Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Jumat, 29 April 2011

Setetes Madu

Saat itu baginda raja sedang duduk santai mendengar lelucon perdana menterinya. Di sampingnya ada meja yang terhidang beraneka macam buah serta makanan lainnya. Begitu lucunya lelucon perdana menteri hingga baginda raja tertawa tergelak-gelak dan tak sadar tangannya menyenggol piala berisi madu di atas meja. Piala berisi madu tersebut terguling, dan setetes madu terpercik di lantai.
Dengan segera perdana menteri mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka tetesan madu tersebut. Namun raja tidak kalah cepat untuk menahannya. “Jangan perdana menteriku,” sabda baginda raja. “Pekerjaan itu terlalu hina bagimu. Biarkan saja, nanti pembantu istana yang membersihkannya. Sekarang lanjutkan saja ceritamu yang menggembirakan itu.”
Perdana menteri kemudian melanjutkan ceritanya, dan mereka berdua segera lupa akan setetes madu yang terpercik di lantai. Sesaat kemudian terbanglah seekor lalat mendekat ke arah meja. Lalat hinggap di lantai, dan menghisap dengan nikmat setetes madu yang jatuh. Kedatangan lalat diintip seekor cicak yang kemudian keluar dari persembunyiannya untuk menyantap lalat. Tetapi malang, gerak gerik cicak terlihat oleh seekor kucing yang sedang bermain di dekat meja.
Tanpa tawar lagi, si kucing menyergap cicak dan memakannya. Ketika sedang nikmatnya si kucing menyantap cicak, datanglah seekor anjing yang segera menyalak menghardik si kucing. Tak ayal lagi terjadilah kejar-kejaran hingga keluar istana antara kedua hewan yang terkenal musuh bebuyutan tersebut.
Suasana menjadi hiruk pikuk oleh suara desisan kucing dan salakan anjing. Wanita pemilik kucing yang melihat kejadian tersebut segera memukul si anjing dengan tongkat kayu. Perbuatan tersebut dilihat oleh seorang wanita yang kebetulan pemilik anjing tersebut.
Pecahlah pertengkaran antara kedua wanita itu. Pertengkarannya sangat ramai hingga suami keduanya merasa perlu turut campur yang akhirnya mengakibatkan perkelahian antara dua keluarga. Paman! Ayah berkelahi dengan tetangga, bantulah.” anak-anak kedua keluarga itu saling memanggil familinya.
Famili kedua keluarga tersebut berdatangan guna memberi bantuan. Perkelahian makin meluas berubah menjadi perang dua famili dan pengikut-pengikutnya. Jalanan menjadi kacau. Hingga akhirnya kabar tersebut sampai ke telinga baginda raja. Baginda raja mengutus barisan pengawal kerajaan untuk membubarkan perkelahian tersebut.
Barisan pengawal berusaha meleraikan, tapi usaha mereka nihil, bahkan beberapa pengawal terluka oleh senjata yang digunakan dalam perkelahian. Akhirnya barisan pengawal menghunuskan tombak sebagai usaha meleraikannya. Kejadian tersebut sangat mengejutkan rakyat. Bangkitlah kemarahan rakyat.
Orang-orang yang tadinya berperang segera bersatu. Mereka sepakat untuk melawan raja yang dianggapnya zhalim tersebut. Bersama-samalah mereka menyerang istana. Terjadilah perang besar-besaran guna memberontak kezhaliman raja. Hingga akhir cerita sang baginda raja digulingkan dari tahtanya dan dipenjarakan atas kehendak rakyatnya sendiri.
Kisah tersebut adalah sebuah dongeng dari Birma. Memang ceritanya terdengar sedikit absurd, akan tetapi ada hal penting yang patut kita jadikan hikmah. Hal penting tersebut tak lain adalah kepekaan kita untuk tidak menunda suatu perbuatan baik, dan tidak menganggap suatu masalah kecil yang remeh dapat kita tinggalkan.
Seperti dongeng tersebut, masalah begitu kecil yang ditinggalkan ternyata dapat menjadi “bom waktu” yang suatu saat dapat meledak dan membahayakan diri kita sendiri. Sama halnya dengan menunda suatu perbuatan baik. Logikanya, suatu perbuatan baik, tentu akan dibalas dengan perbuatan baik pula. Walaupun hal itu tidak dibalas oleh manusia yang bersangkutan, pastinya Allah SWT telah mencatat poin khusus bagi perbuatan kita.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini