MBAH YAI WANDI VS HITUNGAN JAWA
Mbah Wandi, nama lengkapnya Suwandi, mungkin bagi sebagian kalangan santri pesantren, nama itu jawa sekali, kira-kira kalau nama itu diawali dengan embel-embel kyai, Kyai Suwandi, sepertinya kurang pas. Namun Mbah Wandi yang satu ini memiliki banyak kridit point untuk disebut kyai. Alumni sekaligus menantu dari Pesantren Bungkuk Singosari yang merupakan Pesantren tertua di Malang ini, meski tidak memiliki santri secara khusus, namun beliau yang juga ketua idaroh ahlu toriqah di Turen Malang ini, sering menjadi tempat rujukan bagi masyarakat sekitarnya.
Suatu hari, seorang perempuan mengadu kepadanya karena calon suami yang dipilihnya tidak disetujui oleh keluarga calon suami. Berdasar hitungan jawa, hasil yang didapat adalah malapetaka. Sementara perempuan itu dengan calonnya seperti tidak dapat lagi di pisahkan karena sudah runtang-runtung kemana-mana! Mendengar keluhan itu, Mbah Wandi kemudian menemui orang tua perempuan itu sebut saja pak sholeh untuk diajak berunding. Dalam perundingan itu Mbah Wandi melontarkan usulan kepada pak sholeh, ‘anak perempuanmu ini kalau dibiarkan ndak baik lho, dengan pria pilihannya itu sudah saling suka dan sudah kemana-mana berdua. Lha kalau keluarga si pria itu menolak menikahkan anaknya dengan anakmu karena alasan hitungan jawa, bagaimana kalau tanggal lahir anak sampeyan dirubah saja yang kira-kira hitungan jawanya menjadi baik. gimana?’ Mendengar hal itu, pak sholeh menyetujui kemudian mengambil sebuah kitab lusuh dan menuliskan angka-angka dipinggirnya. Dibawanya kitab lusuh itu kerumah orang tua calon menantunya. Dihadapan calon besannya itu, pak sholeh itu menyatakan ‘sebenarnya tanggal lahir anak saya yang ada di ijazah itu keliru, saya baru ingat kalau tanggal lahir anak saya itu saya catat di kitab saya ini’ seraya membuka kitab dan menunjukkan angka-angka kelahiran ke calon besan. Setelah menghitung-hitung, calon besan inipun kemudian berkata : ‘lha kalo tanggal lahirnya yang ini ya ndak papa, kalo gitu kita jadikan aja pernikahan mereka berdua.!’ Setelah mencapai kesepakatan dengan calon besan tentang tanggal pernikahan, dengan tersenyum-senyum pak Sholeh pulang dan bergumam. ‘Wah satu kosong untuk Mbah Wandi atas hitungan jawa!’
GUS IDRIS VS MBAH MAIMUN ZUBAIR
Suatu hari Gus Idris, putra Kyai Jamaluddin Tambakberas bersama beberapa temannya, sowan ke ndalem Kyai Maimun Zubair Sarang Rembang. Kebetulan pas di Pondok Al Anwar Rembang baru selesai selamatan di Musholla. Gus Idrispun bersama temannya dipersilahkan untuk ikut menyantap hidangan yang diletakkan dalam nampan besar. Karena tamu dari jauh, Kyai Maimun berkenan mempersilahkan sendiri kepada Gus Idris dan kawan-kawan. Namun cara mempersilahkan yang disampaikan Kyai Maimun agak berbeda; “Kamu mau jadi kyai ndak?” Gus Idris dkkpun kemudian serentak menjawab : ”nggih Yai!” Kemudian Kyai Maimun berkata : “Kalo kepingin jadi kyai, ayo habiskan makanan di nampan itu jangan sampai tersisa!” seraya kundur dulu ke rumah. Rombongan tamu dari Tambakberas inipun membelalakkan mata, karena nasi dan lauknya begitu banyak dalam nampan besar, mereka berfikir apa ya kuat menghabiskan makanan sekian banyaknya. Tapi tak urung merekapun serentak berkata : “nggih Yai!”. Akhirnya dengan agak memaksa-maksa merekapun menghabiskan seluruh nasi di nampan besar yang tersedia dihadapan mereka. Begitu mereka selesai bersantap, Kyai Maimun kembali menghampiri dan bertanya:” sudah habis?” Gus Idris dkk menjawab : “sampun Kyai!” Kyai Maimun sambil tersenyum simpul berkata : “Saya kasih tahu ya, Kyai itu makannya ndak banyak-banyak!” Lhooo?! Seluruh rombongan termasuk Gus Idrispun kaget, bingung bercampur malu. Mereka berusaha menghabiskan makanan demi bisa menjadi Kyai, malah akhirnya didawuhi seperti itu. Waduh, dengan menahan rasa sakit perut karena kekenyangan, Gus Idris dkk hanya bisa bengong, tidak tahu harus berkata-kata apa! Hehe Gus Idris dikerjai Yai Maimun! Kyai kok dilawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar