Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Rabu, 30 Maret 2011

Hakikat Keyakinan



Allah swt. berfirman:
"... dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.,"' (Q.s. Al Baqarah: 4).


Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah mencaci kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang membenci. Dengan keadilan Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah."
(H.r. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).


Abu Abdullah al Anthaky berkata, "Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut kepada Allah swt."
Ja'far al-Haddad menuturkan, "Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di padang pasir, duduk di dekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya tidak makan atau minum.


Ia bertanya kepadaku, 'Mengapa engkau duduk di sini?' Aku menjawab, 'Aku terombang ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang, agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang menang, aku akan terus berjalan.' Ia berkata kepadaku, 'Engkau akan mendapatkan suatu derajat'."


Abu Utsman al-Hiry menjelaskan, "Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap hari esok."


Sahl bin Abdullah menjelaskan, "Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya." Dikatakannya pula, "Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq)."


Salah seorang Sufi mengatakan, "Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada hati." Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).


Sahl menjelaskan, "Permulaan keyakinan adalah mukasyafah." Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan, "Jika tabir tersingkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinanku." Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan, "Keyakinan adalah Pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban."


Abu Bakr bin Thahir mengatakan, "Ilmu datang melalui penentangan terhadap, keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali." Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang di peroleh melalui usaha, dengan apa yang diperoleh melalui ilham.


Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi mengatakan, " Maqam pertama adalah ma'rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) adanya Tuhan, lalu taat.


Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah istilah tersebut." Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan adalah ma'rifat Allah swt, yang tidak dapat diperoleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti bukti; itulah keadaan yakin. Mengenai pembenaran Al-Haq (tashidiqul haq), hal ini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan Nya kepada seseorang mengenai Af'al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanaan tindak tanduk kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid.
Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan, "Dzikir dengan lisan adalah luapan yang melimpah dari kalbu."


Sahl bin Abdullah berkomentar, 'Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt."


Dzun Nuun al-Mishry berkata, " Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat akibatnya.
Ia juga mengatakan, "Ada tiga tanda keyakinan: Mengurangi bergaul dengan manusia; mengurangi pujian kepada mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka jika mereka tidak memberi (hadiah).


Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin): Melihat kepada Allah swt. dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling kepada-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal."
Syaikh Junaid al Baghdadi mengatakan, "Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah."


Ibnu Atha' mengatakan, "Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah swt, sebatas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan." Landasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan."



Salah seorang Sufi mengatakan, "Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara: Mukasyafah yang bersifat informatif, mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman."
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, mukasyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam Abu Bakar bin Furak meriwayatkan, "Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby, 'Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?' Ia menjawab, 'Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.' Lalu aku bertanya, Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?’ Ia menjawab, 'Dengan mukasyafah'."
Amir bin Abdul Qays menjelaskan, "Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan, niscaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku."Dikatakan, "Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman." Dikatakan pula, "Keyakinan adalah musnahnya tindak tindak perlawanan."



Syaikh Junaid menegaskan, "Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang Gaib."
Saya mendengar Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as, "Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, niscaya ia akan dapat berjalan di udara." Syeikh menjelaskan bahwa dengan ucapannya itu, Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi'raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi'raj itulah beliau mengatakan, "Kulihat Buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan."



Syaikh Junaid mengabarkan bahwa ketika Syaikh Sari as Saqathi (gurunya) ditanya tentang keyakinan, ia menjawab, "Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah)."



Ali bin Sahl berkata, "Berada di dalam hadirat Allah swt. (hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan." Dengan ucapan ini seakan akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal keberadaan hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin.
Karena itu an-Nury berkata, "Keyakinan adalah musyahadah." Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr al-Warraq berkomentar, "Keyakinan adalah landasan hati dan iman disempurnakan dengannya. Allah swt. diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah."



Syaikh Junaid mengatakan, "Berkat keyakinan, beberapa orang manusia bisa berjalan di atas air, namun seseorang yang mati kehausan boleh jadi lebih utama derajatnya dibanding mereka."
Ibrahim al-Khawwas menuturkan, "Di padang pasir, aku bertemu dengan seorang pemuda tampan rupawan bagaikan sepotong perak dan aku bertanya kepadanya, 'Engkau hendak ke mana, wahai anak muda?' Ia menjawab, 'Ke Mekkah.' Aku bertanya lagi, 'Tanpa bekal, unta dan uang?' Ia menjawab, Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal'?" Ibrahim selanjutnya menuturkan, "Ketika aku tiba di Mekkah, ku lihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata:"Wahai mata yang senantiasa menangis,Wahai jiwa kematianku yang begitu berduka,Janganlah engkau cintai siapa pun Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung. Dan ketika ia melihatku, ia pun bertanya, 'Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu'?"
Ishaq an-Nahrajury berkata, "Jika seorang hamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka."



Abu Bakr al-Warraq berkata, "Ada tiga aspek keyakinan: Keyakinan informatif, keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah."
Abu Turab an-Nakhsyaby menuturkan, "Ketika aku melihat seorang pemuda berjalan di padang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati, 'jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.' Aku bertanya kepadanya, 'Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa perbekalan?' Ia menjawab, 'Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt?' Aku pun berkata kepadanya, 'Sekarang, pergilah ke mana engkau mau'!"
Abu Sa'id al-Kharraz menjelaskan, "Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang rnendorongmu bertindak."


Ibrahim al-Khawwas berkomentar, "Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makanan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu melemparkan kembali jalaku ke air. Kemudian masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aku melemparkan jalaku ke air, lalu menunggu. Kemudian terdengar sebuah suara galb berseru, 'Apakah engkau tidak bisa mencari Penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?' Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan."
(Diambil dari kitab "Risalatul Qusyairiyyah" karya Syaikh Abul Qasim al Qusyairi)

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini