Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Rabu, 29 September 2010

Sebuah Cerita tentang Pencitraan

Saat saya masih baru “berpetualang” di dunia broadcasting di sebuah televisi swasta nasional, suatu ketika saya ditempatkan untuk menjalankan progran sketsa komedi. Saat pertama kali shooting program (tidak secara live), sangat tergambar jelas bahwa acara yang sejatinya adalah mengandalkan humor sebagai nilai jual kepada pemirsa di rumah dalam kenyataannya sangat “garing” dan membosankan. Namun tidak tergambar jelas dari mimik sang produser dan production assistant senior saya, sebuah  kegelisahan akan jeleknya tayangan shooting tersebut.
Usut punya usut, sampailah saya dalam tahap editing dalam sebuah kamar editing yang canggih. Dari situlah, dengan cutting bagian-bagian yang tidak penting, sangat “garing” dan dengan menambahkan sound effect suara tertawa, tepuk tangan dan celetukan pada moment yang sangat tepat, maka terciptalah output tayangan sketsa komedi sangat lucu dan enak ditonton. Dan lebih mencengangkan lagi, rating dan share tayangan yang merupakan tolok ukur respon penonton terhadap tayangan tersebut benar-benar tinggi.
—–0000—-
Mungkin anda masih bertanya-tanya, kenapa jlutrungan prolog dengan judul sekilas tidak ada hubungan. Namun dari situlah sebenarnya saya menggambarkan dahsyatnya sebuah pencitraan. Ya, pencitraan sekarang menjadi trend yang sangat berkembang pesat di masa sekarang ini di mana sebuah kepentingan menjadi mudah untuk dideteksi jika tidak ditutup dengan sebuah tabir yang rapi karena batasan pandangan publik sudah benar-benar dibuka lebar oleh berbagai media yang benar-benar “ganas” dalam pemberitaannya.
Dalam kaidah yang sangat harfiah, pencitraan diidentikan dengan iklan. Awalnya, pengguna iklan adalah sebuah lembaga yang memproduksi suatu barang dan jasa yang menjadikan iklan itu menjadi salah satu alat pemasaran (seringkali pada taraf perusahaan yang mempunyai deferensiasi produk banyak, iklan/pencitraan terhadap perusahaan juga dilakukan). Dengan paradigma tersebut, membuat suatu iklan sama dengan membuat suatu citra yang baik,  padahal titik awal dari kedua hal tersebut adalah berbeda. Iklan secara normatif adalah sebuah pengenalan diri dari ada menjadi ada, atau dari suatu yang semula begini menjadi sesuatu yang begitu. Iklan juga berarti mengenalkan suatu manfaat/kegunaan yang ditawarkan yang perlu diketahui agar pemirsa iklan bisa mengetahui manfaat itu. Selanjutnya ketika respon pemirsa iklan mencoba barang dan jasa itu, maka kepuasan yang dicapai konsumen itu akan melahirkan suatu publisitas yang akan menyebarkan citra yang baik akan kebenaran iklan tersebut. Harapan lebih lanjut adalah akhir dari proses tersebut akan menimbulkan pencitraan yang baik pada sang produsen atau disebut juga Godwill perusahaan
Jadi secara normatif, alur hubungan sebuah iklan dan pencitraan adalah sebagai berikut:

Pencitraan normatif ini sebenarnya sudah dicontohkan dalam tingkah lalu seorang pemuda yang hidup abad ke-6 Masehi bernama Muhammad saat Ia berdagang bersama pamannya di negeri Syam. Dengan mempraktekkan kejujuran dalam melakukan transaksi, mendeskripsikan barang dagangan dengan sebenar-benarnya dan memperhatikan kebutuhan timbal balik, dimana pertemuan kebutuhan pihak yakni pembeli yang mencari manfaat yang benar-benar terukur sesuai yang ia cari dan mampu ia beli dengan kebutuhan penjual yang menginginkan margin keuntungan dari hasil perdagangannya. Pertemuan kebutuhan tersebut menimbulkan sinergi perasaan  kedua pihak sama-sama untung. Dengan mekanisme tersebut timbulah sebuah pencitraan yang baik atas diri sang pemuda dengan disematkannya gelar Al-Amin.
Namun seiring dengan bergulirnya jaman dan gesekan kepentingan, pencitraan yang secara normatif adalah merupakan hasil yang nyata dari sebuah proses yang berurutan ternyata sekarang berubah arti menjadi sebuah usaha dengan berbagai cara untuk merebut opini yang baik dari masyarakat. Dalam kalimat yang lebih lugas pencitraan ini bisa berarti adalah usaha membuat agar publik beropini sesuai yang diharapkan walaupun pada kenyataannya tidak demikian. Dampak yang ditimbulkan sudah cukup jelas, yakni pencitraan menjadi “bungkus” yang mempercantik “isi” yang belum tentu bagus. Dengan bergesernya makna dari sebuah pencitraan inilah yang membuat pencitraan menjadi kebohongan yang terselubung dan menjerumuskan. Walaupun modal yang dikeluarkan untuk pencitraan ini sangatlah besar, namun para pelaku pencitraan (ke depan, pencitraan yang dibahas merupakan pencitraan yang sudah diubah maknanya) sudah membuat suatu kalkulasi yang tajam bahwa hasil yang dinikmati akan sangat besar sebagaimana kepentingan besar dibalik pencitraan tersebut.
Pencitraan Diri
Seiring bergulirnya jaman dan gesekan kepentingan pula, pengguna pencitraan juga mulai bergeser. Pada jaman orde baru, dalam ranah politik belum begitu mengenal apa yang disebut pencitraan diri. Hal itu disebabkan akses media dan pengetahuan publik terhadap ranah politik benar-benar telah “dikebiri”. Namun setelah era reformasi (saya lebih melihatnya sebagai era liberalisasi), dimana orang-orang yang akan duduk dalam jajaran eksekutif maupun legeslatif harus berebut suara rakyat, maka pencitraan diri menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Pencitraan yang sebelumnya hanya laku untuk dunia pemasaran produk, sekarang merebak ke dalam pencitraan personal yang lebih banyak untuk memenuhi kepentigan pragmatis. Sejak itu, bisnis pencitraan mengalami booming yang sangat fantastis.
Ilustrasi yang saya gambarkan dalam prolog tulisan itulah gambaran kekuatan pencitraan yang sangat dahsyat. Pencitraan yang sangat “baik” mampu merubah dan mengendalikan opini publik yang melihatnya. Sama juga seperti ilustrasi editing program tayangan saya ulas dalam prolog, pencitraan yang “baik” adalah membuang bagian-bagian buruk/tidak penting untuk dilihat, mengumpulan bagian-bagian yang baik yang layak untuk ditampilkan, lalu memberi “efek” kreatif yang bisa memperindah dan merubah tampilan diri menjadi sangat jauh berubah. Dan…”rating” yang ditunggu seyogyanya adalah hasil perolehan suara yang kelak mampu mengembalikan modal pencitraan yang mahal itu.
Pencitraan negatif (Black Champaign)
Belum puas dengan itu semua, tumbuh lagi satu cabang ketidakberesan hasil pengaburan pencitraan normatif. Ketidakberesan itu adalah black champaign. Jika dirasa citra dari lawan yang dianggap bisa menghalangi untuk meloloskan kepentingannya, maka black champaign adalah solusi yang pakai untuk digunakan. Black champaign merupakan usaha untuk memperburuk citra obyek yang dituju.
Tentu saja dalam melakukan black champaign ini harus benar-benar kreatif dan berhati-hati. Kekeliruan dan ketidakhatian dalam melakukannya justru akan menjadi boomerang bagi sang penebar black champaign. Jika black champaign berhasil dilakukan, maka opini publik akan objek yang dituju akan menjadi jelek. Oleh karena itu, upaya ini dalam bahasa “intelektual” bisa disebut sebagai pembunuhan karakter. Karena sang obyek akan mengalami dampak yang sangat buruk dan akan mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari “citra buruk” yang disematkan pada dirinya oleh sang pelaku black champaign.
Berpikir lebih Global
Sedikit menyeruak dan melongok melebihi batas, pencitraan juga merupakan wahana yang sangat populer untuk digunakan. Jika subyek dan obyek sudah meluas seperti sebuah kumpulan kepentingan besar seperti sebuah negara, penguasaan sumber daya atau bahkan ideologi, maka pencitraan yang bermain adalah sebuah pencitraan tingkat tinggi yang dimainkan sebuah kepentingan yang sangat besar.
Namun, tujuan dari penggunaan pencitraan ini sudah bukan lagi hanya semata-mata untuk menarik simpati atau mencari dukungan dari sasaran pencitraan, namun lebih daripada itu skenario yang besar dan terencana ada dibalik pencitraan ini. Tergantung dari tujuan apa yang diskenariokan, apakah ingin menyematkan citra buruk, ingin memecah belah persatuan, ataukan merubah pola pikir. Kesemua tujuan antara tersebut adalah sama, yakni memperlemah golongan yang dicitrakan buruk dan memperkuat kedudukan yang dicitrakan baik. Dan hasil akhir yang dituju semuanya bermuara pada tercapainya kepentingan pembuat pencitraan.
Dan sesungguhnya alat pencitraan ini jauh lebih efektif dan efisien digunakan daripada menggunakan kekuatan fisik atau senjata. Sedikit melongok ke belakang, yakni sejarah di jaman imperalisme, betapa kemampuan sebuah pencitraan mampu mengadu domba kekuatan besar bumi nusantara. Lalu cobalah sedikit mempelajari sejarah sampai timbul sebutan Kaum Moro di Philipina yang artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sedikit maju beberapa saat ini tentu kita semakin bingung dengan yang namanya teroris, HAM, dan “sebangsanya”. Mana yang sebenar-benar teroris, mana yang pembela HAM atau penginjak-injak HAM, mana yang menjunjung demokrasi atau mana yang mencederai demorasi. Kesemuanya itu telah dilambari dengan bungkus pencitraan yang dikemas dengan rapi.
Kembali Duduk dan Sedikit Merenung
Apa yang ditekankan dalam tulisan ini adalah bahwa sekarang ini kita hidup dalam sebuah lintasan pencitraan. Perubahan pola pikir dan berujung pada tingkah laku adalah hasil respon dari semua input yang diterima. Oleh karena itu apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan haruslah benar-benar difilter agar kebenaranlah yang benar-benar diterima. Jika sekarang kita belum beranjak kritis dan sudah terombang-ambing oleh banyaknya pencitraan yang berhembus di sekitar kita, makah mulailah dari sekarang carilah pegangan yang hakiki dan melatih diri untuk siap merespon sebuah pencitraan. Dan jika anda sudah memahami bagaimana cara menerima sebuah pencitraan, maka anda juga perlu menahan diri untuk tidak mengatakan suatu keburukan seseorang karena tanpa disadari anda sudah menyematkan citra yang buruk pada seseorang yang belum tentu benar. Biarlah sekarang kita kembali lagi ke Khitah, bahwa citra baik atau buruk itu muncul dan terlihat sendiri dari ahklak/tingkah laku.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini