Hidup ini memang penuh dengan ujian dan cobaan, sekalipun kepada mereka yang tampaknya secara ekonomi berkecukupan. Memang, cobaan Allah SWT akan dialami oleh siapapun, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Karena itu merupakan sunnatullah : Seperti tercantum dalam Surat Al-baqarah : 155-156 , bahwa Allah SWT akan menguji kepada manusia berupa perasaan takut kehilangan harta, kelaparan, kekurangan harta, dan jiwa. Hanyalah mereka yang bertawakal kepadaNya yang patut mendapatkan penghargaan berupa sorga.
Mengapa Tuhan memberi cobaan kepada hambaNya ? tujuannya tidak lain adalah untuk menseleksi siapa diantara mereka yang tetap iman dan kufur setelah terjadinya musibah tersebut. Ingat, bahwa iman itu bisa bertambah, berkurang bahkan bisa hilang. “ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan ‘kami telah beriman' sedang mereka tidak diuji, dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui siapa yang benar imannya dan siapa yang berdusta ” (Al-Ankabut : 2-3).
Setiap kita memasuki bulan Dzulhijjah dan melaksanakan tugas-tugas agama, kita selalu ingat kepada seorang Nabi yang paling banyak disebut di dalam al-qur'an, dia adalah abul anbiya dan kholilullah , itulah Nabi Ibrahim AS . Yang seluruh hidupnya menggambarkan hamba Allah yang serba sempurna, keteladanan beliau dan keluarganya banyak sekali disebut dalam al-qur'an, baik keteladanan yang menyangkut pengabdiannya kepada Allah, mau pun contoh yang dia berikan bagaimana menghadapi berbagai cobaan dari Allah dengan penuh kesabaran dan ketakwaannya.
Nabi Muhammad sendiri, sering kali merujuk kepada Nabi Ibrahim di dalam memberikan contoh kepada sahabat dan pengikutnya. Demikian tingginya posisi Nabi Ibrahim di mata para pengikut agama-agama samawi, sehingga mereka berebut menuntut Nabi Ibrahim sebagai Nabi dan panutannya, karena : keikhlasannya yang demikian tinggi, pengabdiannya yang tulus, pengorbanannya yang sangat monumental itu. Contoh konkrit dalam kegigihannya meletakkan akidah tauhid adalah :
Pertentangannya dengan keluarganya sendiri, yang akhirnya harus meninggalkan tanah air yang ia cintai, ia harus menerima hukuman berat dibakar hidup-hidup.Ketabahannya dalam menghadapi ujian dari Allah yang sangat bertentangan dengan suara hatinya, di kala ia diperintah untuk menyembelih putra kandungnya, Ismail.
Bapak dan anak yang sama-sama hamba pilihan telah mengukir peristiwa yang tidak mungkin sanggup dilakukan oleh siapa pun, untuk itulah Allah memberi penghargaan kepadanya. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (yaitu) kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim ” ( Ashafaat : 108-109 )
Nabi Muhammad, seperti halnya Nabi Ibrahim selalu mengkaitkan antara pentingnya pembinaan iman agar tetap mampu memimpin hidupnya, dengan kepekaan sosial terhadap alam sekitarnya. Seorang yang beriman, belum dapat dikatakan menghayatinya secara baik kalau hatinya tidak tergerak untuk memberantas kemiskinan yang ada di masyarakatnya. Juga seseorang belum dapat dikatakan beriman dengan sempurna, kalau ia masih enggan berkorban untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Bukankah Nabi telah mengingatkan kita dalam sebuah hadistnya : “Hampir saja kefakiran itu membawa seseorang ke lembah kekufuran”.
Bukan sekedar mendermakan sebagian harta yang kita miliki, tetapi perlu diingat bahwa harta yang baik (halalan thayiban) yang mempunyai dampak ibadah. Ditekankan bahwa ‘ kurban' adalah keikhlasan mengorbankan hal-hal yang disenangi secara individu demi kepentingan kemanusiaan . Sebagaimana difirman Allah dalam : “ Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya ” ( Al-Imran : 92)
Di sini jelas sekali tergambar, betapa besarnya perhatian Nabi akan bahaya kemiskinan dan betapa dekatnya kemiskinan itu dari kekufuran. Seolah-olah Nabi mengatakan, bahwa perhatian kaum muslimin dalam memerangi kemiskinan identik dengan kita memerangi kekufuran. Dalam hadist yang lain beliau bersabda : “ bukankah kamu tertolong dan diberi rizki oleh Allah berkat keberadaan orang-orang yang lemah (fakir-miskin)”.
Hadist tersebut mengingatkan kepada kita, terutama mereka yang berhasil dalam hidupnya, dalam usaha dan kariernya, bahwa keberhasilannya itu tidak lepas dari jasa dan pengorbanan mereka yang tidak mampu dan bodoh, yang berarti menyantuni mereka adalah merupakan kewajiban yang melekat pada diri kita semua. Bukan sebaliknya, dimana mereka diperbodoh dan diakali. Sebagai seorang Islam yang menjunjung tinggi teladan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim, serta melaksanakan dengan sungguh-sungguh syariat Nabi Muhammad saw, maka kita wajib mengkaji dan meneliti kembali posisi kita ini, dilihat dari ajaran yang agung itu.
1. Sudahkah semua tuntunannya itu kita laksanakan dengan baik ataukah keteladanannya itu hanya kita pandang sebagai “kebajikan” tanpa harus diikuti ?
2. Sudahkah hati kita tergerak untuk mewujudkan dalam bentuk amal yang nyata, atau kita masih berputar pada perumusan, pengakajian dan persiapan.
Begitu besarnya arti kur'ban terhadap kelompok masyarakat yang kurang mampu, sehingga ada surat yang megkaitkan sholat dengan kelompok tersebut. Surat itu sudah kita hafal, bahkan setiap hari kita membacanya, yaitu surat Al-Ma'un . Sholat yang kita laksanakan setiap hari dan yang kita harapkan menjadi andalan bekal kita menghadap Allah, mungkin tidak dapat kita harapkan banyak, karena kita lupa akan jiwanya, telah kita lupakan mereka yang miskin (marginal), yaitu para yatim-piatu, para penyandang cacat yang perlu mendapat santunan dan uluran tangan :
Agama yang kita peluk menjadikan kemiskinan dan hal-hal yang menyertainya, seperti kebodohan, keterbelakangan , sebagai musuh yang harus dihadapi bersama. Jika wujuf memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada jama'ah untuk meneguhkan keimanan, yang berarti lebih dalam hubungan hamba dan Sang Khalik, Maka korban berdimensi vertikal dan juga horizontal . Sungguh berbahagia insan yang mampu menangkap pesan-pesan Ilahi tersebut, apalagi yang kemudian mengamalkan pemahaman itu dalam perilaku sehari-hari secara konsisten, tekun dan berkelanjutan..
Sebagai orang beriman, kita tentu ingin setiap kali meresapkan pesan dan pelajaran dari peristiwa agung itu, lalu mengamalkannya. Bahkan dengan kembalinya pesan itu setiap tahun, kita diingatkan untuk berintrospeksi, adakah peningkatan dalam kualitas keimanan dan amalan kita. Kurban memang datang setahun sekali, tetapi semangatnya tentulah setiap hari. Mana kala kita menoleh ke kanan atau ke kiri tampaklah kesusahan dari berjuta-juta hamba Allah. Apapun penyebabnya, yang nyata mereka dalam kesusahan.
Di saat kita mengagungkan asma Allah sehubungan dengan idul adha tahun ini, mari kita tingkatkan kesediaan dan kerelaan kita berkorban, kita pererat ikatan lahir batin dengan mereka yang kurang berhasil dalam hidupnya, kita hilangkan sifat-sifat yang bersumber pada egosentris , sebagai penghayatan yang nyata terhadap sholat yang kita lakukan setiap hari dan idul adha kali ini. Mari kita ingat pesan Nabi kita yang artinya : makin besar nilai harta di mata seorang muslim, makin rendah nilai dirinya di hadapan Tuhan. Semoga kita mampu memahami, menghayati dan mengamalkan perintah-perintah agama secara benar dan baik, demi kebahagiaan kita di dunia dan di akherat. Kita tentu berharap semoga krisis perekonomian yang tengah melanda dunia saat ini, cepat berakhir. Dan semoga saudara kita yang sedang menghadapi berbagai cobaan itu diberi ketabahan dan kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar