Maulana Shaykh Hisham Muhammad Kabbani
Diambil dari http://mevlanasufi.blogspot.com
Dinaikkan di Malam Hari, Bercahaya Bagaikan Bulan Purnama
Allah swt memperjalanankan Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram ke Masjidil al-Aqso, kemudian mengangkat beliau saw dari Masjid al-Aqsa dengan cara Mi’raj, menuju Hadirat Ilahiah-Nya. Mengapakah Allah menggunakan kata-kata, ‘laylan – pada suatu malam’? Mengapa Ia tidak berkata, naharan, pada suatu siang’? ‘Laylan’ di sini mengilustrasikan kegelapan dari dunia ini, ia menjadi bercahaya hanya oleh bulan yang berkilau dari Nabi saw yang terbit untuk menerangi semua kegelapan.
“Subhan al-ladzii asraa bi ‘abdihi laylan”. “Maha Suci Ia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam…” Lihatlah pada setiap kata dari ayat suci ini. Pertama-tama Allah memuji Diri-Nya sendiri dalam bentuk orang ketiga, in absentia. Allah kemudian secara ajaib memindahkan Nabi dari Makkah menuju Masjid al-Aqsa (asra’). Kemudian Ia mengacu Nabi sebagai “’abd – hamba”, memberi beliau kehormatan melalui gelar tertinggi itu sebagai seseorang yang terkait dengan kehidupan spiritual, bukan kehidupan hewani.
Risalah Nabi Muhammad saw melengkapi dan menyempurna kan baik disiplin fisik dan hukum (syari’ah) dari Musa as maupun spiritualitas (ruhaniyya) dari ‘Isa as. Syari’ah dari Musa as berkaitan dengan kehidupan duniawi ini, sedangkan spiritualitas ‘Isa as terkait dengan kehidupan surgawi. Dengan melalui dan melampaui kehidupan duniawi, yang diwakili oleh Isra’ (Perjalanan Malam), menuju kehidupan surgawi, yang diwakili oleh Mi’raj, Nabi saw dibawa di atas kedua sayap ini. Tak seorang pun Nabi dibawa dalam kedua dimensi ini kecuali Junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw.
Tahapan-tahapan Tasawwuf
Dalam Ilmu Pensucian Jiwa, Tasawwuf, tahapan-tahapan tersebut dinamai dengan Syariah, Tariqat, dan Haqiqat. Tahapan pertama terkait dengan bidang disiplin fisik, dari mana seorang pencari kemudian bergerak dalam “Jalan”, Tariqah, dengan kendaraan ubudiyyah, penghambaan dan ibadah, dan kemudian naik menuju maqam haqiqat, realitas, di mana seluruh kebatilan dan kepalsuan punah, lenyap, dan Ketuhanan Allah dinampakkan secara nyata pada sang hamba.
Allah membawa Nabi Muhammad saw ke Masjid al-Aqsa di Palestina, di mana hampir seluruh Nabi menyambut beliau. Di sana beliau menjumpai seluruh para Nabi berkumpul, dan mereka melakukan salat secara berjama’ah di belakang beliau saw. Dari sana Allah mengangkat beliau menuju langit, seakan-akan Ia (SWT) berfirman, ‘Wahai Nabi-nabi-Ku! Aku tidak pernah mengangkat seorang pun dari Masjid al-Aqsa seperti aku menaikkan Muhammad saw.’ Ini adalah untuk menunjukkan pada mereka bahwa Mi’raj (naiknya) Nabi Muhammad saw – tidak seperti siapa pun di antara mereka, beliau tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam semesta ini.
Kendaraan-kendaraan Nabi Muhammad saw
Salah seorang dari ulama-ulama besar bidang Tafsir Quran, al-‘Ala’i berkata, “Pada Malam Mi’raj Nabi saw menggunakan lima kendaraan yang berbeda-beda. Yang pertama adalah Buraq, suatu makhluk bersayap yang membawa beliau dari Makkah menuju Masjid al-Aqsa. Yang kedua adalah Kenaikan (Mi’raj) yang dengannya Nabi saw mencapai langit dunia ini, as-sama’ ad-dunya’. Ada dua penjelasan untuk Mi’raj: satu, bahwa Buraq membawa Nabi saw ke atas, dan yang kedua, bahwa sebuah tangga’ turun dan menaikkan Nabi saw dengan amat cepat.
Kendaraan ketiga adalah sayap-sayap para Malaikat yang membawa Nabi saw hingga langit ketujuh. Kendaraan keempat adalah sayap-sayap Jibril (as) yang membawa beliau saw dari langit ketujuh menuju Sidrat al-Muntaha, ‘Pohon Lotus Terjauh’. Kendaraan kelima adalah suatu karpet (ar-raf raf) yang membawa beliau saw hingga maqam ‘dua ujung busur panah qaba qawsayn.’ [QS 53:9].”
“Serupa dengan itu, Nabi saw berhenti pada sepuluh maqam yang berbeda: tujuh langit dan yang kedelapan di Sidrat al-Muntaha. Yang kesembilan adalah tempat di mana beliau mendengar suara dari pena-pena Malaikat yang tengah menulis amal perbuatan manusia, dan maqam kesepuluh adalah di ‘Arsy (Singgasana). Wallahu A’lam, dan Allah-lah yang lebih tahu.”
Wa min allah at taufiq
wassalam, arief hamdani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar