Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Senin, 06 Juni 2011

Hakikat Kefakiran

Riwayat dari Amirul Mu’minin Sayyidina Ali ra, Nabi saw, bersabda:“Jibril berkata kepadaku, bahwa Rabbul ‘Izzah swt berfirman: “Kalimat Laa Ilaaha Illallah adalah bentengKu. Maka siapa yang mengucapkannya berarti masuk di bentengKu, dan siapa yang masuk bentengKu, ia aman dari siksaKu.” Hadits Qudsi  yang sampai kepada kita ini merupakan hadits mulia dengan sanad agung yang di dalamnya ada pekerti Kalimat Tauhid yang bisa menambah iman seorang hamba dan memenuhi kema’rifatan-nya, bahkan sang hamba diharuskan melanggengkan secara disiplin Kalimat tauhid itu. Kalimat itulah yang merupakan Ruh Tauhid, yang bagi pengucapnya –setelah iman– merupakan kebajikan yang diajarkan Nabi saw.
Kalimat tauhid itu merupakan raihan hamba untuk senantiasa membutuhkan Allah Ta’ala dan remuk redam di bawah keagunganNya, hingga kalimat itu menjadi benteng bagi si hamba atas izin Allah Ta’ala.

Allah Satu-satunya Kecukupan
Anak-anak sekalian, sesungguhnya Kecukupan dan Kefakiran itu dua sifat yang satu sifat Allah Ta’ala dan satu lagi sifat hamba. Sifat faqir sebagai sifat hamba yang terpuji sebagaimana Sifat Maha Cukup bagi Allah Ta’ala, sebagai sifat terpujiNya.
Faqir secara hakiki adalah sifat hamba, karena tidak bisa dicampuri sifat cukup
Kaya secara hakiki adalah Sifat tuhan yang sama sekali tidak dicampuri sifat faqir.
Sifat-sifat termulia bagi hambaNya adalah sifat butuhnya kepada Allah Ta’ala dalam segala hal sebagaimana sifat-sifat laing mulianya Tuhan adalah tidak butuhNya kepada hambaNya sama sekali dalam segala hal. Allah swt, berfirman:
“Dan Allah adalah Yang Maha Kaya dan kalian adalah sangat faqir.”
“Hai manusia, kalian adalah sangat faqir kepada Allah, dan Allah adalah Maha Kaya dan Maha Terpuji.”

Ketahuilah bahwa sifat butuh kepada Allah swt, itu terbagi:
Kebutuhan nafsu
Kebutuhan ruh
Kebutuhan qalbu
Kebutuhan rahasia batin (sirr)

Kebutuhan nafsu kepada Allah Ta’ala adalah menempuh jalan taqarrub dan ridlo. Kebutuhan rahasia batin (sirr) kepada Allah Ta’ala dalam menempuh jalan musyahadah dan liqo’ (bertemu Allah Ta’ala)
Selama hamba melihat nafsunya  bingung  di depan pintu perjanjian dan pemenuhan perjanjiannya, ia akan kembali kepada pintu permohonan maafnya.
Selama hamba melihat ruhnya bimbang di depan pintu Kasih dan CintaNya, ia kembali pada sifat butuh pada pintu pertolonganNya.
Dan diantara tanda hakikat sangat butuh kepadaNya adalah:
Merasa cukup dengan Yang Maha Mencukupi, membuang nafsu yang sakit di hadapan Sang Maha Pemaaf.
Menunggu sebab dari Sang Penyebab, dengan melihat sebab akibat. Lalu sibuk dengan Sang Penyebab dengan melupakan sebab akibatnya.
Meniti diri dan merasa bersalah dengan ungkapan rasa butuh yang benar, disertai remuk redam jiwa.
Membersihkan rahasia batin dari melihat amal, dan meninggalkan bergantung mengandalkan amal dengan perilaku yang baik.
Ia tidak berpaling dariNya, baik karena makhluk maupun kerajaanNya.
Abdullah bin Muqatil ra, ditanya, “Kapankan sang hamba disebut kaya dan butuh, pada  saat yang sama dalam kaya dan butuhnya jadi terpuji?”
“Apabila merasa kayanya itu bersama Allah swt, jauh dari butuh pada makhluk, dan butuhnya hanya kepada Allah swt.” jawabnya.
Abu Bakr al-Wasithy ra, mengatakan, “Seorang hamba tidak mengenal Allah dengan sejatinya ma’rifat, manakala ia tidak mengenal ‘kebutuhan besar’ nya.”
Beliau ditanya, “Apa itu kebutuhan besar?”
“Hendaknya ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan hidayah  mengenal Allah swt, kecuai oleh Allah swt, dan tidak akan selamat dari kebencian Allah swt, kecualui bersama dengan Allah swt.”
Disebutkan bahwa rasa butuh kepadaNya adalah bendera para wali.
Dikatakan pula, “Rasa butuh padaNya adalah melemparkan jiwa di hadapanNya, seperti anak bayi di haribaan bundanya.”
Rasa butuh kepadaNya adalah rampung dalam pelaksanaan menjaga diri, menjaga diri dalam kewalian, kewalian dan pertolongan, dan pertolongan dalam hidayah.
Siapa yang tidak rampung dengan urusan makhluk, ia tidak mendapatkan penjagaan diri, dan siapa yang tidak menjaga dirinya tidak meraih wilayah Ilahi, siapa yang tidak meraih wilayah tidak meraih ‘inayah, dan siapa yang tidak meraih ‘inayah tidak meraih hidayah.
Anak-anak sekalian! Bahwa sesungguhnya makhluk dengan segala yang dimilikinya adalah sangat faqir, sangat butuh kepada Allah Ta’ala. Ia mampu tetap di bawah kehendakNya, dan ia lemah di bawah KuasaNya dan IlmuNya, sama sekali tidak memiliki kekuasaan atas dirinya dan pada lainnya, baik itu manfaat maupun bahaya, hina maupun mulia, mati ataupun hidup.
Ia ditegakkan antara bagian kemnikmatan maupun kemurahaan, berhenti diantara keterputusan dan kebinasaan, akhir kehidupan mereka tetap terahasiakan. Mereka hanya punya harapan dan ketakutan, fakir dan doa, tunduk dan menangis.
Sifat faqir manalagi yang melebihi sifat tersebut? Apakah ada yang lebih lemah dibanding kondisi seperti itu?
Rasa butuh kepada Allah Ta’ala itu merupakan tangga bagi para pecinta, derajat tertinggi bagi mereka kembali, kemuliaan perilaku para penempuh, instrumen agung para awwabin, maqom terbesar bagi orang-orang yang taubat, dan piranti tertinggi para muqorrobin.
Rasa butuh kepada Allah Ta’ala adalah dasar ubudiyah, jiwa dari keikhlasan, pangkal dari ketaqwaan, dan inti dari kejujuran serta asas hidayah.
Siapa yang ingin masuk golongan mereka yang membutuhkan Allah swt, (ahlul iftiqor), jangan sampai berasumsi atas kebaikan diri dan keluarganya, hendaknya ia luruh di hadapanNya, dan hendaknya ia putus asa terhadap selain Allah swt disertai sangat butuh kepadaNya. Sebagaimana seseorang berada di sumur yang gelap, di atas bibir sumur sedang tertutup, sama sekali tidak ada kesenangan dalam sumur itu, apalagi tidak ada orang yang lewat di atas sumur. Apakah ada yang dibutuhkan dan diharapkan selain Tuhannya?
Dalam kisahnya, ada orang saleh terjebur sumur di tengah pelosok dalam keadaan menderita. Lalu di atas sumur itu berlalu kafilah, orang itu berteriak-teriak dari dalam sumur, lalu muncul suara tanpa rupa tanpa suara, “Apakah kamu meminta pertolongan selain Aku? Sedangkan Aku adalah Maha Penolong orang yang minta tolong?”
Orang itu pun terdiam. Tiba-tiba kafilah itu malah merapatkan tutup sumur, mereka malah ingin mengubur orang itu, agar tak seorang pun jatuh di sumur itu. Lalu orang itu putus asa dan harapannya terhadap sesama putus. Lalu ia munajat:
“Oh Tuhanku, sekarang tidak ada yang lain kecuali Engkau, dan aku sangat butuh kepadaMu.”
Tiba-tiba Allah mengutus harimau untuk membuka tutup sumur, dan anehnya harimau itu turun ke dalam sumur, lalu mencengkeram orang tersebut untuk dinaikkan ke atas sumur, lalu ada suara dari atas, “Jangan putus hatimu pada yang menyelamatkanmu, karena kebinasaan demi kebinasaan…!”
Ketahuilah bahwa Allah swt ketika memposisikan firmanNya “IyyaKa na’budu” (hanya kepadaMu kami menyembah) menunjukkan keparipurnaan pemenuhan ubudiyah yang benar. Kemudian menunjukkan betapa sempurnanya kelemahan si hamba dan ketakberdayaannya, lalu Allah swt memberikan kalimat lain, dan memadukan kebajikan dua alam dunia dan akhirat, yaitu firmanNya, “IyyaKa nasta’in” (hanya kepadaMu kami memohon pertolongan).
Setiap Hak bagi Allah atas hambaNya berada di bawah “IyyaKa na’budu”, dan setiap kebutuhan hamba kepada Allah Ta’ala, dibawah, “IyyaKa nasta’in.”
Ada seorang udik yang sedang istirahat di sebuah pos, lalu bermunajat, “Oh Tuhanku, kepadaMu aku keluar, dan Engkau mengeluarkan aku, dan hanya bagiMu aku berhenti, dan Engkau memberhentikanku. Namun aku telah maksiat pada perintahMu dan Engkau menghinakanku. Dengan demikian aku tak punya ampun lagi bagiku dan tak punya alasan lagi. Karena itu bila Engkau merahmatiku dan memaafkan aku, maka Engkaulah Ahli Kebajikan. Tak ada yang lebih butuh itu semua kecuali aku, wahai Tuanku, wahai Tuhanku…”
Ketahuilah sesungguhnya Allah Ta’ala menugaskan hambaNya agar benar dalam sikap butuhnya agar tidak melampaui batas ubudiyah, hingga melewati batas Rububiyah, agar tidak melampaui batas kehendak akal menjadi kehendak hawa nafsu, dari kebersihan ruhani menjadi kekeruhan nafsu, dari cita-cita yang luhur menjadi cita-cita yang hina.
Allah swt berfirman kepadaNabiNya yang agung, semoga sholawat dan salam padanya:
“Tiada sesuatu pun kemampuan bagimu…”

“Segala perkara itu hanya milik Allah”

“Bahkan segalanya hanya bagi Allah”

“Ingatlah segala urusan makhluk dan  perkara hanya bagiNya.”

Memang, kebaikan hamba hanya pada sikap butuhnya kepada Allah Ta’ala, memohon pertolongan hanya kepada Yang Berhak dimintai pertolongan. Memang, sampai ke Jalan Hidayah dan bergabung dengan ahlul wilayah adalah : Butuh kepada Allah Robbul ‘Izzah.
----- Syeikh Ahmad ar-Rifa’y--------

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini