Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Rabu, 29 September 2010

Secuil Ekonomi Islam: Jalur Infak yang memberantas kemiskinan

Saat mempelajari teori ekonomi pembangunan, saya sempat mengenal suatu teori yang sangat populer dan sangat tidak asing disebut. Teori itu disebut Trickle Down Effect. Teori ini lahir dari aliran kapitalisme yang dulu sangat diagung-agungkan oleh pemerintahan orde baru. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana sebuah pertumbuhan akan berdampak pada  kemakmuran sebuah negara.
Dalam teori ini, kemakmuran akan dapat tercapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam pandangan teori ini, suatu suntikan ekspansi ekonomi akan berdampak pada multiplier effect terhadap pelaku ekonomi di bawahnya, sehingga akan berimbas pada kemakmuran. Sebagai contoh pembangunan sektor konstruksi akan terimbas dampak positif jasa kontraktor langsung, produsen dan pedagang besi, produsen dan pedagang semen, pasir dan seterusnya. Bahasa lebih sederhananya lagi, teori ini mengibaratkan bahwa kemakmuran bagaikan tetesan air yang akan merata jika diteteskan dari atas akan menetes sampai ke bawah.
Tetapi, apakah itu terjadi? Dalam kenyataannya, yang tumbuh dan berkembang besar adalah pengusaha-pengusaha yang dikenal sebagai kroni Soeharto. Bisnis membesar dan menggurita menghasilkan konglomerasi. Sedangkan, sebagian besar masyarakat Indonesia justru tertinggal dalam kemiskinan
Al-Baqarah ayat 215: Trickle Down Effect hakiki
Sekilas, jika kita membaca suatu ayat yang menerangkan suatu syariah atau aturan untuk dilakukan dalam kehidupan manusia, tampaklah ayat tersebut seperti suatu perintah sederhana yang merupakan suatu keharusan. Namun jika ditelaah lebih jauh, setiap perintah itu sesungguhnya sudah dipersiapkan oleh Sang Kholik yang sangat mengerti akan perilaku dan tatanan kehidupan makhluknya agar tertata dengan baik.
Salah satu bahasan yang sederhana kali ini adalah satu ayat dari surat yang paling banyak terdapat kandungan syariah dalam Al-Qur’an, yakni Al-Baqarah ayat 215. Sebelum menuliskan isi ayat ini sebaiknyalah kita mengetahui kisah penyebab ayat ini turun.
Karena terdorong untuk memberi dan berbagi kepada sesama, seorang sahabat Rasul S.a.w bernama Amr bin Al Jamuh yang berumur cukup tua bertanya, Wahai Rasul, aku punya sejumlah harta, bagaimana cara aku menyedekahkannya dan kepada siapa aku infakkan?”. Rasulullah berpikir. Beliau belum mendapatkan ide untuk menjawab pertanyaan ini. Sesaat kemudian, datanglah firman Allah Swt mengabarkan tentang jalur-jalur infak sunnah dalam ayat sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 215)
Itulah sekelumit ashabun nuzul (sebab turunnya) ayat di atas yang di-nukil dari Tafsir Al Qurthubi. Jadi telah disebutkan bahwa jalur infak sunnah yang utama sebagaimana tertera di dalam ayat tersebut adalah: 1) Orang tua; 2)Kerabat, 3) anak yatim; 4) orang miskin dan 5) ibnu sabil.
Perlu dicatat bahwa jalur infak sunnah di atas harus dipahami sebagai skala pioritas. Jadi skala prioritas dalam melakukan kebaikan infakpun sudah di atur dalam Al-Qur’an. Lalu apakah rahasia di balik ini? Jika dipandang dari dari aspek ekonomi, sebenarnya ayat inilah yang merupakan Trickle Down Effect yang hakiki. Jika dilakukan oleh segenap kaum muslim, maka kemiskinan akan segera dapat direduksi.
Kenapa demikian? Karena jika kaum muslim melaksanakan ayat ini, maka terciptalah suatu mata rantai hirarki infak.  Setiap individu yang kelebihan harta akan terlebih dahulu menolong kerabatnya yang terdekat (tentu saja disini mulai dari orang tua) dahulu, tanpa melewati prioritas, baru kemudian jika memang masih ada kelebihan harta, baru mereka menginfakkannya menuju mata rantai berikutnya, dalam hal ini kepada anak yatim dan seterusnya. Dapat dibayangkan jika mata rantai infak itu berjalan dengan baik, maka teori trickle down effect tidak akan terputus, karena mata rantai terbawa yang hampir terputus dari infak akan dapat diambil oleh kelebihan infak dari mata rantai lainnya yang aliran belum putus. Intinya, semua penginfak akan menjaga areanya prioritas  masing-masing. Jika “area hirarki infak” masing-masing telah bebas dari kemiskinan, bukankan tiada lagi kemiskinan tercecer di mana-mana?
Seorang teman saya pernah berkata bahwa seseorang tidak seharusnyalah “jarkoni” yang berati hanya berujar tetapi tidak melakoni (berbuat). Walau kalimat itu sedikit berseloroh, namun memang benar adanya. Semoga satu ayat yang sederhana ini bisa penulis laksanakan.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini