Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Sabtu, 23 April 2011

Tawakal

Al-Ghozali
Iman dengan hanya bertauhid pada Pekerjaan dan Dzat Allah Swt. tidaklah cukup, sebagai unsur yang mempengaruhi sikap tawakal (halatut-tawakkul), kecuali dalam keimanan tersebut telah terhimpun keyakinan akan kasih-sayang, rahmat dan hikmat Tuhan, dimana dengan hal itu, kebulatan keyakinan menyerahkan diri kepada Allah dapat terwujud.

Allah Swt. berfirman, “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (Q.S. Ibrahim: 12).
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al-Maidah: 23).

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran: 159).
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Q.S. Ath-Thalaq: 3).

Firman-Nya pula:
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya?” (Q.S. Az-Zumar: 36).

“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberi rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah.” (Q.S. Al-‘Ankabut: 17).

Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikata kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung: Pergi waktu pagi dalam keadaan lapar dan datang (pulang) waktu sore dalam keadaan kenyang.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa mempergunakan seluruh waktunya untuk Allah, niscaya Allah mencukupkan seluruh kebutuhan makan minumnya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa mempergunakan waktunya untuk (urusan/kepentingan) duniawi, niscaya Allah menjadikan ia patuh pada dunia (urusan duniawi).”

Jika keluarga Rasulullah Saw. ditimpa kesengsaraan (kemiskinan), beliau bersabda, “Dirikanlah salat!” seraya menambahkan, “Beginilah Tuhanku memperintahkan aku. Dia berfirman, ‘Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa’.” (Q.S. Thaha: 132).

Esensi dan Pilar-pilar Tawakal
Secara esensial (hakiki) tawakal merupakan kondisi ruhani yang lahir dari tauhid, dan pengaruhnya terwujud dalam amal nyata. Tawakal memiliki tiga pilar: Pengenalan diri akan Allah (ma’rifat), kondisi tawakal (haal) dan amal.
Pilar pertama: Ma’rifat. Inilah dasar tawakal. Yakni, tauhid. Orang yang bertawakal hanya berserah diri kepada Allah Swt, ia tidak melihat subyek lain selain Allah Swt. Kesempurnaan ma’rifat ini tersimpul dalam ucapan Anda:
“Tiada Tuhan selain Allah, sendiri tiada berserikat, milik-Nyalah segenap kekuasaan dan segala bentuk puja-puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dalam ucapan tersebut terkandung keimanan penuh tauhid, mengandung kekuasaan yang sempurna dari Wujud yang paripurna, serta hikmah, yang karenanya, Dia berhak mendapat pujian.
Orang yang mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh kejujuran dan ketulus-ikhlasan, berarti tauhidnya telah sempurna. Di dalam hatinya tertancap dasar yang dapat melahirkan kondisi tawakal.
Penuh kejujuran, artinya, makna dan ucapan lafadz tersebut telah menjadi predikat yang lazim bagi dirinya, dan predikat tersebut telah menguasai kalbunya.
Tauhid semacam ini memiliki dua saripati dan dua kulit dengan empat lapisan, seperti buah badam; memiliki isi, kemudian minyak yang merupakan saripatinya. Kulit bagian luar adalah kulit yang membungkus bagian dalamnya.
Jadi kulit bagian luar itu adalah, dengan pernyataan lisan belaka (lapisan pertama). Kulit bagian dalam adalah, meyakini dengan kalbu sepenuhnya (lapisan kedua). Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang awam dan para ahli kalam (mutakallimun).
Karena tidak ada perbedaan antara tingkatan orang awam dengan tingkatan ahli kalam, kecuali mengenal taktik dalam melawan kebingungan dan kesemrawutan yang berbau bid’ah dan keyakinan tersebut.
Lapisan ketiga adalah inti, yakni ketersingkapan hakikat tauhid dengan cahaya Allah dan ketersingkapan rahasia tauhid dengan hakikat. Fenomenanya, ketika diperlihatkan banyak hal dimana dia tahu betul bahwa keseluruhannya bersumber dari lahir dan subyek yang Satu secara teratur. Dalam hal ini seseorang harus mengetahui matarantai sebab-akibat serta keterkaitannya antara rangkaian pertama dengan Sebab Pertama. Orang yang telah mencapai maqam ini, jauh dari kondisi keanekaan, karena dia menyaksikan banyak perilaku dan keragamannya yang terikat, dengan Sang Pencipta.
Lapisan keempat adalah sari inti. Ia tidak menyaksikan dalam wujud ini kecuali hanya Satu, dan dia tahu bahwa pada hakikatnya yang Ada itu adalah Satu. Pluralitas yang terdapat di dalamnya, sebenarnya akibat dari keterpecahan penglihatannya saja. Seperti ketika melihat sosok orang, misalnya, lewat kakinya. Kemudian melihat tangan, wajah, lalu kepalanya; sehingga tampak banyak.
Berbeda jika ia melihat sosok orang secara utuh, dan keseluruhan, tentu dalam kalbunya tidak terbetik keragaman tersebut, bahkan justru Ia seakan-akan menyaksikan sesuatu yang tunggal. Demikian pula seorang yang manunggal (muwahhid) penglihatannya tidak terpecah pecah antara langit dan bumi, serta antara seluruh yang ada, tapi justru ia melihat seluruhnya sebagai satu kesatuan hukum.
Masalah ini memiliki kedalaman yang perlu disingkap secara panjang-lebar. Silakan Anda membacanya dalam kitab lhya’, Bab “AtTauhid was-Syukr”.
Fana’ dalam tauhid sebenarnya terjadi pada kondisi tauhid semacam itu. Dimana dalam kondisi demikian seseorang tenggelam dalam Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Benar Al-Wahidul-Haq), sehingga kalbunya tidak menoleh kepada selain-Nya, juga tidak kepada diri sendiri, sebab dirinya sendiri—dan sisi dia sendiri adalah pihak lain selain Allah. Bagi dirinya tidak ada nilai lain dengan melihat pihak lain (selain Dia).
Hakikat Tawakal
Sebenarnya hakikat tawakal hanya membutuhkan penyatuan perbuatan (tauhidul fi’li), tidak membutuhkan fana’ dalam penyatuan Dzat. Bahkan orang yang bertawakal boleh menyaksikan fenomena ganda dan aneka sebab-akibat atau hukum kausalitas, namun dia harus tahu dan menyaksikan keterkaitan rangkaian sebab-akibat dengan Sebab Pertama.
Bagi saya, hal itu bukan merupakan suatu yang tersembunyi bagi Anda, dalam ikhtiar manusia. Sebab, jika melihat hujan sebagai sebab dari tumbuhnya nabati, Anda akan tahu bahwa hujan tercipta dengan perantaraan awan; awan tercipta dengan perantaraan angin dan asap gunung-gunung. Begitupun gunung-gunung itu merupakan benda mati yang terwujud dengan perantaraan, sampai pada Sebab Pertama, yang tidak mustahil lagi.
Jika Anda tidak tahu jumlah perantaraan-perantaraan tersebut, maka hal itu tidak membahayakan Anda. Hanya saja yang mengkhawatirkan bagi diri Anda adalah keterpakuan terhadap ikhtiar perbuatan-perbuatan manusia. Sebab Anda berkata, “Orang yang memberiku makan, sebenarnya ia melakukannya dengan ikhtiarnya. Jika mau, ia memberikannya atau tidak memberikannya. Bagaimana mungkin, aku tidak memandangnya sebagai subyek sebenarnya?”
Keterpalingan Anda itu, seperti perumpamaan ujung jari. Anda melihat garis di atas kertas putih terjadi karena gerak dari pena, sehingga Anda menyandarkan hal itu pada pena. Sebab, biji mata pena yang kecil dan lemah itu tidak memandang pada jari-jemari, tidak juga pada tangan, tidak pada kekuatan yang menggerakkan tangan, pada kemauan dimana kekuatan itu tunduk kepadanya, pada pengetahuan dimana kemauan itu bergantung kepadanya, dan tidak pula kepada Sang Pemilik Kekuasaan, Ilmu dan Iradat itu.
Demikian pula, Anda menisbatkan perbuatan manusia pada kemauan, pengetahuan dan kemampuan mereka, sebab penglihatan Anda tidak dapat memandang pena yang menggoreskan pengetahuan dalam papan-papan kalbu. Penglihatan Anda tidak pula memandang pada jari-jemari yang berakhir pada hati atau kalbu manusia, juga tidak pada Tangan yang membuat adonan tanah bagi penciptaan Adam, tidak pula pada Kekuasaan yang menggerakkan tangan untuk membuat adonan tanah, dan tidak pula kepada Yang Maha Kuasa dimana dari-Nya segalanya berawal dan berakhir.
Yang demikian dikarenakan Anda tidak tahu makna dan pengertian sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut gambaranNya” (Al-Hadis).

Dan pengertian firman Allah Swt. dalam Hadis Qudsi, “Aku mengadoni tanah (untuk penciptaan) Adam dengan tangan-Ku.”
Anda juga tidak tahu makna dari pengertian firman Allah Swt. yang berbunyi:
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” (Q.S. Al-’Alaq: 4-6).

Pengetahuan Anda tentang pena hanyalah pena yang terbuat dari bambu. Tangan dan jari-jemari yang Anda kenal hanyalah yang terdiri dari daging dan tulang; dan bentuk rupa yang Anda kenal hanyalah yang berwarna-warni dan berbentuk. Jika hal itu telah tersingkap pada diri Anda, niscaya Anda tahu, bahwa jika Anda melempar batu, sebenarnya bukan Anda yang melempar; akan tetapi, Allah-lah yang melempar, dimana pada waktu itu Anda dikuasai oleh motif-motif atau sebab-sebab yang pasti dan nyata, seakan-akan Andalah yang melempar.
Kekuasaan itu lahir sebagai instrumen kehendak, dan pengetahuan sebagai instrumen dan penundukan dan penaklukan. Anda tahu bahwa diri Anda dihadapkan pada realitas pilihan, kemudian jika mau, Anda melakukannya. Anda punya kemauan jika Allah berkehendak, baik pada saat itu Anda mau atau Anda menolak.
Di sini sekarang terdapat rahasia, yang menggerakkan Anda melalui hukum pemaksaan (al-jabru) dan pilihan bebas (ikhtiar). Suatu pandangan yang dikira bertentangan dengan tauhid dan taklif syariat. Kami telah menjelaskan dalam bab “At-Tauhid, wat Tawakkal was Syukr” pada kitab Al-Ihya’. Carilah di sana, bila Anda memang pakar.
Iman dengan hanya bertauhid pada Pekerjaan dan Dzat Allah Swt. tidaklah cukup, sebagai unsur yang mempengaruhi sikap tawakal (halatut-tawakkul), kecuali dalam keimanan tersebut telah terhimpun keyakinan akan kasih-sayang, rahmat dan hikmat Tuhan, dimana dengan hal itu, kebulatan keyakinan menyerahkan diri kepada Allah dapat terwujud. Suatu keyakinan yang nyata, bulat dan pasti. Atau melalui mata batin yang tersingkap pada diri Anda, bahwa jika Allah Swt. menciptakan seluruh makhluk yang memiliki akal paling cerdas dan sempurna, kemudian setelah itu ditambahkan pula kepada mereka dengan ilmu dan hikmat yang berlipat ganda, disingkapkan kepada mereka rahasia kerajaan jagat raya, rahasia detail hikmat dan rahasia baik serta buruk; kemudian mereka diperintahkan untuk mengatur dan mengurusi kerajaan jagat raya ini; niscaya mereka tidak akan dapat mengaturnya sebagaimana Allah Swt. mampu mengaturnya sedemikian rupa. Mereka tidak akan mampu menambah atau mengurangi sayap-sayap nyamuk, tidak akan mampu mencegah penyakit, menolak penyakit, cacat, kekurangan, kemiskinan, marabahaya, kebodohan dan kekufuran.
Mereka tidak akan mampu mengubah ketetapan Allah Swt. dalam masalah rezeki, ajal, kekuatan, kelemahan, kepatuhan dan kedurhakaan. Justru mereka akan menyaksikan bahwa semua itu ditetapkan oleh Allah dengan keadilan murni yang tidak terdapat unsur kelaliman di dalamnya, ketetapan yang pasti tanpa sedikit pun kekurangan, dan konsistensi yang sempurna tanpa penyimpangan dan celah. Bahkan segala hal yang mereka lihat penuh kekurangan ternyata berkaitan erat dengan kesempurnaan hal-hal lainnya yang jauh lebih besar dari hal sebelumnya. Apa yang mereka lihat berbahaya ternyata di balik itu terdapat manfaat yang lebih besar darinya, dan manfaat tersebut tidak dapat digapai kecuali dengan marabahaya tersebut.
Dari sana mereka tahu benar dan kenal secara pasti, bahwa Allah itu Maha Bijaksana, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah sama sekali tidak kikir kepada makhluk-Nya dan tidak meremehkan satu perkara pun dalam memperbaiki mereka.
Dan inilah samudera lain dalam ma’rifat. Ombak-ombaknya menggerakkan rahasia takdir, dimana orang-orang ahli mukasyafah dilarang untuk menyebut-nyebutnya, dan banyak orang yang bingung menilainya. Hanya orang-orang alim yang mampu memikirkannya, dan tidak ada yang mampu menafsirkannya, kecuali hanya orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun).
Hak orang awam adalah, meyakini bahwa setiap hal yang menimpa diri mereka belum tentu untuk menyalahkan mereka, dan setiap hal yang menjadikan mereka berdosa belum tentu jadi musibah mereka. Hal itu wajib terjadi karena ketetapan kehendak azali, tidak ada satu pun yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan tersebut, bahkan segala yang kecil dan besar tercatat di dalamnya. Pengejawantahannya dengan ketentuan tertentu, yang ditunggu-tunggu.
‘‘Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (Q.S. Al-Qamar: 50).
Pilar kedua: Kondisi tawakal. Maksudnya adalah, Anda menyerahkan urusan Anda kepada Allah Swt, kalbu Anda yakin kepada-Nya, jiwa Anda merasa tentram menyerahkan diri kepada-Nya, dan Anda tidak berpaling kepada selain Allah sepenuhnya. Dalam hal ini Anda serupa dengan orang yang menyerahkan perkaranya kepada orang (pengacara) yang paling pintar dan kuat membongkar kebatilan, untuk dihadapkan di sidang majelis hakim.
Dia percayakan perkara itu kepadanya karena tahu bahwa orang tersebut itu adalah paling mengerti tentang seluk-beluk kebatilan, dan orang yang paling giat untuk menegakkan keadilan. Karena itulah, Anda pasti tenang di rumah, hati Anda merasa tentram tidak ambil pusing dengan perkara perselisihan di pengadilan tersebut. Dia tidak minta bantuan kepada orang lain, karena tahu bahwa si pembelanya itu pasti memenuhi keinginan, dan bahwa dia tidak akan ditentang oleh pihak lain.
Orang yang ma’rifatnya telah sempurna, akan mengetahui bahwa persoalan rezeki, ajal, penciptaan dan kekuasaan itu ada di tangan Allah; Dia itu Maha Tunggal tiada berserikat, dan bahwa kasih, hikmah dan sayang-Nya tanpa batas dan tidak dapat disamai oleh kasih-sayang orang lain. Tentu, kalbunya hanya terpaut kepada-Nya, perhatiannya tidak terarah kepada selain Allah.
Sebaliknya, bila perhatiannya masih terarah pula kepada selain Allah, maka hal tersebut disebabkan oleh salah satu di antara dua faktor berikut:
Pertama, lemahnya keyakinan terhadap hal yang telah kami sebutkan di atas. Keyakinan yang lemah itu timbul karena rasa ragu masih dapat menembusnya, dan karena keyakinan itu tidak mampu menguasai kalbu.
Maut itu merupakan sesuatu yang pasti dan diyakini mesti tiba. Namun bila tidak menguasai kalbu, maka maut itu seperti sesuatu yang meragukan. Sehingga keyakinan terhadap maut itu tidak meyakinkan karena keraguan tersebut.
Kedua, kalbu dalam wataknya yang takut lagi lemah. Takut dan berani adalah dua watak. Rasa takut berakibat pada ketundukan dan kepatuhan jiwa pada angan-angan, padahal angan-angan itu jelas-jelas keliru; bahkan kadang-kadang orang yang takut untuk tidur bersama mayat di atas ranjang atau di sebuah rumah; padahal dia tahu bahwa Allah tidak akan menghidupkannya saat itu, dan kekuasaan Allah atas hal tersebut identik dengan kekuasaan-Nya untuk mengubah tongkat yang di tangannya menjadi ular besar, dimana ia tidak merasa takut pada ular tersebut.
Bahkan terkadang madu diserupakan dengan tinja, sehingga ia menolak untuk menerima dan memanfaatkannya, padahal dia tahu bahwa keserupaan itu adalah keserupaan yang dusta, tidak benar. ini adalah bentuk kelemahan jiwa dan kepatuhannya pada fantasi (baying-bayang/angan-angan).
Sebagaimana manusia tidak lepas dan kondisi semacam itu — walaupun dalam kadar yang lemah — maka dia pun tidak jauh untuk mencapai keyakinan dengan tauhid yang tidak disertai kebimbangan dan keragu-raguan.
Derajat Tawakal
Jika Anda telah tahu bahwa tawakal itu merupakan kondisi kalbu dalam bentuk keyakinan yang bulat kepada Sang Wakil Yang Maha Benar (Allah) dan ketidakpedulian kepada selain-Nya, maka selanjutnya Anda juga harus tahu bahwa tawakal itu memiliki tiga tingkatan, yaitu:
  1. Sebagaimana telah kami sinyalir di atas, yaitu seperti kepercayaan kepada seorang pembela yang mewakilinya dalam sebuah persengketaan. Dimana ia telah yakin betul bahwa sang pembela tersebut sangat mumpuni dalam hal memberikan arahan, mampu mengatasi dan mempunyai rasa belas kasih.
  2. Lebih tinggi dan kuat dari tingkatan pertama. Tingkatan ini serupa dengan kepercayaan anak kecil (bayi) kepada sang ibu dan refleksitasnya untuk minta perlindungan kepadanya setiap kali ada yang menimpanya. Yang demikian itu karena dia percaya akan kasih sayang dan pengayoman ibu. Namun bentuk kepasrahan si anak kecil itu musnah, lantaran terwujud tanpa proses pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu, walaupun bentuk kepasrahannya itu tidak lepas dari semacam pengetahuan. Sedangkan kepasrahan atau tawakal seseorang kepada pembela yang mewakilinya dalam sebuah persengketaan, terlebih dahulu melalui proses pemikiran dan pertimbangan.
  3. Tingkatan yang tertinggi adalah, seorang yang bertawakal (mutawakkil) di hadapan Allah seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya, bukan seperti bayi. Sebab, bayi itu selalu lengket pada sang ibu dan selalu membuntutinya.
Akan tetapi, seseorang itu dan satu sisi identik dengan anak kecil (bayi), dia tahu bahwa jika tidak meminta perlindungan kepada ibu, sang ibu justru mengusahakannya. Jika tidak membuntuti ibunya, sang ibu menggendongnya. Bila tidak minta disusui, sang ibu yang memulai untuk menyusuinya.
Jadi, di hadapan Allah orang ini tanpa ikhtiar, karena dia tahu bahwa dirinya sekadar menjalankan ketentuan Allah, tidak ada kesempatan atau upaya baginya, kecuali menunggu apa yang akan terjadi kepadanya. Pada tingkatan ini seseorang menolak untuk berdoa dan meminta kepada Allah.
Pada tingkatan pertama dan kedua, doa serta permohonan masih berlaku.
Pada tingkatan ketiga tidak berlaku perencanaan, begitu juga pada tingkatan kedua, kecuali dalam bentuk ketergantungan pada pihak yang menjadi wakil, yang menjadi tempat bergantung.
Pada tingkatan pertama, tidak berlaku perencanaan dalam bentuk ketergantungan pada selain tempat bergantung Allah), namun jalan dan perintah yang telah ditentukan oleh Sang Wakil (Allah) masih tetap berlaku.
Pilar ketiga: Amal nyata. Kadang-kadang orang-orang bodoh mengira, bahwa persyaratan tawakal adalah menganggur, tanpa berobat, pasrah dan menyerah pada hal yang membahayakan. Ini keliru, sebab yang demikian haram dalam ajaran syariat. Agama memuji tawakal dan menganjurkannya, lalu bagaimana mungkin tawakal itu bisa digapai dengan hal yang dilarang oleh agama?
Realisasinya, bahwa usaha manusia tidak lebih dari empat segi: 1) Mengupayakan kegunaan yang belum ada, 2) Memelihara yang ada, 3) Mencegah marabahaya agar tidak terjadi, 4) Menghilangkan marabahaya.
Yang pertama adalah mengupayakan kegunaan atau hal yang bermanfaat. Dalam hal ini ada tiga faktor: 1) Adanya kepastian, 2) Dugaan yang mendekati pasti secara lahiriah, 3) Angan-angan belaka,
Contoh dari yang sudah pasti: Tangan tidak mengambil makanan, padahal dia lapar, lalu berkata, “Ini adalah suatu usaha, sebab aku adalah orang yang berserah diri.” Atau seseorang menginginkan anak, namun tidak menyetubuhi istrinya, atau menginginkan tanaman, namun tidak menanam benih. Ini semua merupakan tindakan bodoh, sebab Sunnatullah tidak berubah. Allah telah memberi tahu Anda, bahwa keterkaitan sebab-akibat ini merupakan sunnah yang tidak ada gantinya.
Sebenarnya sikap tawakal dalam hal ini dilakukan dengan dua hal:
Pertama, hendaklah Anda tahu bahwa tangan, makanan, benih dan kemampuan untuk menggapainya merupakan kekuasaan Allah Swt.
Kedua, jangan bergantung pada tangan, makanan dan benih, tapi bergantunglah kepada Sang Penciptanya.
Bagaimana bisa bergantung pada tangan, padahal ada kemungkinan terpotong ketika itu atau makanan itu sendiri menjadi basi. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dan ucapan Anda, “Laa haula wa laa quwata illa billaah (Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan Allah).”
Daya adalah gerak, dan kekuatan adalah kekuasaan. Jika demikian, Anda adalah orang yang bertawakal walaupun Anda berusaha.
Contoh dari yang berupa dugaan: Membawa bekal ketika mengembara di padang sahara atau ketika menempuh perjalanan jauh. Meninggalkan bekal atau tanpa membawa bekal bukan syarat tawakal, tapi itu merupakan kebiasaan orang-orang terdahulu. Namun yang harus dibuat pegangan adalah bentuk kepercayaan atas karunia Allah dengan mencegah perampokan dan menjaga bekal dan kehidupan serta kemampuan untuk berusaha.
Contoh dan angan-angan: Membatasi diri dan upaya penghidupan dan kehidupan, serta membatasi diri untuk menyimpulkan segala hal yang berhubungan dengan masalah tersebut. Ini adalah buah dari sifat tamak dan rakus, dan hal ini bisa menyeret pada tindakan menerima yang syubhat.
Semua itu bertentangan dengan sikap tawakal. Dalilnya adalah pernyataan Rasulullah Saw, bahwa orang-orang yang bertawakal itu tidak menyembunyikan diri dan merasa lemah. Beliau tidak menyatakan, bahwa mereka tidak berdiam di kota-kota besar dan tidak bekerja. Mengaitkan diri pada sebab, seperti jimat dan mantera-mantera, maka meninggalkannya merupakan syarat tawakal.
Di antara bentuk angan-angan pada faktor-faktor penyebab adalah menyimpan bekal. Jika seorang mutawakkil mewarisi harta-benda dan menyimpannya untuk kebutuhan satu tahun atau lebih, maka tawakal nya batal. Namun jika merasa puas dengan makanan hari  ini dan memisahkan sisanya, maka yang demikian itu adalah tawakal yang sebenarnya.
Jika menyimpan untuk kebutuhan empatpuluh hari, tawakalnya batal. Menurut Sahi At-Tastury selain batal, tidak dapat menerima kedudukan terpuji, yang dijanjikan untuk para mutawakkilin. Namun menurut Al-Khawash, tawakalnya tidak batal.
Mereka bersepakat, bahwa lebih dari waktu itu dapat membatalkan tawakal, kecuali bila keluarganya banyak Ia boleh menyimpan makanan bagi keluarganya untuk jangka waktu setahun.
Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dalam memenuhi hak keluarga dan hak diri beliau; beliau tidak menyimpan makanan untuk makan malam dan makanan siangnya. Tidak syak lagi bahwa panjang angan-angan bertentangan dengan tawakal.
Bila jangka waktu penyimpanan tersebut sebentar, yang demikian itu menempati kedudukan lebih tinggi, hanya saja Sunnatullah berjalan seiring dengan berulang-ulangnya rezeki ketika pengulangan tahun. Maka, menyimpan untuk keperluan lebih tinggi dari satu tahun merupakan bentuk kelemahan yang amat sangat dan tidak sedikit pun dapat dikategorikan sebagai sikap tawakal.
Menyimpan cangkir jabung dan perabot rumah boleh-boleh saja, sebab Sunnatullah tidak berlaku dengan pengulangan-pengulangan barang itu seperti pengulangan rezeki. Dan itu dibutuhkan setiap waktu, tidak seperti pakaian musim dingin, pakaian ini tidak terpakai lagi pada musim panas, menyimpannya bertolak belakang dengan sikap tawakal.
Rasulullah Saw. bersabda tentang seorang fakir yang telah dikebumikan, “Bahwasanya, kelak dikumpulkan pada hari Kiamat dan wajahnya seperti rembulan pada malam purnama. Kalau tidak karena satu sifat yang dimilikinya, tentu dia akan seperti matahari yang terang benderang. Dia, bila musim dingin telah tiba, menyimpan pakaian musim panasnya untuk dikenakan pada musim panas.”
Di antara sebab-sebab langsung yang bersifat menolak, seperti tindakan melarikan diri dari binatang buas, lari dari tembok yang miring dan lari menghindari banjir, serta menangkal penyakit dengan obat. Hal ini memiliki tingkatan-tingkatan pula, silakan Anda analogikan dengan apa yang telah kami sinyalir di atas. Kami telah membicarakannya secara panjang-lebar dan menginterpretasikannya dalam kitab Al-Ihya’.
Ketahuilah, bagi orang yang memiliki keyakinan kuat, dan kalbu yang kokoh, tidak menyimpan bekal itu sebagai tindakan terpuji. Sebaliknya, bagi orang berkalbu lemah, dimana bila tidak menyimpan ia gelisah, merasa tidak tentram, pikiran dan tenaganya tidak tercurah pada urusan ibadat, maka jalan paling utama baginya adalah meninggalkan cara hidup para orang yang berserah diri (mutawakkiiin). Jangan membebani diri dengan beban yang di luar batas kemampuannya, sebab kerusakan akan menimpa dirinya lebih besar daripada maslahatnya. Setiap orang hendaklah mengantisipasi sesuai dengan keadaan dan kekuatannya.
Kekuatan maksimal itu batasnya sampai pada kriteria perjalanan jauh di padang sahara tanpa bekal. Ini tentunya bagi orang yang dapat bersabar tidak makan dalam jangka waktu satu minggu dan merasa puas dengan rerumputan, dan itu tidaklah sulit di padang sahara.
Sebaliknya, bila orang lemah melakukan hal itu, berarti ia berbuat maksiat dan mencampakkan diri dalam kebinasaan. Orang kuat yang menahan diri di dalam sebuah gua di sebuah gunung yang tiada rerumputan dan tidak pernah dijamah oleh manusia, haram pula hukumnya, sebab dengan demikian dia telah melanggar dan menantang Sunnatullah yang berlaku pada makhluk-Nya.
Yang demikian boleh dilakukan bila bertepatan berada di padang-padang sahara, sebab biasanya di situ terdapat rerumputan dan kadang-kadang dilewati manusia.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini