Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur'an bahwa dunia itu bukan tujuan. Mari kita simak ayat ini :
“Dan carilah ( kebahagaian ) akhirat, yang telah Allah sediakan untukmu, tapi jangan lupa bahagianmu dari kenikmatan dunia". (QS. Al Qashash : 77).
Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat-yang lain Allah subhanahu wata’ala berfirman "dan sesunguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya." (QS. Al Ankabut : 64).
Lalu, apa arti kita hidup di dunia?
Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalui banyak menyita hidup kita untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar di sekitar dunia.
Coba kita ingat nikmat Allah subhanahu wata’ala yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterima kasih kepada seorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah subhanahu wata’ala yang senantiasa memanja kita dengan nikmat-nikmaNya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita.
Orang-orang bijak mengatakan, bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang diam di WC sepanjang hari, dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari dibangunnya rumah itu. Begitu juga sungguh sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia sibuk ngurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sementara akhirat dikesampingkan.
Namun kini kita memang sedang berada di sebuah zaman yang terbalik. Keperluan dijadikan tujuan dan tujuan bukan hanya dijadikan keperluan, bahkan tidak diperlukan lagi. Orang-orang yang sibuk mengurus akhirat menjadi aneh. Dan orang-orang yang sibuk mengurus dunia dibanggakan. Bahkan berperang pun dengan menghanguskan sekian jumlah manusia untuk kepentingan dunia senantiasa dilakukan. Seakan dunia segala-galanya. Keterbalikan ini juga terlihat di berbagai segi kehidupan. Laki-laki bergaya seperti wanita dan wanita bergaya seperti laki-laki. Siang di jadikan malam, dan malam dijadikan siang. Orang yang jujur dimusuhi, orang yang suka menipu dipelihara. Dan tidak sedikit orang yang tahu Ilmu agama berupaya merusak agamanya dengan khurafat dan bid’ah. Dari sini kerancuan definisi terjadi. Termasuk kerancuan definisi dunia dan akhirat.
Kini orang-orang banyak yang tidak bangga jika anaknya rajin ke masjid, pandai mengaji, dan aktif di majlis taklim. Mereka bangga bila anaknya sekolah di Amerika, mempunyai gelar, menjadi bankir dan lain sebagainya. Bahkan mereka merasa pesimis terhadap masa depan anaknya jika mereka mondok di sebuah pesantren atau masuk jurusan agama di universitas tertentu. Akibatnya berduyun-duyunlah mereka menuju universitas umum yang banyak khurafat dan maksiat, dengan harapan nanti mereka akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal semuanya itu kalau mau disadari secara mendalam, sungguh sangat tergantung kepada takdir.
Dalam sebuah perjalanan kembali dari Bogor, menuju Jakarta, di sebuah kereta api, saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu itu dengan nada sedih dan penuh pengharapan bercerita bahwa tiga orang anaknya telah sarjana. Satunya sarjana di bidang akuntan, lainnya, di bidang komunikasi, dan satunya lagi di bidang sosiologi. Tapi sedihnya, - kata ibu itu melanjutkan ceritanya - bahwa sampai sekarang ketiga anak tersebut masih bingung mencari perkerjaan. Di sana-sini ribuan orang ngantri melamar kerja. Begitu panjangnya antrian itu, sampai berdesak-desakan, sikut-menyikut, sogok-menyogok, jilat-menjilat dan seterusnya. Sungguh dunia memang perangkap, maka makin banyak manusia yang tertipu.
Ya Ikhwan wa akhwat fillah, sadarilah wahai saudaraku, bahwa dunia itu hanyalah keperluan. Mengapa harus menghabiskan waktu sedemikian banyaknya berlebih-lebihan mengejar keperluan, sampai harus dengan saling membunuh dan berperang? Sedangkan tujuan hakiki kita lupakan. Ingatlah bahwa akhirat adalah tujuan kita yang hakiki. Jalan kita di dunia akan terbuka lempang bila kita selalu ingat tujuan hakiki kita. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar