Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Senin, 23 Mei 2011

Hikmah Memandang Langit

Kebanyakan orang tidak menyangka bahawa memandang langit saja mengandungi berbagai hikmah tersendiri...


Imam Ghazali dalam buku 'Menyingkap Rahsia Keajaiban-keajaiban Ilmu Ghaib Laduni' menyebutkan beberapa hikmah memandang langit. Antaranya ialah ...


1. Menghilangkan kesedihan;


2. Mengurangkan perasaan was-was;


3. Mengurangkan perasaan takut;


4. Mengingati Allah SWT;


5. Dapat memancarkan pengagungan terhadap Allah di dalam hati;


6. Menghilangkan fikiran jahat;


7. Dapat menumbuhkan kembali semangat yang hilang;


8. Menghiburkan orang yang sedang kerinduan;


9. Menyenangkan orang-orang yang mencintai;


10. Sebagai kiblat orang-orang yang berdoa.


Banyak kan hikmah2 memandang langit.. so uda memandang langit lom ;)

Warisan Ajaran Leluhur Bangsa Nusantara

Assalamu'alaikum...

Kali ini saya akan membahas tentang ajaran leluhur nusantara,mungkin ini diperoleh dari kerajaan majapahit atau Syailendra Wallahu a'lam . mengapa orang dimasa lampau di negri kita memiliki kerajaan dan peradaban yang tinggi mungkin ini rahasianya,
Dalam ajaran leluhur nusantara ini dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan keadaan kualitas manusia, dari terendah sampai tertinggi, ;

-Yang pertama adalah mandala KASUNGKA dalam tingkatan ini seseorang masih memikirkan tentang" NAFSU SYAHWAT, GAYA HIDUP, KEKUASAAN " serta segala yang bersifat "kebinatangan"
...merupakan kualitas manusia yang "terendah" .

-YAng kedua adalah mandala SEBA tingkatan ini dimana seseorang masih memikirkan tentang "DIRINYA SENDIRI".

-Yang ketiga adalah mandala RAJA tingkatan ini hanya dapat tercapai jika seseorang memikirkan tentang "KEBAJIKAN & KEBAJIKAN".

-Yang keempat adalah mandala WENING dalam tingkatan ini hanya dapat tercapi jika seseorang telah memikirkan tentang "KASIH SAYANG'.

-Yang kelima adalah mandala WANGI tingkatan ini hanya dapat tercapai jika seseorang telah memikirkan tentang "KEBENARAN".

-Yang keenam adalah mandala AGUNG hanya dapat tercapai tercapai jika seseorang telah memikirkan tentang "KEHIDUPAN BANGSA & NEGARA".

-Yang ketujuh adalah mandala HYANG dalam tingkatan ini mungkin seseorang di tingkat kewalian yang dapat tercapai jika seseorang telah memikirkan "KESEMESTAAN"

sekian sahabat, semoga yang singkat ini bermanfaat, jika ada kata-kata saya yang kurang berkenan saya mohon ma'af, kesalahan atau kekhilafan dari saya dan kebenaran hanya dari Allah SWT.

wa'alaikumussalam.. ^_^

Jumat, 20 Mei 2011

Menjaga Kesucian Diri


Bersikap layaknya orang yang mampu menahan rasa marah dan kesal bukan hal yang mudah. Sebab, setiap orang memiliki amarah sehingga mudah sekali terjerat rasa kesal dan marah. Untuk dapat meraih kesucian diri, anda dapat memulainya dari menjaga hati. Sebab, hati adalah sumber untuk merasakan segala macam yang dipikirkan sehingga dapat mejadi pikiran negatif maupun positif.

Karena bisa saja ketika seseorang melihat keberhasilan orang lain wajahnya tampak turut bergembira, tapi di hatinya terbesit rasa dengki. Saat itu kita telah membukakan setan pintu hati untuk digoda agar lupa kewajiban sebagai hamba Allah. Seluruh pikiran terbelenggu untuk selalu melihat orang dengan segala nikmat dan bencana. Ketika orang lain mendapat nikmat, hatinya menjadi gelisah, dan ketika mendapat bencana hatinya gembira di atas penderitaan orang lain. Orang yang dapat menjaga hatinya dari hal-hal demikian, sesungguhnya adalah orang yang berintung. Allah berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri. Dan Sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9 - 10).

Hati adalah bagian terpenting dalam tubuh manusia yang harus dijaga. Bila hati tak terjaga, maka akan menimbulkan penyakit. Bila hati telah terkena penyakit, maka kesucian hati akan hilang. Bila kesucian hati telah hilang, maka akan jauhlah manusia itu dari Rahmat Allah. Namun, bila hati terawat kesuciannya, maka manusia tersebut akan terus menerus menebarkan kebaikan kepada sesama. Tetapi, bila hati tak terawat bahkan berkarat, maka akan terlihatlah kelakuan orang itu seperti binatang yang hawa nafsunya lebih mendominasi hidupnya.

Kesucian hati sama artinya dengan terhindar dari segala macam penyakit hati, seperti malas, iri, dengki, keras kepala, dan egois. Mencapai kesucian hati, bukanlah hal yang mudah. Ya, terkadang beberapa orang, membicarakan kejelekan orang lain secara tidak sengaja karena kebiasaan.

Menilai kesucian hati memang dapat dilakukan diri sendiri dengan melatih diri untuk berbuat baik setiap harinya. Misalnya, dengan menyadari segala macam bentuk kesalahan yang dilakukan, dapat membuka pikiran untuk menilai diri sendiri sehingga dapat perlahan-lahan merubah sikap yang tidak baik.

Memang memperoleh kesucian hati bukanlah pekerjaan yang mudah. Hati manusia bagaikan gelombang. Selalu berubah-ubah sesuai kekuatan ketakwaan. Manusia harus melatih hati dengan amal yang mulia. Dalam istilah ilmu tasawuf dikenal dengan istilah mujahadah, dan dalam menjalaninya harus melakukan secara sungguh-sungguh. Dalam hal ini untuk menjaganya diperlukan keluhuruan budi dan akhlaqul karimah.

Sebenarnya ada cara mudah untuk merawat hati. Sering-seringlah berkumpul dengan orang-orang yang shaleh, orang-orang yang selalu menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Membaca Kitab suci al-Quran dan maknanya, rutin melaksanakan shalat malam atau tahajud, memperbanyak berpuasa, bersedekah kepada sesama yang memerlukannya, dan selalu berzikir kepada Allah, pemilik langit dan bumi.

Dalam tindak praktiknya, seperti saat berada di kantor, berkumpul dengan rekan kerja hindari pembicaraan yang tidak baik seperti membicarakan kejelekan orang lain, ataupun bersenda gurau yang menyakti hati lawan bicara. Menyadari hala-hal kecil sperti itu dapat melatih diri untuk melatih kesucian hati. Sebab, pelan-pelan anda akan belajar untuk menjaga mulut dan pikiran serta hati untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakiti orang-orang.

Demikian pula di rumah tetap menjaga kesucian hati. Rumah sebagai tempat berkumpul dan bercengkerama bersama keluarga, rumah tenteu memiliki peran yang penting. Oleh sebab itu, rumah selalu diisi dengan berbagai macam hal yang menyenangkan. Untuk menjaga hati agar tetap harmonis dan religius, biasanya banyak keluarga mengalunkan musik religi sebagai pengantar momen berbuka puasa. Alunan nada musik religi akan semakin mengena di hati jika keluar dari audio yang berkualitas.

Berikut ini kisah yang dapat dipetik tentang bagaimana peran hati dalam menentukan nasib manusia di akhirat kelak. Suatu hari Rasulullah berkata kepada sahabatnya, kalau kalian ingin tahu calon penghuni surga, lihatlah nanti seorang hamba Allah yang duduk di pojok masjid. Para sahabat dengan rasa penasaran ingin melihat sosok yang digambarkan Rasulullah. Setelah tiga hari diamati, ternyata orang tersebut hanya orang tua biasa tanpa memperlihatkan kelebihan khusus.

Karena penasaran, seorang sahabat sengaja bermalam di rumah Pak Tua itu untuk melihat langsung amalannya yang membuatnya menjadi calon penghuni surga. Setelah diamati, tidak ditemukan sebuah amalan pun yang melebihi amalan sahabat Rasulullah yang lain.

Akhirnya sahabat itu memberanikan diri bertanya, Amalan apa yang menyebabkan engkau dikatakan Rasulullah calon penghuni surga? Pak Tua itu menjawab, “Tidak ada wahai sahabatku, tapi mungkin ada dua hal yang selalu saya lakukan sebelum saya tidur: pertama, sebelum berbaring tidur saya membuang rasa dendam kepada manusia yang menyakiti saya di siang hari; kedua, saya akan memaafkan kesalahan orang lain kepada saya sebelum dia sempat meminta maaf.”

Akhirnya sahabat tersebut yakin bahwa inilah yang dimaksud Rasulullah dengan perbuatan yang membuat seorang manusia masuk surga. Hati yang bersih telah menjadikan diri Pak Tua itu mempunyai kesucian diri. Karena pada hakikatnya, seluruh ibadah dan kewajiban serta larangan Allah terhadap manusia tujuan akhirnya satu, yaitu menjadi manusia yang memiliki hati yang bersih. Dari hati yang bersihlah lahir sifat mulia dan terpuji yang sangat berguna untuk membentuk suatu masyarakat yang harmonis dan aman.

JADILAH MANUSIA YANG TERBAIK


Oleh : Iman Setiawan Latief
Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai Allah kesempatan dan kemauan untuk mengamalkan segala peluang kebaikan yang diperlihatkan Allah kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi Allah dengan berbagai potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya umat manusia. Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (H.R. Bukhari).
Hadits ini mengatakan bahwa apabila ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri kita ! Manusia kehadirannya sangat ditunggu apabila sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya terpesona. Tanda-tanda yang nampak dari seorang tersebut, diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.
Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah SWT, Subhanallah demikian indah hidupnya. Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini.
Sebaliknya apabila orang yang tidak diinginkan keberadaannya, karena malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Masya Allah ! tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita atau malah sebaliknya ? Kepada orang tua, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya orang tua seperti kita? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat ? Apakah aku ini pengusaha atau seorang pencuri ?
Nampaknya, saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan fisik luar saja, tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pandai padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri sendiri.
Manusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kekurangan. Ada yang diberikan kepintaran oleh Allah, tapi tidak memiliki cukup waktu, tenaga dan harta. Sebagiannya memiliki harta yang berlimpah, tetapi kurang memiliki pengetahuan, waktu dan tenaga yang cukup. Akan tetapi ada juga yang miskin tapi pintar, hanya tidak memiliki harta yang cukup, dan seterusnya. Jadilah manusia yang bermanfaat bagi orang lain dengan kelebihan yang kita miliki. Kalau kita memiliki kpengetahuan lebih, ajarkanlah kepada orang lain. Kalau kita memiliki harta yang berlebih, tebarkanlah kasih saying kita dengan zakat, infaq dan shadaqah. Demikian pula kalau kita memiliki kelebihan tenaga, waktu dan kelebihan lainnya yang kita miliki. Sehingga kita bias menjadi bermanfaat bagi manusia lainnya, kehadiran kita memberikan kesejukan dan sangat ditunggu-tunggu oleh orang lain.
Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Kadang ketika duduk di taman yang hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya.
Marilah kita gembleng  diri kita, sehingga kita bisa berguna bagi orang lain. Betapa indah pribadi yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, menjadikannya tumbuh benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya bunga di taman, hingga menggerakkan roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan limpahan karunia Allah SWT. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baiknya manusia! Wallaahu ‘alam bishshawab.

CARA MENDAPATKAN ILMU

Ketahuilah bahwa ilmu manusia diperoleh melalui dua jalan, yaitu;

1. Pengajian Insani
2. Pengajian Rabbani

Jalan Yang Pertama

Jalan pertama adalah jalan yang umum dan saluran yang dapat dirasa, diakui oleh semua ahli logika.

Adapun Pengajian Rabbani terbagi pada dua bagian yaitu;
  • Mendapatkan ilmu dengan belajar dan;
  • Mendapatkan ilmu dari dalam iaitu dengan menghabiskan waktu untuk bertafakur.
Berfikir dari batin sama dengan pengajian pada lahir.

Pergajian adalah pengambilan faedah seorang peribadi(Al-Syakhos) dari seorang peribadi bagian(Al-Syakahosul-Juz'ii) yang lain.

Berfikir adalah pengambilan faedah suatu Jiwa(Al-Nafs) dari Jiwa Keseluruhan (Al-Nafsul-Kulli). Jiwa Keseluruhan(Al-Nafsul-Kulli) lebih kuat kesannya dan lebih kuat pengajarannya dari sekelian ulama-ulama dan para ahli akal.

Ilmu-ilmu adalah terhunjam dalam jiwa secara kekuatan, seperti benih dalam bumi dan seperti tambang pada dasar lautan atau dalam benda galian.

Belajar ialah menuntut keluar sesuatu dari kekuatan kepada tindakan(Minal Quwwati Ila Fi'li) dan Mengajar ialah mengeluarkan sesuatu itu dari kekuatan kepada tindakan.

Maka jiwa pelajar adalah serupa dengan jiwa pengajar dan hampir di antara keduanya dalam nisbah; seorang Alim dipandang dari segi memberi faedah seperti seorang petani dan seorang pelajar pula dari segi mengambil faedah seperti tanah dan ilmu yang mana ketika dalam kekuatan adalah seperti benih dan ketika dalam tindakan adalah seperti tumbuh-tumbuhan. Bila sempurna jiwa pelajar, ia menjadi sebagai pokok yang berbuah atau seperti tambang yang keluar dari dasar lautan.

Bila kekuatan-kekuatan badaniah dapat menguasai jiwa, pelajar itu perlu menimbakan pengajiannya, memperlanjutkan waktu, memikul kesulitan-kesulitan, kepenatan dan berusaha dalam mencari faedah. Bila Nur Akal menguasai atasa sifat-sifat perasaan, seorang penuntut tidak memerlukan pengajian yang banyak. Hanya dengan sedikit berfikir atau sesaat berfikir ia mendapat faedah-faedah yang tiada didapati oleh jiwa yang tekun dengan pengajian selama setahun. Oleh itu sebagian orang mendapat ilmu-ilmu dengan hanya belajar dan berfikir sejenak.

Pengajian memerlukan pula berfikir, karena manusia tiada dapat mempelajari segala sesuatu baik berupa bagian-bagian dan keseluruhan-keseluruhan, juga tidak dapat mempelajari semua yang diketahui, bahkan sebagiannya dapat dengan pengajian dan sebagiannya pula didapati dengan berfikir. Kebanyakan ilmu-ilmu teorikal dan ilmu-ilmu teknikal diruntun keluar oleh Jiwa-jiwa para Hukama'(ahli bijak) dengan kemurnian hati, kekuatan fikiran, dan ketajaman bashirah mereka dengan tidak menambahkan pengajian.

Andaikata manusia tidak menghasilkan sesuatu melalui berfikir dari maklumat pertama niscaya habislah waktu manusia (untuk mendapatkan sesuatu) dan niscaya tidak akan lenyap kegelapan jahiliyah dari Qalbu-qalbu manusia; kerana jiwa tidak akan mampu mengetahui seluruh persoalannya sendiri baik yang berupa bagian atau keseluruhan melalui belajar; malah sebagiannya ia dapati dengan pengajian dan sebagiannya pula ditarik keluar dari hati nurani dengan kemurnian fikiran.

Inilah cara yang biasa terjadi di kalangan para ulama dan cara inilah yang menimbulkan kaedah-kaedah segala ilmu hingga seorang arsitek tidaklah belajar seluruh apa yang diperluinya dalam sepanjang usiannya, malah ia belajar garisan-garisan kasar ilmunya dan kandungan-kandungannya; kemudian ia menarik keluar(sesuatu) dan mengqiaskan (menghubungkan) antara satu dengan yang lain.

Begitu juga seorang dokter tidak dapat belajar tentang penyakit-penyakit setiap orang dengan perinciannya, juga tidak mampu belajar tentang obat-obat untuk mereka; malah ia berfikir tentang maklumat secara umum dan menyelaraskan dengan tiap-tiap seorang menurut keadaan tubuhnya. Juga seorang ahli nujum, ia hanya belajar ilmu nujum secara umum saja, kemudian ia berfikir dan memberikan bermacam-macam ketetapan.

Begitu juga ahli fiqih dan seorang sastrawan dan seterusnya begitu juga yang terjadi dalam kalangan para ahli perusahaan, seorang pembuat alat musik, yaitu gambus dapat mereka (mencipta) dengan fikirannya, manakala yang lain menghasilkan dari alat itu suatu alat yang lain pula. Begitu juga seluruh barang-barang perusahaan; baik untuk keperluan badan atau untuk keperluan jiwa pada mulanya didapati melalui belajar dan untuk seterusnya dia dapati melalui fikiran.

Apabila pintu fikiran pada jiwa sudah terbuka, ketahuilah ada cara jalan berfikir dan cara menggunakannya untuk mencapai tujuan. Maka Qalbu seseorang menjadi lega dan terbukalah mata batinnya, lalu keluar apa yang ada di dalam jiwanya dari kekuatan kepada tindakan tanpa penambahan usaha pencarian dan kepenatan yang berlanjutan.

Jalan Yang Kedua.

Pengajian Rabbani terbagi pada dua bagian yaitu;

Yang Pertama : Penancapan Wahyu.

Jiwa itu bila telah sempurna zatnya,maka hilanglah kotoran-kotoran tabiat dan kecemaran loba dan angan-angan.Terpisahlah pandangan daripada syahwat keduniaan,putus hubungan dari cita-cita yang tidak abadi,mengarahkan mukanya kepada pencipta dan penjadiNya,

bergantung kepada kemurahan penciptaan dan berpegang pada karunia faedah daripadaNya dan limpahan NurNya.

Manakala Allah Taala pula dengan keelokkan InayahNya mengarahkan kepada jiwa itu secara keseluruhan,memandang kepadanya secara pandangan Ilahi danmenjadikan sebagai Luh,

menjadikan Jiwa Keseluruhan(Al-Nafsul Kulli) sebagai Qalam dan menuliskan pada Luh itu seluruh ilmu, ketika itu Akal Keselurahan (Al-'Aqlu Kulli) menjadi sebagai guru dan Jiwa Suci (Al-Nafsul Qudsiah)[Jiwa suci ialah Jiwa Kenabian yang telah sempurna zatnya] sebagai pelajar, lalu terdapatlah semua ilmu pada jiwa itu dan terukir padanya seluruh rupa tanpa pengajian dan fikiran. Ini dibuktikan kebenarannya oleh firman Allah Taala kepada Nabi SAW:

وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيكَ الكِتٰبَ وَالحِكمَةَ وَعَلَّمَكَ ما لَم تَكُن تَعلَمُ

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (Surah Al-Nisaa';113)

Oleh karena itu ilmu para Nabi lebih mulia tingkatannya dari ilmu seluruh makhluk, karena ia didapati langsung dari Allah Taala tanpa perantaraan atau wasilah.

Ini dapat dlihat contohnya dari kisah kisah Nabi Adam AS. dan malaikat, Malaikat adalah belajar sepanjang usia mereka dan meniti berbagai jalan mereka mendapat banyak ilmu hingga mereka menjadi makhluk yang paling mengetahui, sedangkan Adam AS. tidaklah Alim, karena ia tidak pernah belajar dan tidak pernah menemui seorang guru. Para malaikat melahirkan kesombongan dan takbur mereka dengan berkata;

وَنَحنُ نُسَبِّحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ

"padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" {Surah Al-Baqarah;30}.


dan berkata bahwa kami mengetahui hakikat-hakikat segala sesuatu. Maka Adam AS. pun kembali kepada penciptanya, mengeluarkan Qalbunya dari sifat-sifat makhluk dan mengarahklan permintaan tolongnya kepada Allah Taala, lalu Allah mengajarkannya seluruh Nama;

وَعَلَّمَ ءادَمَ الأَسماءَ كُلَّها ثُمَّ عَرَضَهُم عَلَى المَلٰئِكَةِ فَقالَ أَنبِـٔونى بِأَسماءِ هٰؤُلاءِ إِن كُنتُم صٰدِقينَ

"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ""Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar {Surah Al-Baqarah;31}.

Maka malaikat pun merasa kecil di samping Adam, merasa kurang ilmu mereka dan pecahlah kepala kesombongan mereka lalu tenggelam dalam lautan kelemahan;

قالوا سُبحٰنَكَ لا عِلمَ لَنا إِلّا ما عَلَّمتَنا ۖ إِنَّكَ أَنتَ العَليمُ الحَكيمُ

"Mereka menjawab: ""Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" {Surah Al-Baqarah; 32}.

Allah berfirman lagi :
قالَ يٰـٔادَمُ أَنبِئهُم بِأَسمائِهِم

"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". {Surah Al-Baqarah;33).


Adam AS pun memberitahu kepada mereka beberapa ilmu yang terpendam dan beberapa perkara yang tersembunyi.

Dari ini jelaslah bagi orang-orang yang berakal bahwa Ilmu Ghoibi yang tercetus dari jiwa ialah lebih kuat dan lebih sempurna dari ilmu-ilmu yang didapati dengan usaha(Al-Uluumul Maktasabah). Ilmu Wahyu ini menjadi pusaka Nabi-Nabi dan kepunyaan Rasul-Rasul. Allah telah menutup pintu wahyu ini sejak dari zaman penghulu kita Nabi Muhammad SAW. Ia adalah Rasul Allah SAW. dan Nabi yang penghabisan. Ia adalah manusia yang paling mengetahui, orang Arab dan 'Ajam yang paling fasih. Nabi SAW pernah bersabda yang artinya:

"Akulah yang paling tahu di antara kamu dan yang paling takutkan Allah Taala".

Ilmunya lebih sempurna, lebih mulia dan lebih kuat, karena ia dapati ilmu ini dari Pengajaran Rabbani dan ia tiada sekali-kali berkecimpung dalam Pengajian dan Pengajaran Insani. Allah Taala berfirman :

عَلَّمَهُ شَديدُ القُوىٰ
"Iyang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat". {Surah Al-Najm;05}.

Yang Kedua : Ilham.

Ilham ialah pemberitahuan oleh Jiwa Keseluruhan (Al-Nafsul Kulliah) kepada Jiwa Bahagian (Al-Nafsul Juz'iyah) manusia menurut kadar kemurnian, penerimaan dan kekuatan persediaan.

Ilham adalah kesan Wahyu. Wahyu adalah penerangan Urusan Ghoibi manakala Ilham ialah pemaparannya. Ilmu yang didapati melalui Ilham dinamakan Ilmu Laduni.

Ilmu Laduni ialah ilmu yang tidak ada perantaraan dalam mendapatkannya di antara jiwa dan Allah Taala. Ia adalah seperti cahaya yang datang dari lampu Qhaib jatuh ke atas Qalbu yang bersih, kosong lagi halus(Lathif). Terjadinya demikian karena ilmu-ilmu seluruhnya adalah terterap lagi dimaklumi dalam Jauhar Jiwa Keseluruhan Yang Pertama(Jauharul Nafsul Kulliyatul Uula) yang mana beradanya(jauhar ini) dalam jauhar-jauhar Abstrak Yang Pertama Lagi Mutlak (All-Jawaahirul Mujarridatul Awwaliyatul Mahdhoh) dinisbahkan kepada Akal Pertama(Al-Aqlu Awal) adalah serupa dengan nisbah Hawa kepada Adam AS.

Sesungguhnya telah nyata bahwa Akal Keseluruhan(Al-Aqlul Kulli) adalah lebih mulia, lebih sempurna, lebih kuat dan lebih hampir dengan Allah Taala daripada Jiwa Keseluruhan(Al-Nafsul Kulliyah) adalah lebih teguh, lebih halus dan lebih mulia daripada seluruh makhluk. Dari limpahan Akal Keseluruhan tercetusnya Ilham. Wahyu adalah pakaian Nabi-Nabi dan Ilham adalah hiasan Wali-Wali.

Mengenai Ilmu Wahyu(Ilmu Nabawi) pula sebagaimana Jiwa bukannya Akal, orang Wali bukannya Nabi, maka begitu juga Ilham bukannya Wahyu. Ilham adalah lemah dibandingkan dengan Wahyu, tetapi lebih kuat dibandingkan dengan mimpi-mimpi(mimpi yang benar), sedangkan ilmu (Ilham atau Ilmu Laduni) adalah ilmu Nabi-Nabi dan Wali-Wali.

Adapun Ilmu Wahyu hanya khas untuk Rasul-Rasul, terbatas mereka saja seperti Ilmu Nabi Adam dan Nabi Musa AS., Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW. dan Rasul-Rasul yang lain. Perbedaan di antara "Kerasulan" dan "Kenabian" terletak pada bahwa "Kenabian" itu ialah penerimaan jiwa suci akan hakikat-hakikat maklumat dan ma'quulah dari Jauhar Akal Yang Pertama dan "Kerasulan" ialah menyampaikan maklumat dan ma'quulat itu kepada orang-orang yang mau mengambil faedah dan yang mahu menerimanya.

Kadang-kadang ada penyesuaian untuk menyampaikan pada jiwa seseorang, tetapi tidak mungkin mau disampaikan karena ada halangan atau sebab yang tertentu.

Ilmu Laduni adalah untuk ahli Kenabian dan Kewalian, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Khaidir AS. Hal ini ada tersebut dalam firmanNya;
وَعَلَّمنٰهُ مِن لَدُنّا عِلمًا
"Dan Kami telah ajarkan ilmu dari sisi Kami". {Surah Al-Kahfi;65}

Berkata Amir Mukminin Ali bin Abi Thalib Karramallaha Wajhahu;

"Aku memasukkan lidahku ke dalam mulutku(mengunci mulutku) lalu terbuka dalam Qalbuku seribu pintu ilmu, tiap-tiap pintu terdapat seribu pintu pula", seterusnya ia berkata, "Andaikan disuratkan kepadaku suatu bantal dan kududuk di atasnya nescaya ku dapat menghukumkan ahli Taurat dengan Taurat mereka dan ahli Injil dengan Injil mereka dan ahli al-Qur'an dengan Qur'an mereka".

Ini adalah tingkat yang tiada dapat dicapai dengan Pengajian Insani semata-mata malah dapat dicapai dengan kekuatan Ilmu Laduni. Berkata lagi Sayyidina Ali lagi dalam menceritakan tentang Kitab Taurat Nabi Musa AS., bahwa syarah kitab ibi dapat dibawa dengan empat puluh ekor unta, katanya;

Jika diizinkan Allah mensyarahkan makna-makna Surah Al-Fatihah(saja) niscaya aku dapat melaksanakannya hingga sampai seperti itu juga". artinya 40 bebanan unta.

Kebanyakan, keluasan dan kebukaan dalam ilmu ini tdak terjadi, melainkan ilmu itu adalah Laduni, Ilahi lagi tinggi.

Bila Allah hendak menjadikan hambanya seseorang yang baik, Ia(Allah) menyingkapkan hijab di antara ZatNya dan jiwa yang menjadi Luh, lalu lahirlah pada jiwa itu sebagian dari rahsia-rahsia yang terpendam dan tertulis makna-makna segala rahasia yang terpendam ini. Dengan ini dapatlah jiwanya mengucapkan rahasia-rahasia yang terpendam ini menurut kehendak kepada siapa yang dikehendakinya.

Hakikat hikmah adalah diambil dari Ilmu Laduni, selagi seseorang itu tidak sampai kepada tingkat ini, tidak dapat dianggap sebagai seseorang yang HAKIM (bijak), karena hikmah adalah dari karunia Allah Taala sebagaimana firmanNya dalam Surah Al-Baqarah;269

يُؤتِى الحِكمَةَ مَن يَشاءُ ۚ وَمَن يُؤتَ الحِكمَةَ فَقَد أوتِىَ خَيرًا كَثيرًا ۗ وَما يَذَّكَّرُ إِلّا أُولُوا الأَلبٰبِ

" Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."

Ini adalah karena orang-orang yang sampai kepada tingkat Ilmu Laduni tidak memerlukan penumpahan tenaga yang banyak untuk mendapatkan ilmu dan tidak payah dalam pengajian. Mereka belajar sedikit dan mengetahui banyak, berpenat sedikit dan beritirahat banyak.

Ketahuilah bila Wahyu itu telah terhenti dan pintu Kerasulan telah ditutup, manusia tidak perlu lagi kepada rasul-rasul dan menyebarkan agama baru., kerana segala yang berhubung dengan agama telah lengkap sempurna sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maidah;3 :

اليَومَ أَكمَلتُ لَكُم دينَكُم وَأَتمَمتُ عَلَيكُم نِعمَتى وَرَضيتُ لَكُمُ الإِسلٰمَ دينًا
:"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu"

Ada pun pintu Ilham tidak tertutup, perbekalan Nur Jiwa Keseluruhan(Al Nafsu Kulliah) tidaklah terhenti, karena berlanjutan keperluan jiwa-jiwa kepada penguatan, pembaharuan dan pengingatan.

Manusia tidak memerlukan rasul-rasul, tetapi karena mereka tenggelam dalam was-was dan syahwat, mereka memerlukan pengingatan dan penyadaran. Oleh itu Allah Taala mengunci pintu Wahyu dan membuka pintu Ilham sebagi rahmatNya. Ia merancang dan menyusun segala-galanya supaya manusia tau bahwa Allah adalah lembut dengan para hambaNya. mengaruniakan rizki kepada siapa yang dikehendaki tanpa batas.

KESIMPULAN:

Sebelum ini telah diterangkan mengenai Ilmu Tasawuf sebenarnya termasuk dalam jenis-jenis ilmu, malahan Ilmu Tasawuf itu mempunyai sifat-sifat yang lebih istimewa lagi di banding dengan ilmu-ilmu lain. Dalam fasal ini Imam Ghazali akan menerangkan kepada kita bagaimana cara-cara dan kaedah untuk mendapatkan segala jenis ilmu itu.

Ia membaginya cara-cara itu kepada dua bagian penting yaitu;

1. Pengajian Insani dan

2. Pengajian Rabbani

Pengajian Insani adalah dengan dua cara pula yaitu;

1. Dari Luar (Mendapatkan ilmu dengan pengajian biasa)

2. Dari Dalam (Mendapatkan ilmu dengan berfikir hingga dapat dicungkil ilmu itu dari batin jiwa yaitu jiwa keseluruhan [An-Nafs Al-Kulli] atau [Al-Luh Al-Mahfuz], kemudian barulah ilmu itu terukir pada jiwa.

Pengajian Rabbani juga terbagi kepada dua cara yaitu;

1. Menerusi Wahyu dan

2. Menerusi Ilham.

Kedua-dua cara ini lebih tinggi tingkatnya dari cara mendapatkan ilmu dari cara berfikir seperti yang dinyatakan di atas. Wahyu dan Ilham adalah datang dari Zat Allah dan akal keseluruhan (Al-'Aqlul Kulli) menerusi Jiwa Keseluruhan (Al-Nafs Al-Kulli), kemudian baru terukir pada jiwa.

Meskipun kedua-duanya mempunyai saluran yang sama, Wahyu itu lebih tinggi dari daripada Ilham. Wahyu untuk Nabi-nabi dan Rasul-rasul dan Ilham untuk Nabi-nabi dan Wali-wali Allah.

Ilmu yang didapati menerusi Ilham inilah dinamakan 'ILMU LADUNI'.

Pintu Wahyu telah tertutup sekarang dan pintu Ilham masih terbuka sebagai rahmat dari Allah.

Wallahu A'lam

Hakekat Iman Kepada Yang Ghaib

Pengertian Dan Pengaruhnya Dalam Aqidah Seorang Muslim
1. Iman Kepada Yang Ghaib
Ghaib adalah kata mashdar yang digunakan untuk setiap sesuatu yang tidak dapat diindra, baik diketahui maupun tidak. Iman kepada yang ghaib berarti percaya kepada segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi ia diketahui oleh wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Iman kepada yang ghaib adalah salah satu sifat dari orang-orang mukmin. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah : 1-3 yang artinya:
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Ada dua pendapat tentang makna iman tersebut:
1. Bahwasanya mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra (dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah SWT dan tentang para rasul-Nya.
2. Bahwasanya mereka beriman kepada Allah di waktu ghaib sebagaimana mereka beriman kepada-Nya di waktu hadir, dan ini berbeda dengan orang-orang munafik.
Kedua makna di atas tidak bertentangan, bahkan keduanya harus pada diri seorang mukmin.
2. Pengaruh Iman Kepada Yang Ghaib Dalam Aqidah Seorang Muslim
Iman kepada yang ghaib mempunyai pengaruh yang besar sekali sehingga terpantul dalam tingkah laku seseorang dan juga dalam jalan hidupnya. Ia merupakan motivator yang sangat kuat untuk melahirkan amal kebajikan dan memberantas kejahatan. Diantaranya adalah.
a. Ikhlas beramal untuk memperoleh pahala dan menghindarkan diri dari siksa di akhirat, bukan menginginkan balasan dunia dan pujian manusia. Sebagaimana Allah memberitahukan tentang para hamba-Nya yang memberikan makanan kepada orang lain padahal mereka sendiri menyukainya dalam firman-Nya dalam Surah Al-Insan : 8-9 yang artinya:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”.
b. Kuat, tegas dan tegar dalam pembenaran. Apa yang dijanjikan Allah untuk orang yang beriman menjadikan seseorang teguh dalam menjalankan segala perintah-Nya, menjelaskan yang haq, mengajak kepada yang haq, menjelaskan yang batil dan memeranginya. Jika tidak ada yang membantu maka dia pun kuat karena Allah SWT, terasa mudah baginya kehidupan dunia dan segala penderitaannya, dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang perkataan kekasih-Nya, Ibrahim as kepada kaumnya dalam Surah Al-Anbiya’ : 57-58 yang yang artinya:
“Demi Allah sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya”.
Sebagaimana Dia menceritakan para ahli sihir Fir’aun ketika beriman, bagaimana mereka meremehkan siksaan Fir’aun atas mereka. Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf : 125-126 yang artinya:
“Ahli-ahli sihir itu menjawab; ‘Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami’. (Mereka berdo’a); ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Nya)’”.
c. Meremehkan bentuk-bentuk penampilan duniawi. Hal ini merupakan pengaruh dari makmurnya hati karena keimanan bahwa dunia beserta kenikmatannya akan lenyap, sedangkan akhirat adalah kehidupan kekal, damai abadi selamanya. Maka tidak masuk akal lebih memilih hal yang fana daripada yang kekal. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ankabut : 64 yang artinya:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Allah juga mengisahkan istri Fir’aun yang telah meremehkan segala kemewahan dunia yang ada padanya dan meminta agar diselamatkan dari Fir’aun berikut keburukannya, demi untuk menggapai kehidupan akhirat. Demikian itu karena hatinya memancarkan sinar keimanan kepada Allah dan kepada hari akhir. Allah berfirman dalam Surah At-Tahrim : 11 yang artinya:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata; ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah disisi-Mu dalam Surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim’”.
d. Lenyapnya kebencian dan kedengkian. Sesungguhnya usaha mewujudkan keinginan nafsu tanpa melalui jalan yang benar menyebabkan kebencian dan kedengkian antarmanusia. Sedangkan iman kepada yang ghaib, berupa janji-janji Allah dan ancaman-Nya menjadikan seseorang mau mawas diri dan mengoreksi diri sendiri dalam setiap gerak-geriknya demi mendapatkan pahala-Nya dan menjauhi siksa-Nya.
Iman yang benar terhadap adanya pahala menjadikan seseorang bergegas melakukan ihsan kebajikan demi mendapatkan pahala yang kekal, suatu perkara yang menjadikan bersihnya jiwa dan merebaknya kasih sayang di antara individu dan jama’ah. Sebagaimana Allah menceritakan tentang orang-orang yang telah mempraktekkan hal itu dalam firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr : 9-10 yang artinya:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhjirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a; ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’”.
Itulah sebagian pengaruh iman terhadap yang ghaib. Pengaruh-pengaruh tersebut akan berkurang disebabkan oleh lemahnya iman. Bila pengaruh iman sudah tidak ada maka suatu masyarakat berubah menjadi masyarakat hewani, yang hidup memangsa yang mati, yang kuat menindas yang lemah, ketakutan merajalela, musibah meluas dan merata, kemuliaan hilang dan kehinaan yang naik tahta. Semoga kita dilindungi oleh Allah dari yang demikian.Beriman Kepada AllahYaitu keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah adalah wahid (satu), ahad (esa), fard (sendiri), shamad (tempat bergantung), tidak mengambil shahibah (teman wanita atau istri) juga tidak memiliki walad (seorang anak). Dia adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu dalam kerajaan-Nya. Dialah Al-Khaliq (yang menciptakan), Ar-Raziq (Pemberi Rizki), Al-Mu’thi (Pemberi Anugerah), Al-Mani’ (Yang Menahan Pemberian), Al-Muhyi (Yang Menghidupkan), Al-Mumit (Yang Mematikan) dan yang mengatur segala urusan makhluk-Nya. Dialah yang berhak disembah, bukan yang lain, dengan segala macam ibadah, seperti khudhu’ (tunduk), khusyu’, khasyyah (takut), inabah (taubat), qasd (niat), thalab (memohon), do’a, menyembelih, nadzar dan sebagainya. Termasuk beriman kepada Allah adalah beriman dengan segala apa yang Dia kabarkan dalam kitab suci-Nya atau apa yang diceritakan oleh Rasul-Nya SAW tentang Asma’ dan sifat-sifat-Nya dan bahwasanya Dia tidak sama dengan makhluk-Nya, dan bagi-Nya kesempurnaan mutlak dalam semua hal tersebut, dengan menetapkan tanpa tamtsil (menyerupakan) dan dengan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan maknanya) sebagaimana Dia mengabarkan tentang diri-Nya dengan firman-Nya dalam Surah Al-An’am : 101-102 yang artinya: “Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki sifat-sifat khusus) demikian itu adalah Allah Rabb kamu, tidak ada sembahan yang haq selain Dia. Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”Demikianlah, dan sungguh ayat-ayat serta hadits-hadits yang menunjukkan makna iman dan pencarian iman sangat banyak dan panjang untuk ditulis. Wabillahit taufiq.Beriman Kepada Malaikat
I. Definisi Malaikat
Menurut bahasa “malaikah” bentuk jama’ dari “malak”. Konon ia berasal dari kata “alukah” (risalah), dan ada yang menyatakan “la aka” (mengutus), dan ada pula yang berpendapat selain dari keduanya.
Adapun menurut istilah, ia adalah salah satu jenis makhluk Allah yang Ia ciptakan khusus untuk taat dan beribadah kepad-Nya serta mengerjakan semua tugas-tugas-Nya. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya dalam Surah Al-Anbiya’ : 19 – 20 yang artinya :
“Dan kepunyaann-Nya lah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) mereka letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya”.
Dan dalam Surah Al-Anbiya’ : 26 – 27 yang artinya :
“Dan mereka berkata, ‘Tiada yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Mahasuci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tiada mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”.
II. Kepercayaan Manusia Tentang Malaikat Sebelum Islam
Wujud malaikat diakui dan tidak diperselisihkan oleh umat manusia sejak dahulu kala. Sebagaimana tidak seorang jahiliyah pun diketahui mengingkarinya, meskipun cara penetapannya berbeda-beda antara pengikut para Nabi dengan yang lainnya.
Orang musyrik menyangka para malaikat itu anak-anak perempuan Allah -Subhanallah (Mahasuci Allah)-. Allah telah membantah mereka dan menjelaskan tentang ketidaktahuan mereka dalam firman-Nya Surah Az-Zukhruf : 19 yang artinya :
“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawabannya”.
Dan dalam Surah Ash-Shaffat : 150 – 152 yang artinya :
“Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikannya? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan, ‘Allah beranak’. Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta”.
III. Beriman Kepada Malaikat
Iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Maksudnya yaitu meyakini secara pasti bahwa Allah SWT mempunyai para malaikat yang diciptakan dari nur, tidak pernah mendurhakai apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mengerjakan setiap yang Allah titahkan kepada mereka.
Dalil-dalil yang mewajibkan beriman kepada malaikat :
1. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 285 yang artinya :
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya”.
2. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 177 yang artinya :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi . . .”.
Allah mewajibkan percaya kepada hal-hal tersebut di atas dan mengkafirkan orang-orang yang mengingkarinya. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa’ : 136 yang artinya :
” . . . Dan barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.
3. Sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan Jibril as tentang iman :
“Yaitu engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim, 1/37 dan Al-Bukhari, 1/19-20)
Rasulullah SAW menjadikan iman itu adalah dengan mempercayai semua yang disebut tadi. Sedangkan iman kepada malaikat adalah sebagian dari iman tersebut. Keberadaan malaikat ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’iy (pasti), sehingga mengingkarinya adalah kufur berdasarkan ijma’ umat Islam, karena ingkar kepada mereka berarti menyalahi kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
IV. Macam-macam Malaikat Dan Tugasnya
Malaikat adalah hamba Allah yang dimuliakan dan utusan Allah yang dipercaya. Allah menciptakan mereka khusus untuk beribadah kepada-Nya. Mereka bukanlah putra-putri Allah dan bukan pula putra-putri selain Allah. Mereka membawa risalah Tuhannya, dan menunaikan tugas masing-masing di alam ini. Mereka juga bermacam-macam, dan masing-masing mempunyai tugas-tugas khusus. Di antara mereka adalah :
1. Malaikat yang ditugasi menyampaikan (membawa) wahyu Allah kepada para rasul-Nya SAW. Ia adalah Ar-Ruh Al-Amin atau Jibril as, Allah berfirman dalam Surah Asy-Syu’ ara : 193-194 yang artinya :
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”.
Allah menyifati Jibril as dalam tugasnya menyampaikan Al-Qur’an dengan sifat-sifat yang penuh pujian dan sanjungan seperti dalam Surah At-Takwir : 19-21 yang artinya :
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya”.
2. Malaikat yang diserahi urusan hujan dan pembagiannya menurut kehendak Allah. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda :
“Tatkala seorang laki-laki berada di tanah lapang (gurun) dia mendengar suara di awan, ‘Siramilah kebun fulan’, maka menjauhlah awan tersebut kemudian menumpahkan air di suatu tanah yang berbatu hitam, maka saluran air di situ -dari saluran-saluran yang ada- telah memuat air seluruhnya . . .”. (HR. Muslim 4/2288).
Ini menunjukkan bahwa curah hujan yang dilakukan malaikat sesuai dengan kehendak Allah SWT.
3. Malaikat yang diserahi terompet, yaitu Israil as. Ia meniupnya sesuai dengan perintah Allah SWT dengan tiga kali tiupan; tiupan faza’ (ketakutan), tiupan sha’aq (kematian) dan tiupan ba’ts (kebangkitan). Begitulah yang disebut Ibnu Jarir dan mufassir lainnya ketika menafsiri firman Allah dalam Surah Al-An’am : 73 yang artinya :
“. . . di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan nampak. Dan Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui”.
Dan firman Allah dalam Surah Al-Kahfi : 99 yang artinya :
“. . . kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya”.
Dan ayat-ayat lainnya yang ada sebutan, ‘an-nafkhu fishshur’ (meniup terompet).
Beriman Kepada Malaikat

4. Malaikat yang ditugasi mencabut ruh, yakni malaikat maut dan rekan-rekannya. Tentang tugas malaikat ini Allah SWT berfirman dalam Surah As-Sajdah : 11 yang artinya :
“Katakanlah; ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) -mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmu lah kamu akan dikembalikan”.
Dan firman Allah dalam Surah Al-An’am : 61 yang artinya :
“. . . sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajiban”.
5. Para malaikat penjaga Surga. Allah SWT mengabarkan mereka ketika menjelaskan perjalanan orang-orang bertakwa dalam firman-Nya dalam Surah Az-Zumar : 73 yang artinya :
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam Surga berombong-rombong (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke Surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkata lah kepada mereka penjaga-penjaganya; ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masuklah Surga ini sedang kamu kekal di dalamnya”.
6. Para malaikat penjaga Neraka Jahannam, mereka itu adalah Zabaniyah. Para pemimpinnya ada 19 dan pemukanya adalah Malik. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah SWT ketika menyifati Neraka Saqar seperti dalam Surah Al-Mudatstsir : 27 – 30 yang artinya :
“Tahukah kamu apakah (Neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilah belas (malaikat penjaga). Dan tiada Kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan malaikat”.
Dan Allah bercerita tentang penduduk Neraka dalam Surah Az-Zukhruf : 77 yang artinya :
“Mereka berseru; ‘Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja’. Dia menjawab; ‘Kamu akan tetap tinggal (di Neraka ini)’”.
7. Para malaikat yang ditugaskan menjaga seorang hamba dalam segala ihwalnya. Mereka adalahMu’aqqibat, sebagaimana yang diberitakan Allah dalam firman-Nya Surah Ar-Ra’d : 10 – 11 yang artinya :
“Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah”.
Dan firman Allah dalam Surah Al-An’am : 61 – 30 yang artinya :
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga . . . “.
8. Para malaikat yang ditugaskan mengawasi amal seorang hamba, amal yang baik maupun amal yang buruk. Mereka adalah Al-Kiram Al-Katibun (para pencatat yang mulia). Mereka masuk dalam golongan Hafazhah (para penjaga). Sebagaimana firman Allah SWT Surah Az-Zukhruf : 88 yang artinya :
“Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar) dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka”.
Firman Allah SWT dalam Surah Qaf : 17 – 18 yang artinya :
“(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang menyebut tentang mereka banyak sekali.
V. Hubungan Malaikat Dengan Manusia
Allah mewakilkan kepada malaikat urusan semua makhluk termasuk urusan manusia. Jadi mereka mempunyai hubungan yang erat dengan manusia semenjak ia berupa sperma. Hubungan ini disebutkan Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfan”.
Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah
I. Definisi
Secara bahasa, “kutub” adalah bentuk jamak dari, “kitab”. Sedangkan kitab adalah masdar yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang ditulisi di dalamnya. Ia pada awalnya adalah nama shahifah (lembaran) bersama tulisan yang ada di dalamnya.
Sedangkan menurut syari’at, “kutub” adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada rasul-Nya agar mereka menyampaikannya kepada manusia dan yang membacanya bernilai ibadah.
II. Beriman Kepada Kitab-Kitab
Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah salah satu rukun iman. Maksudnya yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia adalah kalam Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang Ia kehendaki dan menurut apa yang Ia ingini.
Allah berfirman dalam Surah An-Nahl : 2 yang artinya
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”.
Iman kepada-Nya adalah wajib, secara ijmal (global) dalam hal yang di-ijmal-kan dan secara tafshil (rinci) dalam hal yang dirincikan.
Dalil-dalil atas Kewajiban Beriman Kepada Kitab-kitab
Pertama : Dalil-dalil beriman kepadanya secara umum
1. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 136 yang artinya :
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya patuh kepada-Nya’”.
Segi istidlal-nya adalah : Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin agar beriman kepada-Nya dan kepada apa yang telah Ia turunkan kepada mereka melalui nabi mereka, Muhammad SAW yaitu Al-Qur’an, dan agar beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada para nabi dari Tuhan mereka tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, karena tunduk kepada Allah serta membenarkan apa yang diberitakan-Nya.
2. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah : 285 yang artinya :
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan, ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali”.
Ayat ini menjelaskan sifat iman Rasul SAW dan iman para mukminin serta apa yang diperintahkan kepada mereka berupa iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para rasul, tanpa membeda-bedakan. Sehingga kufur kepada sebagian berarti kufur kepada mereka semuanya.
3. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ : 136 yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari Kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.
Segi istidlal-nya adalah : Allah SWT memerintahkan manusia beriman kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasulullah SAW yakni Al-Qur’an, juga kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur’an. Kemudian Allah menyamakan kufur kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul dan Hari Akhir dengan kufur kepada-Nya.
4. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits Jibril as tentang iman :
“Yaitu hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Akhir dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”. (HR. Al-Bukhari, I/19 – 20 dan Muslim, II/37).
Maka Rasulullah SAW menjadikan iman kepada kitab-kitab Allah sebagai salah satu rukun iman.
Kedua : Wajib beriman kepada kitab-kitab secara rinci
Kita wajib mengimani secara rinci kitab-kitab yang sudah disebutkan namanya oleh Allah, yakni Al-Qur’an dan kitab-kitab yang lain, yaitu :
a. Shuhuf Ibrahim dan Musa. Allah berfirman dalam Surah An-Najm : 36 – 37 yang artinya :
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?”.
Dan dalam Surah Al-A’la : 18 – 19 yang artinya :
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam shuhuf (lembaran-lembaran) yang dahulu (yaitu) shuhuf Ibrahim dan Musa”.
b. Taurat, yaitu kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa as. Allah berfirman dalam Surah Al-Maidah : 44 yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)”.
Dan dalam Surah Al-Imran : 2 – 4 yang artinya :
“Allah, tidak ada sembahan yang haq melainkan Dia, Yang hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kita yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al-Qur’an), menjadikan petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat, dan Allah Maha perkasa lagi mempunyai balasan (siksa)”.
c. Zabur, yaitu kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Daud as. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa’ : 163 yang artinya :
“… dan Kami berikan Zabur kepada Daud”.
d. Injil, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Allah berfirman dalam Surah Al-Maidah : 46 yang artinya :
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu, Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa”.
Beriman kepada kitab-kitab yang telah Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an adalah wajib. Yakni beriman bahwa masing-masing adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat nur dan hidayah yang Dia turunkan kepada para rasul yang telah Dia sebutkan. Semuanya, sebagaimana Al-Qur’an mengajak kepada pengesaan Allah dalam ibadah. Semua kitab itu sama dalam hal ushul sekalipun berlainan dalam syariatnya.
Allah berfirman dalam Surah An-Nahl : 36 yang artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu … “.
Dan dalam Surah Al-Anbiya’ : 25 yang artinya :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami mewahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu, sekalian akan Aku”.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa semua rasul mengajak kaumnya kepada tauhid Allah SWT menceritakan kepada kita ucapan mereka seperti dalam Surah Al-A’raf : 65, 75, dan 85 yang artinya :
” … sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq bagimu selain dari-Nya”.
Rasulullah SAW bersabda :
“Para nabi itu adalah saudara seayah, ibu mereka berlainan, tetapi dien mereka adalah satu”. (HR. Muslim IV/1857).
Ketiga : Kitab-kitab yang ada pada ahli kitab
Sesungguhnya apa yang ada di tangan ahli kitab yang mereka namakan sebagai kitab Taurat dan Injil dapat dipastikan bahwa ia termasuk hal-hal yang tidak benar penisbatannya kepada para nabi Allah. Maka tidak bisa dikatakan bahwa Taurat yang ada sekarang adalah Taurat yang dahulu diturunkan kepada Nabi Musa as. Juga Injil yang sekarang bukanlah Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Jadi keduanya bukanlah kedua kitab yang kita diperintahkan untuk mengimaninya secara rinci. Dan tidak benar mengimani sesutau yang ada dalam keduanya sebagai kalam Allah, kecuali yang ada dalam Al-Qur’an lalu dinisbatkan kepada keduanya.
Kedua kita tersebut telah di-nasakh (dicabut masa berlakunya) dan diganti oleh Al-Qur’an. Allah menyebutkan terjadi pengubahan dan pemalsuan terhadap keduanya di lebih dari satu tempat dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah : 75 yang artinya :
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, sedang mereka mengetahui”.
Dan dalam Surah Al-Maidah : 13 – 15 yang artinya :
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan di antara orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nashrani’, ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi (mereka) sengaja melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberikan peringatan dengannya, maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari Kiamat. Dan kelak Allah akan memberikan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan. Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang ) dibiarkannya”.
Di antara bentuk pengubahan yang dilakukan ahli kitab adalah penisbatan anak kepada Allah. Mahasuci Allah dari yang demikian, mereka mengatakan, seperti dalam Surah At-Taubah : 39 yang artinya :
“Orang-orang Yahudi berkata; ‘Uzair itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling”.
Begitu pula penuhanan orang-orang Nashrani terhadap Nabi Isa as serta perkataan mereka bahwa Allah adalah salah satu oknum dari tiga unsur (atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan “trinitas”).
Allah SWT dalam Surah Al-Maidah : 72 – 73 yang artinya :
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata; ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadamu Surga dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada sesembahan selain dari Allah Yang Mahaesa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”.
Allah menjelaskan bahwa mereka telah mengubah firman-Nya. Mereka melalaikan peringatan-peringatan Allah serta menisbatkan kepada-Nya apa yang Allah Mahasuci dan bersih daripadanya. Mereka menuhankan yang lain-Nya bersama-Nya, dan berbagai hal lain yang mereka susupkan ke dalam kitab-kitab mereka. Dengan demikian tidak sah dan tidak benar penisbatan kitab-kitab ini kepada Allah.
Di samping itu ada beberapa hal yang lebih menguatkan ketidakbenaran penisbatan ini kepada Allah -di samping apa yang dinyatakan dalam Al-Qur’an- yaitu antara lain :
a. Sesungguhnya apa yang ada di tangan ahli kitab yang mereka yakini sebagai kitab suci adalah bukan nuskhah (naskah) yang asli, akan tetapi terjemahannya.
b. Bahwa kitab-kitab itu telah dicampuri dengan perkataan para mufassir dan para muarrikh (ahli sejarah), juga orang-orang yang mengambil kesimpulan hukum dan sejenisnya.
c. Tidak benar penisbatannya kepada rasul, karena tidak mempunyai sanad yang dapat dipercaya (dipertanggungjawabkan). Taurat ditulis sesudah Nabi Musa as berselang beberapa abad. Adapun Injil-injil yang ada, semuanya dinisbatkan kepada pengarang atau penulisnya, lagi pula telah dipilih dari Injil-injil yang bermacam-macam.
d. Bermacam-macamnya naskah serta kontradiksi yang ada di dalamnya menunjukkan secara yakin atas perubahan dan pemalsuannya.
e. Injil-injil itu berisi aqidah-aqidah yang rusak dalam menggambarkan Sang Pencipta dan menyifati-Nya dengan sifat-sifat kekurangan. Begitu pula menyifati para nabi dengan sifat-sifat kotor. Karena itu orang Islam wajib meyakini bahwa kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bukanlah kitab yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya, bahkan kitab-kitab itu adalah karangan mereka sendiri. Maka kita tidak membenarkan sesuatu darinya kecuali apa yang dibenarkan oleh Al-Qur’an yang mulia dan As-Sunnah yang disucikan. Dan kita mendustakan apa yang didustakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita tidak berkomentar tentang sesuatu yang tidak dibenarkan atau didustakan oleh Al-Qur’an, karena ia mengandung kemungkinan benar atau dusta.Dalil-dalil Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, diantaranya:
1. Firman Allah Swt dalam Surah Al-Hujurat : 9-10 yang artinya :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Segi Istidlal (pengambilan dalil)nya: Allah tetap mengakui keimanan pelaku dosa peperangan dari orang-orang mukmin dan bagi para pembangkang dari sebagian golongan atas sebagian yang lain, dan Dia menjadikan mereka menjadi bersaudara. Dan Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk mendamaikan antara saudara-saudara mereka seiman.
2. Abu Said Al-Khudri mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Allah memasukkan penduduk Surga ke Surga. Dia memasukkan orang-orang yang Ia kehendaki dengan rahmat-Nya. Dan Ia memasukkan penduduk Neraka. Kemudian berfirman, ‘Lihatlah, orang yang engkau dalam hatinya iman seberat biji sawi maka keluarkanlah ia’. Maka dikeluarkanlah mereka dari Neraka dalam keadaan hangus terbakar, lalu mereka dilemparkan ke dalam sungai kehidupan atau air hujan, maka mereka tumbuh di situ seperti biji-bijian yang tumbuh di pinggir aliran air. Tidaklah engkau melihat bagaimana ia keluar berwarna kuning melingkar? .” (HR.Muslim, I/172 dan Bukhari, IV/158).
Segi Istidlal-nya, adalah tidak kekalnya orang-orang yang berdosa di Neraka, bahkan orang yang dalam hatinya terdapat iman yang paling rendah pun akan dikeluarkan dari Neraka, dan iman seperti ini tidak lain hanyalah milik orang-orang yang penuh dengan kemaksiatan dengan melakukan berbagai larangan serta meninggalkan kewajiban-kewajiban.
Dampak Maksiat Terhadap Iman
Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan ‘laa ilaaha illallah’ dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun meninggalkan (larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau mendustakan, maka ia bisa membatalkan iman. Sebagaimana Allah SWT menceritakan tentang Fir’aun dengan firman-Nya dalam Surah An-Nazi’at 21 yang artinya:
“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.”
Dan terkadang maksiat itu tidak sampai pada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum-minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini kehalalannya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok pembenaran dan iman tetap ada di hatinya. Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan melakukan amal shaleh maka kembalilah khassyah dan cahaya itu ke dalam hatinya. Apabila ia terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai menutupi serta menguncinya -na’udzubillah!-. Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat, meninggalkan dan beristighfar maka mengkilaplah hatinya. Dan jika menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik hitamnya) sampai menutupi hatinya. Itulah ‘rain’ yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an.” “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin : 14, HR. Ahmad II/297).
Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu bahwasanya iman itu seperti pohon besar yang rindang. Maka akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) dan dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya adalah amal perbuatan. Dengan cabang itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Semakin bertambah cabangnya maka semakin bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu. Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa berdaun maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam tanah.
Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia selalu membuat pengurangan dan aib dalam kesempurnaan dan keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan tersebut. Wallau a’alam.

Cari Blog Ini