Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Abu Said al-A’rabi berkata: Sebab pernikahan Abu Ahmad al-Qalanisi, yang namanya sendiri adalah Mush’ab bin Ahmad, ialah karena ada seorang pemuda yang juga sahabat Abu Ahmad ingin meminang seorang gadis, putri
sahabat Abu Ahmad.
Tatkala tiba waktu akad pernikahannya pemuda itu tidak mau dan merasa malu dengan ayah gadis yang mau menikahkannya. Ketika Abu Ahmad menyaksikan peristiwa ini ia berkata, “Mahasuci Allah, seseorang menikahkan putrinya dengan kemuliaannya, lalu ia ditolak.” Kemudian orang-orang menikahkannya dengan Abu Ahmad, kepalanya dicium. Ayah gadis itu berkata, “Saya tak pernah mengira apa yang ditakdirkan Allah, saya punya menantu seperti Anda, dan saya Juga tidak mengira putri saya memiliki suami seperti Anda.”
Abu Said berkata: Saya tinggal bersama Abu Ahmad selama tiga puluh tahun, sementara perempuan itu masih tetap gadis.
Dikisahkan dari Muhammad bin Ali al-Qashshab — rahimahullah — bahwa ia memiliki istri dan anak. Sementara istri masih punya bayi perempuan. Suatu hari beberapa sahabat bertamu ke rumahnya. Kemudian anaknya yang masih kecil berteriak, “Wahai Tuhan Penguasa langit, saya ingin anggur.” Mendengar teriakan anaknya itu Muhammad bin Ali tertawa sembari berkata, “Mereka saya latih dengan hal itu, sehingga ketika mereka membutuhkan sesuatu ia akan meminta pada Allah dan tidak meminta padaku.”
Saya mendengar al-Wajihi berkata: Bunan al-Hammal — rahimahullah — punya beberapa anak. Suatu ketika anaknya datang padanya dan berkata, “Wahai ayahku, aku ingin roti!” Ia langsung ditempeleng dan berkata, “Pergilah bersusah-payah mencari rezeki seperti ayahmu. ” Di lain hari anaknya datang padanya sambil merengek, “Ayah, saya ingin buah mismis (aprikot).” Maka ia menggandengnya untuk diajak ke penjual mismis. Lalu ia berkata kepada penjual mismis, “Berikan mismis kepadanya dengan satu kirat (4/6 dinar). Nanti aku akan berteriak pada orang-orang hingga daganganmu ini laku keras.” Penjual itu kemudian memberikan buah mismisnya pada anak Bunan. Sementara Bunan al-Hammal berhenti sambil berteriak, “Wahai orang-orang! Belilah dari anak kecil ini makanan yang akan habis dan tidak akan tersisa.” Tak lama kemudian dagangan orang itu habis terjual.
Dikisahkan dari Ibrahim bin Adham — rahimahullah — yang berkata, “Jika seorang fakir telah menikah maka perumpamaannya adalah seperti seseorang yang naik perahu. Ketika ia punya anak maka ia tenggelam.”
Kisah ini lebih dikenal sebagai ucapan Sufyan ats-Tsauri.
Dikisahkan dari Bisyr bin al-Harits — rahimahullah — yang berkata, “Andaikan aku terdorong pada perhatianku terhadap biaya hidup dan kebutuhan-kebutuhan yang lain maka aku tidak menjamin diriku bisa selamat menjadi polisi (yang menjaga).”
Abu Syuaib al-Baratsi memiliki sebuah gubuk. Suatu saat ada perempuan kaya lewat dekat gubuk itu. Lalu ia berkata, “Saya ingin menikah dengan Anda dan mau melayani segala keperluan Anda.” Maka perempuan itu melepaskan semua apa yang dimiliki dan akhirnya ia dinikahi oleh Abu Syuaib. Tatkala perempuan itu akan masuk ke dalam gubuk tempat Abu Syuaib tinggal, ia melihat sepotong alat jahit sandal, lalu ia berkata, “Bukankah aku pernah mendengar Anda mengatakan, ‘Bahwa bumi akan mengatakan pada anakcucu Adam, ‘Saat ini kamu menjadikan sesuatu antara aku dan kamu, padahal besok kamu akan berada dalam perutku.’ Aku tidak ingin membuat penghalang antara engkau denganku.” MakaAbu Syuaib mengambil alat jahit itu dan membuangnya keluar, lalu ia berkata, “Masuklah!” Kemudian istrinya masuk gubuk. Mereka berdua tinggal dalam gubuk itu selama bertahun-tahun untuk beribadah, hingga keduanya meninggal dan mereka tetap dalam kondisi seperti itu.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Dan bukanlah adab mereka yang berkeluarga atau punya anak untuk menyerahkan segala urusan keluarganya kepada Allah dengan tanpa usaha. Namun wajib bagi mereka untuk memenuhi hak-hak mereka kecuali bila mereka berada dalam tingkat kondisi spiritual yang sama. Dan bukanlah adab mereka untuk menikah dengan perempuan-perempuan kaya, sehingga menjadikan mereka berada di bawah belas-kasih istri-istrinya.
Sedangkan di antara adab seorang fakir adalah menikah dengan perempuan-perempuan fakir yang serba kekurangan, sementara ia bisa berbuat adil. Jika ada perempuan kaya ingin menikah dengannya maka sebaiknya tidak menurutinya.
Dikisahkan dari al-Fath al-Maushili — rahimahullah—bahwa satu ketika ia mencium anaknya. Tiba-tiba ada suara yang mengatakan, “Wahai Fath! Tidakkah engkau malu jika engkau mencintai orang lain selain Kami.” Fath berkata: “Setelah peristiwa itu aku tidak lagi mencium anakku.”
Jika ada orang berkata, bahwa Rasulullah saw. memiliki beberapa putra dan beliau juga mencium, memeluk dan menggendong dalam dekapannya.
Sementara al-Aqra’ bin Habis pernah berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasululllah, saya punya anak sepuluh namun tak satu pun dari mereka yang pernah aku cium.”
Maka Rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak punya rasa sayang maka ia tidak akan pernah disayang.”
(H.r. Bukhari-Muslim dari Harraz bin Abdullah, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Maka orang yang menggunakan argumentasi tersebut bisa dijawab, “Anda telah terlalu jauh dalam melakukan qias. Sebab Rasulullah saw. adalah Imam semua umat sampai hari Kiamat. Beliau selalu terjaga, memiliki kekuatan kenabian dan cahaya kerasulan dalam segala hal. Dimana segala sesuatu yang ada di luar tidak pernah merampas dan menggeser kondisi batinnya. Sebab semua gerak dan perilakunya adalah sebagai pelajaran bagi umatnya. Sedangkan umatnya tidak memiliki kekuatan dan kekhususan yang dimiliki Rasulullah. Jika beliau memperhatikan mereka dengan penuh perhatian, beliau cemburu dan khawatir untuk membiarkan umatnya memperhatikan kepada selain Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar