Tujuan utama perjalanan Isra Mi’raj adalah menghadap Allah Subhaanahu Wataala di suatu tempat di dekat Pohon Sidratul Muntaha, di atas langit ketujuh yang berdekatan dengan Surga. Dituturkan dalam Al Qur’an Surat Al Najm (53:18), di sanalah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menyaksikan sebagian tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Muhammad Asad, seorang mufasir Al Qur’an mengungkapkan bahwa Pohon Sidratul Muntaha memiliki makna simbolik. Pohon ini dikenal juga dengan pohon lotus (pohon teratai, bidara atau seroja, yang penuh duri dan biasa terdapat di padang pasir). Sejak zaman Mesir kuno, pohon ini dianggap lambang kebijaksanaan (wisdom). Dengan kata lain, Sidratul Muntaha ialah lambang kebijaksanaan tertinggi dan terakhir, yang tentunya hanya dapat dicapai oleh manusia pilihan, seperti Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Makna simbolik lainnya yaitu kerindangan dan keteduhan yang melambangkan kedamaian dan ketenangan. Jika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah sampai ke Sidratul Muntaha, berarti beliau mencapai tingkat kedamaian, ketenangan dan kemantapan yang tinggi
Dalam Kitab Suci juga diterangkan bahwa Sidratul Muntaha berdekatan dengan Surga, negeri kedamaian (Darussalam). Dengan demikian, untuk mencapai Surga tentunya harus berada dalam tahap kebijaksanaan, ketenangan dan kemantapan yang tinggi pula.
Sebelum memperoleh kehormatan menuju Sidratul Muntaha, di Masjidil Haram, Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail Alaihissalam terlebih dahulu membersihkan hati Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan air zam-zam untuk melapangkan dadanya.
Inilah awal pencerahan spiritual yaitu membersihkan penyakit hati yang biasa diderita manusia dan mengisinya dengan hikmah, ilmu dan iman.
Setelah itu, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sempat 3 kali berhenti. Pertama, di Madinah untuk melaksanakan shalat sunat. Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sempat pula melihat rombongan kafilah yang sedang mencari seekor untanya yang hilang. Beliau pun membantu menunjukkan tempat unta tersebut.
Ini merupakan pencerahan sosial Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam saat Isra Mi’raj.
Kedua, melaksanakan shalat di bukit Tursina, suatu tempat dimana Nabi Musa Alaihissalam mendapat 10 perintah Tuhan.
Ketiga, shalat di Yerussalem, tempat Nabi Isa Alaihissalam dilahirkan.
Terakhir Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berhenti di Baitul Maqdis. Disini beliau melaksanakan shalat sunat di Masjidil Aqsha. Setelah itu, tampaklah sebuah jalan menuju ke langit dan Beliau melaluinya.
Tiba di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu Tuhan Yang Maha Besar dan mendapat perintah melaksanakan shalat wajib 5 kali sehari.
Lantas, apakah makna dibalik peristiwa Isra Mi’raj ini?
Manusia yang ingin menggapai kesuksesan dalam menjalani kehidupan ini, maka langkah awalnya adalah:
Pertama, membersihkan seluruh penyakit hati seperti, iri, dengki, hasad, dll. Apabila manusia sudah benar-benar bersih dari segala penyakit hati atau setidaknya berupaya sekuat tenaga ke arah itu, maka tercermin dalam perilaku kesehariannya.
Kedua, mulailah pencerahan spiritual dengan melaksanakan ibadah sesuai syariat. Pencerahan spiritual ini tidak mudah, beragam rintangan menghadang, terutama akibat kesibukan duniawi, kemalasan badan dan kemalasan berpikir. Tetapi apabila ikhlas disertai tanggung jawab tinggi dalam memegang syariat, tentu akan dapat dijalankan dengan baik.
Selanjutnya melakukan pencerahan sosial yaitu:
Pertama, dimulai dari keluarga terdekat seperti suami, istri, anak, mertua, menantu, ipar, dll. Jadilah figur berperilaku baik, agar keluarga terdekat bisa menerima saran dan nasehat yang diberikan. Kalau tidak ada contoh dari diri sendiri, mustahil mereka akan mengikutinya. Contoh yang diberikan bukan sekadar perilaku baik, melainkan juga bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang dan pangan.
Karena itu, etos kerja yang tinggi harus menyertai pencerahan sosial. Meski harus diakui, lahan nafkah seringkali tidak memenuhi harapan yang diinginkan. Sementara kebutuhan hidup tinggi, pendapatan tidak seberapa. Inilah ujian terberat yang harus dihadapi seseorang yang ingin berhasil dalam menuju kesuksesan. Disinilah ketangguhan seseorang diuji dalam menghadapi setiap cobaan.
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memberi contoh kepada umatnya melalui hijrah. Karenanya, etos kerja harus bersifat dinamis atau tidak terpaku di suatu tempat tertentu saja. Hijrah mencari penghidupan yang lebih baik dan tidak bersikap pasif di suatu tempat tertentu. Tidak menyerah kepada keadaan dimana dirinya berada.
Apabila mau berhijrah, maka Tuhan menjanjikan kemudahan, keleluasaan dan kelapangan hidup. Sebagaimana Firman Allah SWT: “Dan barang siapa berhijrah (berpindah) maka dia akan mendapatkan banyak perlindungan di bumi (selain tempatnya sendiri) dan keleluasaan.” (Q.S; 4:100). Atau : ”Sampaikanlah: “wahai hamba-hamba-KU yang beriman. Berbaktilah kamu untuk mereka yang berbuat baik di dunia ini. Dan bumi Allah itu luas….” (Q.S: 39:10). Bukankah dimanapun kamu berada disitu bumi Tuhan yang sama?
Berhijrah atau merantau ke suatu tempat yang sekiranya mendatangkan rezeki menjadi suatu keharusan, seandainya tempat menetap (domisili) tidak memungkinkan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya. Dianjurkan untuk menjelajahi bumi dan melihat kemungkinan yang ada di luar tempat kita sendiri
Daripada diam terpaku dirumah, lebih baik melanglang buana ke Negara seberang.
Meskipun demikian, harus disadari apabila tercapai kesuksesan, maka kesuksesan yang diraih itu tidaklah dinilai dari melimpahnya pencapaian materi, kedudukan tinggi atau terpenuhinya hawa nafsu. Melainkan bagaiamana menjaga diri dan seluruh keluarga kita dari tempat terburuk, yaitu siksa api neraka. Ku anfusakum wa ahlikum naaron. Mengapa begitu?
Karena tidak ada artinya materi melimpah sedangkan ada diantara anggota keluarga kita yang berjalan dalam arah yang menyimpang dari syariat agama. Sebagaimana sekarang ini banyak terjadi.
Secara ekonomi, orang tua berhasil dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Tetapi secara moral, anaknya justru berperilaku buruk. Bukankah hal semacam ini hanya akan merepotkan orangtuanya di dunia ini? Apalagi di akhirat kelak.
Inilah sesungguhnya makna hakiki dari kesuksesan hidup yaitu menjaga diri dan keluarga dari jalan yang diridhoi Tuhan. Dengan kata lain, tidak ada penilaian kesuksesan atau pencapaian materi yang diperoleh, popularitas atau kedudukan yang dipegang.
Kedua, melihat lingkungan sekitar, seperti tetangga. Terutama mereka yang masih dibelit dengan persoalan duniawi. Perlu mengetahui masyarakat sekitar, apakah masih dalam kemiskinan, ketidakadilan atau kebodohan?
Andaikata dijumpai hal seperti itu, tugas utamanya memberantasnya dengan harta dan tenaga, meski sekaedar kemampuannya. Beramal, infaq, sodaqah dan zakat menjadi bagian yang harus dilakukan.
Tugas ini tentunya tidaklah mudah. Dalam peristiwa Isra Mi’raj, pencerahan sosial Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dicontohkan saat menunjukkan letak unta milik para kafilah yang hilang.
Pada akhirnya, pencerahan sosial akan membentuk kesalehan sosial, yaitu kepedulian yang tinggi terhadap sesama manusia, terutama terhadap fakir miskin dan anak-anak yatim. Sedangkan, pencerahan spiritual membentuk kesalehan pribadi yang tercermin dalam perilaku akhlak keseharian yang baik dan teguh dalam memegang syariat agama.
Kehidupan merupakan bagian dari upaya manusia untuk menuju kesuksesan, yang harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, ketenangan dan kemantapan iman yang tinggi.
Apabila berhasil dalam melakukan dua pencerahan ini, Tuhan Yang Maha Besar sudah menjanjikan kepada umat manusia berupa Surga di dunia yaitu kebahagiaan, kedamaian dan jiwa yang tenang (nafs muthmainnah) dalam mengarungi kehidupan.
Kemudian dijanjikan Surga di akhirat kelak. Setelah merasa senang berada di kediaman abadi, selanjutnya manusia mendapat kesempatan untuk memandang wajah Tuhan di Sidratul Muntaha, sebagaimana pernah dialami Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Inilah puncak kebahagiaan tertinggi manusia.
Harus dipahami, bahwa dalam menggapai kesuksesan tidak dibutuhkan penonton. Kita semua adalah pelaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar