Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Kamis, 06 Januari 2011

Kenapa Perlu Menguasai Bahasa Arab?

“Cintailah bahasa Arab karena 3 hal: Pertama, karena aku adalah orang Arab. Kedua karena Al Qur’an berbahasa Arab. Dan ketiga, karena bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab.” (HR. Thabrani)

Tiga urgensi bahasa Arab yang disampaikan Rasulullah saw itu sebenarnya sudah sangat cukup untuk menjadi landasan paling penring untuk mendorong kita mempelajari dan menguasai bahasa Arab. Al Qur’an ditu­runkan sebagai tata aturan kehidupan manusia dengan bahasa Arab. Dan dengan bahasa Arab juga, penlltup para Nabi dan Rasul, Muhammad saw. berbi­cara. Apalagi, kelak bahasa Arab men­jadi bahasa ahli surga.
Bukan hanya itu, ada banyak faktor lain yang memicu kita menguasai bahasa Arab. Ia adalah bahasa yang tidak luntur oleh zaman dan perubahan, juga menjadi wadah peradaban Islam selama 14 abad, baik di belahan dunia timur, maupun di barat. Bahkan, PBB telah mengakui baha­sa Arab sebagai bagian dari bahasa komu­nikasi dunia, di samping bahasa Inggris dan Prancis.
Masalahnya adalah, tidak sedikit kaum Mus­limin Indonesia yang ‘alergi’ dengan bahasa Arab. Yang terbayang bagi mereka, mempelajari bahasa Arab seperti mendaki sebuah puncak gunung es yang sangat-sangat sulit. Padahal sejarah membuktikan, dahulu di wilayah Afrika Utara, Persia, Daratan India, Turki, dan sebagian Eropa Timur tidak dapat berbahasa Arab. Namun, setelah Islam masuk menjadi agama mereka, bahasa Arab dapat menjadi bahasa per­cakapan mereka. Bahkan, Indonesia pun, sebelum kedatangan para penjajah, menggunakan aksara Arab sebagai bahasa tulisan.
Dari sisi kebiasaan pun, sebenarnya, bahasa Arab lebih familiar di kalangan kaum Muslimin ketimbang bahasa Inggris maupun yang lainnya. Ini karena dalam shalat wajib, kita pasti membaca dan melantunkan nash nash Al Qur’an yang berbahasa Arab. Belum lagi jika kita rajin membaca Al Qur’an dan berdzikir, itu juga dengan bahasa Arab.
Maka, kita perlu mengenali bahasa ini dengan baik; agar tumbuh benih-­benih cinta kepadanya, terdorong mem­pelajarinya, dan mempraktekkannya dalam bahasa lisan dan tulisan, seba­gaimana pesan kekasih kita Muhammad saw. di atas tadi.

Definisi Bahasa Arab
Definisi bahasa Arab dapat ditinjau dari sisi bahasa dan istilah. Shafiyyur­rahman al-Mubarakfuri menyebutkan dalam bukunya al-Rahiqul Makhtum bahwa pengertian “Arab” secara bahasa adalah gurun sahara, atau tanah tandus yang di dalamnya tidak ada air dan po­hon yang tumbuh di atasnya. Adapun “bahasa” adalah alat komunikasi yang digunakan manusia untuk saling berinte­raksi dan berhubungan dengan berbagai motivasi dan keperluan yang mereka miliki.
Jadi, definisi bahasa Arab secara isti­lah, adalah bahasa yang digunakan oleh sekelompok manusia yang berdomisili­pada mulanya-di atas Negeri Gurun Sa­hara, Jazirah Arabiyah. Kemudian, bahasa ini berkembang pada zaman Is­lam, dan menyebar ke seluruh pelosok dunia yang Islam menjadi keyakinan penduduknya. Maka, bahasa Arab bu­kanlah hanya milik orang-orang ketu­runan Arab, namun milik semua orang atau etnis yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “ Barang siapa yang berbicara bahasa Arab, maka dia adalah orang Arab.”

Karakteristik Bahasa Arab
Imej bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang sulit dikuasai, salah satunya dilatarbelakangi karena mereka tidak mengenal apa saja keistimewaan dan karakteristik bahasa Arab, ketimbang bahasa lainnya? Ada beberapa karakte­ristik bahasa Arab:

1.      Mudah

AI-Qur’an adalah puncak bahasa Arab dati semua sisi kebahasaan, yang terdiri dari; kosa kata, kalimat ungkapan, dan sastra. Yang harus disadari adalah tidak ada satu kosa kata sejelas peng­gunaan Al-Qur’an, tidak ada kalimat melebihi ketepatan pengungkapan Al­Qur’an, dan tidak ada karya sastra yang dapat melebihi nilai keindahan sastra Al­-Qur’an, baik sebelum datangnya masa Islam, maupun sesudahnya. Hal inilah yang menyebabkan kaum Quraisy [yang pada zamannya menjadikan karya sastra, baik syair, maupun prosa, sebagai bagian dari prestise dan kebanggaan seseorang dan qabilah] tidak mampu membuat sesuatu yang serupa dengan AI-Qur’an. Bahkan, mereka tidak mampu mende­finisikan AI-Qur’an, apakah ia syair, atau prosa, atau malah sihir. Mereka tidak dapat mendefinisikannya karena keting­gian sastra AI-Qur’an. Perhatikanlah firman Allah SWT, tentang al-Walid bin Mugirah, seorang yang berusaha mende­finisikan al-Qur’an.
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkan­nya). Maka celakalah dial Bagaimana­kah dia menetapkan?, kemudian celakalah dial Bagaimanakah dia menetap­kan?, kemudian dia memikirkan. Sesu­dah itu, dia bermuka masam dan mere­ngut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, (Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.“ (QS. al­Muddatstsir: 18-25)
Akan tetapi, meskipun dalam Al­Qur’an segala puncak bahasa Arab tersan­dang pada dirinya, AI-Qur’an itu mudah. Sebagaimana ia menyebutkan dirinya sebanyak 4 kali dalam surat yang sarna.
„Dan sesungguhnya telah Kami mu­dahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?“ (QS. al-Qamar: 17, 22,32 dan 40)
Sejarah pun membuktikan bahwa bahasa Arab itu mudah. Pada mulanya, hanya penduduk jazirah Arabiyah, nege­ri-negeri Syam, dan sebagian Iraq saja yang menggunakan bahasa ini. Kemu­dian, menyebar ke Afrika Utara bersa­maan dengan penyebaran Islam, seperri Mesir, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, Sudan, Somalia, dan lainnya. Dahulu, Afrika Utara tidak bisa berbahasa Arab, kecuali setelah Islam masuk pada kawa­san itu. Demikian pula yang terjadi di Persia, Asia Tengah, Selatan, dan Teng­gara. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas bahasa Arab setiap kawa­san berbeda an tara satu dengan yang lainnya, tergantung pada kedekatan dan jarak kawasan dengan ]azirah Arabiyah. Misalnya, di Asia Tenggara, bahasa Arab sangat mempengaruhi bahasa Melayu, terutama pada kosa kata dan aksara yang digunakan, khususnya pada sebelum dan saat masa zaman penjajahan.
Bukti sejarah yang lain adalah, para perumus ilmu tata bahasa Arab sebagian besar bukan berdarah Arab. Misalnya, Sibawayh dari Asia Tengah, Ibnu Malik dan Ibnu Hisyam dari Andalusia atau Spanyol, serta Imrithi dari Afrika Utara. Disamping itu, ulama-ulama Islam yang lain, seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Asia Tengah, dan masih banyak ulama lainnya yang bukan dari bangsa Arab.
Jadi, jika masih ada yang berpenda­pat bahwa bahasa Arab itu sulit, maka itu hanyalah ilusi, atau mungkin hanya senjata musuh Islam dalam al-gazwul fikri agar umat ini jauh dalam memahami agamanya. Oleh karena itu, baik secara normatif, maupun empiris, bahasa Arab itu mudah. Maka, salah satu penyebab kemunduran umat Islam adalah karena mereka tidak mampu menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi mereka.
Adapun jika ditinjau dari teori mod­ern tentang pengajaran bahasa kedua, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan dan kesulitan mempeIajari setiap bahasa itu sama. Sekarang ini, teIah tersedia jumlah memadai kuriku­lum pengajaran bahasa Arab yang mu­dah dan menggunakan teori modern, misalnya al-Arabiyyatu Lin Nasyi’in, yang diproduksi tahun 1980 oleh Depar­temen Pendidikan Saudi Arabia. Semo­ga program itu dapat mendorong teman-­teman belajar bahasa Arab, sebagai bagi­an dari persyaratan kemenangan umat ini di masa mendatang.

2.       Indah
Sesuatu yang indah harus dapat di­pandang keindahannya. Namun, tidak demikian halnya dengan bahasa, karena pada umumnya keindahan bahasa hanya dapat dirasakan melalui pendengaran atau pemahaman ketika membacanya. Akan tetapi, hal ini tidak berIaku bagi bahasa Arab. Keindahan bahasa Arab terdiri dari tiga dimensi; pertama, dimensi ketika ia didengar; kedua, dimensi ketika ia dibaca, dan ketiga, dimensi ketika ia ditulis atau dilukis.
Yang pertama dan kedua merupakan cermin dari kesusastraan bahasa Arab. Seni sastra dalam bahasa Arab dapat dipelajari dengan satu disiplin ilmu, yaitu disiplin ilmu “Balaghah”. Adapun karya sastranya yang terdiri dari syair dan prosa disebut dengan “Adab”. Nilai sastra ba­hasa Arab yang paling tinggi adalah Al­Qur’an, kemudian hadits Nabi Muham­mad saw., kemudian hasil karya-karya sastra bangsa Arab, baik yang berupa syair, maupun prosa.
Adapun dimensi keindahan yang ketiga merupakan cerminan dari seni kaligrafi Arab. Seni ini berkembang sei­ring dengan perkembangan peradaban Islam. Hal ini dapat kita saksikan keindahannya pada bangunan-bangu­nan Islam, seperti masjid-masjid atau istana-istana peninggalan sultan-sultan Islam. Bahkan, saat ini telah dikem­bangkan dalam dunia lukisan di atas kanvas, dan secara garis besar, seni kali­grafi Arab terdiri dari 7 aliran, yaitu; Nasakh, Tsuluts, Farisi, Riq’ah, Diwani, Diwani ]aliy, dan Kufi.

3.    Syamil
Suatu kehormatan bagi bahasa Arab, karena ia telah dipilih Allah menjadi bahasa kitab suci, bahasa nabi dan rasul terakhir, dan pada akhirnya sebagai alat komunikasi antara Tuhan dan hamba-­Nya dalam kegiatan ibadah, doa, dan acara ritual lainnya. Pilihan Allah bukan sembarang pilihan, pasti ada hikmah di baliknya. Salah satu hikmah yang dapat dilihat adalah ke-syumul-an atau kesem­purnaan bahasa ini.
Bahasa Arab kava dengan kosa kita; 1 akar kata dapat melahirkan lebih dari 3000 kosa kata baru, 1 tema dapat diung­kapkan dalam lebih dari 10 kosa kata, dan setiap kosa katanya dapat diung­kapkan dalam bentuk atau makna asli (denotatif), dan dapat menjadi abstrak atau bahasa kinayah (konotatif/kiasan). Perhatikanlah dua contoh berikut ini.
Allah bercerita tentang proses pen­ciptaan manusia.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (sulalah). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (nuthfah) yang disimpang dalam tempat (qarar) yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah (alaqah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging (mudhgah), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang­ belulang (izham), lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging (lahm). Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka Maha Sucilah Al­lah Pencipta Yang Paling Baik.” (Al­-Mu’minuun: 12-14)
Dari ayat di atas, kita menemukan bahasa Arab sudah memiliki kosa kata yang mewakili proses penciptaan manusia pada 14 abad yang lalu. Hal ini jauh sebelum ilmu pengetahuan mene­mukan istilah-istilah serupa dalam baha­sa Latin atau bahasa Inggris. Istilah-istilah itu adalah: sulalah, nuthfah, qarar, ala­qah, mudhgah, izham, dan lahm. Kemu­dian, kata qarar yang bermakna rahim adalah peralihan makna dari pengertian aslinya, sehingga kata qarar dalam ayat ini tampil dalam penggunaan abstrak.
Perbedaan antara kata “Rabb” dan “Ilah” yang keduanya bermakna ‘Tuhan” dalam bahasa Indonesia. Allah SWT berfirman,
“Katakanlah: “Aku berlindung kepa­da Tuhan (Rabb) manusia, Raja manu­sia, Sembahan (Ilah) manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. ... “ (an-Naas: 1-4)
Pada ayat diatas, Allah SWT meng­gunakan dua kosa kata bahasa Arab yang berbeda dalam mengungkapkan tentang diri-Nya. Dalam kesempurnaan bahasa Arab, ditemukan khazanah yang kava akan kosa kata. Bahkan, untuk menje­laskan konteks yang berbeda pada objek pembicaraan yang sama, bahasa Arab memiliki kosa kata yang dapat mewakili dua konteks tersebut, tanpa memerlukan kalimat at au penjelasan yang panjang sebagaimana kita temukan dalam bahasa kita. Kata Rabb misalnya, bila dijelaskan dalam bahasa Indonesia, maka artinya adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, Pelindung, Pemberi rezki dan seterusnya. Adapun kata Ilah berarti Tuhan Yang disembah, Tempat bergantung, Tempat berdoa dan seterusnya.

4.    Mu’jizah
Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah mu’jizah, yang artinya menarik. Bagi orang awam, bahasa Arab itu mena­rik karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa ini. Namun, bagi pembelajar bahasa ini, bahasa Arab itu menarik kare­na dapat memberikan nilai lebih dari beberapa sisi, sebagaimana tertera di bawah ini.
Pertama, singkat dan padat. Misal­nya, kalimat la ilaha illallah. Baik orang Arab yang memeluk Islam, maupun yang kafir, memahami bahwa kalimat tersebut mengandung makna dan konsekuensi yang tidak sederhana. Hal ini dapat dilihat dari pensikapan mereka terhadap kalimat ini. Mereka yang mas uk Islam memahami bahwa kalimat ini mengan­dung persamaan antar setiap manusia. Pemahaman yang sama juga dimiliki oleh mereka yang tidak masuk Islam. Hal, itu terlihat ketika mereka mengatakan, « Kalimat ini adalah kalimat yang diben­ci oleh para raja. » Mengapa para raja membencinya? Hal ini disebabkan mereka tidak mau disamakan derajatnya dengan manusia lainnya.
Kedua, jelas dalam menentukan hu­kum. Misalnya, dalam salah satu ayat, Allah SWT berfirman,
„Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah .... „ (al-Maidah: 3)
Oleh karena kejelasan bahasa Arab inilah, Allah SWT berfirman pada ayat yang lain,
„Dan demikianlah, Kami telah menu­runkan al-Qur’an itu sebagai hukum  (peraturan yang benar) dalam bahasa Arab .... (ar-Ra’d: 37)
Ketiga, ungkapan-ungkapan indah yang sarat doa dan makna. Misalnya, ungkapan „Assalamu’alaikum“ dan „Wa’alaikumussalam.“ Kedua ungkapan ter­sebut diucapkan pada saat dua orang muslim saling bertemu, yang masing­masing saling mendoakan keselamatan. Begitu pula ungkapan „Ahlan wa sahlan.“ Ungkapan tersebut mengandung makna filosofi yang dalam, yaitu bagi yang mendapatkan ucapan itu, berarti telah dianggap oleh yang mengucap­kannya sebagai „keluarga dan segala urusannya akan menjadi mudah, dan tidak akan menemui kesulitan.“
5.    Cerdas
Untuk kecerdasan bahasa Arab, biar­kanlah al-Qur’an yang memberikan kesaksian normatif tentang kecerdasan bahasa Arab. Kecerdasan yang dimaksud adalah membuat pengguna bahasa ini menjadi cerdas. Perhatikanlah al-Qur’an menerangkan hal tersebut:
“Alif laam raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Al­lah). Sesungguhnya Kami menurun­kannya berupa al-Qur’an dengan berba­hasa Arab agar kalian berakal.” (Yusuf: 1-2)
Islam, dan bahasa Arab telah mela­hirkan berjuta ulama dari berbagai bang­sa ‘ajam (bukan Arab) di berbagai disip­lin ilmu, baik ilmu agama, maupun tek­nologi. Hal ini sebagaimana telah disebutkan pada mukadimah dan point pertama, yaitu mudah sebagai salah satu sifat bahasa arab.



6.   Jelas
Bahasa Arab itu jelas, seperti jelasnya matahari di siang hari. Beberapa ayat Al-­Qur’an menjelaskan mengenai hal itu.
“Dan sesungguhnya Kami mengeta­hui bahwa mereka berkata: “Sesungguh­nya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang kepadanya (Muhammad).” Padahal ba­hasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (an-Nahl: 103)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfir­man,
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran. (lalah) Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada ke­bengkokan (di dalamnya) supaya mere­ka bertaqwa.” (az-Zumar: 27-28)
Dua ayat di atas mengingatkan setiap manusia akan orisinalitas kenabian Mu­hammad saw. Hal ini dikarenakan al­-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dimana Allah telah menyatakan bahwa bahasa ini jelas dan tidak bengkok. Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang samar atau salah dalam memahami Al-Qur’an atau bahasa Arab, maka ada dua kemung­kinan pada dirinya. Pertama, ilmunya tentang bahasa Arab tidak sempurna; kedua, terdapat penyakit dalam hatinya, sehingga terhijab baginya untuk memahami Al-Qur’an denean benar.
Urgensi Belajar Bahasa Arab
Setelah kita mengkaji beberapa karakteristik bahasa Arab, semoga “be­nih” cinta telah menjadi “tunas” di dalam hati agar mau mempelajari bahasa Arab lebih serius dari sikap yang ada selama ini. Berikut ini, beberapa jawaban me­ngapa seorang muslim, dan aktivis dak­wah khususnya, harus menguasai bahasa Arab.
1.       Bahasa Arab sebagai Bahasa Islam.
Setiap muslim wajib memahami Is­lam sesuai dengan pemahaman orang­orang yang pertama memeluk agama ini, yaitu sesuai pemahaman Rasulullah saw., para sahabat, dan tabi’in. Akan tetapi, hal tersebut mustahil terwujud apabila seorang muslim tidak menguasai bahasa Arab. Hal ini disebabkan semua literatur Islam, baik itu AI-Qur’an, sunnah, mau­pun karya-karya ulama sebagai tafsir atau penjelas atas keduanya, tertulis da­lam bahasa Arab. Walaupun, ada yang mungkin telah diterjemabkan atau ditu­lis oleh orang ‘ajam, dan dengan bahasa ‘ajam, namun nilainya tetap tidak sama dibandingkan jika kita memahaminya secara langsung clengan memakai bahasa Arab.
Sementara itu, setiap muslim berke­wajiban pula beribadah kepada Allah SWT. Hampir semua ibadah dalam Is­lam menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi dengan Allah SWT. Harus disadari, sebuah komunikasi tidak akan efektif apabila antara pembicara dan teman bicara tidak menggunakan bahasa yang sama. Oleh karena itu, agar komunikasi seorang hamba dengan Al­lah melalui ibadah menjadi efektif, maka menjadi keharusan bagi hamba untuk menguasai bahasa Arab. Mungkin ada pertanyaan, apa tidak boleh ibadah dilakukan dengan bahasa Indonesia? Jawabannya, memang tidak semua iba­dah harus dilafadzkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, ibadah-ibadah pokok seperti shalat, dan sebagian amalan haji mengharuskan hal itu.
Setiap muslim, pastinya mengha­rapkan ridha Allah SWT. Hal ini be­rangkat dari pemahamannya yang benar terhadap Islam; dari ibadahnya yang ikhlas kepada Allah, dan dari amalan­amalannya yang bermanfaat bagi perad­aban dan kehidupan umat manusia. Konsekuensi logis dari ridha Allah SWT nantinya, adalah memasuki surga-Nya di negeri akhirat, sedangkan bahasa komu­nikasi penduduk surga yang digambar­kan oleh Rasulullah saw. adalah bahasa Arab.
Untuk itu semua, setiap muslim yang tidak menguasai bahasa Arab wajib mempelajari bahasa ini. Kaidah usul fiqih mengatakan,
“Suatu amalan wajib tidak sempurna karena sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
Lewat kaidah di atas kita memahami bahwa menguasai bahasa Arab wajib hukumnya. Hal ini disebabkan, mema­hami Islam hukumnya wajib, dan mema­hami Islam tidak mungkin terjadi, kecu­ali menguasai bahasa Arab. Oleh karena­nya, menguasai bahasa Arab menjadi wajib pula, dan disebabkan kita tidak dapat menguasai bahasa Arab, kecuali dengan belajar, maka belajar bahasa Arab hukumnya wajib juga.
Demikian pula, dengan wajibnya ibadah. Akan tetapi, ibadah tidak akan sempurna, kecuali memahami lafazh yang dibaca, dan tidak akan terpahami lafazh tersebut, kecuali menguasai bahasa Arab. Hal ini disebabkan ibadah dan kesempurnaannya adalah wajib hu­kumnya. Semua ini tidak akan sempur­na, kecuali menguasai bahasa Arab, dan bahasa Arab tidak mungkin dikuasai, kecuali dengan belajar. Maka, belajar bahasa Arab itu wajib pula hukumnya, sebagaimana wajibnya shalat.
2.       Bahasa Arab sebagai Bahasa Kaum Muslimin
Sudah menjadi ketentuan Allah, bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul terakhir yang diutus kepada selu­ruh umat manusia, dan menjadi rahmat bagi segenap alam semesta. Islam, risalah yang dibawanya tidak melebihkan bang­sa Arab atas bangsa ‘ajam, tidak pula melebihkan derajat kulit putih atas kulit berwarna. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap manusia adalah anak Adam, dan Adam itu tercipta dari tanah.”
Sudah menjadi ketentuan Allah pula, bahwa manusia itu terdiri dari suku-suku dan bangsa-bangsa, yang satu dengan lainnya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Islam tidak pernah menafikan perbedaan itu, tetapi ia menuntun agar “yang lebih” membantu “yang kurang”, dan “yang kurang” berterima kasih kepada “yang lebih.” Allah memilih Nabi terakhir dari bangsa Arab, yang pada gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa agama dan bahasa pemersatu umat Islam, semata­mata karena bangsa dan bahasa Arab memang memiliki kelayakan untuk mewakili semua bangsa dan bahasa umat manusia di mata-Nya. Oleh karena itu, pemilihan tersebut tidak dapat dinilai dengan sebuah kemuliaan, karena kemu­liaan di sisi Allah SWT hanyalah ketak­waan.
Selanjutnya, sesuai dengan uraian di atas, dipahami bahwa Islam bukan hanya sekadar agama yang sarat dengan ritual. Namun, Islam membawa misi peradaban, dan menjadi guru bagi kemanusiaan. Oleh karena itulah, Islam memerlukan bahasa pemersatu bagi umatnya. Tidak ada pilihan lain untuk melakukan peran itu, kecuali dengan berbahasa Arab. Adapun alasan-alasannya akan diurai­kan sebagaimana berikut.
Pertama, karena ia telah menjadi bahasa pilihan Allah. Kedua, sejarah telah membuktikan bangsa-bangsa ‘ajam di luar Jazirah Arabiyah bersatu dengan bangsa Arab. Mereka meninggalkan bahasanya, dan menggantinya clengan bahasa Arab.
Jika umat Islam dewasa ini, ingin meraih kembali kejayaan, maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah memiliki “bahasa pemersatu”, yaitu bahasa Arab. Setiap diri kita, sebagai bagian dari umat ini, mempunyai kewa­jiban memberi kontribusi padah kejayaan umat. Maka, kita pun harus menguasai bahasa Arab.
3.     Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan dan Peradaban
      Image masyarakat tcntang bahasa Arab bahwa ia terbatas hanya sebagai bahasa ilmu agama adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, melalui materi ini, akan ditemukan ken­yataannya tidaklah demikian. Bahasa Arab pernah mencakup semua disiplin ilmu. Saksi sejarah membuktikan bahwa Bagdad, Damaskus, Kairo, Andalusia, dan pusat peradaban Islam lainnya pada zaman keemasan Islam pernah menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan. Kota­kota itu telah “melahirkan” Ibnu Sina sebagai dokter pertama, al-Hawarizm sebagai ahli kimia, al-Farabi sebagai peletak note-note balok dalam ilmu musik, dan masih ban yak lagi yang tidak dapat disebut nama mereka satu per satu dalam materi ini. Sampai saat ini, karya-­karya mereka masih tetap digunakan sebagai referensi utama dalam disiplin ilmu mereka masing-masing.
      Hal yang lain yang tidak boleh dina­fikan, adalah ketika umat Islam mengala­mi zaman keemasan. Eropa yang dewasa ini sebagai “panglima” teknologi pada masa itu masih dalam zaman kegelapan, sehingga merekalah yang belajar ilmu pengetahuan dari orang-orang Islam, khususnya di Andalusia.
      Akibatnya, muncul pertanyaan. Me­ngapa umat Islam yang berbahasa Arab tidak lagi memimpin ilmu pengetahuan seperti dahulu kala? Penyebabnya ban­yak. Jawabannya akan ditemukan, jika kita mempelajari sejarah dan menghu­bungkannya dengan sunnatullah (hu­kum-hukum sosial) yang terkait dengan kemajuan dan kemunduran sebuah umat. Adapun materi ini tidak dibuat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
      Pertanyaan berikutnya, adalah apakah masih ada kemungkinan sejarah akan berbalik, umat Islam dengan bahasa Arabnya memimpin kembali ilmu pengetahuan dan peradaban? Mengapa tidak? Tidak ada yang mustahil. “Hari­-hari” itu dipergilirkan oleh Allah kepada bangsa, atau umat yang siap menerimanya. Oleh karenanya, agar “hari-hari” itu dapat diraih kembali oleh umat Islam, mereka harus menjalankan sunnatullah yang menjadi penyebab suatu umat mendapatkan kemenangan.
Apakah bahasa Arab memiliki peran dalam hal ini? Jawabanya adalah va. Pertama, karena sumber ilmu pengeta­huan, yaitu AI-Qur’an dan hadits meng­gunakan bahasa Arab. Kedua, karena bahasa Arab adalah bahasa pemersatu umat Islam, sebagaimana telah dije­laskan di atas. Ketiga, karena bahasa Arab adalah bahasa terkaya dari semua bahasa. Keempat, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling ban yak digunakan oleh penduduk bumi, seiring dengan bertambahnya jumlah umat Is­lam.
Oleh karena itu, sebagai aktifis dakwah, kita harus menjadi „lokomotif“ terdepan untuk menarik „gerbong-ger­bong“ umat menuju kejayaan. Termasuk di dalamnya, memenuhi salah satu syaratnya, yaitu menguasai bahasa Arab. Semoga dengan mempelajari bahasa Arab, cita-cita kemenangan, dan kebahagiaan di dunia-akhirat dapat diraih.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini