Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Sabtu, 05 November 2011

Kepatuhan Sejati






"Semua agama mengajarkan orang jalan menuju kepatuhan sejati kepada Allah yang Maha Kuasa," jelas Grandsyeh kita. "Kita adalah hamba-hambaNya terlepas kita menerimanya atau tidak. Namun, dengan mengetahui hal ini tidaklah cukup. Orang boleh saja berkata, "Kami adalah hamba-hamba Allah yang Maha Kuasa," tapi berapa orang yang sungguh-sungguh menghamba sebagaimana yang diinginkan Tuhan kita? Sesuatu menghalangi kita dari penghambaan yang sesungguhnya, kepatuhan sejati kepada Allah. Itulah nafsu kita.


"Oleh karena itu, manusia selalu berada di antara dua kutub. Dari satu kutub Allah yang Maha Kuasa menyerukan kita untuk menyembahNya, dan dari kutub yang lain nafsu kita memanggil. Ketika seorang hamba mendengar TuhanNya, dia adalah hamba TuhanNya. Ketika dia mendengarkan nafsunya, sebaliknya, dia adalah hamba dari nafsunya."


Nabi (saw) mengajarkan kita bagaimana menyelamatkan diri kita dari budak nafsu kita. "Wahai orang-orang! " kata beliau, "Matilah sebelum kamu mati!" Inilah anjuran untuk mereka yang ingin menjadi hamba sejati Allah yang Maha Kuasa; selalu mendengarkan Tuhan mereka.


Bagi orang yang demikian tidak ada dua Tuhan, hanya Allah. Quran berkata, "Jika ada dua Tuhan, satu haruslah dibunuh!" Seseorang tidak bisa melayani dua majikan. Nafsu kita meminta untuk kehidupan yang tinggi di dunia ini; bunuhlah dia, dan kamu akan bebas untuk menyembah dan mengabdi kepada Tuhanmu.


Grandsyeh kita berkata bahwa tanda seseorang telah meraih posisi ini adalah saat ia tidak lagi punya tuntutan kecuali milik Tuhannya. Baginya tak ada tuntutan di hadapan Tuhannya. Dia tidak berkata, "Saya suka ini. Saya tidak suka itu." Bila Tuhannya suka, diapun suka, tidak ada tuntutan. Inilah kepatuhan sejati. Dia bagaikan jenazah yang berada dalam tangan pencucinya. Dia telah berserah diri. Apakah orang yang sudah mati membahayakan orang lain dengan tangan atau ucapannya? Tidak, tidaklah mungkin. Orang bisa saja membahayakan dia tanpa ada balasan dari si orang mati tersebut.


Inilah makna dari hadits: "Tidak ada kejahatan dalam Islam; tidak ada perbuatan jahat dibalas dengan hal yang sama." Sebagai contoh, saya menanam pohon dan seseorang datang dan mencabutnya. Itulah tindak kejahatan. Namun, Rasulullah (saw) berkata, "Janganlah pergi dan berbuat hal yang sama kepada orang itu!"


Tentu saja, jika tidak ada tindak murni kejahatan, tak ada pula balasannya. Tak ada lagi kejahatan yang terus menerus. Ini adalah sunnah pribadi dari Rasulullah (saw). Beliau adalah rahmat bagi seluruh ciptaan dan seluruh alam. Para pengikutnya yang sejati juga merupakan rahmat bagi seluruh ciptaan; pancuran rahmat dalam hidup ini dan sesudahnya. Saya tidak berkata 'mati.' Setiap orang yang datang kepada mereka entah selama hidup mereka atau dengan mengunjungi makam mereka, akan menemukan rahmat bersama mereka, akan menemukan kenikmatan dalam diri mereka.


The Teachings of Grandshaykh Abdullah Faiz ad-Daghestani
by Maulana Shaykh Nazim al-Haqqani

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini