Anda tentu sering mendengar bahasan tentang dimensi kecerdasan manusia, mulai dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan akhirnya kecerdasan spiritual. Para ahli psikologi banyak membahas tentang ketiga dimensi kecerdasan ini.
Awalnya, dunia benar-benar mengarahkan perhatian pada pendidikan intelektual. Semakin tinggi intelektual seseorang dianggaplah dia sebagai sosok yang pandai dan cerdas. Kecerdasan intelektual dimanifestasikan pada titel pendidikan akademis atau gelar seseorang, apakah itu gelar sarjana, doktor atau proffesor. Semakin tinggi gelar yang dicapai seseorang, makin dianggap tinggi kecerdasaan intelektualnya.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan hapalan, berhitung, logika, membaca ruang. Kemampuan ini dahulu benar-benar di dewa-dewakan. Istilah yang digunakan untuk orang yang cerdas secara intelektual ini adalah jenius. Kaitan yang paling erat dengan kecerdasan ini adalah apa yang disebut hard skill atau kemampuan khusus di bidang tertentu. Misal seorang dengan gelar dokter adalah orang yang pandai mengobati orang, seorang arsitek adalah orang yang pandai merancang design bangunan yang megah, dan sebagainya. Karenanya banyak para ahli menyatakan bahwa kecerdasan ini merupakan sebuah dimensi kebahagian materi karena kecerdasannya terkait langsung dengan keahliannya sendiri dalam menghasilkan sesuatu.
Kecerdasan intelektual ini mulai dipertanyakan ketika seseorang dihadapkan dengan permasalahan interaksi dengan orang banyak. Seseorang yang memiliki titel intelektual yang tinggi belum tentu bisa dikatakan “cerdas” dalam berinteraksi dengan banyak orang. Kecerdasan ini disebut kecerdasan emosi. Kecerdasan ini benar benar diuji jika seseorang berada pada suatu organisasi yang berjalan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sering kali kecerdasan ini diuji saat seseorang lolos ujian intelektual dalam seleksi lowongan kerja yang disebut tes kepribadian.
Dalam kajian psikologi, terdapat 3 spektrum posisi manusia dalam berinteraksi dengan manusia, yakni agresif, asertif dan pesimis. Orang yang bersifat agresif sudah barang tentu sifatnya dominan terhadap orang lain. Orientasinya adalah “aku”. Semua harus “By my way”. Tentu saja orang seperti ini akan tidak disukai dan ditakuti jika mempunyai kekuasaan. Sementara orang yang bersifat pesimis justru lebih parah. Dia sama sekali tidak bergairah atau terkungkung oleh bayangan ketakutan atau prasangka buruk untuk mencapai tujuan. Orang ini nasibnya akan terinjak-injak dan disingkirkan dalam pergaulan. Nah, sifat yang merupakan manifestasi kecerdasan emosi adalah sifat yang asertif. Karena sifat ini merupakan pertengahan antara sifat dominan dan pesimis, maka orang asertif digambarkan sebagai orang yang selalu optimis atau percaya diri tapi mampu bergaul dan menjaga kebersamaan dengan orang lain. Sifat inilah yang dicari dan maksud dari kecerdasan emosi yang baik.
Sementara jika seseorang mampu mendapatkan kedua kecerdasan itu, apakah cukup? Bagaimanakan jika orang yang pandai keilmuan, pandai memanage seseorang, tapi dia tidak cerdas secara spiritual. Kemanakah kesemuanya itu didedikasikan?. Jika dia tidak cerdas spiritual, bisa saja ia menggunakan segala kepandaiannya itu untuk kepentingan dirinya. Dia akan membawa suatu organisasi untuk memenuhi hawa nafsunya. Lalu misal jika mengalami kegagalan, dia akan berputus asa atau bahkan frustasi lalu bunuh diri. Dia merasa pandai segalanya, tapi ia lupa ada yang mengatur segalanya.
Lalu, apakah Agama Islam yang agung ini tidak mengatur masalah dimensi-dimensi kecerdasan ini? Sungguh Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah. Dalam Islam kecerdasan atau sifat manusia yang diharapkan adalah Qona’ah. Sempat saya lontarkan ke dinding facebook saya menanyakan definisi dari qona’ah ini. Kebanyakan menjawab bahwa qona’ah adalah cenderung dengan keikhlasan, ada juga yang mendefinisikan “tidak neko-neko” yang berarti tidak berbuat yang berlebihan. Definisi ini benar, tetapi kurang lengkap. Karena keikhlasan lebih tertuju pada kecerdasan spiritual. Saya menyebutkan bahwa sesungguhnya qona’ah adalah kecerdasan yang meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Dalam kajian modern ini sempat disinggung oleh Ary Ginanjar Agustian dengan konsep ESQ -nya yang sangat populer (salut untuk beliau), akan tetapi saya membahasnya dengan sudut pandang yang sedikit berbeda.
Sesungguhnya sangat jelas, bahwa perintah yang dibawa atau surat yang diturunkan pertama kali adalah suatu perintah untuk membaca. Surat itu adalah surat Al-Alaq (96) Perintah itu sangat jelas yakni merubah sesorang yang jahiliyah berperilaku tanpa didasari ilmu pengetahuan agar belajar. Pelajaran yang pertama kali banyak dipelajari tentunya adalah basik intelektualitas yang terkait dengan logika, penalaran, sunnatullah dan apa yang dilihat. Tanpa melakukannya, manusia akan tetap bodoh dan besifat jahiliyah. Dan tanpa dipungkiri, sebenarnya apa yang dipelajari manusia dalam berbagai bidang adalah bersumber dari Al-Qur’an. Lihatlah, bahwa ilmu intelektualitas itu sudah dipelajari manusia saat dia masih kecil, mulai dari ajaran orang tuanya tentang apa yang dia tidak ketahui, ketika sekolah dasar dengan gurunya, sampai ia beranjak dewasa. Dengan belajar intelektualitas. Seseorang mendapatkan pengetahuan/bekal untuk kehidupannya. Dengan kecerdasan intelektual inilah dia meraih keahlian yang disematkan dengan gelar akademis yang diperolehnya.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kedewasaan, maka manusia dihadapkan dengan interaksi. Dari sebuah interaksi ini manusia lahirlah sebuah tanggung jawab atau konsekuensi dari interaksi itu. Walaupun tanggung jawab itu baru dipikul oleh seseorang yang akhil baligh (dewasa), akan tetapi interaksi dengan sesama tentulah sudah dimulai sejak kecil. Di situ seharusnya manusia harus segera belajar cara berinteraksi. Jika ia sibuk terhadap dirinya walaupun itu adalah belajar (tentu saja mendalami kecerdasan intelektual), maka alokasi pembelajaran kecerdasan emosinya pun terbengkalai. Saat manusia sudah terjun untuk mengamalkan ilmu (intelektual)nya, alangkah kaget atau tidak siapnya ia berinteraksi dengan khalayak. Yang lebih parah lagi adalah jika ia tidak tahu bahwa sepak terjangnya dalam berinteraksi adalah salah.
Terkait dengan ini Islam mempunyai konsep yang sangat nyata dalam hal kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini telah diatur dalam konsep Hablumminannash (hubungan dengan manusia). Konsep inilah yang seharusnya dipelajari agar manusia menjadi pribadi yang berakhlak baik bagi manusia lain. Hatinya sangat lembut dan mampu menyelami perasaan orang lain. Sifat empati, ukhuwah, dan akhlaknya sangat baik. Kecerdasan hati yang islami adalah unsur kedua dari sifat Qona’ah pribadi Muslim
Kecerdasan Spriritual dalam Islam pun sudah diatur, yakni konsep Hablumminallah (Ibadah terkait dengan Allah). Kebanyakan Orang-orang mendefinisikan Qona’ah dengan konsep ini. Padahal jika manusia hanya mencermati spritualnya saja, yakni mengenai keikhlasan, syukur dan ibadah langsung terhadap Tuhannya tanpa di dasari dengan kecerdasan intelektual dan emosi, maka cermiannya dia hanya akan menjadi orang yang sufi yang diam di masjid, tapi tidak bekerja karena tidak punya keahlian dan berinteraksi dengan manusia karena merasa interaksi itu akan merusak dirinya tanpa terkecuali.
Sekarang apakah yang dinamakan Qona’ah itu hanya sekedar ikhlas, menerima apa adanya, dan tidak “neko-neko” saja. Apakah jika dia melakukan sesuatu kegiatan tidak didasari ilmu? Apakah dia terus menjauhi khalayak seakan-akan dia paling suci? Dan apakah dia terus-menerus diam di masjid tanpa peduli dengan semua itu. Sungguh itu bukan yang diharapkan
Jadi, definisi Qona’ah yang benar adalah pribadi muslim yang tangguh dengan ilmu yang dimilikinya, baik akhlaknya terhadap sesama, serta dia mendedikasikan kesemuanya itu kepada Allah Swt yang tergambarkan dengan keikhlasan dan rasa syukurnya.
Semoga tulisan saya ini bermanfaat, dan tentunya saya tak lepas dari kesalahan. Kritik dan saran saya terima..
Wassalam
Kecerdasan intelektual ini mulai dipertanyakan ketika seseorang dihadapkan dengan permasalahan interaksi dengan orang banyak. Seseorang yang memiliki titel intelektual yang tinggi belum tentu bisa dikatakan “cerdas” dalam berinteraksi dengan banyak orang. Kecerdasan ini disebut kecerdasan emosi. Kecerdasan ini benar benar diuji jika seseorang berada pada suatu organisasi yang berjalan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sering kali kecerdasan ini diuji saat seseorang lolos ujian intelektual dalam seleksi lowongan kerja yang disebut tes kepribadian.
Dalam kajian psikologi, terdapat 3 spektrum posisi manusia dalam berinteraksi dengan manusia, yakni agresif, asertif dan pesimis. Orang yang bersifat agresif sudah barang tentu sifatnya dominan terhadap orang lain. Orientasinya adalah “aku”. Semua harus “By my way”. Tentu saja orang seperti ini akan tidak disukai dan ditakuti jika mempunyai kekuasaan. Sementara orang yang bersifat pesimis justru lebih parah. Dia sama sekali tidak bergairah atau terkungkung oleh bayangan ketakutan atau prasangka buruk untuk mencapai tujuan. Orang ini nasibnya akan terinjak-injak dan disingkirkan dalam pergaulan. Nah, sifat yang merupakan manifestasi kecerdasan emosi adalah sifat yang asertif. Karena sifat ini merupakan pertengahan antara sifat dominan dan pesimis, maka orang asertif digambarkan sebagai orang yang selalu optimis atau percaya diri tapi mampu bergaul dan menjaga kebersamaan dengan orang lain. Sifat inilah yang dicari dan maksud dari kecerdasan emosi yang baik.
Sementara jika seseorang mampu mendapatkan kedua kecerdasan itu, apakah cukup? Bagaimanakan jika orang yang pandai keilmuan, pandai memanage seseorang, tapi dia tidak cerdas secara spiritual. Kemanakah kesemuanya itu didedikasikan?. Jika dia tidak cerdas spiritual, bisa saja ia menggunakan segala kepandaiannya itu untuk kepentingan dirinya. Dia akan membawa suatu organisasi untuk memenuhi hawa nafsunya. Lalu misal jika mengalami kegagalan, dia akan berputus asa atau bahkan frustasi lalu bunuh diri. Dia merasa pandai segalanya, tapi ia lupa ada yang mengatur segalanya.
Lalu, apakah Agama Islam yang agung ini tidak mengatur masalah dimensi-dimensi kecerdasan ini? Sungguh Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah. Dalam Islam kecerdasan atau sifat manusia yang diharapkan adalah Qona’ah. Sempat saya lontarkan ke dinding facebook saya menanyakan definisi dari qona’ah ini. Kebanyakan menjawab bahwa qona’ah adalah cenderung dengan keikhlasan, ada juga yang mendefinisikan “tidak neko-neko” yang berarti tidak berbuat yang berlebihan. Definisi ini benar, tetapi kurang lengkap. Karena keikhlasan lebih tertuju pada kecerdasan spiritual. Saya menyebutkan bahwa sesungguhnya qona’ah adalah kecerdasan yang meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Dalam kajian modern ini sempat disinggung oleh Ary Ginanjar Agustian dengan konsep ESQ -nya yang sangat populer (salut untuk beliau), akan tetapi saya membahasnya dengan sudut pandang yang sedikit berbeda.
Sesungguhnya sangat jelas, bahwa perintah yang dibawa atau surat yang diturunkan pertama kali adalah suatu perintah untuk membaca. Surat itu adalah surat Al-Alaq (96) Perintah itu sangat jelas yakni merubah sesorang yang jahiliyah berperilaku tanpa didasari ilmu pengetahuan agar belajar. Pelajaran yang pertama kali banyak dipelajari tentunya adalah basik intelektualitas yang terkait dengan logika, penalaran, sunnatullah dan apa yang dilihat. Tanpa melakukannya, manusia akan tetap bodoh dan besifat jahiliyah. Dan tanpa dipungkiri, sebenarnya apa yang dipelajari manusia dalam berbagai bidang adalah bersumber dari Al-Qur’an. Lihatlah, bahwa ilmu intelektualitas itu sudah dipelajari manusia saat dia masih kecil, mulai dari ajaran orang tuanya tentang apa yang dia tidak ketahui, ketika sekolah dasar dengan gurunya, sampai ia beranjak dewasa. Dengan belajar intelektualitas. Seseorang mendapatkan pengetahuan/bekal untuk kehidupannya. Dengan kecerdasan intelektual inilah dia meraih keahlian yang disematkan dengan gelar akademis yang diperolehnya.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kedewasaan, maka manusia dihadapkan dengan interaksi. Dari sebuah interaksi ini manusia lahirlah sebuah tanggung jawab atau konsekuensi dari interaksi itu. Walaupun tanggung jawab itu baru dipikul oleh seseorang yang akhil baligh (dewasa), akan tetapi interaksi dengan sesama tentulah sudah dimulai sejak kecil. Di situ seharusnya manusia harus segera belajar cara berinteraksi. Jika ia sibuk terhadap dirinya walaupun itu adalah belajar (tentu saja mendalami kecerdasan intelektual), maka alokasi pembelajaran kecerdasan emosinya pun terbengkalai. Saat manusia sudah terjun untuk mengamalkan ilmu (intelektual)nya, alangkah kaget atau tidak siapnya ia berinteraksi dengan khalayak. Yang lebih parah lagi adalah jika ia tidak tahu bahwa sepak terjangnya dalam berinteraksi adalah salah.
Terkait dengan ini Islam mempunyai konsep yang sangat nyata dalam hal kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini telah diatur dalam konsep Hablumminannash (hubungan dengan manusia). Konsep inilah yang seharusnya dipelajari agar manusia menjadi pribadi yang berakhlak baik bagi manusia lain. Hatinya sangat lembut dan mampu menyelami perasaan orang lain. Sifat empati, ukhuwah, dan akhlaknya sangat baik. Kecerdasan hati yang islami adalah unsur kedua dari sifat Qona’ah pribadi Muslim
Kecerdasan Spriritual dalam Islam pun sudah diatur, yakni konsep Hablumminallah (Ibadah terkait dengan Allah). Kebanyakan Orang-orang mendefinisikan Qona’ah dengan konsep ini. Padahal jika manusia hanya mencermati spritualnya saja, yakni mengenai keikhlasan, syukur dan ibadah langsung terhadap Tuhannya tanpa di dasari dengan kecerdasan intelektual dan emosi, maka cermiannya dia hanya akan menjadi orang yang sufi yang diam di masjid, tapi tidak bekerja karena tidak punya keahlian dan berinteraksi dengan manusia karena merasa interaksi itu akan merusak dirinya tanpa terkecuali.
Sekarang apakah yang dinamakan Qona’ah itu hanya sekedar ikhlas, menerima apa adanya, dan tidak “neko-neko” saja. Apakah jika dia melakukan sesuatu kegiatan tidak didasari ilmu? Apakah dia terus menjauhi khalayak seakan-akan dia paling suci? Dan apakah dia terus-menerus diam di masjid tanpa peduli dengan semua itu. Sungguh itu bukan yang diharapkan
Jadi, definisi Qona’ah yang benar adalah pribadi muslim yang tangguh dengan ilmu yang dimilikinya, baik akhlaknya terhadap sesama, serta dia mendedikasikan kesemuanya itu kepada Allah Swt yang tergambarkan dengan keikhlasan dan rasa syukurnya.
Semoga tulisan saya ini bermanfaat, dan tentunya saya tak lepas dari kesalahan. Kritik dan saran saya terima..
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar