.
Mawlana Shaykh Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abû Qatâdah berkata bahwa Nabi saw. pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau bersabda, “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan.” Ini adalah dalil yang jelas yang menunjukkan pentingnya memperingati kelahiran Nabi saw. dengan bentuk peribadatan. Dalam menjelaskan hadis Muslim ini, Hafiz Ibn Rajab al-Hanbalî, dalam bukunya, Lathâ’if al-Ma‘ârif, mengatakan, “Adalah baik untuk berpuasa pada hari-hari Allah swt memberikan anugerah dan karunia kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan tidak hanya atas kaum muslim saja, tetapi atas semua umat manusia, untuk bergembira atas kedatangannya, atas hari kelahirannya. Sebagaimana Hafiz Ibn Rajab al-Hanbalî mengatakan, “Anugerah yang paling besar yang Allah swt berikan kepada umat ini adalah lahirnya Nabi Muhammad saw. yang telah diutus kepada umat manusia. Untuk itulah, kita perlu mengenang dan mengingat kembali anugerah Allah swt yang berupa pengiriman nabi tersebut sebagai utusan dengan melakukan puasa pada hari itu.”
Dengan demikian, memperingati kelahiran Nabi saw. dengan berbagai bentuk peribadatan, dimulai dengan puasa, ditetapkan hukumnya oleh fukaha besar secara qiyâs (analogi). Mereka berkesimpulan bahwa segala bentuk peribadatan yang dilaksanakan pada hari tersebut, asal selaras dengan Alquran dan sunah, hukumnya adalah sunah. Ini termasuk membaca Alquran, secara keras ataupun pelan, secara perorangan atau bersama-sama, dan membacakan puji-pujian kepada Nabi saw. di tengah segala bentuk peribadatan yang merupakan sunah muakkad, seperti menjamu orang-orang, bersedekah, dan zikrullah. Perintah Allah swt untuk melakukan ini tidak hentinya dinyatakan, “Sungguh Allah dan para malaikatnya membacakan selawat kepada Nabi. Wahai orang-orang beriman, bersalawatlah dan bacalah salam kepadanya” (33: 56). Perintah untuk memuji Nabi saw yang begitu jelas ini mencakup mengingat siapa jati diri Nabi saw. dan apa yang telah diperbuatnya. Oleh karena itu, datang dan duduk bersama-sama dalam suatu pertemuan tertentu untuk mendengarkan sirah Nabi saw. dibacakan, mengingat kembali akhlaknya yang mulia, dan membacakan puji-pujian kepadanya, sekalipun melalui bacaan-bacaan selawat yang tampaknya berlebihan, merupakan suatu bentuk ibadah.
Demikian pula halnya, berpuasa pada hari kelahiran Nabi saw. atau hari Senin adalah suatu tindak peribadatan yang berkaitan dengan kelahiran Nabi saw, yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, sebagaimana Nabi saw. secara tegas telah menyatakannya. Demikian juga, Nabi saw. telah menyembelih ‘aqîqah atas namanya, pada 40 tahun setelah kelahirannya, meskipun hal tersebut telah dilakukan juga oleh kakeknya pada saat kelahirannya. Ini semua adalah dalil yang kuat dari sunah untuk menggugah dilakukannya peribadatan dan peringatan akan kelahirannya, karena ‘aqîqah adalah suatu peribadatan yang berhubungan dengan kelahiran. Secara qiyâs, setiap peribadatan pada hari Senin atau hari kelahiran Nabi saw. adalah dibenarkan dan sunah. Oleh karena itu, duduk-duduk untuk memperingati maulid Nabi saw. dengan mengenang kisah perjalanannya, melantunkan puji-pujian untuknya, menjamu orang-orang, bersedekah kepada fakir miskin, semuanya adalah bentuk-bentuk ibadah dalam rangka memperingati kelahiran Nabi saw., apakah pada setiap hari Senin, setiap bulan, atau setiap tahun, atau bahkan setiap hari.
1 komentar:
assalamu a'laikum,,
izin share ustaz,,semoga bermanfaat.amin
Posting Komentar