“Ya Allah sungguh aku berlindung kepadaMu dari rasa takut (menjadi penakut), dan aku memohon kepadaMu dari kebakhilan (pelit), dan aku mohon kepadaMu dari terlempar pada
umur yang
sia-sia, dan aku mohon kepadaMu dari fitnah dunia dan adzab kubur.”(Hr Al-Hakim).
Riwayat dari
Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya yang berkata: Kami mohon perlindungan dengan kalimat-kalimat yang Nabi Saw, berlindung dengan kalimat ini:
“Ya Allah sungguh aku berlindung kepadaMu dari rasa takut (menjadi penakut), dan aku memohon kepadaMu dari kebakhilan (pelit), dan aku mohon kepadaMu dari terlempar pada umur yang
sia-sia, dan aku mohon kepadaMu dari fitnah dunia dan adzab kubur.” (Hr Al-Hakim).
Nabi Saw, memohon perlindungan dari hal-hal yang memutuskan diri dengan Allah Ta’ala.
Rasa takut (penakut) adalah faktor yang membebani untuk
bicara kebenaran.
Bakhil bisa membuat penghambat untuk meraih kebenaran
Umur yang sia-sia bisa mengalihkan aktivitas meraih kebenaran.
Fitnah dunia bisa memutus diri dari kebenaran.
Dan azab kubur adalah kesimpulan dari semua itu dan kita mohon perlindungan dari Allah Ta’ala.
Itulah kandungan permohonan perlindungan yang mulia dari Nabi Muhammad Saw, sebagai petunjuk agar membuang hasrat penakut dan bakhil, dan dibangkitkannya semangat menuju Allah Ta’ala, yang merupakan nilai luhur kaum ‘arifin.
Ya Allah berilah pertolongan pada kami atas apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhoi. Wahai Yang membuat kebaikan orang-orang saleh, wahai yang menjadi wali bagi Muttaqin, dan wahai yang menjadi bukti bagi orang yang bingung, wahai tambatan kebahagian orang-orang ‘arifin, wahai Yang Maha Pengasih bagi yang dikasihi.
Ridho kepada Allah Ta’ala.
Ketahuilah bahwa seorang hamba manakala mengetahui bahwa Allah Swt adalah Dzat Paling Bijaksana atas aturanNya, dan Maha Kuasa dan Maha Tahu atas apa yang diputuskan dan diaturNya, dan apabila hamba tahu dirinya bodoh terhadap apa yang dicinta dan dibenci, maka ia akan Ridho kepada Allah Ta’ala dalam aturan dan ketentuanNya.
Ridho adalah tentramnya qalbu kepada Dzat Yang Maha Mengatur dan membiarkan pilihan kepadaNya disertai kepasrahan. Tidak ada yang lebih berat bagi nafsu kecuali harus ridho terhadap ketentuan Allah Ta’ala. Karena ridho pada ketentuanNya bisaanya berbeda dengan kerelaan hawa nafsunya. Maka berbahagialah jika ada hamba yang memprioritaskan ridhonya Allah Ta’ala dibanding kerelaan dirinya. Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as bermunajat: “Ilahi, Engkau beri keistimewaan padaku dengan Kalam, dan belum pernah Engkau Bicara kepada manusia sebelumku. Maka tunjukkanlah aku pada amal yang bisa kuraih ridhoMu…”
Allah Ta’ala menjawab, “Hai Musa! RidhoKu padamu, adalah ridhomu atas ketentuanKu…”
Ad-Darany ra mengatakan, “Aku berharap meraih ridhoNya sekejap saja, dan walau pun Allah Ta’ala memasukkan diriku ke dalam neraka, aku pun rela dengan ketentuanNya. Dan yang paling berhak untuk ridho adalah ahli ma’rifat, karena ridho adalah Pintu Allah paling agung.”
Diriwayatkan pada sebagian kitab Allah Swt:
Bahwa Jibril as, sedang turun ke bumi. Lantas ia melihat sosok lelaki yang memiliki pancaran ketenangan.
“Betapa hebat lelaki ini,” kata Jibril.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman pada Jibril, “Hai Jibril! Lihat namanya di Lauhul Mahfudz yang berderet dengan nama-nama
ahli nereka!”
“Tuhanku, lalu apakah semua ini?” Tanya Jibril.
“Hai Jibril! Sesungguhnya Aku tidak dimintai pertanggung-jawaban apa yang Kulakukan, dan tak seorang pun tahu dari semua makhlukKu apa pun PengetahuanKu, kecuali yang Aku kehendakinya…” jawab Allah Ta’ala.
“Oh Tuhan, apakah Engkau memberi izin padaku untuk memberi informasi atas apa yang aku ketahui?”
“Silahkan, engkau dapat izin…” jawab Allah Ta’ala.
Jibril as lalu turun ke bumi memberi kabar apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana situasi sebenarnya yang menimpa orang itu. Tiba-tiba orang itu malah bersujud, sembari bermunajat, “Bagimulah segala puji wahai Tuhanku atas ketentuanMu dan takdirMu. Pujian yang melebihi pujian orang-orang yang memujiMu, dan semakin tinggi dibanding syukurnya orang-orang yang bersyukur.”
Orang itu terus memuji Allah Ta’ala hingga Jibril as menduga bila orang tadi tidak mendengar apa yang telah disampaikan.
“Hai hamba Allah, apakah kamu mendengar apa yang ku ucapkan?” Tanya Jibril as.
“Ya, aku mendengar. Engkau memberi kabar bahwa engkau telah mendapatkan diriku berada diantara deretan daftar ahli neraka di Lauhul Mahfudz sana…”
“Lalu kenapa masih saja memujiNya dan bersyukur padaNya?” Tanya Jibril penasaran. “Subhanallah
wahai Jibril! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menentukan dengan sepenuh kesempurnaan ilmuNya, dan keleluasaan rahmat dan kasihNya, dengan kelembutan RububiyahNya, serta hakikat hikmahNya. Lalu apalah artinya aku sampai aku tidak rela? Maha Berkah Allah Tuhanku….”
Lalu orang itu sujud kembali, dan terus menerus bertasbih
dan bertahmid. Kemudian Jibril as, kembali kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman pada Jibril, “Kembalilah ke Lauhul Mahfudz, dan lihatlah apa yang bakal kau lihat….” Jibril kembali ke Lauhul Mahfudz, tiba-tiba nama orang tersebut berderet dengan daftar nama-nama ahli syurga.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai Jibril! Itulah yang kau lihat, Aku tidak diminta pertanggungjawaban apa yang Aku lakukan.”
“Ya Tuhanku, izinkah aku untuk memberi kabar apa yang kulihat.”
Allah Ta’ala berfirman, “Silahkan engkau mendapat izin…”
Lalu Jibril turun dan memberi kabar apa yang dilihat di Lauhul Mahfudz. Betapa mengejutkan lelaki itu tetap saja sebagaimana semula bermunajat: “Ilahi, bagiMu-lah Puji wahai Tuhan atas qodlo’ dan qodarMu, pujian yang melebihi pujian orang yang memuji dan syukur yang melebihi syukurnya orang yang bersyukur.”
Lalu Jibril kembali dengan penuh kekaguman atas kesempurnaan ridho orang itu kepada Allah Ta’ala atas apa pun hukum dan aturan yang diberlakukan padanya. Begitu juga sebuah riwayat, bahwasanya Allah Ta’ala memberikan wahyu kepada salah satu NabiNya: “Hendaknya engkau katakan pada hambaKu Fulan bin Fulan, “bahwa kamu ahli neraka..”
Ketika risalah itu sampai kepada si fulan itu, ia justru memuji Allah Ta’ala. “Alhamdulillah atas apa yang telah ditentukan padaku. Perkara adalah perkaraNya, dan hukum adalah hukumNya.”
Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya, “Temui sekali lagi, dan berikan kabar padanya bahwa Aku telah mengampunimu sepanjang ia rela atas ketentuanKu.” Kemudian risalah Ilahi itu disampaikan pada fulan tersebut, lalu ia menjerit dan berakhir dengan kematian. Perlu diketahui bahwa ketentuan Allah itu berkisar empat hal:
- Ketentuan nikmat Allah Ta’ala , maka bagi hamba haruslah ridho dan bersyukur.
- Ketentuan cobaan Allah Ta’ala, maka bagi hamba harus rela dan sabar.
- Ketentuan taat dari Allah Ta’ala maka bagi hamba harus rela dan memandang anugerahNya serta menegakkan kewajiban hingga maut menjemputnya.
- Ketentuan maksiat, maka bagi hamba ridho bahwa itu takdir Allah Ta’ala dan bertaubat.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, ditanya mengenai Qodlo dan Qodar. Beliau menjawab, “Malam yang gelap, lautan yang dalam, dan rahasia Allah yang agung. Siapa yang ridho kepadaNya, maka
ia akan ridho atas takdir itu. Dan siapa yang benci maka Allah akan membencinya.”
Diriwayatkan ketika gergaji diletakkan di atas kepala Nabi Zakaria as, ia berhasrat untuk memohon pertolongan kepada Allah Swt, kemudian Allah Swt memberi wahyu, “Wahai Zakaria! Pilih mana engkau rela dengan aturanKu padamu atau bumi ini akan Aku balik, lalu semua yang ada di muka bumi hancur.” Nabi Zakaria as, hanya diam (rela dengan turanNya), tiba-tiba gergaji itu putus menjadi dua.
Rabi’ah al-Bahsriyah ra, sedang sakit, lalu ditanya, “Apakah engkau tidak memanggil dokter?”
“Siapa yang mengaturku?” balik bertanya.
“Allah Ta’ala…” kata mereka.
“Apakah orang seperti saya ini pantas menolak aturan takdir Tuannya?” jawabnya.
Abu Bakr ash-Shiddiq ra sedang sakit, dan ditanya:
“Apakah kami harus memanggil dokter untukmu?”
“Allah Swt sudah melihat keadaanku…”
“Apa yang dikatakan olehNya?”
“Dia mengatakan, “Sesungguhnya Aku melakukan apa yang-Ku kehendaki..”
Seorang Nabi tiba-tiba mengadu kepada Allah Swt, atas musibah yang dibencinya, kemudian Allah Swt, menurunkan wahyu, kepadanya:
“Sudah berapa kali engkau mengadu kepadaKu,
dan Aku bukan layak dicerca dan bukan layak dikeluhi! Demikian pula awal keadaanmu ada dalam IlmuKu, kenapa engkau harus benci? Apakah kamu senang jika dunia kukembalikan gara-gara kamu? Atau Aku mengubah Lauhul Mahfudz akibat dirimu? Lantas Aku mengatur rencana yang meringankan dirimu sebagaimana kehendakmu, bukan menurut kehendakKu, sehingga apa yang engkau senangi bukan apa yang Aku senangi? Maka demi KebesaranKu Aku bersumpah, seandainya masih ada gejolak sekali lagi dalam dadamu, Aku pasti akan merobek baju kenabianmu, dan aku lempar dirimu ke neraka, dan Aku tidak peduli.”
Para ahli bijak mengatakan, “Tidak mengherankan orang yang diberi cobaan lalu sabar. Tetapi yang menakjubkan adalah yang diberi cobaan namun ia rela.”
Abdul Wahid bin Zaid ra ditanya, “Manakah yang lebih utama diantara dua orang ini: Seorang senang hidup selamanya agar bisa taat kepadaNya, dan seorang lagi ingin segera mati demi rindu kepadaNya?” “Tidak dua-duanya,” jawab Abdul Wahid, “Tetapi yang utama adalah seorang yang menyerahkan perkaranya kepada Allah Swt, dan ia berdiri di atas jejak ridho kepada Allah dengan benar. Bila
ia dihidupkan lama ia pun senang, begitu pula jika harus mati ia pun senang. Itulah derajat rela kepada Allah Ta’ala, dan perilaku orang yang ma’rifat kepadaNya.”
Umar bin Abdul Aziz ra, ditanya,”Apa sebenarnya yang membuatmu senang?”
“Apa yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala kepadaku,” jawabnya.
Abu Abdullah an-Nasaj ra, mengatakan, “Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba yang sangat malu dengan kesabaran, lalu mereka menempuh jalan ridho. Dan Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba, manakala mereka mengetahui darimana datangnya takdir, pasti mereka sangat menerimanya dengan cinta dan ridho.”
Dalam hadits dijelaskan, “Pertamakali yang ditulis oleh Allah Ta’ala di Lauhul Mahfudz adalah Laa Ilaaha Illalloh Muhammadur Rasulullah, siapa yang menyerahkan dirinya pada qodlo’Ku dan sabar atas cobaanKu, serta bersyukur atas nikmatKu, Aku tulis ia tergolong orang yang sangat benar (shiddiq), dan Aku bangkitkan dia bersama para Shiddiqun. Namun siapa yang tidak rela pada rencanaKu, tidak sabar atas cobaanKu dan tidak syukur atas nikmatKu, hendaknya ia memilih Tuhan selain Aku.!” Juru bicara mereka lalu berkata, “Hai diri! Sungguh aku memasrahkan totalmu pada Tuhanmu, bila Dia berkehendak, Dia membuatmu lapar, dan jika Dia mau, Dia membuatmu kenyang, jika Dia mau, Dia bisa membuatmu mulia, dan jika Dia mau, Dia membuatmu hina. Kalau Dia Mau, Dia menghidupkanmu, dan bila Dia mau, Dia mematikanmu! Dia Maha Cukup dan Dia lebih Utama dibanding dirimu. Secara keseluruhan dirimu hanya bagiNya, hai diri! Kamu tidak punya apa-apa, dan aturan itu hanya bagi Yang Maha Mengatur, Mencipta dan memerintah!”Yahya bin Mu’adz ar-Razy ra, ditanya, “kapan kehidupan orang beriman itu bagus?”
“Ketika ia rela apa pun dari Allah Swt, atas apa yang direncanakan dan ditakdirkan padanya, yang telah diatur dan diurus olehNya.”
“Kapan hamba bisa rela kepada takdirNya? Ditanya lagi.
“Manaka hamba bermunajat kepada Tuhannya, “Oh Tuhanku, bila Engkau memberiku aku bersyukur, bila Engkau menggagalkanku Aku rela, dan bila Engkau memanggilku aku menjawab, dan bila Engkau meninggalkanku aku tetap mengabdi.”
- Zuhud itu ada sepuluh bagian, yang paling tinggi dari derajat zuhud adalah paling rendahnya derajat wara’.
- Wara’ itu ada sepuluh bagian, tertinggi dari derajat wara’ adalah paling rendahnya derajat yaqin.
- Yaqin ada sepuluh bagian, dan paling tinggi derajatnya adalah paling rendahnya derajat ridho, karena ridho adalah derajat tertinggi ‘ubudiyah. Dan Allah menjadikan kebebasan dan keleluasaan jiwa dalam ridho, dan menjadikan kesusahan pada rasa benci.
Dikisahkan bahwa Athiyah al-Himshy ra, mengatakan, “Orang tuaku berkata kepada Ibrahim bin Adham ra, “Hai Abu Ishaq, bila anda menulis tentang hadits ini sebagimana kami melakukannya?”
Ibrahim mengatakan, “Aku disibukkan oleh tiga hal, kalau aku sudah selesai maka aku akan melakukan seperti yang anda lakukan.”
“Apa tiga hal itu?” Tanya ayahku.
“Tawakal kepada Allah atas rizki yang diberikan kepadaku; ikhlas beramal hanya bagi Allah, dan rela kepada ketentuan Allah Ta’ala. Soal tawakkal dan ikhlas, aku sudah bisa menyelesaikannya, dengan pertolongan Allah Ta’ala. Sedangkan rela (ridho) terhadap ketentuan Allah Ta’ala, sungguh aku sangat sibuk sekali hingga belum selesai.”
Lalu orang tuaku menangis menderu-deru, sembari berkata, “Betapa jauh kami ini, untuk menggapai yang kau raih. Lalu apakah kami mampu bicara posisi di atas ridho jika begitu?
Sedikitpun tak mampu”.
Muhammad bin Wasi’ ra berkata, “Sesungguhnya aku menutup diri kecuali kepada orang yang mulai pagi hingga petang tak ada makanan, namun ia tetap ridho kepada Allah Ta’ala.”
Sufyan Ats-Tsaury ra ditanya, “Kapankah seorang hamba rela kepada ketentuan Allah Ta’ala?”
“Manakala ia gembira dalam bencana, sebagaimana ia gembira dalam nikmat,” jawabnya. Seseorang bertanya kepada Imam Husein ra, “Abu Dzar ra, mengatakan, bahwa kefakiran itu lebih kucintai ketimbang kekayaan, dan sakit itu lebih kucintai ketimbang sehat.”
“Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Tapi menurutku, siapa yang rela terhadap pilihan Allah Ta’ala, ia pasti tidak berharap lain selain pilihan Allah Ta’ala,” jawab Imam Husein.
Yahya bin Mu’adz ra, mengatakan, “Aku mencari ilmu, namun aku tidak bisa istirahat. Lalu aku mencari amal, itu pun aku tak bisa istirahat. Lalu aku ridho kepada Allah Ta’ala, aku baru tenggelam dalam istirahat.” Abu Darda’ ra. mengatakan, “Yang penting bukan memakan roti gandum kering, juga bukan memakai pakaian wool, tetapi yang penting adalah ridho atas ketentuan Allah Ta’ala.”
Dalam syair:
Ketentuan Allah Swt bakal tiba
Sang hamba suka atau pun tidak.
Bukan itu yang langgeng
Tapi semua toh bakal terjadi.
Dalam pedang Sayyidina Umar bin Khothob ra tertulis
sebuah syair:
Telah terjadi hukumNya padamu
Maka putuskanlah menurut apa yang dikehendakiNya
Sambutlah yang bakal terjadi
Walau dirimu tak menghendaki
Hari manakah yang aku bisa lari dari mautku
Hari yang aku tak ditakdirkan atau tidak
Hari yang tidak ditakdirkan pasti aku tidak mati
Dan pada hari yang ditakdirkan pun
Peringatan tak bisa menyelamatkan.