Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Senin, 03 Januari 2011

Astronomi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Manusia menggunakan astronomi untuk melakukan pengukuran; bukan hanya mengukur waktu, tetapi juga untuk mengukur posisinya di dunia, mengukur kekuatan pengetahuan yang dimilikinya, juga mengukur hubungannya dengan Tuhan. Perputaran benda-benda langit pada porosnya secara teratur dan harmonis bisa menjadi objek kontemplasi manusia. Sebuah fenomena celestial yang menyimbolkan bahwa semua orang memiliki peran dan fungsi yang saling mengisi satu sama lain, berguna satu sama lain. Membentuk satu kesatuan. Harmonisasi.
Plato dalam Timaeus mengatakan, bahwa astronomi merupakan salah satu alasan mengapa Tuhan memberikan mata kepada kita. Menatap bintang-bintang, dan matahari, juga langit memberikan ‘rasa’ tersendiri bagi jiwa. Tetapi tiada kata-kata yang dapat diutarakan mengenai keagungan jagat raya. Bagi Plato, kecerdasan intelektual (‘aql: akal dalam atau akal jiwa) seseorang berhubungan dengan langit, lebih daripada pemahaman filsafati. Karena itu Plato dalam Republik dan Laws menyatakan bahwa astronomi merupakan – dan harus – bagian dari kurikulum pendidikan sebuah sekolah. Ia mampu membuat manusia menemukan self-rule nya yang membuat rasa, karsa, cipta, dan karyanya diatur oleh kemurnian jiwanya.
Mereka yang tak mampu berkontemplasi dengan alam semesta, dan melihat hubungan dari musik (harmoninya) dengan segala sesuatunya, dan mengharmonisasi kesemuanya dengan aturan-aturan dalam lembaga masyarakat, dikatakan belum menemukan self-rule. Untuk memberikan sebuah alasan bahwa segala sesuatu memiliki alasan untuk diciptakan, dilakukan dan lain sebagainya. Tetapi, dikatakan Plato lagi, manusia yang terlalu sering melakukan pengamatan terhadap fenomena langit dengan hanya melalui metoda-metoda pengukuran astronomi, mungkin bisa menjadi atheis karena mereka melihat sesuatu terjadi sudah begitu, bukan oleh karena ada Yang mengatur. Dua hal yang bisa membuat astronom mempercayai adanya Tuhan, yaitu dari keteraturan gerak benda-benda langit dan bahwa segala sesuatu berada dibawah kekuasaan apa yang menjadi ‘pemimpin’ dalam dirinya. Kekuasaan Tertinggi, Absolut adalah Yang Baik (The Good), Tuhan. Bahkan Freud, mantan guru CG. Jung menyatakan bahwa keteraturan merupakan imitasi dari alam. Observasi manusia secara periodik terhadap benda-benda langit tidak hanya memberikannya sebuah model keteraturan, tapi membangun kerangka paling dasar untuk membantu memperkenalkan keteraturan menuju kehidupannya.
Berawal dari pandangan Plato bahwa astronomi berguna untuk memurnikan jiwa dan keshalehan, pendidikan dan politik, kemudian menuju kepada tradisi barat. Meskipun berasal dari apa yang ada dalam konteks kepercayaan Yahudi dan Kristiani, dan perkembangannya kemudian berada di dalam astronomi itu sendiri sebagai sains.
Astronom seperti Ptolemy, Copernicus, dan Kepler mengamini konsep Plato bahwa terdapat hubungan astronomi sebagai sains dengan agama dan moral. Lucretius dan Augustine tidak demikian. Lucretius malah berharap agar astronomi dapat membebaskan manusia dari takhayul-takhayul yang dibawa oleh agama. Pernyataannya benar-benar mengerikan: “Jika seandainya mereka menatap dunia besar di atas sana dengan begitu antusias, fokus kepada matahari dan bulan; lalu mereka mengalami perasaan ‘melayang’, merasa damai, ‘terbang’, atau apapunlah namanya, itu hanya karena mereka melihat pekerjaan dari hukum alam itu sendiri dan tidak ada bukti bahwa kekuatan Tuhan sedang menjalankan Kehendak-Nya. Sebenarnya manusia itu menjadi shaleh hanya karena mempelajari sains semata, tidak ada hubungannya – karena memang tidak perlu ada – dengan siapa dalang di baliknya.”
Dari pengalaman-pengalaman menekuni astronomi dari sekte Manichean, dalam hubungannya dengan doktrin agama mereka, Agustine tidak menemukan adanya peningkatan keshalehan dengan menekuni astronomi. Pernyataannya: “Seseorang yang mampu mengadakan pengukuran terhadap langit dan angka bintang-bintang, serta mampu menemukan keseimbangan antara satu dengan lainnya (unsur pembentuk, usia, ukuran, dll) akan menolak Tuhan.” Seorang Cardinal Barberini, yang selama kontroversinya melawan hipothesis Copernicus, melaporkan pernyataan Galileo bahwa astronomi dan agama tidak menyatu. Satunya berkisah tentang bagaimana langit bergerak, lainnya berkisah tentang bagaimana jalan untuk menuju langit. Tapi satu dari pernyataan Freud kita menemukan bahwa keteraturan merupakan imitasi dari alam. Observasi manusia secara periodik terhadap benda-benda langit tidak hanya memberikannya sebuah model keteraturan, tapi membangun kerangka paling dasar untuk membantu memperkenalkan keteraturan menuju kehidupannya. Aquinas sendiri beranggapan bahwa astronomi mempunyai hubungan dengan biologi dan psikologi, selain dengan matematika dan fisika. Hubungannya dengan psikologi berkaitan dengan astrologi. Terkadang karakter manusia dan perilakunya dipengaruhi oleh konstelasi langit. Al Biruni tidak menyetujui masalah astrologi. Sistem prediksi dalam astrologi keseluruhannya bersifat absurd, memiliki kelemahan dalam deduksinya, saling bertentangan dalam asumsi-asumsinya, memiliki ketidakpastian tinggi. Tiap kali Al-Biruni menanyakan hal perbintangan kepada astrolog, mereka tidak pernah memberikan jawaban yang pasti. Bahkan para astrolog memiliki ketidakpercayaan di antara mereka.
Begitu banyaknya pro-kontra tentang astronomi. Masalah yang juga cukup penting terletak dari sejarah astronomi itu sendiri. Teori-teori dari pergerakan benda-benda langit menjadi berkorelasi dengan teori-teori bahan-bahan pembentuknya – apakah hal itu berbeda dari bahan pembentuk bumi atau sama. Para Copernican berhipothesis bahwa pergerakan-pergerakan yang terjadi di langit tidak lebih dari sekedar perhitungan matematika, mengamini hipothesis Ptolemaic. Tetapi Kepler, Galileo, dan Newton tidak setuju. Melalui nama Copernicus itu sendiri, mereka melalukan ‘revolusi Copernicus’. Tetapi revolusi itupun tidak membuahkan perbaikan dan pengembangan dalam astronomi, bahkan tidak memberikan alternative formulasi matematika mana yang lebih baik digunakan untuk melakukan pelbagai pengukuran. Bahkan sampai sekarang, tampaknya para astronom belum menemukan cara paling tepat untuk menentukan system kalender. Kebanyakan mungkin tidak menyadari bahwa posisi bumi dari bulan (satelitnya) dan matahari sudah bergeser beberapa derajat, sehingga mungkin dibutuhkan metode dan criteria baru dalam penentuan hilal (bulan baru). Ketidaksadaran bisa terjadi dikarenakan melulu melakukan pengukuran dan pengukuran, mengandalkan peralatan yang diciptakan oleh tangan manusia yang terbatas itu. Seandainya mereka lebih tergerak untuk mengamati fenomena alam hari ke hari, menatap langit, bumi, dan isinya, mungkin mereka akan menemukan sesuatu yang baru untuk lebih dipikirkan dan diciptakan demi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dengan hal-hal yang mengelilinginya. Tetapi memang kebanyakan manusia sudah merasa nyaman dengan ‘apa’ yang sudah ada. Kecuali mereka yang berada dalam bimbingan-Nya.
Aristoteles, yang menggunakan indera-indera sebagai media sekaligus metoda perolehan pengetahuan, tidak ketinggalan dalam hal astronomi. Setiap hari ia melakukan sense-experience. Ia mengamati putaran api dan jatuhnya batu. Lalu mencampur tanah, udara, dan air dalam sebuah tempat tertutup rapat. Gelembung-gelembung udara akan naik ke atas, sementara partikel-partikel tanah akan melayang-layang hingga ke dasar. Untuk menyudahi pengamatannya tersebut, Aristoteles mengembangkan sebuah teori tentang pergerakan-pergerakan alami dan penempatan 4 elemen dasar pembentuk bumi, yaitu tanah, udara, api, dan air. Tubuh makhluk hidup bergerak alami hanya pada tempatnya, sementara tubuh besar, bumi, tempat makhluk hidup tinggal dan melakukan pergerakan, yang merupakan dasar dari segala sesuatu, tidak membutuhkan gerakan sama sekali. Ia hanya butuh berputar pada porosnya dan terus-menerus berevolusi mengelilingi matahari, yang menjadi sumber cahaya absolut. Menjadi berada dalam tempat yang tepat, merupakan hal terpenting. Sudah menjadi kebutuhan dan tujuan yang harus dicapai.
Aquinas yang tidak menyetujui teori Aristoteles dan Plato meringkas. Plato dan Aristoteles beserta pengikutnya percaya bahwa tubuh manusia juga terdiri dari elemen tanah, udara, api, dan air. Tubuh adalah bumi kecil. Ia harus sederhana agar dapat hidup dengan pengendalian diri yang baik (Plato), seperti partikel tanah yang akhirnya jatuh ke dasar. Sebaliknya agar elemen lain mampu terbang tinggi mengudara. Aquinas mengatakan bahwa ada ketidakkonsistenan dengan teori Aristoteles. Aristoteles tidak mampu membuktikan bahwa tiap makhluk hidup memiliki gerak alaminya. Dengan penemuan 4 element dasar, Aristoteles malah meruntuhkan teori bahwa makhluk hidup memiliki gerakan alaminya. Pergerakan dalam sebuah lingkaran (berputar), adalah gerak alami bumi. Hal tersebut bisa diterima. Tetapi gerakan keempat elemen dasar saling bertentangan satu sama lain. Satu cenderung ke atas, satunya lagi ke bawah.
Kepler yang juga tidak menyetujui Aristoteles berusaha untuk mencari pemecahan dalam masalah-masalah yang muncul dalam astronomi dengan mengajukan empat hal penting yang harus dilihat dan saling berhubungan satu sama lain: pergerakan alami bumi, penggerak alami, tempat dimana pergerakan terjadi, dan kesempurnaan sebuah lingkaran. Dengan adanya empat hal tersebut, terbukalah cara baru dalam melakukan pengukuran astronomi. Fisika, menurutnya, merupakan bagian dari astronomi yang mampu menjawab keempat hal di atas. Selain fisika, juga matematika dan metafisika. Ia menasihati para astronom dengan memberikan petuah bahwa para astronom harus kembali melihat pondasi dasar mereka dalam berastronomi. Jangan menganggap remeh geometri, karena kombinasi fisika dan geometri akan menghasilkan perhitungan matematika yang tepat guna melakukan pengukuran astronomi. Akhirnya lahirlah matematika fisik.
Dalam merancang kurikulum untuk pendidikan liberal, Plato, dalam Republic, mengelompokkan musik dan astronomi bersama dengan aritmetik dan geometri sebagai mathematical arts atau sains. Dalam konteks bahwa keempatnya (musik, astronomi, aritmetik, dan geometri) sebagai matematika murni. Astronomi tidak lebih penting dengan langit yang terlihat dibanding musik dengan nada-nada yang terdengar. Musik dan aritmetika terletak pada harmonisasinya, sementara astronomi dan geometri terletak pada gerakan teraturnya. Kerlap kerlip yang tampak dilangit harus digunakan sebagai sebuah pola tertentu. Astronomi harus digunakan untuk memberikan dorongan terhadap penemuan matematika murni dengan memberikan masalah-masalah dan terus-menerus memformulasikan temuan kebenaran tentang langit.
Aristoteles menyerang Plato dengan konsep astronomi sebagai matematika murni. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pandangan/ penglihatan/ pengamatan mata tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang terinderawi. Terlihat nyata. Astronomi pun demikian. Ia melihat langit yang terlihat (astronomical experiences). Matematika tidak demikian. Tetapi meskipun subjek dari astronomi terlihat nyata dan metoda pengukurannya secara empirik, astronomi tetap memiliki harmonisasi. Aquinas menyimpulkan astronomi sebagai ilmu campuran dan lanjutan.
Perkembangan astronomi mulai dari Plato dan Aristoteles, hingga ke Copernicus dan Kepler, lalu Galileo, dan banyak lagi sebenarnya, banyak mengalami berbagai perdebatan. Memang, fenomenanya yang tidak dapat dikontrol dalam sebuah percobaan ilmiah di laboratorium – tidak seperti fisika, kimia, dan fisiologi – lebih memerlukan pengawasan, kecermatan, terutama kemauan dan jiwa saintis pekerjanya untuk bekerja lebih keras lagi dengan keshalehan mencari cara terbaik dalam melakukan pelbagai pengukuran astronomi. Yang hingga kini masih absurd.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini