Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Selasa, 05 Oktober 2010

Pengemis dan Hartawan

Usai shalat Dhuha istrinya meminta izin memberi sedekah ala kadarnya kepada pengemis yang mengiba di gerbang istana. Sang suami segera menebar sejumlah argumen. Pembiasaan memberi sedekah kepada pemalas adalah bukan pilihan cerdas, tetapi justru akan mendorong mereka semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Tidak sepantasnya mereka bermalas-malas untuk meraih sesuatu. Dan adalah tidak adil, saya berlimpah harta sebagai hasil kristalisasi peluh keringat, pada sisi lain ia berharap rejeki sembari berpangku tangan. Dan seterusnya. Retorika itu terformula dalam untaian kalimat yang rapi, indah dan sangat rasional. Tetapi sesungguhnya orang itu tengah membungkus rapi ideologi materialistisnya, yakni menggusur habis peran Ar-Razzaq yang Pemilik Otoritas Tertinggi ”pandum” rejeki kepada siapapun yang dipilih-Nya dan seberapapun banyaknya (wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib), serta digantikan oleh supremasi keringat dan kerja keras semata.

*******

Roda kehidupan terus bergulir. Suami-istri itu masing-masing menjemput takdirnya. Pendulum dinamika kehidupan demikian cepat bergerak. Keluarga itu bangkrut dan jatuh miskin. Friksi tajam dalam menatap rona kehidupan antar keduanya berujung pada pilihan mereka harus menapaki jalan hidup masing-masing. Cerai.

********

Pergulatan kehidupan penuh warna membawa kembali wanita itu kepada bahtera rumah tangga. Allah SWT gantikan suaminya yang ”matrek” dahulu dengan lelaki yang shalih dan berlimpah harta. Drama kehidupan kembali berulang. Ketika ia meminta ijin kepada suami barunya untuk memberi sedekah kepada peminta-minta, sang suami segera menggapai dengan senyum dan lantunan kata adihulung penuh syukur. ”Berikan ia yang terbaik dan yang kamu suka”. Segera setelah memberikan sedekah, sang istri kembali kepada suami tercinta dengan tersedu. ”Masih kurang kah pemberian kita?” Sang suami menghibur. Istri semakin tersengal-sengal napasnya. Bibirnya bergetar, tetapi tetap terkatup. Akhirnya, sambil terbata ia bertutur, ”Pengemis yang di luar sana adalah mantan suamiku”. Sang suami segera memeluk erat sambil berbisik, ”Subahanallah, aku juga mantan pengemis yang terlunta-lunta dan dihardik mantan suamimu”. Hati istri semakin berguncang. Suami dengan penuh kesabaran meredakan gejolak jiwa. Iapun melanjutkan penuturannya, ”Hardikan itu membuatku bangkit dan sadar. Mengemis akan membuatku terperosok dalam lubang kehinaan di hadapan Allah SWT dan makhluk-Nya. Sejak itu aku memulai kehidupan baru yang lebih keras dan berkeringat untuk memunguti titipan dari-Nya. Jikapun aku harus meminta, maka Ar-Razzaq saja yang patut diandalkan ”

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini