Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Senin, 21 Maret 2011

aku Adalah Musuhku

Aku Adalah Musuhku Danu Indra Satya / 22 Th-Ex Trainer Super Memory Amaul Husna
Dia dihadapkan pada terlampau banyaknya sajian spiritual. Memilih, telah menjadi kemestiannya jika tidak ingin terus diguncang oleh kagalauan batinnya. Itu pun harus tepat. Sebab sesuatu yang dikecam banyak orang belum

tentu sesat dan tidak mesti sesuatu yang dipuja oleh massa adalah yang terbaik. Ia kumpulkan beragam hidangan spiritual dari yang beraksentuase meditasi, ISQ, supranatural, metafisika, hipnotis hingga NLP (Neuro Linguistic Programing).

Setelah semua dicicipi, akhirnya semua ditinggalkan yang dipilihnya adalah Dunia Sufi. kenapa Dunia Sufi ? karena disana ia temukan kebenaran Islam dan pencerahannya sekaligus. Sesudah berbai’at pada tarekat Syadziliyyah tuntutan yang lebih bersifat akademik untuk menjelaskan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan tak lagi menjadi penting, sebab baginya kini yang terpenting bagaimana menginternalisasikan warisan teladan Nabi Muhammad Saw dan ajaran-ajaran besar para Sufi Besar kedalam jiwa serta mewujudkannya dalam ranah kehidupan sehari-hari. “Ternyata dalam Dunia Sufi semua masalah ada jawabannya,” begitu pengakuannya, beberapa kali ditegaskan pada Majalah Cahaya Sufi.

>Mencari Islam dan Allah swt
Danu Indra Satya (22) satu dari ribuan remaja perkotaan yang beruntung. Beruntung karena ia masih memiliki kesetiaan; dalam berkomitmen, dalam religi dan kiblat nilai. Namun semua itu dilaluinya bukan dengan mudah. Ia tersulut oleh kehampaan batin yang mendorongnya jauh berjalan, memasuki lorong panjang yang senyap, sunyi dan sesekali terasa gersang, diamuk gelisah. Ia sempat menolak Islam; sebagai agama “turunan” kedua orang tuanya; sebagai perangkat ajaran dari langit dan final dalam memberi jawaban atas persoalan hidup. Ia baru melihat jawaban Islam atas persoalan baru sebatas tingkatan ideal dan terasa mentah, terutama, ketika ditarik ke bumi dalam tataran sosiologis dan psichologis.

“Dimasa-masa SMA saya mengidap kehampaan batin.
Saya mencari penawarnya dalam Islam tapi tidak ditemukan. Disamping mencari islam, pada saat yang sama, saya mempertanyakan kesempurnaan Islam sebagai agama yang paling benar. Kalau Islam agama paling benar dan sempurna pasti tak ada cacat didalamnya. Saya tergelitik untuk mencari dan menemukan kesempurnaan itu,” tutur Danu mengawali pembicaraan yang sebelumnya sempat melakukan aksi tutup mulut, menolak diwawancarai Cahaya Sufi. Ia ditemui, tengah malam, usai mengikuti dzikir dikediaman salah seorang Imam khushushiyyah dibilangan Kebayoran Lama Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Sepertinya Danu masih menganggap sopan orang yang meragukan keagamaannnya sendiri. “Keraguan tanda kedalaman iman dan kesejatian cinta,” begitu perasaan sebenarnya yang ada dalam diri Danu terhadap Islam. Kecintaannya terhadap Islam terbukti ketika ia menolak keras pernyataan Anand Krishna yang menyamakan Islam dengan agama dan aliran kepercayaan yang ada.

Meski Anand dikenal dengan pernyataan-pernyataannya yang sejuk dan mendamaikan seperti, “Saya tidak berusaha untuk mengumpulkan anggota-anggota atau pengikut. Saya tidak tertarik pada domba, saya tidak mencari kepada Allah swt. Saya berusaha untuk membina para gembala. Sesungguhnya, saya tidak dapat berbuat lain, selain meletakkan cermin dihadapan Anda. Ketika Anda melihat saya, Anda melihat diri Anda sendiri. keadaan Anda sekarang mungkin mencerminkan masa lalu saya. Keadaan saya sekarang dapat menjadi masa depan Anda. Masa depan saya masih merupakan sebuah misteri. Jadi, jangan mencoba untuk menjual saya. Jangan jadikan saya sebagai seorang mesias lainnya, saya hadir di sini bukan untuk memenuhi standar-standar Anda, dan saya juga tidak mengharapkan hal yang demikian dari Anda. Datanglah dan mari kita berbagi. Saya akan berbagi dengan Anda apa yang saya miliki dan Anda dapat berbagi dengan saya apa yang Anda miliki. Kita semua adalah para sahabat,”

Danu tak bergeming, masih tetap dengan sikapnya, lakum diinukum wa liya diin, itu jalanmu dan aku memiliki jalanku sendiri, demikian kira-kira prinsip yang di pegang Danu.
Pengalaman itu malah semakin membuat Danu bergairah mencari Islam. Ia tak ragu mempelajari Islam ke berbagai kelompok spiritualitas yang berbeda nama dengan aturan main yang tidak sama pula. Ia juga menjalankan praktik-praktik mistik dari yang berpola meditasi hingga zikir dan tantra. Kundalini pun pernah ia dalami.

Keterlibatannya diberagam ajaran spiritual dari berbagai kelompok mistik itu, mengubah pergumulan pemikirannya yang semula sebatas pada Islam, beralih pada tema tentang Allah swt. Ia dihantui pertanyaan-pertanyaan tentang Allah swt yang ditemukannya ketika bermeditasi dan melampaui pengalaman trance masuk ke alam non dualitas. “Saya bertanya, itu benar-benar Allah swt atau alam khayal saya saja? Lantas apa bedanya Allah swt dengan imajinasi? Apa bedanya imajinasi bawah sadar dengan wujud Allah swt yang hakiki,” ungkap Danu mengenang.

Cukup sampai disini ? Tidak. Untuk menguji “temuan-temuan” nya Danu melakukan anti tesa dengan mengikuti pelatihan ESQ yang dipimpin Ari Ginandjar. Oleh Ari ia dipercaya untuk mengelola Fosmagz, majalah terbitan ESQ. Di sela-sela itu ia pun mendalami psikologi terapi hypnosis pada dua psikiater yang mumpuni dalam model pikiran ilmiah alam bawah sadar dan hypnoterapi, Ananta dan dokter Arya. Puncaknya, Danu belajar kepada seorang master hypnoterapi dari Amerika, Julie Griffin. “Saya memang pencari yang liberal, Mas” aku Danu.

Hingga ada satu kejadian dimana batinnya terperanjat dalam sebuah tugas jurnalisme. Nara sumber, seorang Guru Tasawuf, yang akan diwawancara tiba-tiba berkata pada Danu bahwa semua yang didapat dan dipelajari nya dari ESQ, tak pernah menghantarnya pada Allah swt. Danu hanya bisa tergagap mendapat pernyataan itu. Bagaimana tidak, proses wawancara saja belum dimulai, Guru Tasawuf yang dalam ceramah-ceramah dan kesehariannya berpenampilan low profile seketika saja, dengan tegas, melontarkan kata-kata yang tidak di duga Danu sebelumnya.

“Sebenarnya saya hanya ingin mewawancarai beliau. Eh malah saya mendapat pernyataan yang sangat nyelekit dan membuat saya sock. ESQ tidak bikin kamu sampai pada Allah !. ESQ hanya memberi kamu peta, tapi tidak memandumu !,” cerita Danu, mengutip ucapan guru Tasawuf yang Sufiolog itu.
Alih-alih berita yang didapat, kata-kata “O, iya ?” menelusup ke hati Danu, mengendap lalu menjadi pertanyaan besar.
Pertanyaan besar itu seperti obor yang apinya terbuat dari bahan bakar keabadian, terus menyala dan menggelorakan rasa ingin tahu Danu atas kebenaran kata-kata yang sempat membuat batinnya terperanjat. Danu selalu memikirkan kata-kata itu selama berbulan-bulan sebab Danu memang tak ingin pengetahuan yang didapatnya setelah melawati perjuangan panjang hanya serupa bunga plastik, indah tapi palsu, indah namun mudah membosankan.

Pertanyaan besar yang lahir dari pernyataan tandas, tegas dan tak terduga itu mendorong Danu untuk mempelajari tasawuf, terutama fikiran-fikiran Imam Ibnu ‘Atha’illah yang tertuang dalam kitab al-hikam. Walau demikian bukan berarti Danu membiarkan begitu saja pertanyaan-pertanyaan seputar Islam dan Allah swt yang bertahun-tahun menggelayuti pikirannya hilang ditelan udara hampa. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terus di carinya, bahkan ia masih selau melakukan antitesa terhadap setiap tesa yang ia temukan.

Menyimpan isu kesesatan tasawuf. Sejak itu Danu selalu aktif mendatangi majelis-majelis dimana Guru Tasawuf itu menggelar pengajiannya, mulai dari majelis yang memanfaatkan kediaman salah seorang pengamal tarekat Syadziliyyah, H. Syahrir, persis dibelakang ITC Permata Hijau, Jln. Masjid An-Nur Kebon Nanas No.13 Kebayoran Lama Jakarta Selatan, sampai Hotel Maha Rani dan Kampus Biru (keduanya ada dibilangan Mampang Jakarta Selatan) serta Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia yang letaknya tak jauh dari Monas (Monumen Nasional) dan Istana Negara. Bukankah jika tasawuf itu begitu penting dalam Islam, sudah pasti Allah dan Rasul-Nya akan memerintahkan manusia (setidaknya umat Islam) untuk belajar tasawuf ? Bukankah Allah berfirman: “…Pada hari ini telah Aku (Allah) sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu….” (Al Maa-idah:3).

Bukankah Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya perkataan yang paling baik adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Saw, dan perkara yang paling buruk adalah perkara yang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah tersesat” ( H.R Muslim ).

Danu sepertinya terpana pada firman Allah dan Sabda Rasul yang hanya dilihat pada letterlijk nya saja. Wajar jika ia kemudian pernah menganggap tasawuf sebagai sesuatu yang bid’ah, ganjil dan menyimpang. Itulah kenapa hatinya meragu pada tasawuf. Danu benar-benar tidak ingin meletakkan harapan berakhirnya kegelisahan akal dan batinya pada tasawuf. Lalu akhir yang ditunggu-tunggu itu pun tak benar-benar sanggup membawanya menuju titik akhir.[pagebreak]
>Terjawab semua
Betapa manusia adalah makhluk yang gemar mencari, gemar berjalan jauh cuma untuk menuai kebingungan karena yang gelap dan yang terang itu sama-sama bisa dicari baik diawal maupun diakhir. Dan akhir yang tak pernah berakhir itu akhirnya menggoda Danu untuk terus mencari penerang yang terakhir.
Seiring berjalannya waktu. Kesertaan Danu di pengajian Al-Hikam membuahkan titik cerah. Dalam peta Allah swt. itu Danu masih memiliki tempat untuk mengakhiri pencarian dan kegelisanmya. Dari sana Danu mulai memahami Islam yang ilmunya bernama syari’at, iman yang ilmunya bernama akidah atau tauhid dan ihsan yang ilmunya bernama tasawuf dan pelaksanaan amaliyahnya bernama thoriqoh.

Danu amat menyadari bahwa dirinya hidup di era multipolar, penuh keberagaman. Ia sadar kini dirinya ada pada sebuah era
(abad 21) dimana (dimungkinkan) ragam pusat-pusat kecil keluar berjejaring dengan eksperimentasinya sendiri. Ia tak ingin masuk (terjaring) dalam aliran thoriqoh yang model kegiatannya mirip dalam sekte-sekte spiritulitas yang memiliki kasus tragis seperti kejadian David Koresh yang mengajak anggota sektenya masuk surga dengan cara mencabut nyawanya sendiri. Karenanya wajar jika Danu, yang cenderung berpikir rasional, amat berhati-hati sebelum melangkah masuk dalam thoriqoh.

Ternyata Dunia Sufi yang hakiki bukan Dunia Spiritualitas biasa, ia memiliki hukumnya sendiri. Hukum itu menyebutkan bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu dan dapat menembus setiap situasi. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan kenal terhadap kebutuhannya sendiri.

Akhirnya, melalui rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi Danu hingga tiba satu masa dimana komitmen total harus dipilih, dibulatkannya. Danu pun akhirnya ber-baiat. Setelah tiga tahun melihat dan memperhatikan, Danu pun berbaiat pada Thoriqoh Syadziliyyah.

Pengalaman apa yang Anda temukan sejak bertarekat pada Thoriqoh Syaadziliyyah ?
Banyak hal yang saya temukan terutama jawaban tentang Islam dan Allah swt. Tanda tanya besar seputar Islam dan Allah swt yang menggelayuti pikiran saya selama puluhan tahun terjawab sudah.

Semudah itukah ?
Tidak. Al-hikam menjadi pengantar sebelum saya memilih tarekat syaadziliyyah. Dari Al-Hikam saya mendapat arahan untuk mengaca diri sebelum bicara jauh mencari Allah swt. Al-Hikam menata hati saya pada persoalan yang kelihatannya seolah remeh temeh, padahal ia menjadi pintu gerbang mengenal diri sebelum mengenal Allah swt, seperti hati yang sabar dan bersyukur, tidak bergantung pada makhluk dan sebagainya. Ia membangkitkan kesadaran moral dan lebih bernilai dari semua yang bersifat materiil dan duniawi. Setelah bertarekat saya lebih memahami organ struktur tubuh batin dan serat optic batin yang tidak pernah saya temukan sebelumnya.

Seperti apa serat optic batin itu ?
Terutama di seputar latha-if, hawathif, nafsu dan mahabbah saya temukan hanya dalam tasawuf. Ilmu pengetahuan Barat hanya mengenal conscious dan unconscious atau alam sadar dan alam bawah sadar yang jabarannya sangat minim sekali. Dunia Barat meyakini bisikan intuitif bersumber dari otak, bawah sadar atau emosi yang terpendam. Sedang dalam tasawuf intuitif itu dimungkinkan berasal dari beberapa sumber; nafsu, jin, malaikat dan Allah swt.

Anda bisa sedikit kisahkan secuil sejarah kemunculan NLP (Neuro Linguistic Programming)?
Sekitar tahun 70-an ada seorang pemuda yang bernama Richard Bandler, mahasiswa jurusan matematika dan computer science, yang mengagumi seorang hypnotist bernama Milton Erickson (father of modern hypnosis). Bandler mengamati rekaman-kekaman video sesi terapi Erickson bersama klien-kliennya. Bandler rupanya gatal, ingin mencoba teknik ericksonian hypnosis dengan membuka praktek gelap dan ternyata sebagian besar hasil prakteknya berhasil. Ketika muncul satu pertanyaan dalam benaknya, apakah yang paling dicari manusia dalam hidup ini ? Jawabannya adalah perubahan (CHANGE). Semua orang ingin berubah lebih kaya, lebih bijaksana, lebih baik, lebih spiritualis, dan lain-lain. Kemudian dia mengamati dua terapis populer saat itu yaitu; Virginia Satier (family therapy) & Frilt Perls (gestalt therapy). Kemudian Bandler bekerjasama dengan Prof. John Grinder dari University of California, tepatnya di Santa Cruz, untuk membuat kodifikasi pola pengamatannya agar dapat diajarkan kepada orang lain.[pagebreak]

Hebat bukan ?
Hebat bagi orang-orang yg mengagumi computer yg paling canggih didunia yaitu sebongkah daging yang bernama otak manusia.
Secara factual Bill Clinton, Andre Agassi, Lady Di dan Nelson Mandela dapat meraih kesuksesannya dengan menggunakan NLP, lah Anda ini malah membuangnya. Kenapa? Karena saya merasakan materi tidak dapat menjadikan saya bahagia.

Yang Anda tahu, apa sich Program Pembentukan Manusia Sempurna dalam NLP itu ?
Dalam NLP biasa disebut dengan Modeling Of Human Excellence. Bandler dan Grinder mengamati mengapa seseorang bisa sukses dan gagal? Mengapa ada pedagang laku dan tidak laku? Mengapa ada dokter yang ramai dan sepi pasien? Apa yang beda dan membuatnya berbeda? (what different than make different?) dan mereka menemukan ternyata ada perilaku orang-orang sukes yang tidak diketahui orang gagal. Inilah yang disebut modeling dalam perspektif NLP bagaimana kita memodel pola-pola neuro orang sukses dan kemudian di install kedalam syaraf otak (neuro) kita.

Apakah karena dalam NLP dikenal konsep mind to body atau mind to muscle, hal yang menyangkut pada upaya meningkatkan keterampilan fisik, untuk itu Anda tinggalkan NLP lalu masuk dalam

Dunia Sufi ?
Kurang lebih seperti itulah !Karena hypnotherapy dan NLP menguatkan “aku” sedang dalam dunia sufi “aku” adalah hijab sedangkan hijab adalah ‘adzab.

Kebutuhan batin atau spiritualitas Anda, tantra dan yoga yang pernah Anda pelajari menjawab kebutuhan itu,
bukan ?
Yoga juga hampir sama dengan hypnosis menguatkan “aku”.

Bukankah Yoga dan Tantra juga pada akhirnya juga
ber-ending pada Allah swt, sama seperti ending dalam Dunia Sufi ?
Sepintas memang mirip tapi mirip itu bukan berarti sama, bisa berbeda. Dalam Yoga ada konsep penyatuan wujud antara manusia dengan Allah swt yang sangat bertentangan dengan konsep sufisme.

Anda menemukan Allah swt yang beda pada NLP, Hypnotherapy, Yoga,Tantra dan Dunia Sufi ?
Dalam dunia sufi Allah swt adalah “ALLAH SWT”. Dalam hypnosis dan NLP apa saja bisa dijadikan Tuhan, uang bisa jadi Tuhan, karir bisa jadi Tuhan, kehendak kita bisa dijadikan Tuhan. Sedang dalam dunia yoga saya belum menemukan Allah swt.

Anda percaya dengan sufi healing sebagai bagian ajaran para Sufi ?
Sangat sulit menjelaskan apakah sufi healing yang berkembang saat ini sama seperti yang para sufi sejati lakukan? Karena sufi healing kini terpecah menjadi dua. Yang pertama dikalangan konvensional.

Sufi Healing menjadi praktek penyembuhan mistis melalui ilmu hikmah yang berbau perdukunan Islam. Yang kedua dikalangan cosmopolitan. Disini banyak sufi-sufi palsu yang menjadikan Sufi Healing sebagai komoditas bisnis therapy dan training dengan menggunakan prinsip ketika seseorang sakit maka ada yang tidak seimbang dalam kehidupan personalnya.

Bertasawuf bukan untuk penyembuhan; Sembuh dari penyakit; Sembuh dari kemiskinan; Sembuh dari penderitaan hidup dan seterusnya dan sebagainya.

Danu tertawa terbahak-bahak ketika ditanya tentang gambaran Sufi di era millennium, “Ha ha ha lucu juga ini…..,” katanya. “Zaman boleh berkembang ke era apapun, mutu hidup manusia silakan saja menuju kecanggihan macam manapun, dan jika kelak manusia dapat menduduki bintang-bintang di Galaxi Bima Sakti, seorang Sufi ya tetap berdzikir dan berdzikir,“ tambahnya. “Dan….ternyata dalam Dunia Sufi semua masalah ada jawabannya,” tutup Danu.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini