Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Rabu, 24 Juli 2013

Cemerlang cahaya diatas cahaya

Hakikat insan itu jiwa yang tak mati. 
Tak bisa engkau dipendam dalam kubur gelap,
ketika kau dipenuhi cemerlang cahaya diatas cahaya. 

Berbahagialah bersama Sang Kekasih,
tak ada yang sebaik Dia.
Alam Dunia akan gemetar,
karena permata yang kau genggam.

Ketika qalb-mu terserap
dalam cinta penuh kasih,
dengan mudah kau hadapi
semua wajah kepahitan.

Ketika bersih dari kejahatan,
tiada hal lain, kecuali
bahagia dan gembira..

Cahaya diatas Cahaya



"Ada cahaya yg naik dan cahaya yg turun. cahaya yg naik adalah cahaya hati dan cahaya yg turun adalah cahaya dari Arasy. Diri yg PALSU(ego) adalah SEKAT antara Arasy dan Hati.Ketika sekat itu dirobek dan sebuah pintu dibuka dalam hati,cahaya memancar pada cahaya,cahaya naik pada cahaya dan cahaya turun pada cahaya,dan "itulah cahaya diatas cahaya"




Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya rasa-jati..Cahaya di atas cahaya~




Nabi Muhammad saw. bertutur tentang permohonan Neraka, ketika dengan berendah-hati dia bermohon kepada pemilik iman sejati: 

"berlalulah dengan cepat, wahai Sang Raja, karena cahayamu telah memadamkan apiku." 
Jadi, terang cahaya al-Mukmin berarti padamnya api, karena tanpa tampilnya yang berlawanan tak mungkin sesuatu sirna.


Pada Hari Perhitungan, api akan menjadi lawan cahaya,
karena api bersumber dari Murka-Nya, sementara cahaya dari Rahmat-Nya.
Jika engkau ingin tanggalkan api kejahatan, tujukan air Rahmat Ilahiah ke jantung api.
Mereka yang bertakwa dengan haqq memancarkan aliran air rahmat itu:
inti jiwa mereka yang bertakwa adalah Air Kehidupan.

Tidak heran engkau yang berjiwa duniawi
lari menjauh dari orang seperti mereka,
karena engkau tersusun dari api, sementara mereka dari aliran air.

Api melarikan diri dari air,
karena takut nyala dan asapnya
dipadamkan oleh air.
Pikiran dan perasaanmu terbentuk dari api;
pikiran dan perasaan orang sholeh
tersusun dari cahaya yang indah.
Ketika percikan cahaya orang sholeh menetes
di atas api, terdengar suara berdesis,
dan lidah api menjilat dengan murka.

Ketika datang saat seperti itu, katakanlah, “mati dan musnahlah engkau,”
agar padam neraka itu,
yaitu api hawa-nafsumu.

Sehingga ia tak membakar taman mawarmu, sehingga ia tak membakar keadilan dan hasanah-mu.
Setelah berhasil engkau padamkan,
barulah bibit yang engkau tanam 
dapat menghasilkan aneka buah, atau memekarkan bermacam bunga.

Wahai Guru tuturmu melantur,
mengapa kau tak kembali ke
pokok perbincangan?

Kita sedang memperlihatkan melanturnya
dirimu, wahai pemendam iri-dengki;
tak kau sadari, keledaimu pincang,
sedangkan kota cahaya sangatlah jauh,
alangkah lambat jalanmu.


Telah sekian tahun kita habiskan; sudah hampir lewat masa tanam;
tak ada hasil panenmu,
kecuali wajahmu yang menghitam,
dan amalmu yang berbau busuk?
Cacing telah bersarang,
di akar pohon dirimu:
galilah dan bakarlah.

Kuperingatkan lagi, wahai pencari,
waktu telah hampir habis,
hari telah senja,
matahari jelang tenggelam.

Hanya tersisa satu dua hari lagi,
ketika masih tersisa kekuatan pada dirimu,
kepakkan sayapmu dengan bersemangat.
Manfaatkanlah baik-baik sisa benihmu,
agar dari bibit-waktu yang sedikit itu
dapat tumbuh pohon abadi.

Sementara lampu hidupmu belum padam,
kecilkanlah sumbunya,
dan jagalah minyaknya.

Jangan lagi engkau berkata, besok, besok;
sudah terlalu banyak besokmu yang terlewat.
Jangan sampai tiada hari tanam tersisa.

Dengarkanlah nasehatku,
jasmanimu itu yang mengikatmu,
tanggalkan jasmanimu rentamu,
jika kau inginkan pembaruan.

Tutup mulutmu, dan bukalah buah berisikan emas:
tanggalkan keakuanmu,
perlihatkan kemurahanmu.
Kemurahan berarti meninggalkan syahwat dan hawa-nafsu; orang yang tenggelam dalam hawa-nafsunya,
sulit mentas lagi.

Kemurahan adalah salah satu cabang
cemara di al-Jannah:
malang lah orang yang tak berpegangan
pada cabang semacam itu.

Menanggalkan hasratmu adalah pegangan yang paling kuat: cabang itu menarik jiwamu ke Langit.
Karena itu jadilah pemurah,
wahai penganut ad-Diin, sehingga terangkat engkau
ke sumber cabang itu.

Jadikan Yusuf yang indah
sebagai teladan keindahan jiwamu,
perlakukan alam-dunia ini sebagai sumur,
gunakan kemurahan
dan keberserahan kepada karsa Rabb 
sebagai tali untuk mentas ke atas.
Wahai peneladan keindahan Yusuf,
tali telah diturunkan, raihlah dengan ke dua belah tanganmu; jangan kau lepaskan, karena hari telah larut.
Berpujilah kepada-Nya ketika tali telah terjulur;
itu dari semesta yang sangat nyata,
tapi tak nampak.

Semesta fenomenal ini,
sebenarnya hanya wujud yang mungkin,
tapi telah menjadi sangat nyata bagimu,
sementara semesta yang sejati,
semakin tersembunyi.
Seperti debu bertaburan dipermainkan angin, bagaikan fatamorgana yang menghijab.

Yang tampak ramai ini sejatinya hampa dan dangkal, bagai bebauan; yang tersembunyi itulah inti dan sumbernya.
Debu hanya tanda
dari adanya angin:
angin itulah yang bernilai,
dan tinggi derajatnya.

Mata yang tersusun dari tanah-liat,
hanya akan menatap debu;
untuk melihat angin itu
diperlukan penglihatan yang berbeda.
Seekor kuda mengenal kuda yang lain, karena mereka sejenis:
hanya penunggang kuda dapat mengenali
sesama penunggang.

Yang dimaksud dengan kuda itu
adalah mata syahwatiah,
sedangkah sang penunggang
adalah Cahaya Ilahiah;
tanpa sang penunggang,
kuda itu sendiri tak berguna.

Karena itu latihlah kudamu, agar dia sembuh dari kebiasaan buruknya;
jika tidak, dia akan tertolak
dari majelis Sang Raja.

Penglihatan si kuda mendapati jalan,
bersumberkan pandangan Sang Raja;
tanpa pandangan Sang Raja
penglihatan si kuda kehilangan panduan.

Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan, kecuali ke arah makanan dan padang rumput.

Cahaya Ilahiah itu yang seyogyanya jadi penentu arah bagi penglihatan si kuda,
barulah jiwa dapat merindu Rabb.

Tidaklah mungkin kuda tanpa pengendara
dapat membaca tanda-tanda jalan.
Hanya penunggang bermartabat Raja
dapat mengenali jalan Sang Raja.

Tempuhlah arah selaras dengan rasa-jati
yang dikendarai oleh Cahaya,
Cahaya itu pengendara terpercaya. Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya rasa-jati, ini salah satu makna dari Cahaya di atas cahaya..

Lemparkanlah Tongkatmu


Sang Raja nan Maha Indah dan Penyayang

telah berkenan menerimaku.
Dia Sang Saksi cahaya hati,
Sang Penyejuk dan Sahabat jiwa,
Ruh bagi segenap semesta.

Kujumpai Dia yang telah menganugerahkan
hikmah kepada para bijak-bestari,
kemurnian kepada orang-orang suci.

Dia yang dipuja rembulan dan bintang-bintang.
Dia yang kepadanya menghormat sekalian wali.

Seluruh sel pada diriku berseru:
Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Ketika Musa melihat pohon yang menyala, [1]
dia berkata: "setelah menemukan anugerah ini,
tak lagi kubutuhkan sesuatu yang lain."

Tuhan berkata, "Wahai Musa, penjelajahanmu
telah selesai. Lemparkanlah tongkatmu." [2]
Pada saat itu Musa mengenyahkan dari hatinya
semua teman, saudara, dan kerabat.

Inilah makna dari tanggalkan ke dua terompahmu: [3]
Hilangkan dari hatimu hasrat akan sesuatu pun
di kedua alam.

Sejatinya, ruang qalb itu diperuntukkan
bagi-Nya semata.
Hanya akan kauketahui hal ini melalui
pertolongan para nabi.

Tuhan berkata,
"Wahai Musa, apa itu yang engkau pegang
di tangan kananmu?" [4]

Musa menjawab,
"Ini tongkatku, untuk membantuku berjalan." [5]

Tuhan berkata,
"Lemparkanlah tongkatmu, dan perhatikanlah [6]
keajaiban di dalam dirimu sendiri."

Musa melemparkan tongkatnya ke tanah,
dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga.
Langsung Musa lari ketakutan. [7]

Tuhan berkata,
"Pungutlah kembali, dan akan Kuubah dia [8]
menjadi tongkat lagi.
Dengan berkah-Ku, musuh-musuhmu akan
memberimu pertolongan.
Musuh-musuhmu akan berupaya
meraih persahabatanmu."

Wahai tangan, tetaplah berupaya meraih-Nya.
Wahai kaki, tetaplah berjalan kepada-Nya.
Janganlah lari dari ujian yang Kami berikan padamu.
Karena ketika kau jumpai kesulitan,
disitu akan kau jumpai sarana untuk
memahami maksudnya.

Tak ada seorangpun yang berhasil lolos dari
kesulitan, kecuali terjadi kepadanya
hal yang lebih buruk.

Jangan makan umpannya!
Bala-bencana menantimu.

Jangan menyerah pada keraguanmu!
Itu akan melemparkanmu dari Jalan.

Kini, Matahari dari Tabriz telah memberi kita
pertolongan: dia telah pergi, dan tinggalkan
kita sendiri.

Catatan:
[1] QS Al Qashash [28]: 30.

[2] QS Al Qashash [28]: 31, Thaahaa [20]: 19.

[3] QS Thaahaa [20]: 12.

[4] QS Thaahaa [20]: 17.

[5] QS Thaahaa [20]: 18.

[6] QS Thaahaa [20]: 19.

[7] QS Thaahaa [20]: 20.

[8] QS Thaahaa [20]: 21.

Sumber:
Rumi: Kulliyat-e Syams, Ghazal no 123
Badi-uz Zaman Furuzanfar (Ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star,
dalam In the Arms of the Beloved,
Jeremi P. Tacher/ Penguin, 1997.http://ngrumi.blogspot.com

Minggu, 07 Juli 2013

Tuan Rumah


Para penempuh Jalan, 

dimana kalian?

Kekasih Tercinta ada disini!                   [1]

Dambaanmu tinggal di ruang sebelah.
Sejak awal bertetangga!                          [2]

Mengapa engkau berkelana
kesana kemari, menjelajah gurun?

Jika tatapanmu menuju  
ke Wajah Yang Tercinta,                         [3]
dan tak hanya ke bentuk permukaan,
maka dirimu lah yang menjadi
rumah 
bagi Rabb:

engkau lah tuan rumah bagi-Nya.

Berkali-kali kau tempuh jalan
menuju rumah itu.

Kali ini, masuklah ke dalam,
panjatlah atapnya.
Rumah indah yang suci
yang ciri-cirinya telah kau paparkan
dengan rinci.

Kini tunjukkanlah padaku
ciri-ciri rumah Rabb.

Jika telah kau kunjungi Taman itu,
mana oleh-oleh rangkaian bunga
dari sana?

Jika kau telah sampai Laut-nya Rabb,
mana mutiara indah, jiwamu:

Sang Pribadi?

Bagaimanapun,

semoga jelajahmu selama ini
membawamu ke gudang harta-karun.

Sungguh sayang,
jika tak kau sadari,
harta-karunmu terkubur
di dalam dirimu sendiri.


Catatan:
[1]  "... Dan Dia bersamamu dimanapun engkau berada ..." (QS Al Hadiid [57]: 4)


[2]  "...Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi diantara sosok dan qalb ..." (QS Al Anfaal [8]: 24)

"Orang bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, dimanakah Allah, di bumi atau di langit?' Rasulullah SAW menjawab, 'Allah Ta'ala berfirman: 'Tidak termuat Aku oleh bumi-Ku dan lelangit-Ku, dan termuat Aku oleh qalb hamba-hamba-Ku yang mukmin, yang lemah lembut, yang tenang-tenteram.' "  (Hadits Qudsi)

[3]  "... menyerahkan wajah bagi Allah ..." (QS An Nisaa [4]: 125)



Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 648
Diterjemahkan oleh Franklin D. Lewis,
dalam Rumi: Past and Present, East and West,
Oneworld Publications, Oxford, 2000.

source by Ngrumi.blogspot.com

Jalan Kemerdekaan


Ketika engkau berlindung

kepada al-Qur'an milik Allah,
engkau bergabung bersama
jiwa para nabi.

Al Qur'an itu adalah penjelasan
berbagai keadaan para nabi:
mereka bagaikan ikan-ikan
di dalam Laut Suci,
Keagungan Ilahiah.

Tapi jika engkau membaca al-Qur'an
sedangkan hatimu tak menerimanya,
maka apa manfaatnya bagimu;
seandainya pun engkau bertemu
para wali dan nabi?

Jika hatimu menerimanya,
ketika engkau membaca kisah para nabi,
maka jiwamu bagaikan burung
yang gelisah dalam sangkarnya.

Burung itu terpenjara dalam sangkar,
jika ia tak mencari jalan keluar,
itu semata-mata karena kebodohannya.

Jiwa-jiwa yang telah merdeka dari sangkar
adalah milik para nabi,
mereka lah yang pantas
menjadi pembimbing.

Dari luar sangkar
kita dengar suara mereka
menyeru kepada ad-Diin,
"Inilah Jalan kemerdekaanmu.

Melalui Jalan ini lah,
telah merdeka kami dari sangkar sempit itu:
tiada kemerdekaan
kecuali melalui Jalan ini.                               
[1]

Yaitu seyogyanya engkau
merendahkan dirimu,
sampai remuk;
agar engkau dapat keluar 
dari penjara ketenaran."

Ketenaran duniawiah
menghalangimu berjalan;
ia bagai rantai pengikat yang amat kuat,
lebih kuat daripada rantai besi.


Catatan:

1) Jalan Kemerdekaan, jalan pembebasan,
menolong jiwa agar meraih kesejatiannya.
"Jalan yang mendaki lagi sukar,"
untuk keluar dari negeri jasmaninya; 
untuk "melepaskan diri dari perbudakan" 
hawa-nafsunya sendiri,
dengan cara "memberi makan" kepada mereka
yang masih lemah "pada hari kelaparan,"
(yaitu kepada) "yang yatim dan berkerabat, 
atau yang miskin dan fakir."  
(QS Al Balad [90]: 12 - 16)
Sumber:
Rumi: Matsnavi  I: 1537 - 1546
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
source by Ngrumi.blogspot.com

Mencermati Ketiadaan


Semua yang mempesonamu, 

pada wajah-wajah cantik,
adalah Cahaya Sang Matahari 
terpantul pada kaca prisma.

Beragam corak kaca 
membuat Cahaya tampil beraneka-warna.

Ketika prisma kaca beraneka-warna tak lagi ada,

barulah Cahaya tanpa-warna mempesonamu.

Bangunlah kebiasaan 
menatap Cahaya tanpa prisma kaca,
sehingga ketika prisma kaca itu remuk,
tak lagi engkau buta.

Selama ini engkau puas
dengan pengetahuan yang kau dapat
dari orang lain: matamu dapat memandang
karena adanya cahaya lampu orang itu.

Dia mengambil lampu itu, agar kau ketahui
bahwa engkau seorang peminjam
bukan pemberi yang murah hati.

Jika semua pemberian itu
telah engkau syukuri
dengan sungguh-sungguh beramal,
tak perlu kau tangisi kehilangan itu;
karena Dia akan menggantinya
seratus kali lipat.

Tetapi jika selama ini kau tak pandai
bersyukur, kini saatnya meneteskan
air mata darah,
karena keunggulan jiwa dihapuskan
dari mereka yang tak bersyukur.

Dia menghapus amal-amal kaum yang kufur;  [1]
kepada kaum beriman yang beramal shaleh
diberikan-Nya kehidupan yang baik.                [2]

Dilenyapkan-Nya timbangan rasa akan apa
yang selayaknya didekatkan,
atau dijauhi; begitu pula
rasa terimaka-kasih dan kasih-sayang;
sedemikian rupa,
sehingga tak tertinggal jejaknya lagi.

Ketahuilah, sabda-Nya,
"Dia hapuskan amal-amal kaum kaum yang kufur,"
menunjukkan hilangnya hasrat
akan setiap obyek yang diinginkan,
dari semua orang yang telah mencapai
hasratnya itu di alam dunia ini.

Kecuali dari mereka yang beriman dan bersyukur,
keberuntungan bersama dengan mereka.

Keberuntungan dari masa silam tak lagi
dapat memberi kekuatan kepada pemiliknya.

Keberuntungan di masa depan lah
yang dapat memberikan kebajikan.

Patuhilah perintah, "pinjamkanlah"                         [3]
pinjaman yang baik kepada Rabb,
dari harta dunia ini;
dan akan kau jumpai seratus kali lipat
ganjaran di hadapanmu.

Kurangilah barang sedikit
makan dan minum-mu,
dan akan kau dapati dirimu
di tepi Telaga Kautsar.    [4]

Tidaklah mungkin,
"orang-orang yang memberi minum"               [5]
di Bumi ini, karena keimanan mereka,
ditinggalkan oleh keberuntungan.

Rabb menggembirakan hati mereka,
karena Dia akan memberikan kehidupan yang baik:

Dia akan mengembalikan apa-apa yang dulu
mereka senangi, setelah kematian mereka.

Dia bersabda,
"Wahai Maut, telah kau musnahkan dunia mereka,
kini kembalikanlah apa-apa yang telah kau ambil
dari kaum yang pandai bersyukur itu."

Sang Maut ingin mengembalikan itu semua,
tapi mereka tak mau menerimanya kembali,
karena mereka telah dianugerahi kebangkitan
kehidupan jiwa.

Mereka berkata,
"Kami kaum yang bertaubat,
telah kami lepaskan jubah kehidupan ragawi kami:
takkan kami ambil kembali
apa-apa yang telah kami korbankan.

Telah kami dapati ganjaran dari Rabb,
tak ada satu hal duniawi pun yang setara dengan itu;
kebutuhan, hasrat dan kepemilikan
telah tanggal dari kami.

Kami telah timbul
dari air gelap dan mematikan,
telah kami capai anggur-murni al-Jannah,
dan pancuran Telaga Kautsar.

Wahai Dunia,
apa-apa yang telah kau tunjukkan kepada
kaum yang lain: kekufuran, pengkhianatan
dan kesombongan,

Kami tuangkan itu semua
ke atas kepala kalian sebagai pembayaran,
karena kami adalah para penyaksi kebenaran
yang bejihad melawan kalian."

Menjadi jelas lah bagimu,
bahwa Rabb yang Maha Kudus memiliki
hamba-hamba yang siaga dan sigap,

Yang membongkar kemunafikan dunia,
yang menegakkan kemah perang mereka
di atas benteng pertolongan Ilahiah.

Para penyaksi itu akan kembali sebagai ksatria;
mereka yang tadinya menjadi tawanan dunia,
tampil meraih kemenangan.

Tegak kepala mereka di semesta tak-berwujud,
seraya berkata, "Pandanglah kami,
jika kalian tak buta sejak lahir."

Agar kau ketahui bahwa di semesta tak-berwujud
terdapat banyak matahari;
yang jika dibandingkan dengan mereka,
mataharimu disini tak lebih dari satu bintang kecil.

Ketahuilah sahabat,
semesta berwujud ini disimpan dalam
semesta tak-berwujud.
Sungguh mencengangkan
bagaimana sesuatu itu disimpan
dalam kebalikannya.

Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati:  [6]
ketahuilah harapan dari penghambaan itu
pada yang tak-berwujud.

Ketika menanam benih,
gudang petani kosong;
tidakkah ia gembira dan bahagia
ketika berharap kepada yang tak-berwujud?

Yaitu ketika berharap bahwa tanamannya
tumbuh dari ketiadaan.

Pahamilah ini, agar engkau sadari
tentang kenyataan ruhaniah.

Setiap saat engkau berharap
agar sesuatu datang padamu,
dari semesta tak-berwujud:
pemahaman dan persepsi ruhaniah,
kebaikan dan kebahagiaan.

Tak diizinkan saat ini membongkar rahasia ini
lebih terang lagi.

Singkatnya,
semesta tak berwujud atau ketiadaan
adalah bagaikan pabrik milik Rabb,
yang dari situ terus menerus dihasilkan
pemberian-Nya.

Rabb adalah yang Mengawali,
yang menghasilkan segala sesuatu,
tanpa memerlukan akar,
tak pula memerlukan penunjang.



Catatan:
[1]  QS Al Kahfi [18]: 105.

[2]  QS An Nahl [16]: 97.

[3]  QS Al Maidah [5]: 12.

[4]  QS Al Kautsar [108]: 1.

[5]  QS At-Taubah [9]: 19.

[6]  QS Al An'am [6]: 95.

Sumber:
Rumi: Matsnavi  V: 988 - 1025
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

source by Ngrumi.blogspot.com

Cinta Itu ...

Cinta itu 
asing bagi ke dua semesta alam.          [1]

Didalamnya tercakup
tujuh-puluh dua kegilaan.                    

Ia sangat tersembunyi,
cuma keterpesonaannya yang mewujud:
jiwa para pangeran ruhaniah
mendamba hanya padanya.

Agama Cinta berbeda 
dari ke tujuh-puluh dua sekte:              [2]
di sisinya, mahkota para raja tak lebih
daripada sepotong perban pembalut luka.

Ketika jiwa sedang lebur, tenggelam, 
terdengar merdu lantunan sang penyair Cinta:
"Penghambaan itu sebuah keterpaksaan,
dan kewenangan itu memusingkan."


Lalu, apa itu Cinta?


Lautan Ketiadaan:
di dalamnya kaki akal remuk,
dan tak lagi mampu berenang.

Kita kenal penghambaan dan kehendak-bebas,
jalan seorang pencinta tersembunyi
di balik ke dua hijab itu.


Catatan:
[1]  Alam yang mewujud, dan yang batiniah.

[2]  Mengingatkan kepada hadits tentang terpecahnya kaum Muslim menjadi 73 golongan, 1 diantaranya yang akan masuk al-Jannah, yaitu "al-Jama'ah."


Sumber:
Rumi: Matsnavi III: 4719 - 4724
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

source by Ngrumi.blogspot.com

Tertidur dan Tengah Bermimpi



Seseorang yang lama tinggal di sebuah kota,
tertidur; dan di dalam tidurnya melihat kota lain,
yang penuh kebaikan dan keburukan;
hingga kotanya semula hilang dari ingatannya.

Seharusnya, dia berkata pada dirinya sendiri,
seperti ini: "Ini adalah kota yang baru,
aku adalah seorang asing disini;"


Sebaliknya, dia membayangkan
selalu tinggal di kota baru itu,
dilahirkan dan dibesarkan disitu.

Apakah mengherankan,
jika kemudian jiwa tak ingat lagi akan
kampung-halamannya dan tanah kelahirannya?

Karena alam-dunia ini,
bagaikan tidur, menyelimuti jiwa kita,
bagaikan awan menyelimuti bintang.

Apalagi saat ia melangkahkan kaki
ke berbagai kota dan debu yang menutupi
matanya belum dibersihkan.


Lagipula dia belum berupaya keras,
memurnikan hatinya;
sampai hatinya itu dapat
menatap masa lalu.

Bagaimana dia memasuki tataran alam material,
dan dari situ melangkah memasuki
tataran alam nabatiah

Lama dia tinggal di tataran alam nabatiah,
disitu tak diingatnya lagi tentang hidupnya
ketika tinggal di tataran alam material;
karena sifat-sifat ke dua tataran alam itu
yang saling bertentangan.

Dan ketika dia beranjak dari alam nabatiah
ke tataran alam hewaniah,
alam nabatiah pun tak lagi diingatnya.

Mungkin masih ada sedikit sisa kenangan,
khususnya ketika tiba musim semi
dan semerbak harum tetumbuhan.

Ini seperti kemelekatan bayi kepada ibunya,
sang bayi tak paham bahwa rahasia
dibalik hasratnya itu
adalah agar dia mendapat cukup susu-ibu.

Seperti itulah kemelekatan murid pemula,
yang keberuntungan jiwanya tengah muda
dan memekar,                                          [1]
kepada guru pembimbingnya

Akal personal sang pejalan
bersumber dari Akal Sejati:
gerak dari bayangan pohon-diri sang pejalan
bersumber dari gerak dahan Pohon Sejati.

Bayangan dan kepalsuan sang murid tanggal
dalam diri Sang Guru:
sehingga bagi Sang Guru jelas belaka
apa yang dicari sang murid pemula itu,
apa yang dihasratinya.

Takkan pohon kecil diri sang murid pemula bergerak
tanpa gerakan cabang Pohon Sejati Sang Guru.

Adalah karena Rahmat,
pertolongan, sang Pencipta,
ketika jiwa dikembalikan ke tataran insaniah,
naik dari tataran hewaniah.

Demikianlah kemajuan itu,
bergerak naiknya jiwa: tataran demi tataran;
sampai jiwanya jadi pandai,
bijak dan kuat.

Tentang tataran-tataran jiwa
yang telah dilaluinya,
belum lagi diingat orang itu.

Juga belum diketahuinya
ada kenaikan tingkat akal
yang menanti di depannya.

Bahwa dia harus tinggalkan nalarnya yang rakus
dan mementingkan diri sendiri,
dan bahwa membentang di atasnya seratus-ribu
jenis kecerdasan yang tak terbayangkan.

Walaupun kini dia tengah tertidur
dan lupa akan masa lalunya,
seorang pejalan sejati takkan dibiarkan
terus dalam kondisi lupa akan dirinya sendiri.

Dia akan dibangunkan dari tidurnya itu,
sedemikian rupa, sehingga nanti ketika terbangun
dia akan mentertawakan kondisinya sekarang,
yaitu saat tengah tertidur.

Dia akan berkata sendiri,
"Bagaimana bisa aku merasa sesedih itu?

Bagaimana mungkin aku terlupa akan
realitas yang sejati?

Bagaimana mungkin sampai tak kuketahui
bahwa segala kesedihan dan penyakit itu
karena aku tertidur; dan itu
sebenarnya mimpi dan khayalan saja?"

Catatan:
[1]  "... yaa kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb-mu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan dari langit hujan yang sangat deras ke atasmu, dan Dia menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu ..." (QS Huud [11]: 52)


Sumber:
Rumi: Matsnavi  IV: 3628 - 3653
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
source by Ngrumi.blogspot.com

Semua bagi Sang Jiwa


Wahai pencari,

wahai ksatria berhati singa,
Yang Maha Tinggi menggilirkan untukmu:

panas dan dingin,
sedih dan perih,
takut dan lapar,
sakit dan fakir,
semuanya bagi sang jiwa;
 
agar nilai sejati jiwamu terungkap,
dan dapat digunakan. 

Sumber:
Rumi: Matsnavi  II: 2963 - 2964
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
source by Ngrumi.blogspot.com

Engkau lah ...


Sejak kumulai berjalan,

Engkau lah tujuan,
Engkau lah pemandu.

Ketika kucari hatiku,
Engkau lah yang meremukkannya.

Ketika kucari kedamaian,
Engkau lah yang mengayomi.

Ketika kupergi berjihad,
Engkau lah pedangku.

Ketika kubelajar lebur,
Engkau lah anggur dan manisan.

Ketika kudatangi taman itu,
Engkau lah sang narsisus memekar.

Ketika kusampai ke tambang itu,
Engkau lah sang merah delima.

Ketika kuselami samudera,
Engkau lah mutiara di dasar.

Ketika kulintasi gurun,
Engkau lah oase.

Ketika aku mengangkasa,
Engkau lah bintang paling terang.

Ketika kutegak dengan berani,
Engkau lah perisaiku.


Ketika kupingsan kebingungan,
Engkau lah wewangian yang menyadarkan.

Ketika kuterjun dalam pertempuran,
Engkau lah sang panglima pasukan.

Ketika kutiba di perjamuan,
Engkau lah tuan-rumah,
penghibur, sekaligus cangkir.

Ketika kumenulis,
Engkau lah kertas, pena, sekaligus tinta.

Ketika kuterjaga,
Engkau lah kesadaranku.

Ketika kutertidur,
Kau masuki mimpiku.

Ketika kucari rima bagi puisiku,
Engkaulah yang menyenandungkannya.

Gambaran apa pun yang kau coba lukiskan,
Dia mengatasi itu.

Setinggi apa pun kau naik,
Dia lebih tinggi daripada ketinggianmu.

Diamlah,
dan taruhlah bacaanmu:
biarkan Dia yang jadi kitabmu.

Diamlah,
karena seluruh enam arah
adalah Cahaya-Nya.

Dan ketika kau berhasil lewati seluruh arah,
kau kan dapati Dia lah Penguasa semua arah.

Telah kupilih keridhaan-Mu 
diatas kesenanganku.
Rahasiaku ini tetap kusimpan.

Wahai, matahari Tabriz yang mencengangkan,
tak mungkin engkau tetap tersembunyi.
Cemerlang cahayamu
akan mewartakan kedudukanmu.


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 2251.
Berdasarkan terjemahan ke Bahasa Inggris oleh:
Jonathan Star, dalam Rumi -- In the Arms of the Beloved;

Annemarie Schimmel, dalam I am Wind, You are Fire;
William Chittick, dalam The Sufi Path of Love.

source by Ngrumi.blogspot.com

Tanpa Engkau


Kutanam mawar,

tapi tanpa Engkau,
pohon kaktus yang tumbuh.

Kuperam telur merak,
ular yang menetas.

Kumainkan harpa,
derau sumbang yang terdengar.

Kumelesat ke surga tertinggi,
neraka bernyala yang kutemui.

Sumber:
Rumi: Quatrain no 90-a.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star
dan Shahram Shiva.
source by Ngrumi.blogspot.com

Pintu-pintu Menuju Taman-Mu


Wahai Kekasih,

manakah yang lebih mempesona,
Wajah-Mu atau al-Jannah-Mu ini, 
yang begini luas.

Bercahayalah, wahai rembulanku,
Engkaulah inspirasi,
bagi semua yang menatap langit malam.

Yang asam akan berubah jadi manis.
Prasangka diganti dengan Kebenaran.
Gerumbul duri diubah jadi mekar bunga.

Seratus tubuh akan bangkit hidup kembali,
dengan satu hembusan-Mu.

Kau taruh pintu demi pintu di langit
Kau taruh harapan dalam hati insan.

Kau cekam setiap kecerdasan,
Kau buat ke dua alam terpesona pada-Mu.

Wahai Kekasih,
pipimu memerah,
bagai mawar.

Wahai Kekasih,
Engkaulah pujaan alam ini,
dan alam berikutnya,
dan alam-alam berikutnya.

Kelopak-kelopak jagung,
berupaya keras,
mencoba meniru satu warna-Mu.

Semua jenis kebenaran
lebur jadi satu
dibawah injakan kaki-Mu.

Seluruh nada laguku
rindu menggemakan merdunya suara-Mu.

Tanpa Engkau,
pasar dan perniagaan sepi.
Taman dan kebun longsor
tersapu air bah.

Kau ajari pohon
menari seiring tiupan angin.
Kau ajari cabang-cabang basah 
menangis dalam hujan.

Daun dan buah mabuk,
rindu pada air-kehidupan-Mu.

Jika ada satu hal yang diinginkan
oleh taman luas ini,
mestilah itu musim semi abadi:
ketika dedaunan terus menari berputar
melayang dalam tiupan lembut-Mu.

Cahaya langit dan planet-planet 
yang berputar di taman ini,
tak memandang sebelah mata;
pada bintang manapun,
yang berani bernyala dalam galaksimu,
yang kau anggap sangatlah luasnya.

Sungguh dari-Mu ada janji yang besar:
Kau sajikan kabar gembira 
dan bukan sekedar pengisi perut,
kepada setiap diri 
yang menjadi tamu-Mu.

Kupergi kesana dan langsung kembali.
Dalam sekejap, bagai dalam khayal:
aku berada di awal dan di akhir;
Jiwa ini bagaikan seekor gajah
yang Kau taruh di padang rumput tak bertepi.

Semua yang kurencanakan,
tak satu pun membuahkan hasil.

Akhirnya hatiku mematahkan rantainya,
mencengkeram jiwaku,
dan menyeretnya ke hadirat-Mu.

Disana tak kulihat hal yang rendah,
tiada rasa-sakit.

Setiap saat suatu kehidupan muncul,
terlahir dari aliran kasih-sayang-Mu.

Wahai, alangkah kecilnya
gunung dibandingkan keagungan-Mu.

Dan hati ini tampak kumuh,
disandingkan dengan Cinta-Mu.

Kau bentangkan lebar-lebar semua pintu:
pintu-pintu pada besi,
pada gunung-gunung,
pada bebatuan.

Tapi hatiku merayap, berputar kesana kemari,
bagaikan seekor semut berusaha keras
mencari satu lubang sempit.

Nyanyianku bisa sampai akhir zaman,
berupaya menjelaskan keindahan wajah-Mu,
tapi selalu aku terdengar sumbang.

Tak ada insan yang waras bicaranya
ketika dia dimabuk cinta.

Tak ada orang yang lurus jalannya,
ketika dia tengah tenggelam
dalam lautan anggur-Mu.


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal no 2138.
Berdasarkan terjemahan ke Bahasa Inggris oleh 
Jonathan Star dan Shahram Shiva, dalam 
A Garden Beyond Paradise: The Mystical Poetry of Rumi,
Bantam Books, 1992
source by Ngrumi.blogspot.com

Berlapis Makna

Ketika al-Qur'an diturunkan,
ramai kaum tak beriman mencemoohkan.

(Mereka mengatakan):
"Itu hanya kisah dan cerita masa lalu;
bukan penelitian yang baru,
bukan pemikiran yang canggih;

Bahkan anak kecil pun bisa memahaminya:
hanya tentang hal-hal yang diperintahkan
dan hal-hal yang dilarang.

Kisah tentang Yusuf--
tentang betapa tampannya dia,
kisah ayahnya Ya'qub,
Zulaikha dan gairahnya.

Naskah biasa saja,
semua orang dapat memahami maknanya:
tidak terdapat bagian yang membingungkan akal."

Dia berkata:
"Jika menurutmu mudah,
buatlah satu surat saja yang semisal                  
 [1]
dan semudah al-Qur'an ini.

Kerahkanlah jin, manusia dan cerdik-pandai
diantaramu, menandingi dengan satu ayat
yang semisal."


Ketahuilah, kalimah dalam al-Qur'an itu
memiliki pengertian literal
dan makna-dalam yang sangat agung.

Dan dibalik makna-dalam itu,
terdapat lapisan makna ketiga
yang didalamnya semua kecerdasan hilang akal.

Tentang makna lapis ke empat dari al-Qur'an:
sama sekali tak ada yang dapat memahaminya,
kecuali Tuhan, yang bagi-Nya tak ada sekutu,
yang bagi-Nya tak ada suatu pembanding.

Karena itu anakku,
jangan membaca al-Qur'an 
hanya demi makna luarnya belaka.

Azazil memandang sang Insan,
dan didapatinya dia tersusun
hanya dari tanah liat belaka.

Aspek luar al-Qur'an itu seperti jasmani insan:
ciri-cirinya tampak;
sementara jiwanya tersembunyi.

Boleh jadi kau tinggal bersama
sanak-saudaramu selama seratus tahun,
tapi tak setipis rambut pun mereka pernah
mengenal jiwamu.

Catatan:
[1]  Qs Al Baqarah [2]: 23

Sumber:
Rumi: Matsnavi  III: 4237 - 4249
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
source by Ngrumi.blogspot.com

Sang Khalilullah Menyembelih Gagak, Unggas ke Tiga Pengganggu Perjalanan


Wahai pejalan,

mengapa gagak dalam dirimu perlu disembelih?

Karena Perintah Ilahiah!
Ada hikmah apakah dibalik Perintah itu?
Mari kuperlihatkan sedikit.

Gaduhnya suara gagak hitam berkaok
itu permintaa terus menerus agar diberi
umur panjang di alam dunia ini.

Bagaikan iblis,
gagak meminta-minta kepada Tuhan
Yang Maha Suci  dan tak-Terbandingkan,
agar umurnya sampai mencapai Hari Kebangkitan.

Alih-alih menyatakan,

"Aku bertaubat, wahai Tuhanku,"
iblis malah meminta, "berilah aku tangguh
sampai Hari Pembalasan."                         
[1]

Hidup tanpa pertaubatan itu
seluruhnya penderitaan: terpisah dari Tuhan
sama saja dengan mati mendadak.

Baik hidup maupun mati,
keduanya manis bersama hadirnya Tuhan:
tanpa Tuhan, air kehidupan berubah jadi api.

Kutukan Ilahiah menimpa iblis,
ketika pada Hadirat-Nya dia meminta umur panjang.

Bergantung pada ilah selain daripada Allah
tak sedikit pun membawa keuntungan:
hakikatnya itu kerugian total.

Apalagi mendambakan suatu kehidupan
yang terasing dari Tuhan,
sama saja seperti bertingkah-laku culas
seperti serigala di hadapan seekor singa.

Itu seperti meminta,
"Beri aku umur lebih panjang,
supaya lebih lama aku ingkar dan bergelimang dosa;
beri aku lebih banyak waktu
agar aku lebih rendah lagi."

Jadilah iblis suatu ikon bagi Kutukan Ilahiah:
mencari-cari kutukan itu mengikuti sang syaithan.

Hidup yang baik itu menyuburkan sang Jiwa
dalam kedekatan kepada Tuhan;
kebalikannya itu hidup bagaikan burung gagak,
hidupnya hanya untuk memakan kotoran.

Itu seperti meminta,
"Beri aku umur lebih panjang,
sehingga aku selalu bisa memakan kotoran,
teruslah tambah, karena aku ini memang jahat."

Seandainya lisannya tidak kotor,
karena sering memakan kotoran,
tentu dia akan memohon,
"sucikanlah aku dari sifat seperi burung gagak ini."


Catatan:
[1]  QS Shaad [38]: 79. 

Sumber:
Rumi: Matsnavi V: 765 - 779
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

source by Ngrumi.blogspot.com

Cari Blog Ini