Berikut adalah kisah seorang Muslim jihadi Amerika, Samir Khan. Setelah bekerja beberapa tahun di sektor media jihad di Amerika, dia berkemas dan hijrah ke Yaman untuk membantu mujahidin. Tulisan ini merupakan penjelasan tentang betapa bahagia dirinya menjadi pengkhianat bagi Amerika dan mengapa dia memilih mengambil keputusan tersebut.
Setelah keimananku berubah 180 derajat, aku tahu aku tidak bisa lagi tinggal di Amerika sebagai warga negara yang taat. Keyakinanku telah mengubahku menjadi pemberontak terhadap imperialisme Washington. Keimanan dan keyakinanku membuatku mampu melakukan penyerangan terhadap tiran terbesar dari jaman kita. Ini membuat mereka marah dan kecewa, sementara aku dibuatnya damai dan bahagia. Apa yang dahulu dan terus menerus mereka lakukan di negeri-negeri Muslim, menurutku, merupakan hal yang tidak bisa diterima oleh agamaku. Mereka menaruh dan menyokong regim-regim boneka, membujuk mereka supaya melakukan kesepakatan, memperkuat militer mereka, kesemuanya itu dilakukan agar mereka dapat memperluas tujuan politik mereka untuk mendirikan pemerintah penguasa yang berceceran di mana-mana hari ini yang akan menyertakan dalam kebijakannya pembatasan perlawanan Islam yang memperjuangkan tatanan Islam yang adil. Dalam proses ini hingga saat ini, mereka dengan bebasnya menodai negeri Islam dengan sengaja, merampok apa saja yang mereka mau, dan melakukan pembunuhan demi ‘demokrasi’ mereka sementara boneka keledai mereka terus menangkapi, membunuhi dan menyiksa orang-orang yang punya sedikit ghirah untuk membela negera Islam mereka.
Aku putuskan untuk mengambil pena dan menuliskan pemikiran dan perasaanku tentang perilaku koboi Amerika di negeri-negeri Islam. Aku tahu bahwa aku harus tetap di bawah koridor hukum tentang kebebasan berbicara, tetapi pada saat yang sama, aku tahu kebenaran sejati tidak akan pernah sampai ke khalayak kecuali dan sampai aku berada di atas hukum itu.
Kemudian, aku berhijrah ke Yaman, negeri keimanan dan kebajikan. Setelah menghabiskan waktu beberapa lama di Sana’a sebagai guru Bahasa Inggris, aku pun bergerak diam-diam. Aku bersyukur kepada Allah dan aku menertawai badan intelijen yang selalu mengawasiku selama beberapa tahun tersebut. Kembali ke North Carolina, FBI mengutus seorang mata-mata untukku yang berpura-pura masuk Islam; akulah yang mempersaksikan syahadat orang ini dan tetap membimbingnya. Pada satu waktu, dia bongkar kedoknya, dan diungkapnya identitasnya sendiri. Juga ada beberapa tindakan pengawasan rutin lain dan pada salah satu tindakan tersebut, mereka menjebakku agar menghadapi omelan seorang agen yang berpura-pura menjadi orang dungu yang membenciku dengan tulisan-tulisan online-ku. Aku tahu aku harus segera keluar dari Amerika sebelum FBI menangkapku dengan alasan-alasan konyol sebagaimana telah mereka lakukan terhadap orang-orang seperti Tariq Mehanna. Bahkan ketika di Sana’a, aku ketahui salah satu agen mereka tengah memata-mataiku di dekat hotel tempat aku tinggal. Begitu aku tinggalkan Sana’a, aku terkejut betapa mudahnya mereka semua terpedaya dengan penyamaranku. Dalam pengalamanku berhijrah dari Amerika ke Yaman, aku mengira akan dihentikan dan ditahan. Tetapi kesulitan terbesar yang aku hadapi–itupun bila ia layak dianggap sebagai kesulitan–adalah tertahannya aku selama tiga puluh menit lebih untuk mendapatkan ijin naik pesawat di North Carolina karena, sebagaimana diungkapkan sang resepsionis kepadaku, aku tengah diawasi. Sampai sekarang, aku masih tak percaya bila mengingatnya; maksudku, aku cukup terbuka tentang keyakinanku di dunia maya dan tak perlu jadi ilmuwan jenius untuk mengetahui bahwa dalam hatiku aku adalah al Qaeda. Hal itu membuatku yakin bahwa bila Allah ingin melindungi kita, maka tidak ada seorang pun di muka bumi yang dapat mencelakai kita. Aku pun terus mendapati hikmah ini dalam pengalaman-pengalamanku berdekatan dengan kematian di kemudian hari.
Aku ingat ketika aku dalam perjalanan dari Sana’a, yang terasa begitu lama, dalam sebuah mobil ke salah satu basis mujahidin, ikhwan yang menyetir mobil kami memutar salah satu nasyid berulang-ulang. Nasyid itu berjudul ‘Sir ya bin Ladin’. Aku sudah tahu nasyid ini sebelumnya, tetapi ada yang lain ku rasakan waktu itu. Nasyid itu mengulang-ulang bait yang mengingatkan kita untuk memerangi para tiran dunia demi memenangkan negeri-negeri Islam. Nasyid itu juga mengingatkan pendengarnya bahwa Syaikh Usama bin Ladin adalah pemimpin peperangan global ini. Aku menoleh keluar jendela ke rumah tinggi yang terbuat dari lumpur di kolong langit yang indah dan menutup mataku ketika angin berhembus di sela-sela rambutku. Aku tarik nafas panjang dan menghembuskannya. Pada saat itu, aku sadari bahwa seluruh hidupku akan berubah dengan salah satu dari banyak keputusanku ini. Aku sedang dalam proses untuk secara resmi menjadi pengkhianat bagi negara tempat aku tumbuh selama sebagian besar hidupku. Aku berpikir tentang banyak kemungkinan dampak yang mungkin ditimbulkannya terhadap kehidupanku; namun apapun itu, aku sudah siap menghadapinya. Itu karena aku adalah orang yang yakin bahwa seruan agar Islam berkuasa di dunia modern tidak akan semudah berjalan di atas karpet merah ataupun berkendara menembus lampu hijau. Aku sepenuhnya sadar bahwa sampai anggota badan kita terpisah, tulang-tulang kita remuk dan darah kita tertumpah kita baru bisa mewujudkannya. Setiap orang yang mengatakan selain ini hanyalah orang-orang yang tidak siap berkorban sebagaimana pengorbanan yang dilakukan para pahlawan dan jawara.
Ketika mataku menatap putaran misterius bukit pasir, aku teringat akan teka-teki jihad dalam dunia kontemporer. Sangat mengesankan ketika kita ketahui bahwa para gerilyawan mampu melawan kekuatan adidaya global dengan bekal seadanya yang mengakibatkan kerugian besar di pihak musuh, mengeringnya perekonomian musuh dan meningkatnya dukungan luas bagi mujahidin.
Setelah beberapa waktu berlalu bersama mujahidin, segera aku ketahui bahwa kesuksesan tidak bergantung pada kerja yang kita jalani dari pukul sembilan sampai pukul lima, tidak pula ia bergantung pada harta yang sudah kita kumpulkan, serta bukan juga pada seberapa jauh kita menempuh studi di perguruan tinggi. Semua itu memang layak dihargai, tetapi setelah berkumpul bersama mujahidin, terbukalah mataku bahwa alasan kita hidup tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Satu-satunya hal yang penting bagiku di seluruh dunia ini, lebih besar bahkan dari sebelumnya, adalah kondisi hatiku ketika aku mati. Dari perspektif Islam, bila hati tercemar dengan kerakusan, kesombongan, kecongkakan, kekikiran, dan sejenisnya, maka sulit bagi kita untuk bisa masuk surga. Sehingga, keterlibatanku dalam jihad membuatku lebih fokus pada kondisi jiwaku supaya dapat diterima oleh Rabb semesta karena kematian mengelilingi jihad meski jaminan kematian bukan di sana. Penyimpangan terhadap fokus ini hanya akan membuatku dalam kehancuran, bahkan bila kumiliki separuh dunia sekalipun. Inilah pesanku kepada orang-orang yang berkuasa di negeri-negeri Muslim.
Bagaimana aku bisa menjadi pengkhianat bagi diriku sendiri dengan mengabaikan pengembaraan suci ini? Maka, hidup dengan diriku sendiri pun hanya akan seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Oleh karena itu, hanya air mata haru dan kebahagiaan besar yang membuncah dalam hatiku demi mendengar bahwa Amerika menyebutku teroris oleh sebab kecintaanku untuk mengoreksi dan meluruskan jiwaku supaya menjadi lebih baik. Aku sudah menjadi pengkhianat demi menggapai kecintaanku. Bukti apa lagi yang kita butuhkan bahwa Amerika dan sekutu-sekutunya membenci orang-orang Islam yang hanya ingin menerapkan agamanya?
Aku selalu tertawa ketika awal Ramadhan menjelang di Amerika dan sang Presiden akan menghabiskan beberapa menit untuk menyampaikan betapa mengagumkannya Islam; sampai-sampai terlihat seolah dia sendiri mau menjadi seorang Muslim. Aku tertawa karena mereka menunjukkan wajah ini di negara mereka, dan wajah lain mereka tampilkan di Irak, Afghanistan, dan Teluk Guantanamo. Setelah tahu apa yang sudah diperbuat Amerika di dunia Islam, mengapa seorang Muslim tidak mau menjadi pengkhianat? Saya sungguh mempertanyakan kejujuran iman kita bila kita sampai berpikir dua kali untuk menentang Amerika entah secara langsung ataupun tidak. Daftar kejahatan mereka teramat panjang bila kita bicara tentang apa yang telah mereka perbuat terhadap dunia Islam. Kebocoran terbaru satu dokumen setebal 92.000 halaman tentang kejahatan Amerika dan realitas peperangan di Afghanistan hanyalah satu goresan di permukaan. Amerika punya sejarah panjang pembantaian dan penjajahan atas ummat Islam, tetapi regim Amerika masih saja kebingungan dengan pertanyaan: mengapa Usama bin Ladin menyerang kita? Amerika, pernah sedikit belajar: mungkin kamu sudah melakukan sesuatu. Maka mestinya tidak lagi mengherankan bila orang-orang Muslim di tengah kalian – seperti Nidal Hassan, Faisal Shahzad, dan lainnya – menjadi pengkhianat bangsa kalian karena kelakuan kalian. Bila kalian tidak mau menghabiskan sisa nyawa kalian dengan selalu khawatir untuk mencegah serangan lain, maka lakukanlah nasihat dari redaktur Wikileaks, Julian Assange: “Bila pasukan AS merasa malu karena mereka telah membunuh orang tanpa melalui proses peradilan atau karena mereka telah ikut dalam terbunuhnya kaum sipil; bila mereka merasa malu dengan itu, maka mestinya mereka merubah perilaku mereka.”[1]
Dengan apa yang sudah disebutkan, maka statusku sebagai pengkhianat tidak sepenuhnya merupakan reaksi terhadap kejahatan Amerika. Inti dari apa yang aku lakukan benar-benar berdasarkan pada pendirian agama tanpa maksud-maksud politik. Aku memulai jalan ini sebagai seorang aktivis Islam yang tidak meyakini perlawanan terhadap pemerintahan manapun karena, sebagaimana aku yakini saat ini, melakukan perlawanan bersenjata tidak mungkin bisa dilakukan ummat Islam saat ini. Aku sudah tahu bahwa pemerintah dunia modern tidak begitu senang dengan negara yang berdasar pada syari’ah yang menjadikan jihad sebagai bagian dari kebijakan asingnya. Namun, hal itu tidak membuatku ragu akan kewajiban Islamku secara umum untuk berusaha mendirikan Negara Islam. Ayat ke-sembilan Surat as-Saff menjadi ilhamku: {Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.}. Aku memahami ayat ini dengan pengertian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam diutus dengan misi untuk menyebarkan Islam ke dunia; tidak hanya mengamalkannya di dalam rumah atau masjid, melainkan untuk menjadikannya sistem kerja pemerintahan yang akan membentuk keseluruhan masyarakat berdasarkan panduan dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Ketika pandanganku berubah terkait kewajiban jihad pada jaman ini–bahwa ia tetap merupakan kewajiban individu (fardu `ain) atas semua Muslim di dunia sampai negeri-negeri kita bisa kita rebut kembali dari para penjajah–melalui keyakinan yang benar-benar ilmiah dari nash-nash syar’I (bukan kebencian besar terhadap kebijakan asing Amerika), aku tahu pada waktu itu bahwa agamaku mewajibkanku untuk memerangi Amerika dan sekutu-sekutunya karena Islam tidak malu untuk menyatakan siapa sesungguhnya yang penjajah. Aku tidak perlu bermajelis dengan ulama terpandang untuk memastikan hal ini karena bukti-bukti syar’i yang mendukung pendapat ini tetap tak terbantahkan semenjak fatwa dari Syaikh Abdullah Azzam tersebar luas; dan pada banyak orang yang aku uji, aku melihat ketakutan dan penolakan di raut muka mereka karena, sederhana saja, kebenaran itu menyakitkan karena mengharuskan pengorbanan dari kita agar bisa menjadikannya maujud.
Aku pengkhianat bagi Amerika karena agamaku mengharuskan demikian, {meskipun orang musyrik membenci}. Aku benar-benar bangga menjadi bagian dari agama ini dan mengapa seorang Muslim tidak mau (menjadi pengkhianat—penerj.)? Islam punya jawaban terhadap permasalahan hidup dan inilah yang menyatukan kemanusiaan demi kebaikan. Ritual tahunan haji hanyalah salah satu contoh dari hal ini. Islam mewajibkan dominasi dan setelah delapan puluh sekian tahun hidup di dunia pasca-khilafah, aku pikir sudah waktunya bagi orang-orang Islam untuk bersatu guna meruntuhkan segala penghalang. Penghalang yang paling besar dari penghalang-penghalang ini saat ini jelas Amerika. Amerika-lah yang punya basis militer dan intelijen yang tersebar luas di seluruh negeri kita untuk membantu melindungi pemerintahan kliennya dari orang-orang Islam yang berusaha menegakkan Islam. Amerikalah yang telah membunuh jutaan ummat Islam di seluruh dunia dan bisa tetap melenggang bebas. Dalam kasus negara Israel yang opresif, Israel tidak akan pernah seperti sekarang ini tanpa bantuan besar militer dan keuangan dari Amerika.
Seorang pengkhianat bisa terpuji ataupun terhina. Baik dan buruknya ditentukan oleh agenda politik tertentu di mata orang. Pengkhianat Islam, bagaimana pun juga, hanya akan mendapat kerugian baik di dunia dan akhirat; jenis pengkhianat yang disukai Amerika untuk diajak bekerjasama. Keindahan Islam telah mengajarkan bahwa kemuliaan ada pada keistiqomahan dalam memegang prinsip-prinsip kemenangan dan kehinaan ada pada ketakmampuan untuk berpegang teguh pada kebajikan. Kebajikan bukanlah menghadapkan wajah kita ke Timur atau ke Barat, melainkan keimanan kita kepada Allah yang tetap teguh apapun konsekuensinya.
Oleh karenanya, aku bangga menjadi pengkhianat di mata Amerika sebagaimana aku bangga menjadi seorang Muslim; dan aku menjadikan kesempatan ini untuk menyatakan ikrar keberpihakan (bai`at) dan bai’at mujahidin Semenanjung Arab kepada sang singa buas, jawara jihad, hamba Allah yang sederhana, syaikh kami tercinta, Usama bin Ladin, semoga Allah melindungi beliau. Sungguh, beliaulah orang yang telah menggoncangkan singgasana para tiran dunia. Kami bersumpah untuk mengobarkan jihad selama sisa hidup kami sampai kami dapat menegakkan Islam di seluruh dunia atau menemui Rabb kami sebagai pembawa panji Islam.
Dan betapa terpuji, penuh tantangan dan nikmatnya kehidupan semacam ini dibandingkan kehidupan orang-orang yang hanya duduk-duduk, bekerja dari pukul sembilan sampai pukul lima?
[1] Assange, J. (2010, Agustus). Wikileaks. BBC World News.
Team MuslimDaily.net
www.lintastanzhim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar