Asysyam
“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”
Jumat, 17 Desember 2010
Rongrongan Iblis terhadap Manusia
i tengah-tengah bencana yang merundung tanah air kita, rongrongan iblis sangat mudah untuk makin menterpurukan manusia ke dasar jurang duka dan putus asa terhadap Allah. Bisa juga sebaliknya, penekanan iblis untuk menampilkan ketercelaan akhlaq, bagi sebagian manusia lain, boleh jadi tidak terpandang sebagai rongrongan. Justru seringkali dipandang sebagai pengangkat nama diri di ajang prestasi dan prestise, karena nafsu si manusia memang tengah bersemangat tinggi untuk mendaki segala macam kemuliaan duniawi dan memilikinya untuk keagungan dirinya.
Itulah yang terjadi jika bentuk kesombongan yang sedikit demi sedikit dihembus-hembuskan iblis, diterima dengan senang oleh manusia lewat saluran nafsunya yang masih suka berhiaskan sifat tercela. Rongrongan itu juga dilaksanakan iblis lewat gejolak perasaan akibat dari tanda tanya berkepanjangan, keraguan, kegundahan, keluh-kesah, kekhawatiran, ketakutan, marah, dendam, kecurangan, maksiat yang berpuncak keputus-asaan. Sangat sedikit manusia yang menyadari bila rongrongan penekanan iblis terhadap nafsu tidak lain dalam rangka menjatuh-sengsara-hinakan hidup-kehidupannya. Padahal tujuan Allah mencipta manusia adalah untuk mempertontonkan kesempurnaannya sebagai ahsani taqwim atau sebaik-baik ciptaan dengan keterpujian akhlaqnya, di atas panggung kehidupan dunia. Jika benar manusia berhasil menampilkannya, maka iblislah yang pasti mula pertama kalah menyerah terhadap pandangan anggap-sangkanya sendiri. Maka, bila seorang hamba Allah telah bersungguh-sungguh memerangi pola perasaan-hati dan pola pikir anggap-sangkanya, ia sebenarnya telah mensyukuri petunjuk Allah dalam Kitab-Nya bahwa “sesungguhnya syaithaan itu musuh manusia yang nyata (sebenarnya)”. Manusia yang telah mengambil sikap tegas memerangi pola anggap-sangkanya, adalah yang membuktikan ia telah memerangi syaithaan. Allah pasti menjauhkannya dari rongrongan syaithaan. Bahkan Allah melindungi si manusia dengan menempatkannya di dalam benteng-Nya. Karena Allah selalu berpihak pada dan menyambut penuh sayang manusia yang mendekati-Nya.
Akhlaq mulia: tempat meletakkan sifat keindahan Allah.
Dengan maksud hendak mempertontonkan kesempurnaan dan keterpujian manusia di atas panggung kehidupan dunia, Allah senantiasa mengupayakan agar keindahan sifat-Nya dapat menampil-pantul pada keterpujian akhlaq seorang hamba. Mengapa? Karena satu-satunya yang dapat dijadikan tempat meletakkan sifat keindahan Allah hanyalah sikap-perilaku akhlaq mulia. Pantaskah upaya Allah itu justru disambut dengan tampilan sikap beranggap-sangka beranalisa dengan segala bentuk kedengkian-logika-nafsu yang merupakan warna dari keburukan, ketercelaan dan kejahatan akhlaq?
Jika diungkapkan dalam bahasa manusia, boleh jadi dapat dinyatakan “betapa kecewanya” Allah terhadap manusia. Bukankah sikap membalas kebaikan Allah dengan keburukan, ketercelaan dan kejahatan sikap akhlaq adalah sikap iblis laknatullah? Tetapi karena kecewa bukan bagian dari sikap Allah, maka segala keburukan, ketercelaan dan kejahatan sikap akhlaq manusia tidak pernah mengubah sikap perbuatan Allah untuk memberikan kasih sayang.
Padahal, sikap buruk-tercela-jahat itulah yang selalu manusia kembalikan sebagai tanggapan terhadap kebaikan-Nya. Mengapa sikap perbuatan Allah tak pernah berubah? Karena begitu kasihan Allah melihat kehidupan manusia terkungkung kelelahan dan penderitaan. Kasih sayang Allah kepada manusia khususnya adalah hendak melepaskan manusia dari belenggu kegelapan syaithaan atas dirinya. Apakah kebaikan Allah ini pernah menyentuh perasaan hati manusia? Harus bagaimanakah untuk dapat tersentuh?
Menggeser-gusur-usir sikap dan sifat praduga-beranggap-sangka. Rasakan dan renungilah. Allah sesungguhnya tidak pernah mengharapkan imbal-balas dalam bentuk apapun dari makhluq ciptaan. Adapun jika Allah mengimbau manusia agar tampil dengan segala keindahan akhlaq perilaku, bukanlah berarti Allah mengharap balasan sikap dari manusia. Karena, apa pun yang diperbuat manusia, hakekatnya bukan bagi Allah, melainkan Allah kembalikan kepada manusia. Allah pasti tak akan pernah membutuhkan makhluq. Makhluqlah yang senantiasa membutuhkan-Nya. Manusia hamba Allah yang bagaimanakah yang sikapnya berhiaskan sifat indah Allah itu? Adalah manusia yang tidak mengharap balasan apapun kecuali mengharapkan ridha Allah serta mau berpendirian kokoh pada satu sikap. Yaitu sikap “yang penting dirinya berbuat serba memberi dengan kepemurahan kasing sayang”. Itu berlaku baik yang bersifat ajakan-himbauan, nasehat-peringatan maupun materi agar orang lain mendekat Allah. Jadi, pantaskah manusia bangga bila perbuatannya memberi dengan kepemurahan kasih sayang diterima dan disikapi pihak lain dengan baik? Atau sebaliknya, pantaskah manusia kecewa dan marah-marah, berbuat kasar atau merasa sakit yang berkepanjangan bila justru cacian-ejekan yang dikembalikan?
Sebenarnya jika saja manusia mau sadar, tidak sepantasnya manusia merasa bangga-kecewa atau sakit hati atas sesama. Bila rasa kecewa sakit-hati mau ditandingkan dengan Allah, tentulah Allah yang “lebih kecewa dan sakit-hati” melihat tingkah-laku manusia. Manusia yang bagaimana? Yang ternyata malah dengan sombongnya memilih jalan hidup pada kesengsara-hinaan ketika dengan segala kepemurahan kasih-sayang-Nya, ia dihimbau Allah pada keselamatan hidup.
Sering kebanyakan manusia berkata “biarlah aku memang sudah jelek, tak bisa lagi diperbaiki”. Itu adalah ungkapan kesombongan tingkat tinggi di hadapan Allah. Sikap putus asa adalah akhlaq yang paling tercela. Mengapa? Karena sangat berani melecehkan Allah yang senantiasa siap dengan kasih-sayang-Nya untuk mengentaskan manusia dari kegelapan hidup. Karena itu, ditegaskan bahwa sikap berputus-asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar dan bahkan bisa dipandang sebagai awal kekafiran terhadap Allah. Allah juga tak menjadi lebih agung ketika manusia memuja dan beribadah kepada-Nya, karena Dia kekal dalam sifat kemaha-agungan-Nya. Lalu, darimanakah pangkal sikap berputus asa dari rahmat Allah?
Marilah kita telusuri. Telah diketahui bahwa jatuhnya iblis dalam laknat sepanjang masa ialah disebabkan sikap-laku iblis terhadap keberadaan sesama makhluq ciptaan. Sikap dan sifat iblis muncul dari ketidak-puasan nafsu iblis yang merasa hendak dirugikan, baik secara nama maupun prestasi-prestise. Sikap dan sifat terlalu mudah dan cepat menilai dengan anggap-sangka iblis dengan menyatakan “diriku yang terbuat dari api lebih baik dari Adam yang terbuat dari tanah”, sesungguhnya muncul dalam rangka membela-pertahankan keunggulan dan ke-aku-an diri atau kepentingan diri. Itulah sebabnya dalam Kitab-Nya, Allah menghimbau kepada seluruh manusia, agar sadar dan merenungi sejarah jatuhnya iblis. Yaitu, disebabkan iblis cepat menilai dengan beranggap-sangka terhadap berita (yang sekaligus merupakan perintah) yang Allah sampaikan. Ketika ia tahu bahwa ia bersalah, iblis mengambil sikap putus asa. Iblis membela keunggulan dan ke-aku-an diri atau kesombongannya dan enggan memohon ampun serta mentaati perintah Allah. Sebenarnya, sikap itu bukanlah sikap yang mesti diambil oleh manusia, sebagaimana yang ditunjukkan dengan bukti jujurnya Adam mengakui kesalahan dirinya lalu memohon ampun dan bertaubat, kembali pada ketetapan Allah bagi dirinya. Enggannya iblis memohon ampun serta mentaati perintah Allah, adalah sebuah bentuk dari rasa putus asa. Iblis bahkan berani menyalahkan Allah. Dengan tergesa-gesa pula, iblis juga mewujudkan kedengkiannya dengan mengancam akan menyesatkan Adam dan keturunannya, sebagaimana dijelaskan Allah dalam Surat Al Hijr Ayat 39: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku (iblis) sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”.
Padahal, bukan Allah yang memutuskan iblis sesat, tetapi iblislah yang telah memilih kesesatan. Memilih hidup dengan praduga beranggap-sangka adalah memandang baik perbuatan maksiat terhadap Allah dan memilih untuk menerjuni jurang kesesatan. Demikianlah, sampai kapan pun dan dalam bentuk bagaimana pun, praduga beranggap-sangka tidak akan pernah menyelamatkan hidup dan kehidupan manusia. Justru sebaliknya, manusia akan dirugi-hinakan oleh praduga-beranggap-sangka sebagaimana maksud ayat pembuka tulisan ini: “…kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan…. prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. 41:22-23).
Empat tulisan "Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta", "Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka", "Kesombongan: Buah Berfikir Duga-Sangka yang Menghancur-Binasakan Unsur Ruhaniyah", dan "Rongrongan Iblis terhadap Manusia" yang diterbitkan 30 Rabi'ul Akhir 1431H (15/04/2010) di weblog kita ini merupakan satu rangkaian rangkuman pengajian dari Ki Moenadi MS 1421H (2000), berjudul: "Ketika Unsur Jasadiyah Membuka Persaksian Tersingkap Kejahatan Anggap-sangka yang Menghancur-binasakan Unsur Ruhaniyah". Kami menyediakan tautan untuk mengunduh versi PDF-nya di kolom sebelah kanan. Admin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar