Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Kamis, 04 Juli 2013

Mukhlish dan Mukhlash


 Persepsi inderawi menarik seseorang ke arah dunia,

Cahaya-Nya melambungkan dia ke langit.

Karena benda-benda terinderai itu
letaknya di alam bawah.

Cahaya Tuhan itu bagaikan laut,
sedangkan yang kita inderai itu bagai setitik uapnya.

Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak,
yang kita tangkap hanyalah akibat dan kata-kata.

Cahaya inderawi, yang kasar dan berat,
tersembunyi pada hitamnya mata.

Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi,
bagaimana mungkin ia dapat melihat cahaya kewalian?

Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi,
apalagi apa yang ada dibaliknya,
yang lebih murni dan halus?

Alam-dunia ini bagaikan jerami,
dalam genggaman angin--yakni alam tak-nampak;
ia hanya dapat menyerahkan diri,
tunduk sepenuhnya pada alam yang tak-nampak.

Kadang ia dibuat merunduk,
kadang menengadah;
kadang bersuara,
kadang utuh, kadang terpecah.

Kadang ia digerakkan ke kiri,
kadang ke kanan;
kadang darinya tumbuh duri,
kadang menyembul mawar.

Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis,
tersembunyi Tangan;
di atas kuda yang berderap,
ada Pengendara tak-nampak.

Jika anak-panah melayang,
mestilah ada Busurnya,
walau tak-nampak;
jika tampak diri-diri kita,
mestilah ada Diri yang tersembunyi.

Jangan patahkan anak-panah,
karena ia berasal dari Sang Raja;
tidaklah ia dilepaskan tanpa suatu maksud,
ia berasal dari genggaman jemari Sang Tunggal,
yang paling mengenal sasaran.

Dia bersabda, "... dan bukanlah engkau yang
melempar, ketika engkau melempar .."
       [1]
tindakan-Nya mendahului
tindakan-tindakan kita.

Patahkanlah kemarahanmu,
bukannya anak-panah itu:
tatapanmu yang penuh amarah
menganggap susu sebagai darah.

Ciumlah anak-panah itu,
dan persembahkan kepada Sang Raja;
anak-panah berpercik darah,
darahmu sendiri.

Apa yang tampil di alam nampak,
tak-berdaya, terpenjara dan rapuh;
apa yang tak-nampak
begitu perkasa dan agung.


Kita lah hewan buruan,
yang ditunggu jebakan sangat menakutkan;
kita bagai bola dalam permainan polo,
menunggu pukulan tongkat,
dan dimanakah Sang Pemukul?

Dia menyobek,
Dia pula yang merajut:
dimanakah Sang Penjahit?
Dia meruntuhkan,
Dia yang membakar,
dimanakah Sang Pemadam api?

Dalam sekejap Dia dapat mengubah
seorang suci menjadi kufur;
sekejap pula Dia dapat mengubah
penyembah berhala menjadi seorang zahid. 

Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya
terjatuh kedalam jebakan,
sampai dirinya sepenuhnya termurnikan.

Karena dia masih berjalan,
dan penyamun tak terhingga jumlahnya;
yang berhasil selamat hanya
mereka yang dijaga-Nya.

Jika belum mati seseorang
dari dirinya sendiri--bagaikan cermin kemilau,
dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish:
jika dia belum berhasil menangkap burung,
maka dia masih berburu.

Tapi ketika seorang mukhlish
diubah menjadi mukhlash,                  [2]
maka dia telah sampai:
dia menang dan selamat.

Cermin tak berubah kembali menjadi besi,
roti tak berubah lagi menjadi biji gandum.

Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah;
buah matang tak kembali jadi mentah lagi.

Matanglah, 
dan menjauhlah dari kemungkinan berubah
jadi kembali buruk:
jadilah Cahaya,
bagai Burhan-i Muhaqqiq.                  [3]


Catatan:
[1]  QS Al Anfaal [8]: 17.

[2]  "(Iblis) berkata: 'Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau,
akan kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba
Engkau yang al-Mukhlashiin."
 (QS Shaad [38]: 82 - 83).

[3]  Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa
gerangan tokoh yang Rumi gelari dengan 'Burhan-i Muhaqqiq' ini.


Sumber:
Rumi: Matsnavi II 1294 - 1319.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
source by Ngrumi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini