Dua kata di atas merupakan kata yang sering diucapkan dan disarankan jika seseorang mendapatkan nikmat atau musibah. Sesungguhnya dua kata itu adalah pasangan sikap yang digolongkan sebagai salah satu bekal hidup seorang muslim dalam mengarungi kehidupan. Namun sering kali kedua kata itu mengalami banyak pengurangan makna sehingga artinya menyempit. Dengan membawa arti yang telah menyempit itu, seseorang menjadi lupa akan fungsinya sebagai bekal hidup, padahal hidup itulah sebenar-benarnya cobaan. Jika nafas terakhir telah dihembuskan, maka cobaan itu baru telah berakhir.
Jika hidup itu merupakan cobaan, maka cobaan dalam kehidupan itu sebenar-benarnya terdiri dari dua bagian pula, yakni sesuatu yang tidak mengenakkan yakni musibah, dan sesuatu yang mengenakkan yakni nikmat. Sebenar-sebenarnya diantara keduanya, nikmat itu selalu tak terputus dalam kehidupan, salah satu contoh saja: selama hidup tentu hampir tak terputus kenikmatan yang sangat dekat dengan kelopak mata kita, yakni oksigen yang masuk melalui kedua lubang hidung. Sedangkan musibah datangnya tidak menentu atau terputus-putus. Saya rasa tidak terlalu penting untuk memberikan contoh untuk pernyataan itu. Namun yang terpenting adalah SERING TERJADI SALAH KAPRAH yang diakibatkan manusia tidak menggunakan segenap akal fikirannya atau belajar yang mengakibatkan dua pengertian yang salah yakni: pertama, bahwa cobaan itu hanyalah sesuatu yang tidak mengenakkan atau musibah saja. Jika musibah itu telah lewat dan tidak datang lagi baik dalam bentuk yang sama atau lainnya, maka dianggap tidak ada cobaan dalam hidup, padahal cobaan berupa nikmat itu terus mengalir deras dalam kehidupan. Coba simak ayat berikut ini:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya’: 35)
Kedua, terjadi salah pengertian bahwa di antara kedua jenis cobaan itu musibah adalah yang berat. Sesungguhnya tidak, nikmat juga adalah cobaan yang berat karena rentan menimbulkan lupa dan menjauhkan diri dari Tuhannya, bahkan jika manusia itu semakin parah merespon nikmat itu dengan gelimang dosa, maka tidak disadari bahwa nikmat itu sebenarnya telah berubah menjadi istidraj. Simaklah arti istidraj seperti ini:
dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Surah Al-A’raf:182)
Kalimat yang berwarna merah itulah arti istidraj. Jika Allah men-Istidrajkan hambanya membawa arti/makna setiap kali hambaNya (insan) membuat/ menambah/ membaharui kesalahan yang baru maka setiap kali itu juga Allah akan membuat/ menambah/ membaharui nikmatNya ke atas hambaNya itu dan setiap itu juga Allah membuatkan hambaNya itu lupa untuk memohon ampun atas dosa yang dilakukan terhadapnya (dibiarkan bergelimang dosa) dan setiap itu juga Allah akan mengambilnya sedikit demi sedikit(ansur-ansur) dan Allah tidak mengambilnya dengan cara yang mengejutkan!
Dengan jabaran arti seperti itu, seharusnya anda tidak perlu pusing memikirkan kenapa para koruptor masih bisa lepas dari jeratan, Penguasa lalim masih kuat untuk berbuat semena-mena, padahal para perjuangan untuk menghapus itu semua tiada henti. Jadi boleh jadi Allah sedang men-istidrajkan mereka. Allah Tidak Tidur.
Kembali ke topik bahasan, dengan arti cobaan yang tidak salah kaprah yakni cobaan terdiri dari 2 jenis, yakni musibah dan nikmat, maka dua respon yang merupakan bekal hidup dari manusia adalah merespon musibah dengan sabar dan merespon nikmat dengan syukur. Pembahasan selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini
Sabar Sebenar-Benarnya
Seringkali jika kita marah atau sedang ditimpa sakit atau musibah lalu teman kita mengingatkan kita agar sabar. Tindakan teman kita itu sangatlah benar, hanya apakah kita sudah benar memaknai arti sabar tersebut? Sedangkan terdapat satu ayat singkat yang bermakna bahwa sabar itu bukan sekedar tindakan yang tergolong “rendahan”
Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 153)
Mari kita membuat analogi, jika ceritanya adalah seorang manusia yang sedang dalam perjalanan menuju tempat yang di situ dia akan selamat, sedangkan jalan yang menuju tempat itu hanya satu jalan yang lurus. Di sebelah kanan dan kirinya jurang yang tak berdasar lalu selama perjalanan akan selalu ada halangan dan rintangan yang mengakibatkan dia tergelincir dari jalan itu. Maka, usaha manusia agar dia tetap terus maju berjalan menuju tujuan dan tidak tergelincir dari jalan itulah yang dianalogikan sabar tersebut.
Sudah pasti jika menempuh perjalanan yang jauh tentu sangatlah tidak mengenakkan. Rasa capek, bosan, jenuh sudah pasti merupakan rintangan yang asalnya dari dalam diri. Sementara di luar, kondisi halangan dan rintangan yang akan dihadapi sang manusia dalam menempuh perjalanannya sesungguhnya bermacam-macam, kadang kala berupa badai yang rawan membuat tergelincir, kadang berupa jebakan lubang atau oli licin di tengah jalan, kadang berupa persimpangan jalan yang menawarkan kenyamanan atau jalan pintas yang sebenarnya penuh jebakan. Keseluruhan usaha manusia untuk mengatasi halangan dan rintangan tersebut adalah kesabaran. Halangan dan rintangan yang merupakan musibah itu mampu membuat manusia jatuh, berhenti berjalan, oleng ke kiri atau ke kanan, atau berlari cepat ke depan tanpa hati-hati. Jika dia masih terjatuh di tempat atau berada dalam ruang jalan, hal itu masih bisa terselamatkan. Namun jika dia sampai oleng atau terjatuh tidak berada dalam jalan tersebut, maka kemungkinan dia akan bisa kembali dengan susah payah atau mungkin tidak kembali ke jalan itu sekali lagi.
Pengartian dari analogi tersebut adalah, Rasa letih dan bosan dalam perjalanan adalah manifestasi dari nafsunya, Jalan lurus itu merupakan agama, panjang jalan adalah usia, perjalanan adalah ibadah, akhir tujuan adalah Ridho Allah, halangan dan rintangan yang dihadapi selama perjalanan adalah musibah, jurang di kiri dan kanan adalah berputus asa dari nikmat Allah dan keluar dari tali agama (murtad). Dan seperti yang disebutkan bahwa sabar merupakan usaha manusia agar dia tetap terus beribadah dengan ajaran agama selama masa hidupnya untuk meraih ridho Allah itulah sebenar-benarnya sabar yang komprehensif. Jadi kesabaran yang diartikan sebagai “menahan diri” itu sebenarnya adalah menahan diri secara komprehensif yang meliputi usaha agar diri tetap kuat menahan diri dari godaan dalam dirinya sendiri yang berupa nafsu yang mengajaknya menjauh dari panduan, tetap kuat/tidak terjatuh saat diterpa musibah, dan dia tetap menjalankan ibadah untuk meraih ridho Allah.
Syukur Sebenar-benarnya.
Ayat yang paling sering dikutip dalam menjelaskan kewajiban bersyukur adalah QS Ibrahim: 7:
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Sangat sering sekali kita melihat seseorang melakukan ungkapan rasa syukur dengan kalimat “Alhamdulillah”. Hal ini sangat tepat sekali. Namun sebenar-benarnya ungkapan kalimat itu diucapkan dengan sinkronisasi antara ucapan, hati dan pikiran, maka ungkapan kalimat itu akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat dalam perbuatan-perbuatanya yang merupakan manifestasi rasa syukur itu.
Sekarangkan bayangkan, jika anda menjadi suatu hari menjadi orang yang benar-benar tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Kemudian anda benar-benar hampir berputus asa, lalu datanglah seseorang memberi pertolongan yang anda benar-benar harapkan dengan tanpa pamrih. Kemudian, anda terbebas dari masa sulit. Apa yang anda akan lakukan terhadap sang penolong anda? Sudah pasti itu adalah rasa terima kasih. Rasa terima kasih itu tentu saja pertama kali diungkaplan lewat ucapan. Kemudian jika sang penolong dengan rasa kemanusiaan yang tinggi terus menolong kita sampai kita menjadi orang dengan keadaan yang mapan, sudah barang tentu saja rasa terima kasih itu akan semakin menjadi-jadi dalam diri kita. Tentu saja kita teramat sungkan jika hanya memberikan ucapan terima kasih, sedangkan membalas pertolongannya yang banyak kita tak akan mampu. Akhirnya tentu saja kita berusaha agar tetap terjalin hubungan silahturahmi yang baik dengan sang penolong, kita berusaha membalas budi dengan cara lain yang spontan, apapun itu karena rasa terima kasih yang tiada terkira itu.
Jika analogi di atas dimodifikasi sedikit, bahwa Sang Penolong itu adalah Allah, Dzat Yang Maha Kaya, Yang Memberikan kita nikmat terus-menerus yang jelas-jelas kita tidak akan mampu membalasNya. Lalu Analogi di atas pun berlaku. Setelah berucap terima kasih, apakah kita sama sekali tidak sungkan untuk melakukan wujud terima kasih yang nyata? Tentu saja wujud terima kasih itu adalah ibadah atau amalan yang baik. Jadi Kita melakukan ibadah atau amalan seyogyanya adalah karena rasa syukur kita atas nikmat yang besar dan tak terkira, bahkan TIDAK MUNGKIN terbalas tersebut. Jadi rasa syukur seharusnyalah dijadikan landasan mengapa kita beribadah dengan gigih, yakni menambah ibadah/amalan sunnah, bukannya menggunakan paradigma lama saat kita masih duduk di sekolah dasar, bahwa kita menambah ibadah karena iming-iming pahala.
Namun, walaupun saya telah menganalogikan gambaran rasa syukur tersebut, memang tidak dipungkiri kesemua itu sangatlah sulit. Memang rasa nyaman dan kemapanan benar-benar membuat kita lupa dan malah memuas-muaskan nafsu kita. Seperti yang sempat saya sebutkan di atas, jika respon kita terhadap nikmat ini adalah malah berbuat dosa yang semakin menjadi-jadi, maka waspadalah, bahwa sesungguhnya kemungkinan nikmat itu telah berubah menjadi suatu istidraj. Jika Istidraj itu turun, maka berhati-hatilah bahwa manusia akan semakin terperosok dan sudah dipastikan siksa yang keras kelak akan menantinya. Maka pelajarilah, kenapa sekarang seperti tampak banyak pelakukan kejahatan, kelaliman,kesemena-menaan seakan makin menjadi-jadi dan sepertinya semakin mengalami nikmat yang tiada tara. Bisa jadi mereka sedang di-istidrajkan. Jika itu benar sesungguh beruntunglah anda-anda kaum yang tertindas, masih dikasihani dengan ujian berupa musibah dan bukan dengan ujian nikmat yang sejatinya lebih berat itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar