya, maka dialah yang paling berhak atasnya." Beliau sebenarnya menggunakan sebuah rima Arab untuk menegaskan tentang tema Sufi tentang suatu realitas sempurna yang tidak lain adalah Tuhan. "Pernyataan Arab yang paling benar terletak pada rima (ungkapan berirama) dari Labid bahwa 'segala sesuatu tidak penting kecuali Allah, karena peristiwa-peristiwa berubah'."
Ketika beliau diminta untuk mengomentari tentang puisi, Nabi saw menjawab, 'Apa yang baik darinya adalah baik, dan apa yang buruk darinya adalah buruk. " Ini merupakan diktum yang diikuti oleh para guru Sufi menyangkut pembolehan mendengar, membaca atau menulis puisi.
Tetapi, menurut guru besar Hujwiri, puisi secara esensial harus nyata dan benar. Jika ada kepalsuan dan ketidakbenaran didalamnya, maka ia akan meracuni pendengar, pembaca, dan penulisnya dengan kesalahan-kesalahannya itu.
Cara-cara puisi didengarkan dan kemampuan pendengar untuk mendapatkan manfaat darinya, adalah penting bagi Sufisme. Para guru darwis tidak akan memperbolehkan jika esensi yang sesungguhnya dari puisi tersebut bisa diapresiasi oleh mereka yang tidak dipersiapkan dengan benar untuk memahaminya secara utuh, meskipun demikian banyak orang yang mungkin meyakini bahwa dia tengah menggali keutuhan itu dengan mendengar sebuah puisi.
Hujwiri meneruskan diktum dari sekolah-sekolah darwis itu bahwa mereka yang terhanyut karena mendengar musik sensual adalah mereka yang mendengarkan dalam pengertian yang tidak sejati. Mendengarkan musik atau puisi yang sesungguhnya adalah suatu pengembangan, karena memberikan suatu jangkauan pengalaman-pengalaman yang jauh lebih beragam dan bernilai dibandingkan pengalaman-pengalaman yang bersifat lahiriah atau ekstatik. Meskipun demikian, dalam konteks kekinian hal ini hanya bisa diungkapkan dengan suatu pernyataan tegas dan tidak mudah diverifikasi di luar lingkungan Sufi.
Bagi Sufi, ada empat Perjalanan. Pertama adalah pencapaian suatu kondisi yang dikenal dengan fana', kadangkala diterjemahkan sebagai "peniadaan". Ini merupakan tahapan penyatuan kesadaran dimana Sufi merasakan harmoni dengan realitas obyektif. Hasil dari kondisi inilah yang merupakan tujuan dari Tarekat-tarekat darwis. Setelah ini masih ada tiga tahapan. Niffari, seorang guru besar pada abad kesepuluh, menggambarkan empat perjalanan tersebut dalam kitabnya, yaitu Muwaqif yang ditulis di Mesir hampir seribu tahun yang lalu.
Setelah ia mencapai tahapan fana', Sufi memasuki perjalanan kedua, di sini ia benar-benar menjadi "Insan Kamil" dengan kemantapan pengetahuan obyektifnya. Ini adalah tahapan baqa', permanensi. Sekarang ia bukan "manusia yang mabuk karena Tuhan", tetapi seorang guru dengan haknya sendiri. Dia memiliki gelar quthub, pusat magnetik, "suatu titik dimana semua mengarah kepadanya".
Dalam Perjalanan Ketiga, guru tersebut menjadi seorang pembimbing spiritual bagi setiap orang sesuai dengan individualitas pribadinya. Sementara jenis guru sebelumnya (pada Perjalanan Kedua) hanya mampu mengajar di dalam wahana budaya atau agama lokalnya sendiri. Jenis guru ketiga ini mungkin hadir menjadi berbagai sosok untuk berbagai tipe manusia. Ia bekerja dalam banyak tingkatan. Namun ia bukan "segala sesuatu untuk segala manusia" sebagai bagian dari suatu kebijakan yang terencana. Di sisi lain, dia bisa memberi manfaat kepada setiap orang sesuai dengan potensi orang tersebut. Sebaliknya guru dari perjalanan kedua hanya mampu bekerja dengan orang-orang tertentu.
Dalam Perjalanan Keempat, perjalanan akhir, Insan Kamil itu membimbing orang lain dalam tahap transisi dari apa yang secara umum dipandang sebagai kematian fisik, menuju suatu tahap pengembangan yang lebih jauh dan tidak terlihat oleh orang awam. Oleh karena itu, bagi darwis, pemisahan yang terjadi pada kematian fisik konvensional tidak ada. Suatu komunikasi dan pertukaran yang terus-menerus terjadi antara dirinya dan bentuk kehidupan berikutnya.
Dalam sebuah komunitas darwis, seperti dalam kehidupan biasa, pencapaian-pencapaian spiritual dari seorang individu Sufi mungkin tidak terlihat kecuali bagi mereka yang mampu memahami pancaran-pancaran (emanasi) dari suatu tataran yang lebih tinggi sebagai ciri darwis yang sebenarnya.
Tahapan-tahapan inilah yang dirujuk al-Ghazali dalam karya dasarnya, al-Ihya'. Dia mendekati deskripsi tentang tahapan-tahapan itu dari sudut pandang relevansi antara yang satu dengan lainnya dan fungsinya bagi dunia luar. Menurutnya, ada empat tahapan yang mungkin bisa dikiaskan dengan buah kenari. Pilihan (biji) kacang ini secara kebetulan, sebab dalam bahasa Persia, buah kenari disebut "berbiji empat" yang juga bisa diterjemahkan dengan "empat esensi" atau "empat akal". Biji kacang memiliki sebuah selongsong (kulit), sebuah kulit dalam, sebuah biji (inti) dan minyak. Selongsong rasanya pahit, berfungsi sebagai penutup selama periode tertentu. Selongsong ini dibuang ketika biji dikeluarkan. Kulit dalam lebih bernilai dari selongsong, tetapi tetap tidak bisa dibandingkan dengan biji itu sendiri. Sementara biji merupakan tujuan jika seseorang berusaha memeras minyaknya. Meskipun demikian daging dalam ini mengandung benda yang dibuang (ampas) untuk menghasilkan minyak.
Meskipun kitab Niffari termasyhur dan banyak dikaji oleh para sarjana, penerapan praktis metodenya dan penggunaan sesungguhnya dari istilah teknis waqfat yang dia gunakan, tidak bisa dipahami dengan hanya membacanya. Meskipun istilah waqfat terkait dengan "Jeda Ketuhanan" dan latihan "Penghentian" yang memungkinkan seseorang menembus ruang dan waktu, sebenarnya ia merupakan faktor yang sangat rumit dan hanya secara kasar ditunjukkan oleh istilah. Sebagai contoh, ia juga memiliki sifat penyinaran yang menghilangkan kegelapan karena keanekaragaman (wujud) ini. Keanekaragaman disebabkan oleh pemahaman fenomena sekunder sebagai fenomena utama, atau melihat pembedaan (diferensiasi) sebagai perbedaan itu sendiri. Pada tahapan-tahapan paling awal dari latihan darwis, hal ini dijelaskan melalui contoh-contoh dan latihan-latihan sehingga ketika seseorang tengah bekerja dengan konsep "buah", dia tidak boleh memusatkan dirinya dengan jenis-jenis buah yang sangat beraneka ragam, tetapi dengan konsep yang mendasar dari buah tersebut.
Sebuah sekolah darwis, baik yang ada di biara atau di kedai minum Eropa Barat, mempunyai makna yang sangat mendasar bagi Sufisme, karena di dalam situasi sekolah itulah bahan-bahan seperti tulisan-tulisan Niffari dikaji dan diamalkan sesuai dengan ciri-ciri khas murid dan kebutuhan-kebutuhan sosial dimana dia bekerja di dalamnya.
Karena itulah perkembangan Sufi harus mengambil akar dalam suatu cara tertentu di berbagai masyarakat yang berbeda-beda. Ia tidak bisa diimpor. Begitu juga metode-metode amalan yang sesuai dengan Mesir atau Yoga India abad kesepuluh, tidak bisa bekerja secara efektif di Barat. Cara-cara tersebut bisa menaturalisasikan dirinya, tetapi dengan cara mereka sendiri. Pesona misteri dan pesona Timur yang penuh warna itu selama berabad-abad telah mengaburkan pikiran Barat tentang kenyataan bahwa pengembangan manusia itulah yang menjadi tujuan, bukan tarian-tariannya.

Catatan:

1 Kasyful-Mahjub (Mengungkap yang Terhijab).
2 John A. Subhan, Sufism, Its Saints and Shrines, Lucknow, 1938, hlm. 130.
3 Hampir seabad yang lalu, John P. Brown menerbitkan The Dervishes or Oriental Spiritualism (1867), yang merupakan periode dimana sangat sedikit sumber-sumber tentang unsur-unsur aktivitas darwis yang tersedia di Barat.

Cari Blog Ini